• Tidak ada hasil yang ditemukan

Observasi I Tindakan Pelayanan

5.2 Pelayanan spiritual

Pelayanan terhadap Kebutuhan spiritual sebagai bagian dari kebutuhan manusia secara utuh hanya dapat dipenuhi apabila perawat dibekali dengan kemampuan memberikan asuhan keperawatan dengan memperhatikan aspek spiritual klien sebagai bagian dari kebutuhan holistik pasien sebagai mahluk yang utuh dan unik. Pemenuhan kebutuhan spiritual diperlukan oleh pasien dan keluarga dalam mencari arti dari peristiwa kehidupan yang dihadapi termasuk penderitaan karena sakit dan merasa tetap dicintai oleh sesama manusia dan Tuhan (Yani, 2008). Survey nasional dalam Treolar (2002), mengindikasikan sebanyak 97% dari 186 perawat perlu memperhatikan kebutuhan spiritual klien.

Pelayanan spiritual adalah salah satu sarana untuk mencapai kepuasan pasien dalam pelayanan spiritual. Oleh karena itu memberikan pelayanan yang prima adalah suatu keharusan apabila ingin mencapai tujuan pelanggan yang puas dan setia (Richard, 2002).

Hasil penelitian pelayanan spiritual yang diberikan perawat kepada pasien diabetes melitus di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan, sebagian besar perawat memberikan pelayanan spiritual yang baik yaitu 42 orang (93,3%), dan perawat yang memberikan pelayanan spiritual yang cukup yaitu 3 orang (6,7%).

Dari observasi yang dilakukan peneliti didapatkan banyak tindakan pelayanan spiritual tidak dilakukan perawat, dan ternyata setelah ditanya rata – rata perawat yang tidak melakukan tindakan pelayanan spiritual memiliki pengalaman bekerja yang kurang dirumah sakit tersebut atau masih baru. Dan perawat – perawat di RSIM Medan banyak juga yang tidak memahami makna pelayanan spiritual, walalupun secara tidak langsung mereka sudah melakukannya.

Klien mencari perawat untuk jenis bantuan yang berbeda dibandingkan dengan yang dicari dari tenaga professional lainnya. Agar dapat efektif dalam memberikan perawatan spiritual, perawat harus mengetahui isyarat spiritual yang ditunjukan klien selama waktu penyembuhan, perubahan dan kehilangan (Potter & Perry, 2009).

Menurut Hamid (2008), pada saat mengalami stres, individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk dapat menerima keadaan sakit klien yang dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yang lama dengan hasil yang belum pasti. Dengan semakin meningkatnya tuntutan pelayanan yang lebih berkualitas maka fungsi pelayanan spiritual di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan secaraa bertahap perlu ditingkatkan dan diperbaiki agar menjadi efektif dan efisien serta memberi kepuasan terhadap pasien, keluarga dan masyarakat.

5.3 Hubungan Pelayanan Spiritual Yang Diberikan Perawat Dengan Kepuasan Pasien Diabetes melitus Di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

Hasil dari penelitian yang dilakukan terhadap 45 responden terdapat 9 orang (20,0%) yang merasa puas dengan pelayanan spiritual, ada 3 orang merasa pelayanan spiritual yang diberikan baik. Sedangkan dari 36 responden (80,0%) yang merasa sangat puas dengan pelayanan spiritual, ada 42 orang yang merasa pelayanan spiritual yang diberikan baik. Hasil dari tabel silang antara pelayanan

spiritual dengan kepuasan dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) ternyata

tidak menunjukan adanya hubungan antara pelayanan spiritual dengan kepuasan pasien, dan baru menunjukan adanya hubungan pada tingkat kepercayaan 90,3%.

Hal ini dimungkinkan terjadi karena yang mempengaruhi kepuasan salah satunya adalah kualitas dari pelayanan. Kepuasan pasien disebabkan oleh beberapa faktor adanya kualitas produk atau jasa. Persepsi pasien terhadap kualitas produk/ jasa dipengaruhi oleh dua hal yaitu jasa yang sesungguhnya dan komunikasi Rumah Sakit terutama iklan dalam mempromosikan Rumah Sakitnya (Lusa, 2007).

Hal ini menunjukan bahwa pasien merasa puas dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah pelayanan dari dokter, ketika pasien mendapatkan pelayanan yang baik dari dokter maka pasien merasa puas bahkan sangat puas, sehingga ketika pasien diberikan kuesioner mengenai pelayanan spiritual maka pasien akan mengisi lembar kepuasan pasien pada pelayanan spiritual dengan hasil “sangat puas” dan “puas”.

Faktor berikutnya yang mempengaruhi kepuasan pasien adalah faktor emosional. Pasien akan merasa bangga dan yakin bahwa orang lain akan kagum terhadap konsumen bila dalam hal ini pasien memilih rumah sakit yang mempunyai pandangan “Rumah Sakit mahal”, cenderung memilki tingkat kepuasan yang lebih tinggi (Robert & Richard, 1991). Selain itu pengalaman juga berpengaruh besar terhadap emosional pasien dalam suatu pelayanan kesehatan. Rumah Sakit Islam Malahayati Medan adalah rumah sakit yang sudah lama berdiri, dan rumah sakit ini berada ditengah kota serta angka BOR (Bed Occupation Rate) selalu mencapai angka 100 %. Ketika pasien ingin dirawat di Rumah Sakit ini pasien harus terlebih dahulu memesan kamar, karena sering pasien yang datang tanpa memesan kamar tidak akan mendapat ruangan. Hal ini dimungkinkan terjadi bahwa pasien sudah mendapatkan informasi bahwa Rumah Sakit Islam Malahayati adalah Rumah Sakit yang bagus, sehingga secara tidak langsung pasien akan menjadi puas. Jadi ketika pasien diberikan kuesioner tentang kepuasan pasien terhadap pelayanan spiritual maka pasien akan langsung mengisi kuesioner tersebut dengan hasil “sangat puas” dan “puas”, padahal bisa saja rasa puas pasien bukan dikarenakan pelayanan spiritual tetapi dari faktor emosional. Dan akhirnya variabel pelayanan spiritual dengan kepuasan pasien menjadi tidak ada hubungan yang bermakna.

Pasien akan merasa puas dikarenakan juga dari faktor harga dan biaya, dan faktor penentu lainnya yang membuat pasien merasa puas adalah kualitas pelayanan. Pasien akan merasa puas apabila mereka memperoleh pelayanan yang baik atau sesuai dengan yang diharapkan. Mutu pelayanan kesehatan yang dapat

menimbulkan tingkat kepuasan pasien dapat bersumber dari faktor pelayanan rumah sakit, petugas kesehatan, atau pelayanan pendukung. Dan peneliti melihat pasien akan merasa puas tidak hanya dari faktor pelayanan spiritual, sehingga ketika dari beberapa faktor itu itu pasien dapatkan maka pasien sudah akan merasa puas tanpa peneliti memberi lembar kuesioner kepuasan pelayanan spiritual kepada pasien. Sehingga pasien akan merasa puas terlebih dahulu sebelum pelayanan spiritual itu diberikan.

Setiap orang/ pasien dalam hidupnya pasti akan menghadapi namanya masalah, sikap seseorang dalam menghadapi sangat ditentukan oleh keyakinan mereka masing – masing. Pasien yang sedang dirawat dirumah sakit membutuhkan asuhan keperawatan yang holistic dimana perawat dituntut untuk mampu memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif bukan hanya masalah fisik namun juga spiritualnya. Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan rsa percaya terhadap Tuhan. Tujuan dari pada pemenuhan kebutuhan spiritual ini agar pasien yang terbaring itu tidak merasa jenuh dan tidak berontak karena dalam keadaan berbaring pun ia bisa beribadah. Misalnya, berdoa, berzikir atau mengaji serta sholat, baca kitab suci dengan segala kemampuan yang ia miliki. Dengan demikian, pasien tidak merasa ragu karena dengan senantiasa bisa mendapat pahala dari Tuhannya. Sebaliknya orang yang tidak memiliki tuntunan spiritual akan merasa gelisah, ingin pulang, cemas dan sebagainya, yang justru akan menurunkan respon imunitasnya (Hamid, 2008).

Peneliti merasa variabel pelayanan spiritual dengan kepuasan pasien tidak memiliki hubungan dimungkinkan karena peneliti lebih mengarahkan kuesioner ke arah perspektif manajemen pelayanan spiritual padahal sebenarnya pasien akan lebih butuh pembahasan mengenai kebutuhan spiritual yang mereka inginkan. Sehingga ketika dihadapkan dengan kuesioner yang diberikan peneliti maka pasien akan mengisi kuesioner tersebut dengan jawaban – jawaban yang sesungguhnya mereka tidak tertarik dan langsung saja menjawab pernyataan yang berada pada kuesioner dengan pernyataan “setuju” dan “sangat setuju”.

Sedangkan berdasarkan data demografi yang diperoleh peneliti bahwa dilihat dari segi pendidikan mayoritas pasien memiliki latar belakang pendidikan tidak bersekolah (40%). Hal ini sejalan dengan teori pengetahuan yang dikemukakan oleh Notoadmodjo (2007) bahwa pendidikan mempengaruhi proses belajar dan menerima informasi baik dari orang lain maupun media massa. Orang yang mempunyai tingkat pendidikan rendah maka tingkat pemahaman terhadap sesuatu juga rendah, terlebih lagi ketika memahami sesuatu yang lebih sulit sehingga diasumsikan ketika pasien memiliki pendidikan yang rendah dan kesulitan dalam mengisi kuesioner maka pasien tersebut akan mengisi kuesioner dengan semampunya. Hal ini juga didukung dengan kondisi fisik pasien yang sangat lemah sehingga ketika dihadapkan dengan kuesioner maka pasien pun akan bertindak yang sama yaitu mengisi kuesioner dengan semampunya. Ini terlihat dari pasien memberikan jawaban – jawaban terhadap pernyataan – pernyataan yang sulit secara spontan tanpa berfikir lama, sehingga didapatkan mayoritas jawaban pasien pada kuesioner pelayanan spiritual memperlihatkan pilihan

jawaban “sangat setuju” dan “setuju”. Sehingga peneliti mengasumsikan bahwa tingkat kepuasan yang menunjukan rasa sangat puas dan data pelayanan yang menunujukan pelayanan baik menjadi sesuatu hal yang tidak mempunyai hubungan yang bermakna.

Dilihat dari segi usia mayoritas pasien berada pada usia 71 – 80 (44,4%) dan usia 61 – 70 (22,2%). Hal ini sejalan dengan teori Notoadmodjo (2007) bahwa yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah usia. Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang, semakin bertambah usia maka akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikir, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin baik. Lain halnya dengan orang yang sudah memasuki usia lanjut yang akan mengalami kemunduran fisik maupun mental, IQ akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia, khususnya pada beberapa kemampuan seperti kosa kata dan pengetahuan umum. Diasumsikan bahwa ketika pasien dengan usia diatas 61 – 70 tahun mengisi kuesioner dengan pernyataan – pernyataan yang cukup sulit walaupun peneliti sudah berusaha untuk memfasilitasi dengan membacakan kuesioner serta memberi pemahaman kepada responden apabila mereka kesulitan tetapi rata – rata pasien menjawab juga secara spontan pernyataan “sangat setuju” dan “setuju” tanpa difikirkan terlebih dahulu. Sehingga peneliti menyimpulkan hubungan antara kepuasan dengan pelayanan spiritual tidak memiliki hubungan yang bermakna.

Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Natsir, 2008 mengenai hubungan antara penerapan aspek spiritualitas perawat dengan pemenuhan kebutuhan spiritual pasien di Rumah Sakit Haji Makassar didapatkan data dari 24

(80%) responden yang pemenuhan kebutuhan spiritual pasien cukup dan penerapan aspek spiritualitas perawat baik. Penelitian ini menunjukan ada hubungan yang bermakna antara penerapan aspek spiritualitas perawat dengan kebutuhan spiritual klien.

Perawat sebagai tenaga kesehatan yang profesional mempunyai kesempatan paling besar untuk memberikan pelayanan/asuhan keperawatan yang komprehensif dengan membantu klien memenuhi kebutuhan dasar yang holistik. Pemahaman perawat terhadap pengertian kebutuhan spiritual dipengaruhi oleh faktor pengalaman, waktu, lingkungan, karakter dan pengetahuan tentang spiritual.

Dalam kurun waktu beberapa tahun ini Rumah Sakit Islam Malahayati Medan setiap bulannya melakukan survei mengenai kepuasan pasien terhadap pelayanan secara umum dan hasilnya selalu diatas angka 80%, tetapi Rumah Sakit tersebut belum pernah melakukan servei mengenai kepuasan pasien terhadap pelayanan spiritual yang diberikan perawat.

Dan setelah peneliti melihat beberapa fakta tentang apa yang menyebabkan pelayanan spiritual yang diberikan perawat itu tidak berhubungan dengan kepuasan pasien di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan bahwa Pelayanan spiritual sepenuhnya dilakukan oleh ustadz, yang dilakukan secara teratur setiap harinya padahal sebenarnya pelayanan spiritual merupakan bagian dari pelayanan yang harus juga dilakukan perawat. Dan pelayanan spiritual yang dilakukan perawat tidak memiliki SOP dari bidang keperawatan, sehingga mereka

tidak melakukannya secara optimal. Serta banyak sekali perbedaan persepi perawat tentang pelayanan spiritual di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan.

Dokumen terkait