• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam UUPK dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak ini akan menjadi lebih mudah diperoleh jika konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara patut. Hanya saja kewajiban konsumen ini, tidak cukup untuk maksud tersebut jika tidak diikuti oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha.32

2. Pelaku Usaha

a. Pengertian Pelaku Usaha

Pengertian pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 1 Angka 3 UUPK, yaitu:

“pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Pengertian pelaku usaha dalam pasal 1 angka 3 UUPK cukup luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya.cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam UUPK tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam Masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang

25 dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah: pembuat produk jadi (finished product); penghasil bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu, importir suatu produk dengan maksud untuk dijualbelikan, disewakan, disewagunakan

(leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan; pemasok (suplier), dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditemukan.33

Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut, akan memudahkan konsumen menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan produk tidak begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak pihak yang dapat digugat, namun akan lebih baik lagi seandainya UUPK tersebut memberikan rincian sebagaimana dalam Directive, sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa ia akan mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk.34

33 Ibid. hlm. 8-9.

26 Dalam Pasal 3 Directive ditentukan bahwa: 35

1. Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang nama, mereknya atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen;

2. Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang yang mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau untuk leasing, atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha perdagangannya dalam Masyarakat Eropa, akan dipandang sebagai produsen dalam arti Directive ini, dan akan bertanggung gugat sebagai produsen.

3. Dalam hal produsen suatu produk tidak dikenal identitasnya, maka setiap leveransir/supplier akan bertanggung gugat sebagai produsen, kecuali ia memberitahukan orang yang menderita kerugian dalam waktu yang tidak terlalu lama mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam kasus barang/produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan tidak menunjukkan identitas importir sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) sekaligus nama produsen dicantumkan.

27 Istilah pelaku usaha adalah istilah yang digunakan oleh pembuat undang-undang yang pada umumnya lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebut empat kelompok besar kalangan pelaku ekonomi, tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun publik). Ketiga kelompok pelaku usaha tersebut adalah sebagai berikut: 36

1. Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulak, penyedia dana lainnya, dan sebagainya. 2. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi

barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong, dan bahan-bahan lainnya). Mereka terdiri atas orang atau badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/badan yang memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha yang berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan, narkotika, dan sebagainya; 3. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki

28 lima, warung, toko, supermarket, hypermarket, rumah sakit, klinik, warung dokter, usaha angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara dan sebagainya.

Sebagai penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas akibat-akibat negatif berupa kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya terhadap pihak ketiga, yaitu konsumen, sama seperti seorang produsen.37 Meskipun demikian konsumen dan pelaku usaha ibarat sekeping mata uang dengan dua sisinya yang berbeda.38

b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Adapun hak pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 6 UUPK, yaitu:

“Hak pelaku usaha adalah:

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.”

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang 37 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 17.

38 Az. Nasution, Konsumen dan Hukum Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum

pada Perlindungan Konsumen di Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.

29 diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang memadai menururt harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktek yang biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.39

Sedangkan kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 UUPK, yaitu:

“Kewajiban pelaku usaha adalah:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaa, perbaikan, dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduski dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian

apabilabarang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.” Dalam UUPK pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen,

30 diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.40

Dalam UUPK tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaiknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan pelaku usaha mulai pada saat melakukan transaksi dengan pelaku usaha.41

Tentang kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi disamping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat

40 Ibid, hlm. 54.

31 informasi), yang akan sangat merugikan konsumen.42

Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa intruksi.43

c. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha

Sebagai upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang dan/atau jasa, maka UUPK menentukan berbagai larangan bagi pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17. Dalam pasal 8 dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang dapat membahayakan konsumen dan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Pasal 9 menjelaskan tentang larangan bagi pelaku usaha dalam menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar. Sama dengan ketentuan Pasal 9 UUPK, Pasal 10 UUPK juga menjelaskan tentang larangan bagi pelaku usaha untuk menawarkan,

42 Ibid, hlm. 54-55.

32 mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan atas barang dan/atau jasa tertentu. Pada intinya Pasal 9 dan Pasal 10 UUPK ini merupakan bentuk larangan yang tertuju pada perilaku pelaku usaha dalam menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa secara tidak benar.

Pasal 11 menjelaskan tentang larangan bagi pelaku usaha untuk mengelabui atau menyesatkan konsumen dalam hal penjualan yang dilakukan dengan cara obral atau lelang dengan menyatakan bahwa barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan standar mutu dan seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi, dan tidak menyediakan barang dan/atau jasa dalam jumlah yang cukup dengan maksud untuk menjual barang dan/atau jasa yang lain, serta menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.

Pasal 12 menjelaskan tentang larangan bagi pelaku usaha dalam menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, dan bermaksud untuk tidak melaksanakannya. Sedangkan dalam Pasal 13 dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa serta obat, obat

33 tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan menjanjikan hadiah berupa barang dan/atau jasa dan bermaksud untuk tidak memberikan sebagaimana yang dijanjikan.

Pasal 14 menjelaskan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau/jasa dengan memberikan hadiah melaui cara undian dilarang untuk tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan, tidak mengumumkan hasilnya melalui media massa, memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan, dan mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan. Pasal 15 menjelaskan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan barang dan/atau jasa dengan cara pemaksaan atau dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis bagi konsumen. Sedangkan dalam Pasal 16 dijelaskan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk tidak menepati pesanan dan janji atas suatu pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan. Pasal 17 menjelaskan bahwa pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang mengelabui konsumen dan mengungkapkan hal-hal yang tidak benar serta melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

34 d. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Berdasarkan Pasal 19 UUPK, tanggung jawab pelaku usaha yaitu:

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengomsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan;

2. Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha, meliputi: 44

1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;

2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran, dan 3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.

Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami oleh konsumen.45

44 Ibid, hlm. 125-126.

35 C. Zat Aditif Makanan