• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Eksekusi Jaminan atas Kerugian yang Diakibatkan oleh Kelalaian Mudharib di PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan

IMPLEMENTASI PRINSIP SYARIAH DALAM EKSEKUSI AGUNAN TERHADAP KERUGIAN YANG DIAKIBATKAN

B. Pelaksanaan Eksekusi Jaminan atas Kerugian yang Diakibatkan oleh Kelalaian Mudharib di PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan

Gajahmada

Pembiayaan macet adalah suatu resiko yang tidak dapat dihindari oleh setiap bank dalam pemberian pembiayaan. Hal-hal tersebut dapat disebabkan oleh tidak dipenuhinya prestasi kepada bank seperti debitur mengalami gagal usaha sehingga mengakibatkan berkurangnya pendapatan usaha debitur bahkan debitur dengan sengaja tidak bersedia membayar pembiayaan sesuai dengan perjanjian karena karakter debitur yang tidak baik. Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi

oleh para pihak dalam perjanjian. Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata ada tiga macam prestasi yang dapat diperjanjikan untuk tiap perikatan, yaitu untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat sesuatu. Sedangkan wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi kewajiban yang didasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian.

Keuntungan dan kerugian yang dialami dibagi sesuai dengan kesepakatan (nisbah) yang telah disepakati sebelumya. Karena mudharabah bukan merupakan perjanjian pinjam-meminjam dan perjanjian utang-piutang melainkan perjanjian kerjasama mengenai usaha bersama antara para pihak yang melakukan perjanjian bagi hasil dan keuntungan, tidak tepat kiranya ketika terjadi kerugian shahibul-mal meminta agunan untuk menutupi kerugiannya. Oleh karena itu apabila ternyata dalam perjanjian tersebut mengalami kegagalan maka shahibul-mal akan menanggung resiko finansial atas terjadinya kerugian sedangkan mudharib akan memikul resiko pikiran, tenaga, waktu, dan kesempatan memperoleh imbalan finansial. Agunan dalam mudharabah hanya dapat dipergunakan dengan batasan-batasan tertentu dan tidak semua kerugian dapat ditutupi dengan agunan.

Fungsi agunan pada akad mudharabah berbeda dengan fungsi jaminan pada kredit di perbankan konvensional. Fungsi agunan pada kredit adalah sebagai penjamin atas utang piutang yang terjadi antara kreditur dengan debitur, karena pada dasarnya perjanjian yang telah disepakati oleh kreditur dengan debitur adalah perjanjian utang piutang. Sedangan fungsi agunan pada akad mudharabah adalah untuk menjamin terlaksananya akad mudharabah sesuai dengan kesepakatan yang

telah dibuat sebelumnya dan untuk menjamin apabila terjadi kegagalan dalam akad perjanjian yang merupakan kesalahan mudharib.

Dengan kata lain, agunan padamudharabahditujukan untuk mencegahmoral hazard pada mudharib, mengingat dana yang dikelola mudharib sepenuhnya merupakan bersumber dari bank. Maka dari itu jika mudharib menderita kerugian yang murni bukan karena kesalahan, kelalaian dan pelanggaran kesepakatan, maka agunan tidak dapat disita.

Agunan pada akad mudharabah pada hakikatnya hanya untuk menjamin mudharib agar tidak melakukan suatu penyimpangan. Ini sesuai dengan Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan mudharabah pada angka 7 (tujuh) bagian 1 (satu) tentang Ketentuan Pembiayaan, yang berbunyi: “pada prinsipnya, dalam pembiayaanmudharabahtidak ada jaminan, namun agarmudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS (Lembaga Keuangan Syariah) dapat meminta agunan dari mudharib atau pihak ketiga. Agunan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang disepakati dalam akad”.

Aturan mengenai jaminan ini dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasar Prinsip Syariah yaitu pasal 6 huruf O yang berbunyi: “Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi resiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad karena kelalaian dan atau kecurangan”.

Ketentuan tersebut sejalan dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 07/DSN/MUI/IV/2000 tentang PembiayaanMudharabahpada bagian ketiga angka 3 yang berbunyi:

“Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan”.

Pada Bank Syariah Mandiri, eksekusi terhadap barang jaminan adalah upaya terakhir yang dilakukan dalam menangani pembiayaan macet. Menurut Ahmad Dhany selaku Area Manager Medan 2 BSM Cabang Medan Gajahmada, kegiatan operasional di Bank Syariah Mandiri dijalankan dengan prinsip syariah. Maksud perkataan dengan prinsip syariah disini artinya ketika seorang debitur tidak mampu untuk membayar pinjamannya, pihak bank tidak serta merta langsung mengeksekusi barang jaminan debitur, melainkan diusahakan terlebih dahulu dengan jalan musyawarah, apakah dengan perpanjangan waktu pembayaran ataupun dengan kebijakan-kebijakan lain yang telah ditetapkan oleh pihak bank untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Hal ini disebabkan karena salah satu tujuan pembiayaan adalah untuk membantu nasabah debitur sesuai dengan nilai-nilai syariah.184

Dalam menangani pembiayaan bermasalah, PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada selain berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan juga berpedoman kepada Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Fatwa tersebut diantaranya adalah: 1) Fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 07/DSN- 184 Wawancara dengan Ahmad Dhany Nasution, Area Manager Medan 2 Bank Syariah

MUI/IV/2000 aturan kedua poin 4b dan aturan kedua poin 4c tentang Penataan kembali (Restructuring), 2) Fatwa DSN MUI Nomor 48/2005 poin tentang Penjadwalan Kembali (Rescheduling), 3) Fatwa Nomor 49/DSN-MUI/II /2005 tentangReconditioning.

Pelaksanaan eksekusi jaminan yang telah diikat dengan Hak Tanggungan sebagai jaminan kredit, dapat diklasifikasikan dengan tiga cara, yaitu:

1) Hak pemegang Hak Tanggungan pertama dapat menjual Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUHT yang berbunyi “Apabila debitur cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.Ketentuan ini telah memberikan kepada Pemegang Hak Tanggungan pertama langsung datang kepada Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan apabila jalan damai tidak tercapai. Untuk dapat menggunakan kewenangan menjual obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan lebih dahulu dari Debitur diperlukan adanya janji Debitur yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT, dan janji itu wajib dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.185

2) Berdasarkan pada perintah Hakim Pengadilan menurut ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku. Eksekusi tersebut dilakukan berdasarkan kekuatan Grosse Akta yang berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” di dalam Sertifikat Hak Tanggungan yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap186.

3) Dilakukan di bawah tangan, maksudnya adalah penjualan obyek Hak Tanggungan berdasarkan kesepakatan dengan pemegang Hak Tanggungan, dengan cara ini akan diperoleh harga tinggi.187

185 J.Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Bandung, Citra

Aditya Bakti, 1998, hlm. 271.

186

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,Seri Hukum Harta Kekayaan Hak Istimewa, Gadai & Hipotek,Jakarta, Kencana, 2007, hlm 227.

187 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta,

Upaya-upaya yang dilakukan Bank Syariah Mandiri sebelum penjualan agunan (eksekusi) adalah sebagai berikut:188

1) Melakukan penjadwalan kembali (rescheduling) yaitu melakukan perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian pembiayaan yang berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali atau jangka waktu pembiayaan.

2) Kedua melalui persyaratan kembali (reconditioning) yaitu bank melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh persyaratan perjanjian pembiayaan. 3) Ketiga melalui penataan kembali (restructuring)yaitu bank melakukan

perubahan syarat-syarat perjanjian pembiayaan berupa pemberian tambahan pembiayaan.

4) Bank melakukan tindakan persuasif kepada nasabah debitur untuk mencari solusi dan memecahkan penyebab terjadinya pembiayaan macet.

5) Bank memberikan surat peringatan dan somasi pertama kepada nasabah debitur.

6) Jika setelah satu minggu peringatan pertama tidak ada tanggapan, maka bank akan mengeluarkan surat peringatan kedua dan ketiga.

7) Jika bank sudah memenuhi syarat dan prosedur secara administrasi dan nasabah tetap bersikap tidak kooperatif, maka bank akan melakukan eksekusi terhadap jaminan.

8) Bank akan melayangkan surat pemberitahuan lelang jaminan pada debitur dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

9) Selanjutnya akan ditindaklanjuti KPKNL dengan memberikan surat kepada debitur bahwasanya jaminan akan di lelang pada hari yang sudah ditentukan.

Berdasarkan hasil penelitian dalam pelaksanaan eksekusi agunan yang dipraktikkan oleh PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada, alur proses eksekusi agunan dapat dirumuskan dalam skema berikut ini:

188 Wawancara dengan Oscar Hutagalung, Legal Officer Bank Syariah Mandiri Cabang

Bagan Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan BANK SYARIAH MANDIRI (SHAHIBUL MAAL) NASABAH (MUDHARIB ) PERJANJIAN PEMBIAYAAN NOTARIS

PENDAFTARAN APHT DAN

PEMBUATAN SERTIFIKAT HT DI BPN PEMBUATAN APHT WANPRESTASI EKSEKUSI JAMINAN PROSES NON- LITIGASI (NASABAH KOOPERATIF) PROSES LITIGASI (NASABAH TDK KOOPERATIF) TINDAKAN PERSUASIF DENGAN PENJUALAN OBJEK JAMINAN HT DI BAWAH TANGAN ATAS KESEPAKATAN NASABAH DAN BANK PARATE EKSEKUSI LELANG MELALUI PENGADILAN EKSEKUSI LELANG KPKNL PASAL 6 jo PASAL 11 UU HAK TANGGUNGAN

Sumber: Ketentuan Internal Bank Syariah Mandiri tentang Produk dan Prinsip Pembiayan Mudharabah No. PP.M.I.II.3 tanggal 28 Desember 2007 dan Surat Edaran Pembiayaan No. 11/005/PEM tanggal 27 Januari 2009 Perihal Penanganan Pembiayaan Bermasalah.

Berikut ini adalah penjelasan alur dalam bagan di atas:

1) Tahap pertama yaitu pengikatan perjanjian pembiayaan antara nasabah dengan PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada. Dalam salah pasal tentang Hak Tanggungan, diperlukan adanya sebuah janji debitur memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang.

2) Tahap kedua yaitu pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang sudah disepakati untuk pembuatan akta sebagai bukti tentang pemberian Hak Tanggungan yang berkedudukan sebagai dokumen perjanjian kedua yang melengkapi dokumen perjanjian pokok. Terhadap isi dan format APHT disesuaikan dengan Undang- Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996.

3) Tahap ketiga yaitu pendaftaran Hak Tanggungan, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Ayat 1, 2 dan 3 menyebutkan bahwa pendaftaran bersifat imperatif yang wajib didaftarkan pada kantor pertanahan. Kewajiban PPAT sebagai pembuat APHT untuk mengirimkan APHT dan warkat lain yang meliputi surat-surat bukti yang terkait objek Hak Tanggungan dan identitas para pihak serta sertifikat atas tanah pada kantor pertanahan, selambat- lambatnya tujuh hari kerja dari penandatanganan APHT (Ayat 2) dan terhadap kewajiban Kantor Pendaftaran Tanah (KPT) sebagaimana tersebut dalam Ayat

Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 dan selanjutnya KPT menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang- Undang No. 4 Tahun 1996, terkait pihak yang menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan, fungsi sertifikat Hak Tanggungan dan terakhir terkait tindakan kantor pertanahan selanjutnya untuk mengembalikan sertifikat tanah yang berisi catatan pemberian Hak Tanggungan kepada pemegang hak tanah (debitur) serta memberikan sertifikat Hak Tanggungan kepada Bank Syariah Mandiri selaku kreditur.

4) Tahap kelima yaitu apabila nasabah terbukti melakukan wanprestasi kepada bank dengan sudah diupayakan penyelamatan terhadap perjanjian pembiayaan oleh bank, maka bank selaku pemegang sertifikat jaminan Hak Tanggungan dapat melakukan eksekusi pada sertifikat Hak Tanggungan.

5) Proses Litigasi ditempuh apabila nasabah tidak bersikap kooperatif. Pertama lewat Pengadilan Negeri, Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada meminta fiat eksekusi kepada pengadilan untuk memproses dan mengurusinya dari pra lelang sampai proses lelang. Menurut Oscar Hutagalung,189 faktor khusus yang menyebabkan bank mengambil langkah litigasi melalui Pengadilan Negeri adalah mudharib tidak menunjukkan sikap kooperatif dalam setiap bertemu dengan petugas bank, dari sisi finansialnya debitur cukup mampu melaksanakan kewajibannya, dan dalam hal upaya paksa

189 Legal OfficerBank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada, wawancara pada tanggal

debitur tidak mematuhi apa yang telah disepakati, misalnya debitur tidak melakukan pengosongan obyek Hak Tanggungan padahal sudah disepakati di awal perjanjian pembiayaan. Kedua, Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada langsung melakukan lelang dengan mendaftarkannya ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) tanpa melalui proses pengadilan. Bank memilih mendaftarkan ke KPKNL karena biaya terjangkau, jangka waktu relatif lebih singkat yaitu minimal tiga bulan, sehingga masih memberikan toleransi waktu kepada debitur dalam rangka menyelesaikan kewajiban-kewajibannya.

6) Proses Non litigasi, dilakukan apabila nasabah bersikap kooperatif. Bank melakukan pendekatan (persuasif) terhadap debitur wanprestasi, dengan memberikan saran kepada debitur agar mencari pembeli atas tanah dan bangunan yang bersangkutan dengan jalan dijual dibawah tangan agar dapat tercapai penjualan dengan harga tertinggi sehingga dapat menguntungkan kedua belah pihak.

BAB V

Dokumen terkait