• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D. Putusan dan Pelaksanaan Putusan

2. Pelaksanaan Putusan

a. Hakikat Pelaksanaan Putusan

Suatu perkara diajukan oleh pihak pemohon kepada mahkamah konstitusi adalah untuk mendapat pemecahan atau penyelesaian sebagaimana mestinya. Pemeriksaan perkara memang diakhiri dengan putusan. Akan tetapi, dengan dijatuhkannya putusan saja belumlah selesai persoalannya karena putusan tersebut haruslah dilaksanakan terlebih dahulu. Suatu putusan tidak ada artinya apabila tidak dilaksanakan karena berarti hak-hak pihak pemohon belum dapat dipulihkan secara nyata sebagaimana yang diharapkan.

Pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi pada hakikatnya tidak lain ialah realisasi dari kewajiban pihak-pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut. Pada asasnya putusan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Dalam hukum acara pada umumnya, yang disebut putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah putusan

67 yang sudah tidak dimungkinkan untuk diajukan upaya hukum biasa, baik verzet, banding, maupun kasasi karena telah melewati tenggang waktu 14 hari sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Hal yang membedakan dengan putusan mahkamah konstitusi adalah bahwa putusan mahkamah konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap dan bersifat final, sejak putusan dibacakan oleh majelis hakim konstitusi dalam persidangan.

Menurut ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, putusan mahkamah konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam siding pleno terbuka untuk umum. Di samping itu, dalam undang-undang mahkamah konstitusi tidak diatur tentang lembaga upaya hukum maupun mekanismenya bagi pihak yang merasa tidak puas atau dirugikan terhadap putusan mahkamah konstitusi. Oleh karena itu, putusam mahkamah konstitusi merupakan upaya yang pertama (the first resort) sekaligus sebagai upaya yang terakhir (the last resort) bagi para pencari keadilan.

Dengan demikian, sejak putusan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum, maka putusan mahkamah konstitusi menjadi bersifat final, defenitif, dan langsung mempunyai akibat hukum. Daya mengikat putusan mahkamah konstitusi bersifat “erga omnes”, yaitu memiliki kekuatan hukum yang mengikat tidak hanya mengikat pihak-pihak yang berperkara, tetapi juga mengikat pihak lain.

68 b. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi

Tentang tata cara pelaksanaan putusan mahkamah konstitusi tidak diatur secara khusus dalam udang-undang mahkamah konstitusi. Meskipun demikian, mengenai tata cara pelaksanaan putusan mahkamah konstitusi dapat disimpulkan dari ketentuan pasal-pasal dalam undang-undang mahkamah konstitusi maupun dari prinsip-prinsip eksekusi putusan pengadilan pada umumnya, terutama dalam eksekusi putusan pengadilan administrasi.

Seperti diketahui bahwa hukum acara mahkamah konstitusi hendak melaksanakan hukum materil dari mahkamah konstitusi yang bersifat hukum publik. Oleh karena itu, hukum acara mahkamah konstitusi juga tunduk pada asas-asas hukum publik, termasuk mengenai tata cara eksekusi atau pelaksanaan putusannya juga hampir sama dengan hukum acara peradilan administrasi.

Sebagaimana putusan peradilan administrasi pada umumnya, putusan mahkamah konstitusi memiliki daya ikat yang bersifat “erga omnes”. Untuk melaksanakan putusan mahkamah konstitusi tidak diperlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang, kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.

Demikian pula cara pelaksanaan putusan mahkamah konstitusi adalah pelaksanaan putusan yang bersifat otomatis, yaitu sejak putusan mahkamah konstitusi dibacakan dalam persidangan atau dalam tenggang waktu tertentu

69 termohon tidak memenuhi putusan mahkamah konstitusi, maka dengan sendirinya putusan mahkamah konstitusi tersebut langsung mengikat dan mempunyai akibat hukum.

Dalam perkara permohonan pengujian undang-undang misalnya, apabila ketentuan undang tersebut dinyatakan bertentangan dengan undang-undang dasar oleh mahakmah konstitusi, dengan sendirinya akan hilang kekuatan hukumnya dan tidak lagi mengikat. Dalam putusan mahkamah konstitusi yang menyatakan termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan, dalam waktu 7 hari pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan, dalam waktu 7 hari pelaksanaan kewenangan termohon batal demi hukum.

Dalam hal putusan mengabulkan permohonan pembubaran partai politik atau dalam perkara perselisihan tentang hasil pemilihan umum, pelaksanaan putusan dilakukan dengan membatalkan pendaftaran pada pemerintah atau membatalkan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil perhitungan suara yang benar. Selanjutnya, apabila putusna mahakmaha konstitusi menyatakan membenarkan pendapat DPR, mahkamah konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum seperti yang dituduhkan.

Oleh karena itu, tidak perlu lagi ada tindakan-tindakan atau upaya-upaya lain dari mahkamah konstitusi, misalnya surat peringatan dan

70 sebagainya. Selain itu, yang khas dari hukum acara mahkamah konstitusi adalah tidak dikenalnya lembaga pengeksekusi. Dengan demikian, putusan mahkamah konstitusi langsung dapat dilaksanakan serta mengikat, tanpa harus ada lembaga pengeksekusi. Jadi, cara eksekusi putusan seperti ini disebut eksekusi otomatis65.

Pada dasarnya eksekusi putusan mahkamah konstitusi lebih menekankan self respect dan kesadaran hukum bagi pihak-pihak yang berperkara untuk melaksanakan putusan secara sukarela tanpa adanya upaya pemaksaan (dwang midelen) yang langsung dapat dirasakan dan dikenakan oleh pihak mahkamah konstitusi terhadap pihak-pihak bersangkutan.

Meskipun demikian, tata cara pelaksanaan putusan seperti ini mempunyai beberapa kelemahan dan kekurangan karena normativasi hukum tidak cukup hanya sekedar memuat perintah dan larangan. Di balik larangan terutamanya harus ada ketentuan sanksi atas ketidakpatuhan. Sanksi hukum sampai saat ini masih merupakan alat yang paling ampuh untuk menjaga wibawa hukum atau dengan kata lain agar setiap orang patuh terhadap hukum. Ketidakpatuhan pihak-pihak yang berperkara untuk melaksanakan putusan mahkamah konstitusi sediki banyak dapat mempengaruhi

65

Sutiyoso, Bambang. 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hlm. 162

71 kewibawaan mahkamah konstitusi, pelecehan terhadap mahkamah konstitusi, dan bukan mustahil jika ketidakpatuhan itu terjadi berulang-ulang, masyarakat semakin tidak percaya kepada mahkamah konstitusi, dan apabila masyarakat cenderung melanggar hukum, bukanlah merupakan perbuatan yang berdiri sendiri.

Dalam kaitan ini misalnya, pimpinan peradilan bersikukuh menolak putusan mahkamah konstitusi, yaitu tetap tidak mengakui organisasi advokat lain selain yang disebutkan di dalam Undang-Undang Advokat. Padahal, sudah ada putusan mahkamah konstitusi yang menyatakan bahwa penyebutan delapan organisasi advokat di dalam undang-undang tidak bersifat limitatif.

Seperti diketahui, bahwa berdasarkan putusan yang dibacakan majelis hakim mahkamah konstitusi pada tanggal 18 oktober 2004 sehubungan dengan permohonan judicial review terhadap undang-undang nomor 18 tahun 2003 yang diajukan APHI menyatakan bahwa penyebutan delapan organisasi advokat di dalam pasal 32 ayat (3) tidak bersifat limitatif, tetapi terbuka pada organisasi advokat lain yang telah terbentuk sebelum undang-undang a quo diundang-undangkan. Sejak keluarnya putusan mahkamah konstitusi tersebut sampai sekarang, peradilan tidak pernah menanggapi permintaan agar keberadaan APHI diakui dan menjadi bagian peradilan. Padahal, pihak APHI telah mengajukan surat berkaitan dengan permohonan tersebut sebanyak dua kali, yaitu pada 2004 dan terakhir pada April 2005.

72 Sementara itu, Wakil Ketua Umum Peradi, Indra Sahnun Lubis Indra dengan tegas menyatakan tetap menolak masuknya APHI menjadi organisasi advokat ke Sembilan di Peradi. Pasalnya, dia khawatir jika Peradi sudah mengakomodir APHI, akan banyak organisasi advokat lain yang minta untuk diperlakukan serupa.

73 BAB 3

Metedologi Penelitian

Dokumen terkait