• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi Politik Para Tokoh Pakualaman

HASIL PENELITIAN

A. Partisipasi Politik Para Tokoh Pakualaman Dalam Pergerakan Nasional 1 Wilayah Pakualaman

4. Partisipasi Politik Para Tokoh Pakualaman

Politik etis secara tidak langsung telah menimbulkan rasa nasionalisme di kalangan masyarakat termasuk di Pakualaman. Tokoh-tokoh pergerakan nasional dari kalangan Pakualaman tersebut antara lain :

a. Soerjopranoto

Soerjopranoto dengan nama kecil Iskandar, adalah kakak Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) yang dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 11 Januari tahun 1871 sebagai putera tertua dari Kanjeng Pangeran Haryo Suryaningrat putra sulung Sri Paku Alam III (yang tidak dapat menjadi Paku Alam IV karena buta). Nama istrinya adalah Djauharin Insjiah putri almarhum Kyai haji Abdussakur, Penghulu (Landraad) Agama Islam, dari Karanganyar Banyumas yang pada tahun 1951 telah wafat terlebih dahulu pada usia 67 tahun. RM Soerjopranoto meninggal di Cimahi pada tanggal 15 Oktober 1959 pada umur 88 tahun, dimakamkan di Kotagede, Yogyakarta. Beliau adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Dia dikenal sebagai tokoh nasionalis yang peduli pada nasib rakyat kecil.

Sebagai seorang cucu raja sudah tentu Soerjopranoto menerima titel kebangsawanan sebagai ”Raden Mas”. Namun, sesudah terjun di kancah perjuangan, beliau tidak memerlukan titel bangsawan lagi karena ia tidak ingin menjadi seorang bangsawan yang hanya bisa duduk di dalam lingkungan Kraton tanpa berbuat apa-apa untuk rakyatnya. Soerjopranoto,

sebagai anak bangsawan, termasuk golongan pribumi yang kedudukannya disamakan dengan kalangan bangsa Eropa. Oleh karena itu ia bisa masuk Sekolah Rendah Eropa atau Europeesche Lagere School (ELS). Setelah lulus dari ELS, Soerjopranoto mengambil Klein Ambtenaren Cursus atau Kursus Pegawai Rendah, yang kurang lebih setingkat dengan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang sekarang setara dengan SMP (http://id.wikipedia.org/wiki/Soerjopranoto diunduh tanggal 3 Juni 2010).

Raden Mas Soerjopranoto adalah seorang putera bangsawan dari rumpun keluarga Pakualam yang memperoleh pendidikan modern dan tumbuh menjadi salah satu dari golongan intelektual pribumi yang sadar untuk bangkit, bergerak, bersatu dan berjuang.

Menurut Soerjopranoto dikutip oleh Bambang Sukawati (1983 : 14), ”bahwa melawan pemerintah penjajahan Belanda dengan jalan apa saja adalah suatu tradisi yang semestinya atau suatu keharusan“. Kesadaran Raden Mas Soerjopranoto timbul karena pengaruh-pengaruh luar yang datang berkat ilmu pengetahuan modern yang menumbuhkan dan mengembangkan pikirannya, sedangkan pengaruh utama sebenarnya terletak pada faktor pribadinya sendiri.

Pada umumnya para bangsawan pada zaman itu, pendidikan formalnya dimulai dengan HIS Keputran, sebuah sekolah khusus untuk pendidikan anak-anak bangsawan Jawa. Soerjopranoto sebagai anak bangsawan setelah lulus dari HIS bisa masuk Sekolah Rendah Eropa atau Europeesche Lagere School (ELS). Setelah lulus dari ELS, lalu melanjutkan ke Klein Ambtenaar Cursus. Melihat pengalaman Soerjopranoto yang sering membuat onar, maka Asisten Residen mengeluarkan keputusan untuk membuang Soerjopranoto jauh-jauh dari daerah resortnya dengan secara halus. Oleh karena itu, sesudah Soerjopranoto lulus menempuh ujian Klein Ambtenaar Cursus dengan sebuah Surat Ketetapan beliau dipaksa untuk menerima jabatannya sebagai juru tulis di sebuah kantor pemerintah di Tuban, Gresik (Bambang Sukawati, 1983 : 46).

Belum genap 6 bulan Soerjopranoto berada di Tuban, beliau terpaksa menghajar seorang Kontrolir Belanda yang telah melakukan penghinaan di luar batas kemanusiaan atas seorang pegawai bangsa pribumi dan sesudah itu tanpa menunggu surat pemecatannya, Soerjopranoto pulang ke Yogyakarta. Sifat pemberontak dan tabiat pemarahnya ini ternyata disambut dengan pujian oleh ayahnya, Pangeran Soerjaningrat dan juga pamannya, yaitu Pangeran Sasraningrat yang waktu itu kebetulan sedang memegang kekuasaan di Praja Pakualaman sebagai Gusti Wakil.

Pada masa ini Soerjopranoto tidak pernah menerima surat pemecatan dari kantor Kontrolir di Tuban, selain surat pengangkatan yang diterimanya langsung dari Pangeran Sasraningrat. Hanya beberapa hari sesudah kedatangannya, Soerjopranoto diangkat oleh pamannya sebagai Sekretaris dan sebagai Wedono Sentono yang mengepalai salah satu departemen di dalam pemerintahan Praja Pakualaman dengan pangkat sebagai Pandji (Bambang Sukawati, 1983 : 47).

Soerjopranoto pada waktu menjadi Wedono Sentono dan Sekretaris pamannya membuat keonaran dengan menampar mulut seorang Belanda utusan Residen Yogyakarta, karena bersikap sombong dan sewenang- sewenang. Oleh karena ulah yang dilakukannya dia dibuang untuk kedua kalinya keluar dari wilayah Yogyakarta, dan ditempatkan di Bogor. Selama di Bogor ia belajar di Middelbare Landbouw-school.

Pada tahun 1900, sebelum Raden Mas Soerjopranoto mendapat izin belajar di Middelbare Landbouw-school di Bogor, kira-kira satu setengah tahun sesudah beliau lepas E.LS, beliau telah mendirikan sebuah organisasi di Yogyakarta dengan nama ”Mardi Kaskoyo”. Alasan beliau mendirikan ”Mardi Kaskoyo” adalah karena rasa kemanusiaan yang dimiliki Soerjopranoto mendorong beliau untuk berpikir kembali tentang usaha-usaha menolong para hamba-sahaya dan para kawula dhalem (rakyat kecil) lainnya, yang menderita karena penghasilan mereka yang rendah terpaksa mengkaitkan hidup mereka dengan hutang-hutang kepada

kaum rentenir. Sebagian besar pengurus organisasi ini adalah kerabat Pakualaman. Mardi Kaskaya kurang lebih mirip sebuah koperasi simpan- pinjam. Organisasi ini mula-mula bersifat sosial-ekonomis dan ditujukan untuk menolong rakyat kecil dari bahaya penghisapan kaum rentenir. Tetapi akhirnya dengan organisasinya ini Soerjopranoto terpaksa harus sering-sering berhadapan dengan kekuasaan kolonial, karena ekses-ekses yang rumit (Bambang Sukawati, 1983 : 16).

Organisasi ini berusaha dengan berbagai cara membebaskan rakyat kecil dari penghisapan-penghisapan para rentenir yang kebanyakan tergolong dari para vreemde oosterlingen dan umumnya mempunyai pelindung-pelindung dari kalangan orang-orang Belanda pensiunan. Dengan organisasi ini Soerjopranoto pada hakekatnya mulai menyadarkan dan mendidik rakyat akan pentingnya persatuan dan gotong-royong. Para hamba-sahaya yang memiliki bakat-bakat di bidang kerajinan, mulai dapat menikmati bantuan modal dan mulai dibimbing untuk menciptakan kerja sambilan yang menghasilkan (Bambang Sukawati, 1983 : 48).

Lambat-laun terasa sekali bahwa langkah-langkah “Mardi Kaskaya” telah mempersempit gerak langkah kaum rentenir. Dan rasa berani rakyat terhadap orang-orang Belanda yang mempergunakan kedudukan hukumnya untuk memeras rakyat itu pun mulai tumbuh dan akhirnya mengembangkan suasana perlawanan di mana-mana. Soerjopranoto menganjurkan kepada segenap penduduk kampung di sekitar Pura tempat tinggalnya, agar rentenir-rentenir yang masih berani masuk kampung supaya segera diusir, kalau perlu dengan kekerasan. Tetapi di pihak lain, tentu ada pula orang-orang yang merasa terganggu ketenteramannya oleh keberanian Soerjopranoto dan “Mardi Kaskaya” yang dipimpinnya, karena tindakan-tindakan pemberontakan yang dilakukannya dianggap membahayakan dan dianggap mulai menimbulkan benih-benih terrorisme. Maka oleh Asisten Residen diputuskan untuk membuang kembali Soerjopranoto keluar dari daeranya dengan alasan disekolahkan pada Sekolah Pertanian (Eropeesch Afdeling). Oleh karena

itulah pejabat kolonial menyekolahkan Soerjopranoto ke MLS (Middelbare Landbouw School = Sekolah Menengah Pertanian) di Bogor.

Selain disekolahkan Soerjopranoto mendapat ajaran di rumah tentang budipekerti. Sesuai dengan adat pusaka kebangsawanan beliau diwajibkan mengerti dan memahami seni tari, kerawitan (gamelan), seni sastra (membuat sajak, syair, nyanyian jawa). Menjelang dewasa mulailah Soerjopranoto mempelajari soal ketatanegaraan, perekonomian, kemasyarakatan, sejarah dan keTuhanan.

Soerjopranoto memiliki koleksi perpustakaan kurang lebih 3500 buku tentang berbagai ilmu pengetahuan. Soerjopranoto berhasil menamatkan studinya di Bogor pada-tahun 1907 dan dari sinilah ia kemudian meraih dua ijazah sekaligus, yaitu ijazah-ijazah sebagai Landbouwkundige (ahli pertanian) dan Acte sebagai Landbouwleraar (guru ilmu pertanian), (Bambang Sukawati, 1983 : 52).

Pada tahun 1908 sampai dengan 1914 beliau dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda dan menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian (Landbouw Consulent) untuk daerah Wonosobo, Dieng dengan tugas mengawasi perkebunan tembakau berkedudukan di Kejajar Garung kemudian dipindahkan ke Wonosobo karena harus merangkap pekerjaan memimpin sekolah pertanian. Pada masa-masa ini berlangsunglah berbagai peristiwa penting di dalam hidup Soerjopranoto. Yang pertama- tama beliau menduduki kariernya sebagai Landbouwconsulent, dan bersamaan itu beliau bergabung dengan “Boedi Oetomo” yang didirikan pada 20 Mei 1908. Boedi Oetomo pada dasarnya merupakan suatu organisasi priyayi Jawa. Kebanyakan priyayi Jawa melihat kebangkitan kebudayaannya dengan berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908. Aspirasi-aspirasi dan perwujudan-perwujudan yang ditemukan oleh persatuan ini menggambarkan presepsi-presepsi priyayi. Aspirasi utama Boedi Oetomo adalah peningkatan keserasian ke dalam masyarakat Jawa (Savitri Prastiti Scherer, 1985: 53).

Pada periode 1910-1911 pernah menjadi Sekretaris Hoofd Bestuur B.O. Pada saat Soerjopranoto bergabung, B.O kurang dapat memuaskan jiwanya yang dinamis, keras dan cenderung pada sifat kerakyatan. Oleh karena kekecewaan menyaksikan kelambanan “Boedi Oetomo”, ia kemudian keluar bersama Tjokroaminoto dan mereorganisasi S.D.I di bawah pimpinan Haji Samanhoedi menjadi Serikat Islam pada tahun 1912 (Bambang Sukawati, 1983 : 56).

Berbeda dengan B.O perhimpunan ini tidak menitik beratkan gerakannya di kalangan kaum intelektuil akan tetapi di kalangan rakyat jelata dan kaum pedagang kecil pribumi yang di masa itu mengalami desakan berat akibat politik kolonial, rasialisme. Kelahiran S.D.I disambut hangat oleh lapisan luas rakyat, terutama karena programnya yang menitik beratkan pada usaha perbaikan hidup rakyat yang demokratis dan wajar. Setahun kemudian perhimpunan ini menyempurnakan diri menjadi S.I (Sarekat Islam) berhubung dengan perkembangan-perkembangan yang pesat, banyak di antara orang-orang B.O masuk S.I antara lain Soerjopranoto (Bambang Sukawati, 1983 : 58).

SI diarahkan untuk rakyat jelata. SI bertujuan memajukan perdagangan Indonesia di bawah panji-panji Islam. SI terus maju dengan sangat pesat, ini menunjukan bahwa SI adalah suatu organisasi yang telah lama diinginkan oleh rakyat umum (A.K Pringgodigdo, 1994: 4). Pokok utama perlawanan Sarekat Islam ditujukan terhadap setiap bentuk penindasan dan kesombongan rasial. Berbeda dengan Boedi Oetomo yang merupakan organisasi dari ambtenar-ambtenar pemerintah, maka Sarekat Islam berhasil sampai pada lapisan bawah masyarakat, yaitu lapisan yang sejak berabad-abad hampir tidak mengalami perubahan dan paling banyak menderita (Marwati Djoened Poesponegoro&Nugroho Notosusanto, 1993: 183).

S.I menentang pemerintah kolonial selama pemerintah bersekutu dengan kaum kapitalis (kaum majikan). Pada tahun 1919, S.I. mulai melancarkan serangan terhadap modal asing, pada saat itu anggota

bertambah dalam jumlah yang sangat menonjol, hingga mencapai 2.000.000 orang.

Soerjopranoto yang di masa itu sudah menduduki tempat penting di samping Tjokroaminoto, menerima tugas untuk menangani gerakan kaum buruh dan tani. Hal ini berarti bahwa dia diserahi di poros perjuangan dalam program menentang kolonialisme. Kedudukannya sebagai seorang ningrat masih dianggap penting di masa itu, karena aparat-aparat kolonial tidak akan begitu saja meremehkan beliau.

Banyak orang mengira Soerjopranoto yang menangani program S.I. di bidang gerakan buruh dan tani, adalah seorang yang memiliki kecenderungan sosialis. Ada pula yang menyebut dia sebagai nasionalis kiri. Akan tetapi nyatanya ketika tahun 1920 tokoh-tokoh kiri Sarekat Is- lam terutama Semaun, Darsono, Tan Malaka, Alimin dan yang lain-lain memisahkan diri dari partai dan mendirikan P.K.I, ternyata Soerjopranoto tidak berada di dalam barisan orang-orang ini (Bambang Sukawati, 1983 : 63).

Pada umumnya orang mengetahui bahwa Soerjopranoto adalah seorang perintis S.I. yang telah memberi bentuk watak pada gerakan S.I dikalangan kaum buruh, tani dan rakyat jelata pada umumnya, walaupun beliau seorang ningrat. Pengaruhnya yang luas meyakinkan di kalangan massa menyebabkan beliau terangkat dalam kongres tahun 1919 di Surabaya beliau terpilih sebagai wakil Presiden dan resmilah beliau menjadi orang kedua sesudah Tjokroaminoto. Untuk mempergiat perkembangan partai, maka Sarekat Islam mengadakan kursus-kursus secara periodik di jalan Kepatihan, Pakualaman, Yogyakarta. Soerjopranoto adalah salah satu guru yang memberikan pelajaran pada kursus itu, beliau memberikan sosiologi (Suratmin, 1981 : 43).

Dalam masa ini Soerjopranoto sudah melihat timbulnya gejala sektarisme di kalangan rekan-rekannya. Beliau enggan terjerumus ke dalam salah satu kelompok (kliek) baik kanan (putih) maupun kiri (merah) yang saling berebut pengaruh, yang menurut anggapannya sangatlah

bersifat vulgair. Meskipun demikian beliau bukanlah tokoh tengah. Cita- citanya yang murni mengabdi kepada kemanusiaan, membela rakyat tertindas dari perbudakan kaum borjuis-kolonialis menjadi satu-satunya tujuan bagi beliau (Bambang Sukawati, 1983 : 65).

Menurut Suratmin (1981 : 44), dalam kongres S.I tahun 1919 di Surabaya, Soerjopranoto mengemukakan bahwa kemenangan klas dan pemilihan alat produksi oleh umum tidak harus dicapai dengan aksi bersenjata, tetapi dengan paksaan batin (moraal), proses-proses perundingan di muka umum dan jika perlu dengan pemogokan. Sesudah Soerjopranoto mempelajari dengan seksama masalah-masalah perburuhan, menegaskan bahwa sudah waktunya dicetuskan aksi massa melaksanakan program S.I. untuk menuntut hapusnya kerja-paksa, menuntut pembagian air guna sawah rakyat tani, hapusnya koeli ordonnantie, di samping tuntutan-tuntutan yang bersifat politik, yaitu sistim pemerintahan yang demokratis dengan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat.

Untuk memberikan penerangan kepada rakyat agar peningkatan kesadarannya bertambah maju diselenggarakannya kursus kader bagi para pemuda dan juga orang-orang tua yang dikirim dari berbagai daerah. Pada kesempatan ini Soerjopranoto memberikan pelajaran tentang hukum atau tata pemerintahan, dengan maksud agar mereka mengetahui hak dan kewajiban yang harus dijalankan pemerintah kepada rakyat. Dengan demikian apabila mereka sebagai pegawai pemerintah pada suatu saat mendapat ancaman hukuman, mereka dapat membela dirinya. Dengan demikian mereka tidak begitu saja bisa disiksa oleh para penguasa Belanda. Masalah pemilihan Lurah di desa-desa pun juga dibahas supaya mereka tidak menjadi korban tindakan pemerintah Belanda yang sewenang-wenang. Dengan demikian orang-orang desa bisa merasa terlindungi dari kekurangadilan penguasa yang sering menaruh curiga kepada rakyat bangsa pribumi (Suratmin, 1981 : 44).

Ketika Soerjopranoto menjabat menjadi pimpinan pusat Sarekat Islam, beliau menganjurkan non-koperasi terhadap pemerintah Belanda.

Sementara itu Soerjopranoto juga mendirikan P.F.B (Personeel Fabriek Bond) sebagai Sarekat Buruh pertama yang didirikan di Indonesia (Bambang Sukawati, 1983 : 75).

Sementara aktivitas mengkonsolidasi Sarekat Buruh ini, Soerjopranoto tetap melaksanakan tugas-tugas pendidikan di dalam partai. Setahun kemudian persiapan telah matang, dan Soerjopranoto menghadapkan P.F.B. yang dipimpinnya dengan perhimpunan kaum majikan P.E.B (Politick Economische Bond). Tanggal 9 Agustus 1920, sesudah ultimatumnya tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari P.E.B Soerjopranoto mengumumkan berlangsungnya pemogokan. Pemogokan yang pertama kali terjadi di Indonesia itu bermula dari Pabrik Gula Padokan Yogyakarta, kemudian menyusul Pabrik Gula Nglungge Delanggu, Sala, Jatiroto dan seterusnya meluas di seluruh Jawa. Semuanya telah diatur dengan rapi, hingga pimpinan pemogokan dikoordinasi oleh Soerjopranoto dari kantor P.P.K.B (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh) yang dipimpin pula oleh Soerjopranoto dan beranggotakan 22 sarekat buruh dengan jumlah anggota 72.000 orang. P.F.B. sendiri yang berang- gotakan buruh tani dan petani kecil waktu itu merupakan mayoritas berjumlah 50.000 orang (Bambang Sukawati, 1983 : 76).

Soerjopranoto secara bergilir mendatangi tempat-tempat pemogokan untuk memimpin sendiri dan mengobarkan semangat rakyat, dan karena aksinya itulah maka Pers Belanda memberi gelar kepadanya sebagai De Stakingskoning (Si Raja Pemogokan), (Bambang Sukawati, 1983 : 76).

Dalam masa-masa perjuangan dari tahun 1912 hingga 1933, Soerjopranoto sebagai tokoh Sarekat Islam telah mengalami tiga kali delict dan masuk penjara, ini berhubung dengan tulisan-tulisannya yang ditulis secara jelas sederhana untuk rakyat jelata tetapi sifat isinya mencela pedas dan menggugat kejahatan Kapitalisme dan Kolonialisme dengan maksud supaya cepat meluas menggugah hati rakyat memberanikan diri dalam menuntut akan hak-haknya. Pertama ia dipenjarakan di Malang (1923-3

bulan), kedua di Semarang (1926-6 bulan), ketiga kalinya di Sukamiskin Bandung, selama 16 bulan. Sebelum masuk Sukamiskin, keadaan S.I sudah berubah, kegairahannya telah menurun dan dilampaui oleh P.N.I yang didirikan oleh Bung Karno, murid Tjokroaminoto. Saat itulah Soerjopranoto mengemukakan kritiknya pada pimpinan partai bahwa dia tidak bisa menerima sikap pimpinan yang mentolerir keteledoran- keteledoran di bidang keuangan partai. Baginya pelanggaran disiplin, sekalipun itu dalam hal pengelolaan keuangan adalah pelanggaran terhadap prinsip partai. Kritiknya yang pedas dan pahit membuat Soerjo- pranoto dianggap sebagai anti-partai, memecah-belah persatuan dan pada tahun 1933 beliau diskors dari partainya (Bambang Sukawati, 1983 : 78).

Pada saat menjadi anggota S.I Soerjopranoto tidak pernah mau duduk diam, beliau memperluas aktivitas di kalangan masyarakat dengan mendirikan Arbeidsleger Adhi Dharma (Barisan Kerja Adhi Dharma) yang organisasinya disusun seperti dalam ketentaraan mulai dari pusat didirikannya Adhi Dharma di Yogyakarta sampai ke pelosok dusun dan lereng-lereng gunung. Pimpinan dan anggota-anggotanya diberi pangkat seperti dalam kemiliteran. Organisasi Adhi Dharma ini adalah suatu badan yang bekerja secara hebat di lapangan pendidikan dan di bidang perjuangan dan pembangunan sosial-ekonomi. Lapangan kerjanya ialah pendidikan ketrampilan, bursa buruh, bantuan hukum (bagi rakyat kecil yang terkena perkara di pengadilan serta biasanya karena kurang pengetahuannya selalu menjadi mangsa bagi para penipu atau pemeras), juga di bidang koperasi, dan memiliki sebuah Brigade kesehatan. Segala usaha dan langkah dari setiap bagian diarahkan kepada suatu misi, untuk meningkatkan kecerdasan dan pengetahuan rakyat, untuk meningkatkan dan menertibkan kehidupan di bidang sosial-ekonomi, dan melindungi rakyat dari pemerasan, penipuan, dan permainan-permainan busuk lainnya dari para penguasa kolonial di zaman itu (Bambang Sukawati, 1983 : 72).

Menurut catatan Soerjopranoto dikutip oleh Bambang Sukawati (1983 : 74) usaha-usaha Adhi Dharma ialah: (1) Mendirikan sekolah-

sekolah umum untuk rakyat, dan kaum miskin pada khususnya yang kurang mendapat ke-sempatan atau kurang kemampuan, yaitu dalam bentuk S.D. (H.I.S), S.M.P, Sekolah Guru dan Schakel School; (2) Mengadakan ceramah-ceramah, diskusi-diskusi soal kemasyarakatan dan pergerakan, khususnya dikalangan angkatan muda; (3) Membuka biro-biro Lembaga Bantuan Hukum, khusus diperuntukkan bagi orang-orang desa yang ketika itu lazim dianggap bodoh sehingga mudah ditipu dan diperlakukan sewenang-wenang oleh para pegawai Pangreh Praja, Polisi dan Pengadilan; (4) Mendirikan Koperasi Gotong-royong dengan nama

”Mardi Kaskaya” yang menurut kesaksian Ki Hadjar Dewantara koperasi

tersebut pernah didirikan juga oleh Soerjopranoto ditahun 1900; (5) Tentang brigade kesehatan rakyat ”Adhi Dharma” ini dapat dikatakan cukup memberi manfaat, tidak saja dalam pelayanan kesehatan, namun juga dalam meningkatkan pengertian rakyat di desa-desa dan di gunung- gunung dalam cara hidup yang sehat dan higienis; (6) Pendidikan kader dijalankan dengan baik. Dan untuk pembinaan para kader diterbitkan

kaderblad ”Medan Budiman”, dan (7) Banyak kader-kader dari

Arbeidsleger Adhi Dharma yang memencar mendirikan organisasi ini di daerah masing-masing, sehingga tumbuhlah cabang-cabang Adhi Dharma di berbagai kota di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera.

Pertumbuhan dan pengaruh Adhi Dharma yang pesat, serta aksi- aksinya yang terang-terangan dalam membela keadilan atas kesewenang- wenangan alat-alat pemerintah Hindia Belanda sampai mirip suatu aksi politik, maka arbeidsleger Adhi Dharma dilarang, kantor-kantor markas besarnya dijaga polisi untuk mencegah dan menakut-nakuti anggota- anggotanya berkunjung, para pengurusnya dibayangi oleh dinas reserse polisi dalam kehidupan sehari-hari. Pada pokoknya Barisan Kerja Adhi Dharma kena pukulan yang hebat bagi semua badan-badan pendirinya.

Setelah kesehatan Soerjopranoto berkurang karena bertambah tua, beliau terpaksa membatasi diri dalam lapangan partai untuk lebih mencurahkan tenaga-pikirannya demi kemajuan Adhi Dharma. Institut,

juga memberi kursus-kursus sore dan malam tentang ilmu pengetahuan umum (ketata-negaraan, sejarah, ekonomi, etnologi, geografi) pada orang- orang tua dan pemuda-pemuda yang kurang mampu membiayai pelajarannya tetapi mempunyai kecerdasan untuk lebih maju. Maksud beliau ialah untuk mendapatkan pengalaman guna mendirikan Universitas bagi rakyat lapisan bawah. Pada era 1942 sampai dengan 1945, karena sekolah-sekolah yang didirikan Adhi Dharma di jaman Jepang dibubarkan dan partai-partai dilarang maka beliau kemudian menjadi guru (sampai 1947) ditaman tani ”Taman Siswa” yang didirikan adiknya Ki Hajar Dewantara, juga untuk menghindari tugas-tugas dari pemerintah pendudukan Jepang (http://id.wikipedia.org/wiki/Soerjopranoto diunduh tanggal 3 Juni 2010).

Pada tanggal 15 Oktober 1959, Soerjopranoto meninggal dunia dalam usia 88 tahun di Bandung. Jenazahnya dibawa ke Yogyakarta dan pada tanggal 17 Oktober 1959 dimakamkan di makam keluarga ”Rahmat Jati” di Kota Gede, Yogyakarta. Dengan Keputusan Presiden R.I. No. 310 beliau di angkat sebagai “Pahlawan Kemerdekaan Nasional Republik

Indonesia”. Menyusul kemudian pada tanggal 18 Agustus 1960 menerima

anugerah “Maha Putra” Tingkat II Republik Indonesia (Bambang Sukawati, 1983 : 81).

b. Suwardi Suryaningrat

Raden Mas Suwardi Suryaningrat lahir pada hari Kamis Legi tanggal 2 puasa atau 2 Mei 1889 di dalam komplek Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Haryo Suryaningrat putera sulung dari Sri Paku Alam III yang menikah dengan Raden Sandiyah (Bandara Raden Ayu Suryaningrat). Dari pernikahan Pangeran ini dikaruniai delapan putera dan puteri yakni : Raden Mas Suryopranoto, Raden Mas Surjosisworo, Raden Ayu Suwartiyah Bintang, Raden Ayu Suwardinah Surjopratiknyo, Raden Mas Suwardi Suryaningrat, Raden Mas Joko Suwarto, Raden Mas Suwarman Suryaningrat, Raden Mas Surtiman

Suryo Hadiputro, dan Raden Mas Harun Al Rasyid (Darsiti Soeratman, 1985 : 9). Sedangkan Sri Paku Alam III adalah keturunan dari Sultan Hamengkubuwono II (Majelis Luhur Taman Siswa, 1987: 5). Dengan demikian Suwardi termasuk golongan bangsawan.

Sejak kecil Suwardi hidup di luar lingkungan Pura Pakualaman, karena setelah kakeknya yaitu Sri Paku Alam III meninggal yang menggantikan kedudukannya adalah kemenakannya yakni Raden Mas Nataningrat yang kemudian bergelar Sri Paku Alam IV, hal itu terjadi karena pada saat Sri Paku Alam III mangkat anaknya yang pertama yakni Pangeran Suryaningrat masih kecil dan mempunyai cacat yakni tuna netra. Oleh karena itu, dari pihak keluarga Pakualaman tidak menghendaki adanya kekosongan, maka dipilihah Raden Mas Nataningrat sebagai Sri Paku Alam IV (Darsiti Suratman, 1985: 17).

Dengan naiknya Raden Mas Nataningrat menjadi Sri Paku Alam IV, maka dengan terpaksa para janda dan putera-puteri Paku Alam III harus menyingkir dari Pura Pakualaman, tidak terkecuali Pangeran Suryaningrat dan Pangeran Sasraningrat yang merupakan anak dari permaisuri Sri Paku Alam III.

Di luar lingkungan Pakualaman, Suwardi tidak merasa iri terhadap apa yang seharusnya menjadi haknya. Suwardi lebih suka dengan kehidupan di luar kraton, sebab sejak kecil pergaulannya dengan golongan