• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelanggaran Administrasi yang Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) dan Proses Penyelesaiannya

TEMPAT/ WAKTU/PERISTIWA/URIAAN KEJADIAN/PELAPOR /TERLAPOR/ SAKSI DAN ALAT BUKTI

C. Pelanggaran Administrasi yang Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) dan Proses Penyelesaiannya

Jika kita hanya melihat pada bunyi Pasal 73 ayat (3) jo Pasal 73 ayat (1) UU Pemilihan maka dapat dibaca bahwa "Calon yang terbukti melakukan pelanggaran menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara/ Pemilih" maka dapat dijatuhi sanksi administratif pelanggaran berupa pembatalan sebagai calon. Tidak ditentukan di Pasal 73 itu bagaimana sifat dari pelanggaran tersebut, apakah cukup sekali atau lebih dari sekali, apakah sistematis ataukah tidak, dan sebagainya. Namun kemudian berdasarkan penafsiran logis/sistematis kita harus mengaitkannya dengan Pasal 135A UU Pemilihan yang menyatakan

154

bahwa: " Pelanggaran administrasi Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) merupakan pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Khusus berkaitan dengan pelanggaran administrasi tersebut maka berdasarkan Pasal 135A jo Pasal 73 UU Pemilihan maka Bawaslu Provinsi menerima, memeriksa, dan memutus pelanggaran administrasi Pemilihan tersebut dalam jangka waktu 14 hari kerja.

Berkaitan dengan proses penyelesaian pelanggaran dalam Pasal 73 itu dan berdasarkan perintah dari Pasal 135A UU Pemilihan, maka Bawaslu mengeluarkan Peraturan Badan Pengawas Pemilu No 9 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang terjadi secara Terstruktur, Sistematis dan Masif.

Menurut Pasal 1 angka 8 Perbawaslu No 9 Tahun 2020 ini, pelanggaran Administrasi Pemilihan yang terjadi secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif yang selanjutnya disebut Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM adalah pelanggaran administrasi terkait larangan memberikan dan/atau menjanjikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih yang dilakukan oleh calon dalam Pemilihan.

Pasal 4 ayat (1) Perbawaslu No 9 Tahun 2020 menyatakan bahwa: " Objek penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 merupakan perbuatan calon berupa menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif." Pasal 4 ayat (2) Perbawaslu ini menyatakan bahwa: Terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara Pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama; b. pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi; dan c. dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil Pemilihan bukan hanya sebagian- sebagian.

155

Tampaknya Pasal 4 ayat (2) Perbawaslu No 9 Tahun 2020 itu menjelaskan pengertian dari Pelanggaran yang Terstruktur dengan : kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara Pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama; Pelanggaran yang Sistematis dengan: pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi; dan Pelanggaran yang Masif dengan: dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil Pemilihan bukan hanya sebagian- sebagian.

Menurut hemat Ahli, kita dapat melihat bagaimana perkembangan signifikansi pengaturan soal pelanggaran yang TSM kembali ke tahun 2008 hingga 2011 dan seterusnya, yakni ketika Mahkamah Konstitusi menyelesaikan perkara perselisihan hasil Pilada, khususnya pasca Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur dan lain-lainnya. Pada masa tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menangani sengketa Pilkada telah menciptakan terobosan guna memajukan demokrasi dan melepaskan diri dari kebiasaan praktik pelanggaran sistematis, terstruktur, dan masif (STM). MK tidak hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara tetapi juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan. sepanjang 2008-2011 MK telah mengabulkan sengketa Pilkada sebanyak 32 (tiga puluh dua) perkara. Dari jumlah tersebut yang bersifat STM sebanyak 21 (dua puluh satu) perkara. Sedangkan sifat TSM dalam putusan-putusan tersebut terbagi menjadi 2 (dua) yaitu kumulatif dan alternatif dimana keduanya dapat membatalkan hasil Pilkada. Terdapat 3 (tiga) jenis pelanggaran dalam Pilkada, pertama, pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh terhadap hasil suara Pemilukada. Kedua, pelanggaran dalam proses Pilkada yang berpengaruh terhadap hasil Pilkada, Ketiga, pelanggaran terkait persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur. Pelanggaran Pilkada yang bersifat TSM merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun aparat penyelenggara Pilkada secara kolektif bukan aksi individual, direncanakan secara matang (by design) dan dampak pelanggaran ini

156 sangat luas bukan sporadis.

Berdasarkan berbagai putusan dari Mahkamah Konstitusi, ada beberapa pelanggaran yang memenuhi syarat sebagai pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif, misalnya Putusan MK No. 41/PHPU.D-VIII/2010, Putusan MK No. 22/PHPU.D-VIII/2010, dan yang merupakan “landmark decision” yakni Putusan MK No. 41/PHPU.D-VI/2008. Setelah Putusan MK No. 41/PHPU.D-VI/2008 itulah kemudian banyak permohonan PHPU di MK menggunakan alasan adanya pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Mengenai pelanggaran masif ini, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi juga ditegaskan bahwa pelanggaran masif itu harus dilakukan secara luas. Dilihat dari segi perbandingan, hal ini juga sesuai. Sebagai contoh, di dalam kasus-kasus sengketa Pemilu Malaysia, hanya apabila pelanggaran dilakukan secara luas dan hal itu terbukti dilakukan, maka baru bisa dianggap mempengaruhi hasil pemilunya. Sebagai perbandingan yang lain, dalam kasus-kasus Pemilu di Amerika Serikat, apabila terjadi pelanggaran yang begitu luas dan merusak untuk dapat menghancurkan keadilan dan persamaan hak dalam pemilihan maka bisa disebut adanya pelanggaran yang masif.

Lalu, apa pelanggaran yang bersifat Sistematis, Terstruktur dan Massive itu? Akan dimulai dari uraian mengenai Pelanggaran yang Terstruktur , Sistematis, dan kemudian Masif.

Pelanggaran yang Terstruktur

Ahli memiliki pemahaman yang sedikit berbeda dengan pengertian yang selama ini ada baik dalam Putusan MK maupun dalam Perbawaslu No 9 Tahun 2020 dimana diartikan bahwa: pelanggaran yang terstruktur itu adalah pelanggaran yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun aparat penyelenggara Pemilihan secara kolektif bukan aksi individual. Menurut hemat Ahli, kata terstruktur itu tidak hanya pelanggaran yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun aparat penyelenggara Pemilihan. Melainkan oleh siapa saja

157

yang memiliki sifat ada strukturnya, ada pembagian tugas atau peranannya, jadi hal itu bisa dilakukan oleh aparat pemerintah atau aparat penyelenggara Pemilihan, bisa juga oleh mereka yang terlibat dalam suatu organisasi atau asosiasi atau kelembagaan yang memiliki struktur atau pembagian tugas/ kerja. Meskipun memang, jika pelanggaran yang terstruktur ini dilakukan oleh aparat pemerintah dan penyelanggara pemilihan maka dampaknya bisa jauh lebih berbahaya dan merugikan dalam konteks pemilihan. Ada komponen-komponen atau sub-struktur yang bekerja melakukan pelanggaran di berbagai level dan di berbagai tempat sesuai pembagian kerjanya masing-masing. Pelaku-pelaku pelanggaran melakukan pelanggaran dengan arahan dan pola yang jelas dari struktur tertentu (baik yang formal maupun informal sifatnya). Mereka bekerja secara sistematis dan tidak bekerja sendiri-sendiri. Semua komponen yang melakukan pelanggaran bekerja untuk mencapai tujuan yang sama.

Pelanggaran yang Sistematis

Pelanggaran pemilu/ Pemilihan yang sistematis dapat dimaknai terjadi pelanggaran yang tidak secara kebetulan. Pelanggaran tidak berlangsung secara sendiri-sendiri tanpa aturan dan perencanaan, melainkan dilakukan secara terencana (by design). Pelanggaran yang sistematis mengindikasikan adanya rencana secara sistematis melalui pengorganisasian atau struktur yang rapi dan dilakukan dengan pembagian tugas yang jelas. Apabila pelanggaran yang terjadi hanya pelanggaran dari masing-masing pelaku secara sendiri-sendiri, tanpa struktur dan pengorganisasian yang jelas, masing-masing mencari tujuannya sendiri-sendiri, maka semestinya ini tidak masuk dalam pengertian pelanggaran pemilu yang sistematis.

Pelanggaran yang Masif

Ahli memahami pelanggaran pemilu/ pemilihan yang Masif ini sebagai pelanggaran yang terjadi dalam skala luas yang karena luasnya maka hasil pemilu bisa menjadi terpengaruh. Tetapi pelanggaran yang terjadi dalam skala luas itu mesti dapat

158

dibuktikan, tidak hanya berdasarkan asumsi dan perkiraan. Pertanyaannya, seberapa luas terjadinya pelanggaran ini untuk bisa dikatakan sebagai pelanggaran yang masif? Baik UU Pemilihan maupun Perbawaslu No 9 Tahun 2020 tidak menjelaskan secara detail seberapa luas. Perbawaslu memberikan batasan secara kualitatif yakni: "dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil Pemilihan bukan hanya sebagian- sebagian."

Menurut hemat Ahli, pengertian Masif jika dikaitkan dengan "pengaruhnya terhadap hasil Pemilihan" hanya relevan dalam konteks Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan yang arahnya adalah menjaga Integritas Hasil Pemilihan. Hal ini menjadi Otoritas MK untuk membuktikan ada atau tidaknya pengaruh dari pelanggaran yang demikian luas dan mempengaruhi hasil Pemilihan itu. Sedangkan pelanggaran yang Masif dalam konteks Pasal 73 jo Pasal 135A UU Pemilihan harus didudukkan sebagai suatu pelanggaran administrasi Pemilihan guna menjaga integritas proses pemilihan. Oleh sebab itu, seharusnya pengertian Masif yang ada dalam putusan-putusan MK (dimana masif harus mempengaruhi hasil) tidak harus diadopsi secara persis ke dalam Perbawaslu dalam menjelaskan Pasal 73 dan Pasal 135A UU Pemilihan, sebab konteksnya putusan-putusan MK itu adalah dalam memutus perselisihan hasil. Jadi fokusnya pada integritas hasil.

Dengan demikian, menurut hemat Ahli, cukup jika pelanggaran dilakukan secara luas, tidak hanya terjadi di satu, dua, atau beberapa tempat, melainkan di banyak tempat, misalnya di setengah lebih wilayah provinsi atau kabupaten/kota. Atau mungkin juga terjadi kurang dari setengah wilayah provinsi atau kabupaten/kota namun demikian luasnya terjadi di banyak desa/kelurahan atau nama lainnya. Pelanggaran di sejumlah tempat yang luas itu, bisa dikatakan telah merusak integritas proses Pemilihan.

- Bahwa Ada 2 isu yang ditanyakan tentang ajaran” kesalahan dalam hukum khususnya pidana dan ajaran penyertaan” ini teori hukum pidana perlu dikemukakan karena persolan yang

159

kita hadapi masuk dalam hukum administrasi dan tindak pidana.

- Bahwa Ajaran kesalahan intinya dalam suatu tindak pidana sebetulnya ada tiga hal pokok : perbuatan pidana, pertanggungjawaban pidana dan sanksi pidana. Kalau dibatasi dengan pertanyaan yang diajukan pelapor.

- Bahwa Kesalahan dalam arti luas, meliputi sengaja (Dolus) dan Kealpaan (Culpa). Kalau kita batasi lagi mengenai Dolus/opzat(sengaja) ada ajaran menjelaskan yang menyatakan syaratnya ada 2 yakni Willen en Wetten. Willen itu kehendak dan Wetten itu mengetahui artinya si pelaku mengetahui dan atau menghendaki terjadinya perbuatan atau terjadinya akibat.

- Bahwa Dalam ranah penyusunan peraturan Perundang-Undangan unsur opzat/Dolus/sengaja tidak meluluh ditulis dengan kata sengaja tapi bisa juga dengan sengaja atau yang diketahuinya bahwa atau dengan niat atau dengan rencana, sebetulnya unsur dengan rencana itu adalah opzet yang sudah lebih jauh lagi sebab ada sengaja yang dilakukan tanpa rencana jadi kalau dilakukan tanpa rencana berarti opzetnya sudah sangat tebal, ada orang membunuh dengan sengaja, tapi ada orang membunug dengan sengaja dan dengan rencana berarti ada jarak antara anatar niat untuk melakukan tindak pidana dengan perbuatan yang dilakukan.

- Bahwa Orang yang mengetahui sesuatu tapi kemudian, dia mengetahui perbuatanya dilarang tapi tetap dilakukan dapat diakatakan orang itu opzet/senagaja sudah tau tapi dia lakukan juga, sementara kalau dia seharusnya mengetahui tapi tetap dia lakukan masuknya pada kealpaan/Dulpa.

- Bahwa Dalam literature sebetulnya penyertaan itu penyebutannya “daderschap en dendemi” jadi tidak cukup hanya dendemi, dendemi itu penyertaan tapi orang sering keliru orang yang melakukan itu jenis penyertaan padahal bukan, ajaran yang lengkap itu “daderschap en dendemi” daderschap itu tentang pelaku, dan dendemi tentang penyertaan jadi tentang pelaku dan penyertaan. Maka diatur dalam pasal 55 KUHP dalam penyertaan ada didalamnya Plegen (orang yang melakukan), Doen Plegen (orang yang menyuruh melakukan), Mededader (orang yang turut serta melakukan) dan Medeplichtige (orang yang membantu melakukan). Mededader sering disalahpahami karena Mededader itu orang yang turut serta tidak harus kedua-duanya memenuhi semua unsur delik. Bisa sebagian memenuhi sebagian bisa delik, sebagian yang lain memenuhi sebagian bisa delik tapi karena perbuatan keduanya

160

lengkaplah terjadinya delik itu. Dalam pasal 55 jenis penyertaan juga disalahpahami dalam praktek, dikira orang yang menggerakan itu mesti memiliki kualifikasi yang sama dengan Plegen padahal tidak, sehingga banyak kasus-kasus tindak pidana pemilihan ada orang yang menggerakkan yang punya uang untuk melakukan money politik tapi dia tidak melakukan sendiri dia gerakan orang lain sering tidak diproses atau tidak dihukum atas dasar dia tidak mememnuhi semua unsur delik, padahal tidak memenuhi unsur delik karena dia hanya menggerakan atau membujuk orang lain melakukan delik.

- Bahwa Dalam suatu penyertaan yang jenisnya Mededader/turut serta, tidak harus semua turut serta pelaku masuk dalam unsur delik, mereka bisa melakukan dengan pembagian kerja/pembagian tugas, jadi tidak mesti Mededader/seorang yang turut serta berada pada lokasi terjadi kejahatan (itu adalah pandangan yang sangat salah). karena baik putusan Belanda/Indonesia seorang Mededader tidak harus berada di lokasi terjadinya delik/locus delicti. Karena sesuai dengan pembagian kerja bisa saja dia hanya melakukan tugas merencanakan, yang lain melakukan tugas membawa sesuatu, yang lain memberikan sesuatu. Jadi menurut hemat ahli turut serta melakukan kejahatan berupa money politic tidak harus semua pelaku money politik berada di lapangan ketika pembagian uang/materi lainnya bisa saja mereka berbagi peran berbagi tugas termasuk perencanaan, itu masuk turut serta melakuakn selama dipenuhi 2 syarat pertama adanya kesengajaan secara sadar dan kesamaan secara fisik. Masing’-masing punya tugas bekerja dalam pembagian tugas. Adanya kesadaran bahwa mereka orang yang turut serta bersama orang lain melakukan delik, jadi tidak mesti mereka sama yang dilakukan tidak mesti berada dilokasi terjadinya suatu tindak pidana.

- Bahwa Pasal 73 unsur subjektif yaitu calon dan/atau tim kampanye artinya bisa bersama-sama atau bisa juga sendiri, tapi dimanapun pelanggaran money politik hampr tidak mungkin seorang calon gubernur seorang calon gubernur calon bupati seorang calon bupati calon walikota seorang calon walikota turun bagi-bagi uang hamper tidak mungkin, justru itu UU pemilu dibuat harus dilihat unsur-unsur yang lain, seperti unsur perbuatan menjanjikan dan atau memberikan uang atau materi yang secara fisik memberikan/menyampaikan janji bukan si calon bahkan bukan juga tim kampanye munkin orang lain, sepanjang ada kesadaran ada kerjasama dilakukan secara bersama-sama

161

maka diapun bisa kena sebagai turut serta pelaku tindak pidana poltik uang di pasal 73 jo ketentuan pidana. Andaikata tidak masuk dalam turut serta semestinya dia masuk penggerakkan yaitu orang yang menggerakkan orang lain dengan sejumlah saran’ misalnya menjanjikan sesuatu memberikan sesuatu bahkan dengan ancaman, tipu muslihat. (Sayangnya Dalam penegakkan hukum pemilu ajaran penyertaan atau penggerakkan sangat-sangat jarang digunakan).

- Bahwa Merujuk pada UU tipikor pegawai negeri disebut : 1. Pegawai negeri menurut KUHP, 2. Pegawai negeri yang setiap orang menerima uang dari negara, 3. Setiap orang yang menerima gaji dari koorporasi , yang koorporasi menerima uang dari negara di UU Tipikor.

- Bahwa PP 49 2018 tidak langsung menyebut pegawai negeri tetapi menyebut entitas lain, diman PP 49 2018 dikeluarkan pemerintah untuk mencabut entitas ASN yang disebut dengan P3K. isinya aparat juga jika dia mendapat SK (P3K) ASN bisa pegwai negeri sipil bisa juga P3K.

- Bahwa Pendamping pada program yang dicanangkan kementrian sosial sebetulnya bantuan sosial, PKH adalah untuk kesejahteraan masyarakat perlu pendamping sehingga direkrut oleh pemerintah dengan cukup banyak dilakukan oleh kemensos (Menteri, Dirjen, Direktur). Jadi Pendamping tunduk kepada perjanjian kerja dengan kemensos. Perkembangan terakhir 2018, Kalau mereka sudah ikut program P3K ya mereka dapat disebut sebagai ASN juga kalau mereka sudah secara resmi mendapat Sk/kontrak karena mereka bukanlah staf pegawai negeri karena mereka berdasarkan perjanjian kerja.

- Bahwa Perkembangan terbaru dalam pemilihan kepala daerah, sebenarnya sudah diingatkan oleh jajaran kemensos, DPR dan Pemerintah, bahwa program bansos rentan dengan penyalahgunaan dan penyelewengan, oleh sebab itu menteri sosial dan DPR mengingatkan agar tidak terjadi penyimpangan. Menurut pendapat ahlim, penyimpangan bansos atau bantuan lain dengan PKH jika dilakukan kandidat atau seorang calon dimanapun sebenarnya menyelewengkan 2 hal pertama menyelewengkan amanat pemerintah itu sebenarnya uang pemerintah bukan uangnya, tapi digunakan untuk kepentinganya, dan yang kedua bagian dari political corruption, dalam suatu literatul kepemiliuan disebut dengan political corruption. Jadi istilahnya kejelekanya/mala, kejahatan itu ada mala per se mala political, kejelekan atau sifat jahat mendompleng program pemerintah untuk bantuan

162

kepada rakyat miskin, untuk kepentingan politiknya itu bagian dari political corruption dalam konteks money politic kalau dia masuk rumusan pasal 73 kalau terpenuhi itu ada menjanjikan atau membrikan yang dilakukan tidak harus sendiri dengan suatu konstruksi penyertaan maka bisa terpenuhi tapi tergantung apakah bisa dibuktikan atau tidak. - Bahwa Ketika proses tidak hanya merujuk kepada soal

administrative karena persoalan perkara pidana ikut menjaga penyelesaian proses, menegkkan pelanggaran kode etik bagian dari proses.

- Bahwa Saya meluruskan saya bukan Ilmu Hukum Administrasi Negara, Saya Ahli pidana tapi juga Ahli pidana kepemiluan.

- Bahwa Mengenai apakah PKH ASN atau bukan jika dia memenuhi ketentuan-ketentuan dalam PP No.49 tahun 2018, kemudian peraturan pelaksanaanya dan jika PKH tersebut telah memenuhi syarat ada kontrak atau perjanjian kerja dengan pemerintah maka mereka adalah ASN. Sekarang di cek saja faktualnya apakah PKH-PKH yang ada itu sudah memiliki perjanjian kerja dengan pemerintah atau tidak. Sebab sepengetahuan saya tahun 2018 program pemerintah untuk menjadikan PKH /Pendamping PKH sebagi P3K sudah dilakukan sejak 2018, sekarang tinggal di cek saja saya tidak tau perkembanganya sampai sekarang tapi kalau mereka sudah mendapat perjanjian kerja ya mereka ASN.

- Bahwa Unsur tindak pidana terdiri atas 2 jenis pertama

bestanddelen atau unsur yang tertulis dalam rumusan tindak

pidana dan Elemen unsur-unsur yang tidak tertulis dalam

rumusan seperti kesalahan yang tidak tertulis atau

pertanggungjawaban pidana yang tidak tertulis atau sifat melawan hukum yang tidak tertulis. Pertanyaanya apakah semua harus terpenuhi kalau dia merupakan bestanddelen iya harus terpenuhi tapi tergantung juga apakah perumusanya kumulatif atau alternative, jika koma koma koma atau berarti

alternative salah satu terpenuhi cukup dan jika koma koma koma dan maka semua harus terpenuhi.

- Bahwa Undang-Undang adalah bagian yang mengikat umum, semua Adresat atau yang dituju oleh suatu undang-undangan atau peraturan dibawah UU seperti PP, PKPU, Perbawaslu semua yang dimaksud atau menjadi Adresat peraturan itu maka dia terikat yang belum menjadi subjek atau Adresat atau yang tidak dituju oleh aturan itu maka dia tidak terikat. Kalau tidak dimasukan dalam peraturan itu siapapun tidak dimasukan ke situ maka tidak terikat.

163

- Bahwa Keterangan ahli tidak terikat, karena ahli mengungkapkan pendapatnya berdasarkan pengetahuan didapat dari studi, pengalaman, perbandingan. Kadang ahli tidak sutuju dengan isi UU, peraturan atau putusan pengadilan, putusan pengadilan bisa berubah ditingkat banding, putusan MK bisa berubah pada putusan PM berikutnya, peraturan bawaslu mungkin berbeda dengan bawaslu ditempat yang lain.

- Antara subjek tindak pidana atau subjek pelaku pelanggaran yaitu calon dan atau tim kampanye mesti dibedakan dengan unsur yang lain yaitu perbuatannya, perbuatan atau akibat. Unsur calon yaitu unsur subjektif, unsur perbuatan atau keadaan yang menyertainnya adalah unsur objektif. Definisi atau keterangan ahli mengenai suatu unsur yang tidak berkaitan dengan calon/tim kampanye, ahli mengerahkan mengenai unsur” perbuatan apakah ada yang lain” didalam pasal 73, dan itu adalah otoritas ahli untuk memberikan pendapatnya, karena mungkin pendapat ahli bisa berbeda, peraturan bisa berubah, bahkan KUHAP yang jelas menjelaskan suatu unsur dalam suatu putusan pra peradilan bisa dimaknai lain. Itulah perkembangan dalam hukum itulah yang dinamakan hukum progresif. (Tergantung majelis mencari keadilan ahli hanya menerangkan pandangan ahli).

- Bahwa Undang-Undang kita tidak membatasi apakah procedural justice atau substansi justice, di negara lain prakteknya berbeda”, putusan MK sebelum 2008 sampai 2011 cenderung pada procedural justice intinya kalau tidak ada penghitungan suara yang salah maka nga masuk dalam ranah MK maka ditolak, namun 2008 sampai 2011 majelis hakim MK melihat banyaknya kecurangan pelanggaran yang sangat Masif, Terstukutur, Sistematis dan sebagainya, Majelis MK mengatakan kami tidak bisa berdiam diri melihat ketidakadilan dan kami tidak mau terkepung pada procedural justice sehingga kami cenderung ke substansial justice, olehnya itu putusan sepanjang 2008 sampai 2011 MK cenderung pada substansial justice, setelah era itu sebenarnya terjadi perbedaan” kadang MK procedural justice kadang substansi justice . perlu ahli tekankan MK fokusnya pada integritas hasil pemilu/pemilihan, sedangkan proses penangan administrative yang saat ini disidangkan oleh Majelis fokusnya pada integritas proses pemilihan apakah berjalan jurdil atau tidak terjadi kecurangan pelanggaran atau tidak sebetulnya tidak langsung tertuju pada hasil, sebab hasil ada pada ranah MK.

- Bahwa Itu tergantung majelis apakah berpihak ke procedural justice atau substansi justice.

164

- Bahwa Idealnya baik procedural justice atau substansi justice dapat dipenuhi, tapi sebagai ibarat group apakh kepastian

Dokumen terkait