• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS TERHADAP KELEMBAGAAN

B. Pelaksanaan Sidang Tahunan MPR

Setelah adanya Perubahan UUD 1945, Pasal 1 ayat (2) mengalami perubahan yaitu, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan adanya perubahan tersebut MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara melainkan sederajat dengan lembaga-lembaga negara lainnya.104 Kewenangannya pun hanya sebatas mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden, dan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.105

Namun, akhir-akhir ini muncul gagasan untuk menguatkan peran MPR, mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara bahkan akan kembali menggunakan GBHN sebagai arah pembangunan nasional yang dulu menjadi wewenang MPR menetapkannya. Penguatan peran MPR kini sudah mulai nampak dengan dihidupkannya kembali tradisi Sidang Tahunan MPR, dengn cara ini kinerja Presiden dan lembaga-lembaga negara lainnya dapat dikontrol dan berfungsi sebagai checks and balances.

Dalam negara yang demokratis dimana rakyat berhak menentukan kebijakan, melaksanakan kebijakan dan mengawasi

104 Oleh Philipus M. Hadjon dikatakan bahwa perubahan ketiga (Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 3 UUD 1945) membawa konsekuensi fundamental terhadap kedudukan dan fungsi MPR.

Perubahan terhadap Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 telah menggusur doktrin supremasi MPR yang telah menjadikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara secara inkonstitusional.

Salmon E.M.Nirahua, “Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 18 No.

4, Yogyakarta, Oktober 2011, hlm. 587. Dalam hal ini Moh. Mahfud MD menegaskan, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara, sebab sekarang tidak ada lagi lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara yang dibedakan secara vertikal-struktural, yang ada sekarang adalah lembaga negara yang dibedakan secara horizontal-fungsional saja. Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Cetakan ke 2,(

Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 53.

105 Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 Setelah Perubahan

kebijakan, maka sudah tentu rakyat melalui wakilnya berhak mendengar dan menilai kinerja dari masing-masing lembaga negara sebagai bentuk laporan kinerja atas pelaksanaan tugas (progress report) yang diamanatkan melalui UUD dan haluan negara. Selama ini, rakyat tidak pernah mengetahui bagaimana lembaga-lembaga negara yang juga melaksanakan amanat penderitaan rakyat melalui pemilihan langsung telah melakukan tanggung jawabnya masing-masing sesuai tugas pokok dan fungsinya.

Kinerja lembaga-lembaga negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya perlu disampaikan kepada rakyat supaya rakyat mengetahui sejauhmana lembaga-lembaga negara sebagai pelaksana kedaulatan rakyat telah menjalankan tugas dan kewenangannya sesuai amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejatinya rakyat harus diberikan ruang untuk mendengarkan dan mengevaluasi kinerja kelembagaan pemerintahan atau negara dimana pejabat tersebut bekerja. Diperlukan sebuah forum dalam rangka mengawal proses akuntabilitas publik. Hal ini disebabkan penyampaian laporan kinerja masing-masing lembaga negara tersebut tidak mungkin disampaikan secara langsung kepada rakyat. Akan tetapi, melalui sebuah sistem perwakilan, yakni dilakukan oleh para penyelenggara negara dan disampaikan dalam sebuah forum permusyawaratan.

MPR sebagai lembaga yang mewadahi unsur perwakilan politik dan perwakilan daerah secara kelembagaan merupakan suatu forum rakyat Indonesia yang memiliki legitimasi untuk memantau kesesuaian antara jalannya pemerintahan oleh seluruh lembaga negara dan tujuan negara yang didasarkan pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Kedudukan tersebut akhirnya menempatkan MPR sebagai satu-satunya lembaga yang dianggap tepat untuk mendengarkan laporan kinerja masing-masing lembaga negara.

Agenda mendengarkan laporan kinerja ini bisa dilaksanakan melalui forum yang merepresentasikan kedaulatan rakyat yaitu melalui agenda Sidang Tahunan MPR. MPR mengadakan sidang tahunan tentu dalam kapasitasnya untuk menjaga dan memperkokoh kedaulatan rakyat.

Pada dasarnya UUD NRI Tahun 1945 telah menyatakan bahwa

“Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara”. Dengan frasa “sedikitnya sekali dalam lima tahun” mengandung arti dimungkinkan sekali MPR bersidang

lebih dari sekali dalam lima tahun seperti setiap tahun. Frasa tersebut memiliki kemungkinan untuk diubah sesuai dengan penyelenggaraan sidang MPR sebagai media penyampaian laporan kinerja masing-masing lembaga negara. Namun demikian, harus ada satu pengertian bahwa sidang tahunan MPR ini tidak dimaksudkan untuk menilai atau meminta pertanggungjawaban lembaga-lembaga tinggi negara oleh MPR apalagi sebagai sarana untuk menjatuhkan suatu lembaga negara tertentu, melainkan sidang tahunan ini hanya sebatas media formal prosedural untuk menyampaikan laporan kinerja pelaksanaan tugas lembaga tinggi negara kepada rakyat terkait dengan roadmap pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh setiap lembaga-lembaga tinggi negara.

Ketentuan terkait sidang tahunan ini pun telah diatur dan diakomodir dalam pasal 155 ayat (1) Peraturan MPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib MPR yang menyatakan :

“Untuk menjaga dan memperkokoh kedaulatan rakyat, MPR dapat menyelenggarakan sidang tahunan dalam rangka mendengarkan laporan kinerja lembaga negara kepada publik tentang pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Lembaga negara yang dimaksud adalah lembaga negara utama (main state body) ialah lembaga negara yang masing-masing tugas dan kewenangan tersebut telah ditentukan dalam UUD NRI Tahun 1945. Main State Body ini yang terdiri dari MPR, DPR, DPD, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Komisi Yudisial.

Oleh sebab itu, sidang tahunan yang diselenggarakan oleh MPR in semata-mata merupakan forum formal untuk menyampaikan laporan kinerja lembaga tinggi negara sebagai wujud pertanggung jawaban terhadap rakyat. Dalam artian lain, sidang tahunan MPR ini sebagai media formal prosedural bagi transparansi dan akuntabilitas lembaga tinggi Negara di Indonesia.

Sidang tahunan MPR merupakan salah satu mekanisme dalam menciptakan penyelenggaraan negara yang akuntabel.

Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi harus mengetahui kinerja apa saja yang telah dilakukan oleh masing-masing lembaga negara. Oleh karenanya diperlukan sebuah wadah atau forum

untuk menyampaikan laporan kinerja lembaga negara. Wadah yang paling tepat untuk forum ini tidak lain adalah MPR sebagai sebuah lembaga Permusyawaratan rakyat.

Akan tetapi dalam faktanya, penyampaian laporan kinerja masing-masing lembaga negara ini belum sesuai dengan yang diharapkan. Laporan kinerja lembaga negara yang pada awalnya disepakati oleh masing-masing lembaga negara untuk menyampaikan kinerjanya, tetapi hanya diwakili oleh Presiden.

Penyebabnya belum ada kesepahaman dalam menafsirkan peraturan MPR No. 1 tahun 2014 tentang tata tertib MPR apakah berlaku mengikat kedalam saja ataukah juga berlaku megikat keluar terhadap masing-masing lembaga negara. Hal ini juga dipengaruhi belum seragamnya pemahaman tentang kedudukan masing-masing lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia serta tujuan apa yang hendak dicapai dari sidang tahunan yang akan dilaksanakan.