• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pecalang Segara sebagai Model Community Based Tourism

Dalam dokumen PARIWISATA BERBASIS MASYARAKAT MODEL BALI (Halaman 26-37)

Sinergi Pecalang Segara sebagai representasi desa adat dengan pihak Yayasan Karang Lestari, ilmuwan, relawan, pengusaha, dan masyarakat dalam upaya konservasi ekosistem perairan laut dan pengembangan ekowisata terumbu karang telah menunjukkan bahwa faktor budaya (adat) justru menjadi kunci sukses program. Pertimbangan ekonomi dan pelestarian lingkungan memang penting tetapi beberapa kasus di pelestarian terumbu karang di luar negeri telah menunjukkan kegagalan karena mengabaikan inklusifitas masyarakat secara sosial dan budaya.

Penelitian Fabinyi (2010) mendapat solusi pada kasus pelestarian ekosistem perairan laut di Pemuteran ini. Model keterlibatan lembaga adat dan aturan adat dalam upaya pelestarian sumberdaya di Pemuteran ini layak dijadikan teladan bagi daerah pesisir lainnya di Indonesia dan dunia, bahkan pada kasus pelestarian sumberdaya lainnya di daerah aliran sungai, hutan, atau danau yang dapat dikembangkan selain untuk konservasi juga untuk tujuan pariwisata. Sejatinya pariwisata dan usaha pelestarian sumberdaya termasuk sumberdaya perairan tidaklah bersifat dikotomis tetapi terbuka peluang lebar untuk saling sinergitas.

Faktor pendukung keberhasilan pengembangan ekowisata yang memanfaatkan restorasi dan konservasi terumbu karang di Pemuteran yaitu:

(a) Penduduk Desa Pemuteran umumnya beragama Hindu dan mempraktekkan adat istiadat berlandaskan Tri Hita Karana yang menjunjung keselarasan hubungan antara manusia dengan Penciptanya (Tuhan), manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungan alamnya. Hal ini menjadi modal untuk menggerakkan masyarakat dalam usaha restorasi dan konservasi terumbu karang;

(b) Terlibatnya Desa Adat Pemuteran dalam program penyelamatan terumbu karang sampai menjadikannya sebagai daya tarik ekowisata melalui pembentukan Pecalang Segara;

(c) Sistem kehidupan sosial masyarakat setempat masih memegang teguh tradisi lama dan umumnya mereka mengikuti dan mematuhi tokoh-tokoh adat sebagai pemimpin adatnya;

(d) Desa Pemuteran terletak sangat strategis di pesisir utara Pulau Bali membentang tepian pantai berpasir hitam yang indah dikelilingi perbukitan di sisi selatan desa sehingga diapit laut dan bukit yang sangat indah menjadi potensi pariwisata yang menawan;

(e) Mata pencaharian sebagian masyarakatnya adalah ne-layan sehingga sangat dekat dan akrab dengan kehi-dupan pesisir dan laut;

(f) Keinginan yang dalam datang dari masyarakat untuk mengubah nasib dan kehidupannya dengan memanfaat-kan sumber daya yang tersedia sekaligus mempunyai ak-ses serta turut secara partisispatif terlibat dalam pelak-sanaan restorasi dan konservasi dan pengembangan kepariwisataan;

(g) Kemauan masyarakat lokal untuk ikut serta terlibat berpartisipasi dalam usaha restorasi dan konservasi terumbu karang untuk memperbaiki lingkungan perairan laut yang rusak di sekitar Teluk Pemuteran;

(h) Konsisi perairan laut di sekitar Pantai Pemuteran sangat cocok untuk pengembangan terumbu karang dengan temperatur berkisar antara 28-30 derajat celcius; dan (i) Fasilitas kepariwisataan yang dibangun masyarakat

cukup memadai

antaranya:

(a) Adanya pelopor penyelamat lingkungan yang memiliki visi memadukan pelestarian terumbu karang dengan us-aha menjadikan Pemuteran sebagai daya tarik ekowisata restorasi dan konservasi terumbu karang dengan aktifitas kepariwisataan yang mengikutinya seperti diving,

snor-keling, akomodasi, restoran, transportasi, dan sebagainya;

(b) Kesediaan komponen pariwisata dari luar desa untuk mendukung ide restorasi dan konservasi sebagai daya tarik wisata seperti pemerintah, biro perjalanan, akademisi, peneliti, pengusaha hotel dan restoran, masyarakat umum, dan wisatawan yang berkunjung; (c) Adanya segmen wisatawan khusus yaitu ekowisata

terlebih khusus lagi ekowisata perairan laut yang mencari tempat-tenpat penyelaman eksotis di seluruh dunia; (d) Tersedianya teknologi restorasi dan konservasi terumbu

karang baru yang menggunakan aliran listrik arus lemah (biorock) yang memungkinkan pertumbuhan terumbu karang lebih cepat dari waktu normalnya di laut alami. 8. Teladan dari Pemuteran

Pengembangan pariwisata dan upaya pelestarian sumberdaya perairan pada suatu kawasan ibarat memadukan minyak di atas permukaan air karena memiliki magnitude yang berbeda, tetapi selalu ada solusinya. Usaha pelestarian sumberdaya perairan laut dan pariwisata di Pemuteran ini membuka kunci kemungkinan dimaksud. Pecalang segara sebagai representasi Desa Adat Pemuteran yang dilengkapi seperangkat aturan adat memberikan model partisipatif lembaga adat dalam konservasi ekosistem perairan pesisir laut dan pengembangan ekowisata. Model ini mempunyai kesempatan luas untuk direplikasi dan diaplikasikan pada komunitas lainnya. Secara ringkas model ini

dapat digambarkan sebagai berikut: Pelaksanaan - Pembuatan struktur terumbu karang - Penanaman terumbu karang - Pengawasan kawasan

restorasi dan konservasi - Pelibatan pengusaha dan

wisatawan - Program pendukung lainnya 5 Pengorganisasian YKL Karang Lestarii Desa Adat Pemuteran dan Pemda pengelola pengawas Evaluasi diantara - Yayasan Karang Lestarau (YKL) - Desa Pemuteran - Dewan penasehat - Masyarakat lokal Hasil

- Telah tertanan lebih dari 500 struktur terumbu karang buatan - Terumbu karang tumbuh sehat

dan sangat indah yang menjadi daya tarik wisata - Kedatangan wisatawan sangat

menggembirakan - Geliat ekonomi lokal sangat

menggembirakan (hotel, restoran, diving, dan wisata pantai)

- Penghargaan lokal, nasional dan internasional

Usaha perbaikan

ke depan

- Belum semua masyarakat terlibat dan memperoleh manfaat langsung dari keberhasilan program - Sebagian masyarakat belum

sepenuhnya sadar akan tujuan program - Belum menerapkan

sepenuhnya konsep ekonomi hijau karena beragam kendala 4 6 7 Pengembangan restorasi dan konservasi terumbu karang dan ekowisata pantai 1 2 Perencanaan - Yayasan Karang Lestarai (YKL) - Desa Adat dan

Dinas Pemuteran - Pengusaha Pariwisata - Ilmuwan Biorock melibatkan didukung oleh Pemerintah Kab. Buleleng - Pemuteran terpencil, miskin dan masyarakat sebagai perusak lingkungan - Ada potensi restorasi dan

konservasi terumbu karang sekaligus asset wisata

Masalah awal (Latar Belakang)

3

Model Pendekatan CBT Berbasis Adat dalam Pengembangan Ekowisata Terumbu Karang di Pemuteran Bali (diadopsi dari McCawley, 2001).

Keberhasilan merestorasi terumbu karang tidak terlepas dari pengadopsian nilai-nilai lokal masyarakat di Desa Pemuteran. Program restorasi terumbu karang dengan teknologi biorock sudah dilaksanakan di belahan dunia lainnya tetapi tidak sesukses di Pemuteran. Salah satunya dikarenakan kurangnya partisipasi masyarakat lokal dalam menjaga, memelihara,

dan merasa memiliki program yang berujung pada kurangnya tanggung jawab bersama untuk menjamin suksesnya proyek tersebut. Umumnya di Bali, desa adat (termasuk di Pemuteran) memiliki seperangkat aturan adat di tingkat desa yang mengikat warganya dalam berperilaku sehari-hari. Aturan adat tersebut disebut awig-awig. Desa adat Pemuteran berperan besar dalam menginternalisasi nilai disertai pengenaan sanksi adat bagi warga yang melanggar aturan atau kesepakatan (perarem) bersama yang telah diputuskan. Taatnya masyarakat lokal terhadap kesepakatan adat yang terkait dengan upaya pelestarian terumbu karang tidak terlepas dari peran Pecalang Segara selaku pelaksana di lapangan yang memastikan tidak adanya pelanggaran.

Program restorasi terumbu karang di Desa Pemuteran secara riil memang membangkitkan geliat ekonomi masyarakatnya. Kembalinya kehidupan biota laut seperti sediakala mengundang koloni ikan datang dan menjadikan terumbu karang sebagai rumahnya. Ikan besar juga mulai berdatangan mengikuti ikan-ikan kecil yang menjadi mangsanya. Hal ini merupakan pemandangan bawah laut yang sangat eksotis dan mengundang wisatawan yang mempunai minat khusus berwisata bawah air (snorkeling dan diving) semakin banyak ke Desa Pemuteran. Kondisi ini membuka peluang usaha bagi masyarakat untuk berusaha baik yang ada hubungannya langsung dengan kegiatan ekowisata tersebut atau usaha pendukungnya.

Anggota masyarakat banyak yang membuka usaha penye-waan alat selam dan snorkeling, menjadi pemandu wisata dan pemandu selam, penyedia sarana tansportasi ke titik penyela-man atau wisata lumba-lumba. Masyarakat juga membuka usaha transportasi, trekking ke lokasi pura suci di sekitar Desa Pemuteran, membuka penginapan (home stay), warung dan restoran, tempat pijat (massage), fotografi, dan sebagainya.

Kunci sukses keberhasilan restorasi dan konservasi terumbu karang di Desa Pemuteran adalah semangat kerjasama dari beberapa pemangku kepentingan yang dipelopori oleh: (1) Yayasan Karang Lestari selaku pendiri program, (2) ilmuwan

biorock, (3) Desa Adat Pemuteran melalui Pecalang Segara,

(4) pemerintah (dari tingkat desa sampai kabupaten), dan (5) para relawan. Partisipasi ini tentu muncul karena semua elemen mendapat tempat, hak, dan tanggung jawab yang sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

Yayasan Karang Lestari berkepentingan menyelamatkan dan melindungi ekosistem perairan di Desa Pemuteran sebagai kon-tribusinya bagi pengembangan masyarakat Desa Pemuteran. Yayasan ini juga bertujuan mengeluarkan masyarakat dari bu-daya merusak menjadi penyelamat lingkungan sekaligus mem-buka wawasan masyarakat akan potensi besar yang dimiliki Desa Pemuteran yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan eko-nomi melalui ekowisata. Tentu, tujuan akhirnya adalah mencip-takan pekerjaan bagi masyarakat sekaligus pekerjaannya terse-but berkontribusi terhadap penyelamatan lingkungan. Filosofi pekerjaan seperti inilah yang sering disebut sebagai green job.

Usaha wisata diving dan snorkeling yang digabungkan dengan kegiatan penanaman terumbu karang dalam kerangka restorasi dan konservasi akan berdampak positif dari dua aspek yaitu penyelamatan terumbu karang beserta ekosistemnya dan menjadi sumber pendapatan yang ditarik dari penyewaan perlengkapan selam atau penjualan paket wisata tersebut. Kegiatan paket wisata berkebun terumbu karang (reef gardener) cukup banyak diminati wisatawan yang dipadukan dengan penangkaran penyu (turtle hatchery). Nelayan yang kebetulan menangkap penyu secara tidak sengaja dari jaring ikannya serta menemukan telur penyu di pantai bisa menjualnya ke pengelola program yang mempekerjakan penduduk setempat

membuat bak penampungan untuk penetasan telur penyu tersebut. Warga sekarang lebih memilih menjual telur penyu yang ditemukan untuk ditetaskan dan kembali dilepas ke laut daripada mengkonsumsinya. Sampai sekarang hampir 6.500 bayi penyu telah dilepas kempali ke laut Desa Pemuteran. Proses pelepasan bayi penyu ini sekaligus dijadikan sebagai atraksi wisata dan wisatawan yang ingin ikut melepasnya harus membayar untuk biaya operasional dan menggaji pegawai penangkaran. Wisatawan dan masyarakat setempat sekarang sudah sangat sadar dan peduli pentingnya melindungi penyu ini bagi keseimbangan ekosistem laut dan sekaligus menjadi sumber pendapatan karena dijadikan sebagai atraksi wisata.

Prinsip berikutnya adalah berusaha menciptakan keadilan sosial sesuai peran yang dimainkan. Rintisan usaha ini sudah dimulai dengan pembentukan Badan Pengelola Pariwisata Desa (BP2D) Desa Pekraman Pemuteran sesuai SK bersama antara Perbekel Desa Pemuteran dan Kelian Desa Pekraman Pemuteran No.15/VII/DPP /SK/2011 tanggal 29 Juli 2011. Keberadaan BP2D sangat penting bagi Desa Pekraman Pemuteran ke depannya mengingat BP2D dapat mengatur tata ruang desa sehingga pembangunan yang akan merusak ekosistem atau lingkungan dapat dicegah dan dikendalikan. BP2D juga mengatur tidak adanya pungutan-pungutan kepada pengusaha yang tidak sah yang menyebabkan biaya tinggi dan yang terpenting BP2D menjamin kelestarian dan keberlanjutan ekosistem terumbu karang dan ekosistem laut serta lingkungan di wilayah Desa Pemuteran secara umum. BP2D menjamin semua orang bisa berusaha dengan memanfaatkan potensi wisata yang ada di Pemuteran sepanjang memenuhi aturan yang telah ditetapkan (Anonim, 2012).

9. Penutup

Model pendekatan community based tourism (CBT) dalam pengembangan ekowisata terumbu karang di Pemuteran dengan jelas menunjukkan bahwa keberhasilannya sangat ditentukan oleh keberhasilan implementasi prinsip-prinsip CBT. Partisipasi masyarakat lokal merupakan suatu keharusan agar program mendapat dukungan (Breugel, 2013). Hal ini ditunjang oleh fakta bahwa program pengembangan ekowisata yang didasarkan atas usaha restorasi dan konservasi terumbu karang nyata-nyata mendatangkan keuntungan ekonomi bagi masyarakat (Goodwin dan Santilli, 2009).

Peranan adat dan budaya juga sangat menentukan (Giampiccoli dan Kalis, 2012). Tahap mentransformasi pola pikir masyarakat dari perusak sumber daya alam menjadi pelindung sumber daya alam memerlukan sentuhan budaya agar mampu menginternalisasi nilai melalui kesenian dan rapat adat. Hal ini diperkuat dengan pembentukan Pecalang Segara yang merupakan lembaga organik Desa Adat Pemuteran yang menjamin pelaksanaan program berjalan dengan baik dan memastikan semua kesepakan adat yang berkaitan dengan usaha konservasi terumbu karang dijalankan dengan baik.

Keberhasilan program juga didukung oleh adanya tokoh vi-sioner yaitu Bapak Agung Prana sebagai role model yang mem-buka wawasan masyarakat lokal mengenai nilai melestarikan sumberdaya alam adalah cara terbaik menjualnya tanpa meru-saknya dan menjamin dapat dimanfaatkan dalam jangka pan-jang tidak saja bagi generasi sekarang tetapi juga bagi generasi yang akan datang (The Mountain Institute, 2000). Hal ini juga merupakan modal kuat pengembangan usaha pariwisata seb-agaimana ditunjukkannya secara nyata di Pemuteran. Program ini juga merupakan salah satu implementasi pembangunan yang menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan (Okazaki, 2008).

Pengembangan ekowisata terumbu karang di Pemuteran juga menunjukkan bahwa usaha pelestarian sumber daya alam bukanlah diartikan secara sempit dalam artian tidak boleh dimanfaatkan selain untuk kelestariannya sendiri, tetapi pemanfaatan secara bijak dan terukur menunjukkan justru akan menguntungkan mengingat pelastarian itu sendiri memerlukan biaya untuk bisa dilaksanakan. Pemanfaatan sumber daya alam terumbu karang sebagai daya tarik wisata alam (ekowisata) merupakan cara cerdas yang dipilih karena akan memberikan peluang pendapatan sebagai sumber pembiayaan program dan untuk usaha lebih lanjut dalam konservasi terumbu karang.

Ekowisata terumbu karang yang berkembang di Pemuteran dari awalnya sebagai usaha restorasi dan konservasi juga mem-perlihatkan bahwa usaha tersebut datang, diimplementasikan, dilaksanakan, dan dikelola serta dikendalikan oleh masyarakat lokal melalui Yayasan Karang Lestari bekerja sama dengan Desa Adat Pemuteran melalui Pecalang Segara. Hal ini sangat pent-ing mengpent-ingat kepemilikan dan kontrol lokal akan merangsang partisipasi masyarakat lokal yang memperbesar peluang keber-hasilan program (Blackstock, 2005).1

Daftar Pustaka

Anonim. 2012. Profil Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Pecalang Segara Desa Adat Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Buleleng.

Azam, Mehdi dan Tapan Sarker. 2011. Green Tourism in The Context

1 Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat Prof. I Gde Pitana, M,Sc selaku Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Kemenparekraf (tahun 2013) dan sekarang sebagai Deputi Pemasaran Pariwisata Mancanegara Kementerian Pariwisata atas pendanaan awal penelitian ini. Terima kasih juga penulis haturkan kepada Dirjen Dikti yang memberikan pembiayaan lanjutan atas riset ini selama dua tahun melalui Hibah Bersaing. Terima kasih tertuju kepada Bapak Agung Prana yang telah memberikan ijin penelitian dan sangat membantu melalui staffnya memberikan waktu dan data yang diperlukan oleh peneliti. Tentu terima kasih terbesar ditujukan kepada seluruh masyaraat Desa Pemuteran yang sangat ramah dan membantu penulis selama melakukan penelitian di lapangan.

of Climate Change Towards Sustainable Economic Development in The South Asian Region. Journal of Environmental

Management and Tourism, Vol. 2 (3), pp.6-15.

Blackstock, Kirsty. 2005. A Critical Lool at Coomunity Based Tourism.

Community Development Journal, Vol. 40 (1), pp.39-49.

Bruegel, Liedewij. 2013. Community-Based Tourism: Local Partisipation and Perceived Impacts, a Comparative Study Between Two Communities in Thailand. Master Thesis. Faculty of Social Sciences Radboud University Nijmegen.

Fabinyi, Michael. 2010. The Intensification of Fishing and the Rise of Tourism: Competing Coastal Livelihoods in the Calamianes Islands, Philippines. Journal of Human Ecologys, Vol.38, pp.415-427.

Giampiccoli, Andrea dan Janet Hayward Kalis. 2012. Community-Based Tourism and Local Culture: The Case of The AmaMpondo.

Revista de Turismo y Patrimonio Cultural, Vol. 10(1),

pp.173-188.

Goodwin, Harold dan Rosa Santilli. 2009. Community-Based Tourism: a Success?. ICRT Occasional Paper 11. GTZ Germany http://www.globalcoral.org

McCawley, P. 2001. The Logic Model for Program Planning and

Evaluation. [Jurnal Online]. Internet. http://www.uiweb.

uidaho.edu/extension/ LogicModel.pdf. Diakses pada 29 September 2014.

Montemayor, Andres M.Cisneros dan U.Rashid Sumaila. 2010. A Global Estimate of Benefits from Ecosystem-Based Marine Recreation: Potentia Impacts and Implications for Management.

Journal of Bioeconomics, Vol.12, pp.245-268

Okazaki, Etsuko. 2008. A Community-Based Tourism Model: Its Conception and Use. Journal of Sustainable Tourism, Vol. 16 (5), pp.511-529.

Ekonomi Hijau dalam Pariwisata (Sebuah Telada dari Desa Pemuteran Bali). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan

Kebijakan Kepariwisataan, Badan Pengembangan Sumber Daya, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

Suryadiarta, I Ketut dan I Made Sarjana. 2012. Implementasi Ekonomi Hijau di Bidang Pariwisata: Kasus di Yayasan Karang Lestari Desa Pemuteran, Gerokgak, Buleleng, Bali. Laporan Penelitian. Kerjasana Puslitbang Kebijakan Pariwisata Badan Pengembangan Sumberdaya Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kemenparekraf RI dan PS. Agribisnis, FP UNUD.

Taggart, T. Christopher dan Mellisa S.Landry. 2010. Turtle Watching Conservation Guidelines: Green Turtle Tourism in Nearshore Coastal Environments. Journal of Biodiversity Conservation, Vol.19, pp. 305-312.

The Mountain Institute. 2000. Community Based Tourism

for Conservation and Development: A Resource Kit.

Dalam dokumen PARIWISATA BERBASIS MASYARAKAT MODEL BALI (Halaman 26-37)

Dokumen terkait