• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi Masyarakat

ASRUARI MISDA, MA

DAFTAR ISI

A. Partisipasi Masyarakat

Sebutan partisipasi saat ini menjadi kata kunci dalam setiap program pemberdayaan masyarakat, seakan-akan menjadi merek baru yang wajib terpatri pada setiap hasil kebijakan dan program. Partisipasi sajajar dengan arti peranserta, ikutserta, keterlibatan, atau proses belajar bersama, saling mengerti, menganalisis, merencanakan dan melaksanakan tindakan oleh beberapa anggota masyarakat5.

Dalam penjelasan atas Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa menyebutkan bahwa partisipasi yaitu turut berperan aktif dalam suatu kegiatan. Undang-undang ini mengisyaratkan bahwa makna berperan aktif adalah dimana setiap orang yang ikut serta dalam kegiatan dan menunjukkan keaktifan dalam berbagai tahapan proses program.

Menurut Deepa Narayan dalam Abdur Rozaki6 bahwa secara teoritis partisipasi mengandung dua makna yakni keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan keikutsertaan (involvement). Keduanya mengandung kesamaan tetapi berbeda titik tekannya. Inclusion menyangkut siapa saja yang terlibat, sedangkan involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat. Keterlibatan berarti memberi ruang bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses politik, terutama kelompok-kelompok masyarakat miskin, minoritas, rakyat kecil, perempuan, dan kelompok-kelompok marginal lainnya.

Dalam pandangan sosiologis, ada beberapa asumsi yang digunakan terhadap pentingnya mendorong partisipasi masyarakat, yaitu (1) Bahwa masyarakatlah yang paling tau kebutuhannya, karena mereka yang mempunyai hak untuk mengidentifikasikan dan menentukan kebutuhan pembangunan di lokalnya. (2) Partisipasi dapat menjamin kepentingan dan suara-suara kelompok yang selama ini dimarjinalkan dalam berbagai aspek pembangunan. (3) Partisipasi dalam pengawasan

5

Ikbal Bahua, Perencanaan Partisipatif Pembangunan Masyarakat, (Gorontalo : Ideas Publishing, 2018), hlm. 4.

6

terhadap proses pembangunan dapat menjamin tidak terjadinya berbagai penyimpangan, penurunan kualitas dan kuantitas pembangunan.

Pendekatan sosiologis dalam partisipasi tersebut diatas mengisyaratkan bahwa partisipasi lebih berorientasi pada perencanaan dan implementasi pembangunan. Oleh karena itu keterlibatan masyarakat dalam seluruh proses sangat penting baik berkenaan dengan data, pengambilan keputusan, evaluasi dan penilaian, implementasi dan juga pemantauan. Oleh karennya partisipasi masyarakat adalah sebuah agenda yang mengusung mengusung beberapa hal seperti voice, access dan control. Ketiga agenda tersebut menyiratkan bahwa masyarakatlah yang memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, masyarakat juga harus diberi kemudahan untuk mengakses terhadap berbagai pelayanan publik dan khususnya informasi dan masyarakat harus diberikan ruang untuk melakukan kontrol atas kinerja pemerintahan desa.

Jika dikaitkan dengan pemerintahan, maka partisipasi lebih dipahami sebagai bentuk relasi kekuasaan, relasi ekonomi, relasi politik dan lainnya. Menurut Abdur Rozaki7 bahwa partisipasi warga masyarakat dalam konteks governance, adalah relasi antara negara (pemerintah) dan masyarakat (rakyat). Jika negara dianggap sebagai pusat kekuasaan, kewenangan dan kebijakan yang mengatur (mengelola) alokasi barang-barang (sumberdaya) publik pada masyarakat, maka sebaliknya di dalam masyarakat terdapat hak sipil dan politik, kekuatan massa, kebutuhan hidup, dan lain-lain. Dengan perbedaan antara negara dan masyarakat tersebut, maka partisipasi menjadi jembatan penghubung antara keduanya agar pengelolaan barang-barang publik membuahkan kesejahteraan dan human well being.

Selanjutnya Abdul Rozaki8 menjelaskan bahwa partisipasi sangat dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat, karna tanpa partisipasi hanya akan menabur pemerintahan yang otoriter dan korup. Pada sisi masyarakat, partisipasi adalah kunci pemberdayaan, karena partisipasi memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa

7

Ibid. hlm. 318

8

lokal, mengaktifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat. Partisipasi dalam hal ini merujuk kepada keterlibatan warga masyarakat secara aktif terkait dengan pembangunan dan pemerintahan desa.

Menurut Tumpal P Saragi9 partisipasi sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kandungan kapital yang dimiliki seseorang. Partisipasi hanya mungkin dilakukan bila seseorang memiliki jaringan sosial seperti jaringan kerja, aturan yang jelas dan juga kepercayaan. Jaringan merupakan lintasan bagi proses berlangsungnya pertukaran, sementara kepercayaan menjadi stimulus agar proses pertukaran tersebut berjalan lancar, sementara norma atau aturan merupakan jaminan bahwa proses pertukaran itu berlangsung adil ataupun tidak.

Untuk melihat bagimana partisipasi masyarakat dalam program, maka hal tersebut dapat dijelaskan dalam substansi partisipasi yang mereka lakukan. Menurut Eko Sutoro10 bahwa substansi dari partisipasi terdiri tiga yaitu pertama, Voice yang merupakan hak dan tindakan warga masyarakat untuk menyampaikan aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun kebijakan pemerintah melalui opini publik, referendum, media masa, dan juga berbagai fórum warga. Kedua, Akses yang mengandung arti bahwa ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk dalam area governance yakni mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif dalam mengelola barang barang publik. Ketiga, Kontrol masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun kebijakan pemerintah. Hal ini juga bermaksud bahwa kemampuan warga untuk melakukan penilaian secara kritis dan reflektif terhadap lingkungan dan perbuatan yang dilakukan mereka sendiri.

Penjelasan Eko Sutoro diatas dipertegas oleh Septyasa11 bahwa bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dapat dilihat dari tiga tahapan pelaksanaan (1) Tahap perencanaan dimana masyarakat harus ikut menyumbangkan ide serta gagasan. (2) Tahap pelaksanaan dimana masyarakat diminta untuk ikut partisipasi melalui

9

Tumpal P Saragi, Mewujudkan Otonomi Masyarakat Desa - Alternatif Pemberdayaan Desa. (Yogyakarta : yayasan Adikarya IKAPI, 2004), hlm. 49.

10

Sutoro, Eko, Reformasi Politik dan Pemberdayaan Masyarakat, (Yogyakarta : APMD Press, 2004), hlm.

11

Septyasa, Nuring, Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Desa dalam Program Desa Siaga di

keikutsertaan dalam program (3) Tahap penilaian yang diharapkan adanya keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauh mana pelaksanaan program sesuai dengan rencana dan sejauh mana hasil dari program tersebut dalam pemenuhan kebutuhan mereka.

Selanjutnya waryono12 menyebutkan bahwa untuk mewujudkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat yang berkelanjutan sangat dibutuhkan partisipasi aktif dan inisiatif dari masyarakat. Beliau juga menyebutkan bahwa partisipasi tersebut meliputi partisipasi dalam perencanaan, partisipasi dalam pengembangan program maupun partisipasi dalam gerakan sosial. Pertama partisipasi dalam perencanaan program dimaksudkan adalah ketika di dalam pengambilan keputusan yang akan dilaksanakan, hendaknya semua kebutuhan, kepentingan dan permasalah semua lapisan masyarakat tercermin dalam program. Kedua partisipasi dalam pengembangan program, hal ini bermaksud bahwa sebagai kelompok masyarakat pengguna pelaksana program, agar program sesuai dengan kondisi riil kebutuhan dan persoalan masyarakat, maka mereka harus didesain dengan ide dan pendapat serta keluhan-keluhannya, terutama aspirasi mereka terkait dengan kebutuhan dan kepentingan hidup mereka secara nyata. Ketiga partisipasi dalam gerakan social bermaksud bahwa dalam hal pelaksanaan program maka penglibatan seluruh lapisan menjadi sesuatu yang tidak bisa di tawar lagi.

Dalam pandangan para pekerja social (LSM) partisipasi lebih dikenal dengan

Participatory Rural Appraisal (PRA). Untuk menerapkan berbagai program

pembangunan kebanyakan para pekerja sosial lebih menekankan pada konsep Putting

the Last Firs. Konsep Putting the Last Firs dijelaskan oleh Robert Chambers

sebagaimana dikutip oleh Zubaedi13 bahwa mengandung gagasan untuk mendahulukan (First) pihak yang paling marginal (last) dalam penyusunan suatu keputusan dan program aksi.

Pada asasnya, bahwa partisipasi masyarakat berbeda jika dilihat dari kadar partisipasi yang di tunjukkan masyarakat. Perbedaan kadar partisipasi yang dimaksud

12

Waryono dkk, Interkoneksi Islam dan Kesejahteraan Sosial, Teori, Pendekatan dan Studi

Kasus. (Yogyakarta : Samudera Biru : 2012) hlm. 196

13

Zubaedi. Pengembangan Masyarakat Wacana & Praktek. (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group : 2014) hlm. 153

dapat dilihat dari tangga partisipasi (Ladder of Partcipation) yang dikemukakan oleh Arnstein dengan tiga derajat partisipasi14. Menurut Arnstein derajat yang terendah adalah nonpartisipasi. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa aktivitas partisipasi yang terjadi pada derajat ini sebenarnya merupakan distorsi partisipasi.

Derajat kedua merupakan derajat yang menunjukkan pertanda adanya pertisipasi (tokenism). Keterlibatan masyarakat dalam derajat ini lebih tinggi dari sebelumnya, dimana pada derajat ini masyarakat aktifitas dialog yang lebih baik. Derajat yang paling tinggi menurut Arnstein adalah derajat ketiga dimana warnga melibatkan dirinya lebih intens dalam pembuatan kebijakan. Ketiga derajat ini dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1

Tangga Partisipasi Arnstein

8 Kendali Warga

Derajat Juasa Warga 7 Kuasa yang didelegasi

6 Kemitraan

5 Penentraman

Dearajat Tanda Partisipasi

4 Konsultasi

3 Pemberian Informasi

2 Terapi

Non Partisipasi

1 Manipulasi

Sumber : Khairul Muluk Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan

Daerah “Sebuah Kajian dengan pendekatanberpikir Sistem”. (Malang :

Bayumedia Publishing, 2007), hlm. 59