BAB IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
B. Analisa Intra Partisipan
3. Partisipan III
Eka adalah seorang wanita bertubuh tinggi semampai dengan tinggi sekitar 170 cm dengan berat badan 57 kg. Eka berkulit kuning langsat dengan potongan wajah runcing. Rambutnya dipotong berbentuk shaggy melewati bahu dan diberi pewarna rambut nuansa kemerahan di ujung-ujungnya.
Wawancara dilakukan di ruang tamu rumah Eka (rumah orangtuanya). Ruangan tersebut adalah sebuah ruangan yang besar berukuran 8 x 8 m2dengan lantai marmer berwarna coklat muda. Di ruangan tersebut terdapat 2 set sofa dengan rangka berukir yang dilapisi karpet berwarna kemerahan dengan corak sebuah pemandangan. Di langit-langit ruangan tergantung dua buah lampu kistal berwarna putih.
Eka cukup kooperatif. Wawancara juga berlangsung dengan lancar di ruang tamu rumah Eka tanpa ada gangguan dari orang lain. Eka menjawab dengan tenang dan lancar selama sesi wawancara. Cara bicara tidak terlalu lambat dan juga tidak terlalu cepat. Suaranya jelas dan dapat dipahami. Ia terlihat bersemangat saat menceritakan perlakuan keluarga suaminya dan terlihat agak sendu ketika menceritakan kenangan bersama mantan suaminya.
3.2.Hasil dan Analisis Hasil Wawancara Latar Belakang Partisipan
Eka lahir sebagai anak bungsu dari 4 bersaudara. Keluarganya termasuk keluarga bahagia dimana orangtuanya menerapkan pola asuh yang demokrasi. Perlakuan orangtuanya pada semua anak-anaknya sama, hal ini terlihat dari pandangan orangtuanya yang tidak mendiskriminasi keinginan anak-anaknya untuk melanjutkan pendidikan.
Kalo di keluarga kami ya, pokoknya anak itu bebas, mau sekolah setinggi apapun bebas, mau perempuan kek, mau laki-laki kek, bebas lah pokoknya. Gak pernah itu orangtuaku ngelarang-larang, apa karena perempuan trus gak boleh gitu, gak pernah.
(R3.W1. b.583-589)
Hubungan Eka dengan kedua orangtuanya serta saudara-saudaranya cukup dekat. Jarak yang jauh tidak membuat mereka kehilangan cara untuk berkomunikasi satu sama lainnya.
”...abangku yang dua kan udah nikah, satu di Jakarta, satu lagi di Pakanbaru. Kakakku udah dibawa suaminya, suaminya itu kerja di Kalimantan gitu lah.”
(R3.W1. b.5-9)
Eka merupakan wanita yang memiliki apsirasi tinggi baik dalam pendidikan maupun pekerjaan. Ini terbukti dari keberhasilannya memasuki sebuah perguruan tinggi negeri dan dapat bekerja di sebuah Bank Swasta dengan posisi yang cukup baik hingga saat ini.
”Aku di Bank X dek, udah lumayan jugalah. Lagian kan udah dari tamat S1 dulu aku di sana. Udah ada 6 tahun lah aku kerja di sana.”
(R1.W1. b.122-125)
Walaupun berasal dari keluarga yang secara sosial ekonomi cukup berada dan cukup terpandang di masyarakat, orangtua Eka tidak pernah mengajarkan anak-anaknya untuk memandang rendah orang lain. Bahkan anak-anak perempuannya diajarak untuk selalu menghormati orang yang lebih tua, bahkan jika nanti mereka memiliki suami, mereka harus menghormati keluarga suami mereka.
”...Dari dulu dibilang mamakku, kalo nanti kalian diambil orang, nikah gitu, kalian itu bukan lagi anak Bapak sama Mamak, kalian udah jadi milik keluarga suami kalian, jadi harus pintar-pintar gitu sama keluarga suami, terutama sama mertua gitu...”
(R1.W1. b.529-535)
Latar Belakang Perkawinan
Eka dan Indra, mantan suaminya sebenarnya merupakan teman seperkuliahan. Akan tetapi mereka baru berpacaran di tahun terakhir perkuliahan. Eka mengaku ketertarikannya kepada Indra adalah karena sebagai pria Indra adalah sosok yang terlihat pintar, tidak terlalu banyak bicara dan sopan.
”... kok kek cinta mati gitu aku sama dia. Tapi yah dulu itu kalo kuingat memang cintalah aku sama dia...”
(R3.W1. b.598-601)
Mungkin karena cinta itulah kali yah (R3.W1. b.457-458)
Masa pacaran mereka dilanjutkan walaupun Eka telah tamat, sementara Indra belum. Hubungan ini diterima oleh keluarga Eka yang pada prinsipnya membebaskan anak-anaknya untuk menentukan pilihan. Hambatan justru berasal dari keluarga Indra yang terkesan tidak menyukai Eka. Menurut mereka Eka
adalah sosok wanita modern yang berasal dari keluarga kaya yang tidak akan sesuai menjadi menantu di rumah tangga mereka. Hal ini dikarenakan pandangan keluarga Indra yang masih sangat konvensional tentang peran wanita sebagai ibu rumah tangga, dan bukan sebagai wanita karir.
“Kurasa waktu itu udahlah ya. Memang kalo sama keluarganya aku gak terlalu cocok lah ya, gak taulah…”
(R3.W1. b.286-288)
“...mungkin dikira orang itu aku anak manja mungkin ya kan, anak mama gitu…”
(R3.W1. b.294-296)
Rasa tidak suka keluarga Indra juga semakin bertambah ketika Indra menolak dijodohkan dengan salah satu paribannya. Akibatnya Eka semakin merasa tidak nyaman. Apalagi Indra tidak memberikan respon atas keluhannya tersebut. Eka merasa Indra lebih memilih keluarganya daripada dirinya. Ketidaknyamanan ini membuatnya memutuskan hubungan dengan Indra. Setelah sebulan berpisah dari Indra, Eka menyadari bahwa ia memang mencintai Indra. Ia tidak kuasa menanggung perpisahan tersebut dan hal itu juga mengganggu aktivitasnya sehari-hari. Apalagi kemudian Indra meminta mereka untuk melanjutkan hubungan.
”...Dulu pun pernahnya kucoba pisah gitu kan, minta putus aku... Trus didatanginnya lah aku. Gak tahan dia katanya pisah dari aku kan... Akupun sebenarnya gak tahan juga pisah sama dia itu kemaren itu dek, gak mood aku ngapa-ngapain. Sempat juga itu aku minta cuti dari kantor kan...”
(R3.W1. b.459-468)
Setelah mereka kembali melanjutkan hubungan, Indra memang memperlihatkan perubahan sikap. Ia mulai mau mendengarkan keluhan Eka.
Selain itu ia juga memberikan dukungan saat Eka menghadapi masalah. Hal inilah yang membuat Eka mantap melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. Apalagi Indra tetap berkeras menikahinya walaupun orangtuanya memaksanya menikah dengan paribannya. Hal ini membuat Eka merasa bahwa Indra memang mencintai dirinya.
”...Besarpun perubahannya itu, buka gak besar. Udah mau dia nanya-nanya gimana perasaanku kalo misalnya kami abis dari tempat mamaknya. Dibesar-besarinnya pun perasaanku, sabarlah ya, nanti mudah-mudahan orang itu lebih baik gitu...”
(R3.W1. b.474-479)
”...Jadi kupikir kan, dia udah berkorban sebesar itu, milih aku daripada keluarganya, kan kita merasa apa ya, kayak dihargai gitu, dianggap penting kan, kalo gak mana mau dia tetap milih kita dibanding keluarganya. Itu jugalah makanya kupikir ya apa lagi yang kutunggu. Sikap dia udah jelas kan, ke aku gitu.”
(R3.W1. b.496-503) Eka dan Indra pu menikah.
Masa Perkawinan
Kehidupan Pernikahan Eka pada awalnya adalah masa-masa yang membahagiakan. Mereka terlihat mampu berkomunikasi dan menghindari kesalahpahaman.
”... Pertama kawin ya memang gitu, sayang kali dianya kelihatan samaku, mesra gitulah, lebih mesra pun daripada waktu kami pacaran, kek udah mulai terbuka gitu dia...”
(R3.W1. b.607-610)
”Bahagia. Kalopun ada betengkar, palingan ya sikit-sikitlah, gaknya ngefek kali.”
Selama setahun pernikahan mereka, segalanya masih berlangsung dengan sewajarnya. Kebahagiaan perkawinan membuat Eka mampu mencoba bertoleransi pada sikap keluarga suaminya yang tetap memperlihatkan rasa tidak suka kepadanya.
”...dari pacaran pun udah kelihatannya orang itu sekeluarga gak suka sama aku. Udah kawinpun aku kek gitu juganya rupanya, gak ada juga perubahan. Semuanya nanti dipermasalahkan...”
(R3.W1. b.564-569)
Setelah setahun masa pernikahan, Eka merasa sikap Indra mulai berubah. Indra terkesan kembali ke sikap awal masa-masa mereka pacaran, lebh pendiam dan kurang perhatian pada keluhan Eka terhadap keluarga Indra.
”Kayaknya setahun setahun kami nikah itulah. Udah mulai apa, berubah gitu dia.”
(R3.W1. b.634-635)
“Ya, ada. Itunya semuanya awalnya kan, gak sama lagi dia kek yang ku kenal dulu. Apa-apa keluarganya itu yang didengarnya, padahal aku kan istrinya...”
(R3.W1. b.620-23)
Masalah semakin bertambah berat ketika selama setahun perkawinan tersebut mereka tetap tidak dikaruniai anak. Keluarga Indra pun semakin sering memberikan komentar yang membuat Eka tidak nyaman.
”... jangankan umur berapa, Di, hamil aja si Eka belum, gitu. Minta maaf dia memang, si Diana itu, si paribannya itu kan, cuma kalimatnya abis itu, aduh, kalo gak ingat sopan santun, kurasa maulah kuselotip mulutnya itu. Dibilangnya gini, mungkin kak Eka terlalu capek kak, katanya perempuan kalo kecapekan memang susah hamil, padahal kakak kan udah setahun lebih nikah. Habis itu disambung
sama mamak si Indra, cemmanalah, wanita karir, sibuk diluar terus, mana sempat mikirin anak..”
(R3.W1. b.881-893)
Situasi semakin terasa berat ketika kali ini Indra justru tidak memberikan komentar dan terkesan tidak mendukungnya. Setiap kali Eka mulai mengeluh, Indra hanya diam dan bahkan memilih keluar rumah.
”... Paling parah lagi, Indra itu ya, waktu itu, diam aja dia, padahal dia di sampingku, gak jauh dari aku. Bayangin ya perasaanku, dihina, dijatuhkan, diremehkan gitu, orang yang kuharap membela aku, diam aja. Gak mungkin kan kutarik-tarik tangannya...
(R3.W1. b.894-901)
Pertengkaran demi pertengakaran tidak dapat dielakkan lagi. Eka mempertanyakan sikap Indra yang tidak sesuai dengan harapannya dan Indra mulai mempermasalahkan karir Eka yang menuntutnya sering berada diluar rumah sehingga Indra merasa diabaikan. Bahkan Indra merasa Eka tidak hamil karena terlalu lelah bekerja di luar.
”...katanya mungkin memang gara-gara aku kami gak bisa punya anak. Aku terlalu sibuk, mungkin pun aku gak pengen punya anak, nanti karirku terhambat gitu. Tega dia, sampe sekarang aku gak habis pikir kok dia tega...”
(R3.W1. b.961-966)
Dibilangnya lah lagi selama ini disabar-sabarkannya jadi orang kedua, karirku maksudnya nomor satu, kan. Katanya aku gak ngerti dia, cuma mikirin karirku. Aku gak peduli sama dia, gitu-gitulah
(R3.W1. b.967-971)
”... Itulah kata-katanya yang kuingat, yang kalo kuingat masih sakit ini di sini ini ya (mengelus dada). Sampe sekarang, tega dia ngomong itu
tadi, katanya mungkin memang gara-gara aku kami gak bisa punya anak. Aku terlalu sibuk, mungkin pun aku gak pengen punya anak, nanti karirku terhambat gitu. Tega dia, sampe sekarang aku gak habis pikir kok dia tega.”
(R3.W1. b.958-966)
Komunikasi diantara mereka semakin jarang. Bahkan tidak jarang salah satu dari mereka tidak pulang ke rumah. Aktivitas-aktivitas yang selama ini mereka lakukan bersamapun semakin berkurang.
” Gak, dia gak ada ngubungin, akupun gak ada ya kan, buang-buang tenaga. Masih marah aku waktu itu”
(R3.W1 b.1010-1012)
“...Jarangpun dia di rumah. Kalo gak di cafe, di rumah mamaknya. Akupun malas di rumah sendiri, seringnya aku di rumah ortuku, di rumah sinilah. Jadi gak kesepian kan...”
(R3.W2. b.371-374)
“...kadang percaya gak percaya dek, ada seminggu bisa kami gak ketemu, gak ada ngomongpun, lewat telpon pun gak ada, parah kan....”
(R3.W2. b.381-384)
Permasalahan semakin rumit ketika Eka melanjutkan kuliahnya di S-2. Awalnya Indra sudah memberikan izin. Akan tetapi ternyata hal tersebut memperlihatkan adanya kesenjangan pendidikan dan karir pada Eka dan Indra. Selain itu, Indra yang berprofesi sebagai wiraswasta merasa tidak pantas dibandingkan dengan Eka yang seorang Asisten Manajer di sebuah Bank. Ia semakin jarang berkumpul dengan keluarga Eka karena merasa kurang percaya
diri. Ketika mereka mendiskusikan hal ini, Eka merasa pemikiran Indra tidak masuk akal. Sementara Indra justru merasa Eka tidak memahaminya.
” Dibilangnyalah aku tuli, kayak anak kecil, kayak anak manja, itulah aku anak orang kaya, ngambek kayak anak kecil, katanya aku ya dek, paling benci dibilang manja, walaupun bapak mamakku berada, aku anak paling kecil ya, gak ada itu yang namanya manja-manja di keluarga kami...”
(R3.W1.b.1095-1101)
Pengambilan Keputusan Bercerai
Situasi rumah tangga yang kerap diwarnai pertengkaran dan kurangnya keintiman membuat Eka merasa lelah menjalankan kehidupan rumah tangganya. Ia sadar jika perkawinan mereka diteruskan dalam kondisi yang demikian, hal itu akan merugikannya.
”Wah kalo kami dulu, masalah kecilpun bertengkar dek, jangankan masalah besar gitu ya...”
(R3.W2. b.97-99)
”... Aduh dek, pokoknya yang namanya rumah itu ya, bukan tempat tinggal lagi, tapi udah kayak neraka, apa-apa diributin, apa-apa diributin...”
(R3.W2. b.193-196)
”...tiap hari bertengkar gak tentu, kayak neraka gitu. Lama-lama ditahanin aku bisa depresi dek....”
Keluarganya pun mulai mempertanyakan mengapa ia sering berada di rumah orangtuanya, bukan di rumahnya sendiri. Apalagi Indra mulai jarang kelihatan bersamanya. Eka selalu mengelak jika disodorkan pertanyaan yang demikian.
”...Aku ngelak-ngelak lah. Aku gak mau juga orang itu susah gara-gara aku kan...”
(R3.W2. b.336-338)
Eka sering menceritakan masalahnya ini pada salah seorang teman sekantornya yang kakaknya juga bercerai. Dari temannya ini awalnya ia mendapatkan masukan untuk sebisa mungkin mempertahankan perkawinannya, akan tetapi semua keputusan berada di tangan Eka. Kalaupun dari pihak Eka ada usaha untuk menyelesaikan salah tersebut, Indra memilih pasif dan menghindar.
” Cuma itulah, yang namanya konseling kan mesti dua-dua, apalagi konseling perkawinan. Ngapain aku pergi kalo dia gak ada. Jangankan ngajak dia konseling, diajak diskusi berdua aja dia ogah, banyak alasan kan. Jadi kupikir konselingpun susah, harus dari kesadaran diakan.
(R3.W2. b.223-230)
Berbagai masalah ini akhirnya membuat Eka mulai mempertimbangkan untuk bercerai. Akan tetapi masalah ini hanya dipikirkannya sendiri, tanpa memberitahukannya kepada orang lain. Ia takut jika ia meminta pendapat keluarganya, mereka akan menyalahkannya. Pada masa ini Eka sudah sampai pada tahap 1 pengambilan keputusan dari Janis & Mann (1977)
T: Jadi waktu itu jalan pa yang kakak pikirin? J: Apalagi, cerai lah
”.... Ya. Itu kan jalan terakhir menurutku. Cuma waktu itupun gaknya langsung aku minta cere. Cere itu kan gak gampang ya de...
(R3.W2. b.268-270)
Selanjutnya Eka mulai mencari berbagai alternatif-alternatif penyelesaian masalahnya. Alternatifnya cuma dua, cerai atau tidak. Eka sadar setiap pilihan memiliki kosnkuensi tertentu, makanya ia tidak mau gegabah dalam membuat pilihan. Tahap 2 dan tahap 3 dilalui Eka secara bersamaan. Hanya saja tahap ini dilaluinya dalam jangka waktu yang lama, sekitar 1 tahun.
”... Cere itu kan gak gampang ya dek. Banyak pertimbangan. Tapi jujur kalo dari aku pribadi ya, aku gak terlalu banyak pertimbangan yang berkaitan dengan diriku, kalopun ada gak terlalu besar konskuensinya. Kayaknya masih bisa kutanggung. Paling inilah ya, aku mikir kalo aku cere itu gimana aku kan tetap aja gak mau sendirian seumur hidupku, aku masih ingin ada pendamping gitu, apa masih bisa umurku udah segini, apalagi katanya kan aki-laki takut sama perempuan bertitel kan, apalagi aku kerja, aku gak mau lah terulang lagi.”
(R3.W2. b.270-283)
”Ya. Aku kan gak ada anak, kerjaan ada, gak tergantung sama suami kan. Aku mandiri, jadi dia gak ada aku gak papa kan. Untung jugalah kupikir kemarin itu gak ada anak, coba kalo ada anak, apa gak makin rumit dek”
(R3.W2. b.286-291)
Masalah ini ternyata mempengaruhi fisik Eka. Ia terlihat semakin kurus dan tidak bersemangat dalam aktivitasnya sehari-hari. Orangtua Eka mulai menyadari adanya masalah dalam rumah tangga putrinya. Ekapun dimintai keterangan. Pada saat itu Eka tidak bisa mengelak lagi. Ia pun menceritakan semuanya sambil berlinang air mata.
Capek kali, fisik dan mental lah. Itu juganya yang buat mamak bapakku curiga kan, mamakku lah. Kulihat kau makin kurus, kenapa, belum selesai juga masalah kelen itu, gitu ditanyanya
(R3.W2. b.332-336)
” Dipanggillah aku kemaren itu, ditanyain ada masalah apa. Kenapa selama ini gak cerita sama mamak sama bapak, apa gak perlu lagi gitu kan. Nangis lah aku digituin coba, sedih aku kan. Udahlah memang otak ini lagi penuh, sesak kan. Ditambahin lagi kek gitu kan, apa gak makin sedih kan. Akhirnya aku gak tahan lagi, kuceritain lah semua. Gak ada yang kusembunyikan.”
(R3.W2. b.386-395)
Orangtua Eka menyatakan bahwa keputusan ada di tangan Eka. Kalaupun Eka memilih bercerai, mereka akan tetap mendukung. Selain itu, saudara-saudaranya yang mendengar berita tersebut malah langsung datang dan membrikan dukungan serta pengiburan. Hal ini membuat Eka lega dan mantap mengambil keputusan untuk bercerai. Pada saat ini Eka sudah sampai pada tahap ke-4 yaitu komitmen.
” Mendengar itu dek, lega kali aku, kayak terangkat bebanku ini. Langsunglah kubilang, kalo masalah aku mak, pak, ga takut lagi aku. Udah kupikir masak-masak. Tinggal nunggu persetujuan bapak sama mamak, gitu kan, biar aku lega kataku. Aduh dek, pokoknya lega kali lah aku waktu itu. Udah ada jalan keluarnya pikirku kan, tinggal nyampein ke Indra itu.”
(R3.W2. b.447-455)
Indra yang mendengar keputusan Eka terkejut dan tidak siap. Ia masih mencoba membujuk Eka untuk mengurungkan keputusannya. Indra pun berjanji akan merubah sikapnya. Akan tetapi Eka kelihatannya tidak bergeming dan tetap pada keputusannya. Ia menjelaskan alasan-alasannya termasuk
ketidaknyamanannya akan sikap Indra dan keluarganya. Mendengar alasan dan kebulatan tekad Eka, Indrapun menerima keputusan tersebut.
” Dia masih diam itu. Gak ngomong apa-apa. Akupun bingung, takut juga aku, karena dia gak pernah gitu kan. Terus dia ngomong apa salahku, apa kamu gak cinta lagi, atau kamu gak puas, dia malah nuduh sebenarnya aku udah merencanakan ini sama keluargaku” (R3.W2. b.500-506)
”Mau akhirnya. Kubilanglah perasaanku selama ini sama dia kan. Sakit hatiku, kecewaku liat dia berubah dan gak lagi membelaku kan, kubilanglah semua. Kayaknya dia ngerti kan, diam dia, ngangguk-ngangguk, herannya minta maaf dia, gak bisa jadi seperti yang kuharapkan katanya”
(R3.W2. b.517-524)
Tahap terakhir, yaitu mempersiapkan diri menghadapi umpan balik negatif tidak terlalu berat bagi Eka. Pada dasarnya perceraian berjalan lancar. Reaksi negatif justru diperlihatkan keluarga Indra yang juga hadir pada saat persidangan. Mereka menolak bahkan dengan terang-terangan mengabaikan kehadiran Eka. Akan tetapi Eka tidak memikirkan hal tersebut. Eka melalui masa pasca perceraian dengan cukup baik, apalagi ia memiliki keluarga dan teman-teman yang mendukungnya.
“Malah itu, mamaknya sekali kan sama kakaknya ada datang sama dia, eh disapa malah ngelengos gitu. Mamakku pun nyapa gak diliat kok, memanglah dasar gak berubah juga. Agak kesal juga aku waktu itu kan, cuma kupikir gak masalahku lagi itu, aku udah bebas dari orang itu pikirku kan”
(R3.W2. b.536-542)
“Untunglah ada keluargaku, kakakkku sampe datang dari Kalimantan, abangku yang satupun datang dari Pekanbaru kan, buat nyemangatin, ah bahagia kali aku ada keluargaku gitu. Ada kawan-kawan lagi, terutama kawanku yang chinese itu, kadang diajaknya aku jalan, nonton kan, karaoke
gitu, bair gak sepi katanya, biar gak melamun. Yah so far sih hidupku abis cere baek-baek aja yah”
(R3.W2. b.558-567)
Harapan Eka setelah menjalankan kehidupan pasca perceraian adalah dapat meniti karir dengan lebih baik lagi. Selain itu ia masih berharap dan optimis untuk mendapatkan seorang pendamping hidupnya lagi.
Conflict-theory model Pengambilan Keputusan Eka
START
- Tidak tahan terhadap kehidupan pernikahan yang selalu diwarnai pertengkaran.
- Adanya intervensi dari keluarga suami yang terkesan selalu menyalahkannya
Waspada
Antecedent Conditions Mediating Process Consequences
AKHIR Membuat perencanaan untuk menjalankan Mungkin atau Ya Mungkin atau Ya Mungkin atau Ya Mungkin atau Ya Bagan IV.5
- Jika saya tetap bersama suami, hidup saya akan dipenuhi oleh tekanan dan pertengkaran
Q1
Apakah resikonya besar jika saya tetap bersama suami
Q2
Apakah resikonya besar jika saya bercerai
Q3
Apakah ada kemungkinan harapan untuk menemukan solusi yang baik dan memuaskan
Q4
Apakah cukup waktu untuk mencapai dengan tenang dan tidak tergesa-gesa
- Takut mencoreng nama baik keluarga besar
- Usia yang sudah tidak muda lagi
- Malu dengan status janda
Tidak ada tekanan waktu. Semua keputusan ada di tangan saya
- Dukungan dari keluarga - Kehidupan sosial ekonomi
yang mapan - Fisik yang menarik
STAGE 3
Weighing of alternatives
START
Challenging negative feedback or opportunity
STAGE 2
Surveying alternatives
STAGE 4
Deliberating about commitment
Is this alternative an acceptable means Have I sufficiently surveyed the alternative
Search for another alternative
Shall I adopt the best alternative and allow others
to know Wich
alternative is best?
Could the best alternatives meet the essential requirements End Adhering despite negative feedback STAGE 1
Appraising The Challenge
Are the risk serious
if I don`t change?
Pertimbangan-pertimbangan dan penghayatan Eka di tiap tahapan adalah sebagai
berikut:
- Tidak sanggup lagi berada dalam perkawinan yang selalu diwarnai pertengkaran
- Hilangnya harapan bahwa suami akan berubah
Tahap 1: Penilaian Masalah
Tahap 4: Membuat Komitmen
Tahap 1: Menghadapi Umpan Balik Negatif Tahap 3: Mempertimbangkan
Alternatif
Tahap 2: Pencarian Alternatif
-Diskusi dan konseling
- Bercerai dan keluar ketidaknyamanan perkawinan.
- Bercerai (+): -bebas dari ketidaknyamanan perkawinan - Bercerai (-): membuat malu keluarga
besar, sulit mendapat jodoh lagi
- Memutuskan bercerai
Penilaian negatif mantan keluarga suami