• Tidak ada hasil yang ditemukan

c. Pelibatan laki-laki dalam program kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan

Sejalan dengan berkembangnya gerakan laki-laki pro-feminis dan wacana laki-laki dan maskulinitas, beberapa program yang menerapkan strategi pelibatan laki-laki juga berkembang di dunia. Progam pelibatan laki-laki menjadi program yang diterapkan baik di negara maju, berkembang, maupun negara miskin. Berkembangnya strategi pelibatan laki-laki dalam rangka pencapaian keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan ini bermula dari beberapa pertemuan internasional seperti Konferensi Dunia Pertama tentang Perempuan di Meksiko pada tahun 1975. Konferensi tersebut menyimpulkan bahwa untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia dibutuh-kan strategi politik untuk menggerakdibutuh-kan laki-laki dalam mengubah relasi gender. Kesimpulan ini dikuatkan oleh Konferensi-konferensi PBB berikutnya tentang Perempuan, HIV/AIDS dan Anak seperti Konferensi PBB tentang Pembangunan dan Kependudukan pada tahun 1994, Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan pada tahun 1995, World Summit untuk Pembangunan Sosial, Sesi Khusus ke-26 Majelis Umum PBB tentang HIV/ AIDS tahun 2001, Sesi Khusus ke-27 Majelis Umum PBB tentang Anak pada tahun 2000, Sesi Khusus ke-23 Majelis Umum PBB tentang Perempuan pada tahun 2000 dan Sesi Tahunan Komisi Status Perempuan PBB (1996-2007) (United Nations, 2008).

29

Konferensi-konferensi dunia tersebut menunjukkan adanya komitmen politik mas-yarakat dunia untuk memajukan tanggung jawab dan keterlibatan laki-laki untuk mewu-judkan keadilan gender. Lebih lanjut, komitmen-komitmen internasional ini menyediakan kerangka kerja bagi aktivis, praktisi dan pengambil kebijakan untuk mengintegrasikan strategi pelibatan laki-laki ke dalam kerja-kerja mereka termasuk mendorong pemerintah nasional untuk menerapkan kebijakan nasional yang menjamin pelaksanaan strategi pelibatan laki-laki.

Pelibatan laki-laki dalam advokasi isu kekerasan terhadap perempuan ini mengacu pada pandangan bahwa transformasi atau perubahan ketimpangan relasi gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan tidak akan dapat diwujukan jika laki-laki tidak dilibatkan (Kaufman, 2001). Hal ini karena melibatkan/memberdayakan perempuan hanya akan mengubah satu dimensi dari masalah ketidakadilan gender dan kekerasan terhadap perempuan sebab ketidakadilan gender dan kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam konteks hubungan laki-laki dan perempuan (Hasyim, 2009). Lebih lanjut, keadilan gender dan berhentinya kasus kekerasan terhadap perempuan mensyaratkan cara pandang baru dalam melihat laki-laki. Laki-laki tidak hanya dipandang semata- mata sebagai akar masalah akan tetapi harus dilihat sebagai bagian dari pemecahan masalah (Lang, 2002). Karenanya untuk membangun pola hubungan baru, selain menciptakan perempuan baru diperlukan penciptaan laki-laki baru.

Ada beberapa alasan mengapa laki-laki harus dilibatkan dalam banyak kegiatan untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan pencapaian keadilan gender. Michael Flood (2011) mengidentifikasi tiga alasan yang dia sebut sebagai alasan feminis. Per-tama, sebagian besar pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah laki-laki. Sejalan dengan survei yang dilakukan oleh Partner for Prevention terhadap 10.000 laki-laki di Asia Pasifik yang menunjukkan bahwa sebagian besar laki-laki yang terlibat dalam survei mengaku bahwa mereka pernah melakukan kekerasan terhadap perempuan yakni antara 26 persen sampai 82 persen (Fulu, A., Warner, X., Miedema, S., Jewkes, R., Roselli, T. & Lang, J., 2013). Survei tersebut juga melaporkan bahwa antara 10 sampai 60 persen laki-laki yang terlibat dalam survei mengaku pernah melakukan pemerkosaan dalam hidupnya (Fulu 2013). Temuan ini mengonfirmasi survei multi negara yang menemukan bahwa 1 dari 3 perempuan di seluruh dunia diperkirakan mengalami kekerasan fisik dalam hidupnya (Heise, L., Ellsberg, M., & Gottemoeller, M., 1999).

Kedua, konsep atau konstruksi maskulinitas berperan penting terhadap terjadinya kekerasan terhadap perempuan (Flood, 2011). Konsep laki-laki yang identik dengan kekuatan, superioritas, dan dominasi berperan terhadap terjadinya kekerasan (Heise, L., Ellsberg, M., & Gottemoeller, M., 1999) (Flood, 2011). Kecenderungan laki-laki melakukan kekerasan juga berangkat dari keyakinan bahwa laki-laki memiliki hak atas perempuan (Fulu, A., Warner, X., Miedema, S., Jewkes, R., Roselli, T. & Lang, J., 2013).

30

Ketiga, laki-laki dapat berperan positif dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan pencapaian keadilan gender (Flood, 2011). Keterlibatan laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan akan menunjukkan bahwa masalah kekerasan terhadap perempuan bukan semata persoalan perempuan tapi persoalan laki-laki juga. Lebih lanjut, laki-laki juga akan mendapat keuntungan dengan menunjuk- kan sikap mendukung gerakan antikekerasan terhadap perempuan misalnya, mereka akan terbebas dari konsekuensi negatif akan tuntutan untuk memenuhi harapan tentang laki-laki ideal (hegemonic masculinity), laki-laki akan menjadi lebih peduli dan mencintai dalam hubungan mereka dengan perempuan dan anak perempuan. Keuntungan ini dapat menjadi faktor pendorong bagi laki-laki untuk terlibat dalam gerakan antikekerasan terhadap perempuan (Flood, 2011).

Selain tiga alasan tersebut, sebenarnya ada banyak alasan mengapa laki-laki harus terlibat dalam gerakan antikekerasan terhadap perempuan. Misalnya tatanan sosial yang tidak setara membawa dampak negatif bagi kehidupan pribadi laki-laki dan perempuan. Di antara konsekuensi negatif dari tatanan gender yang ada adalah laki-laki harus menekan emosi mereka agar tampak kuat dan menguasai keadaan, ketidak- hadiran laki-laki dalam pengasuhan anak, keterlibatan laki-laki dalam perilaku berisiko secara kesehatan, pembatasan kesempatan pendidikan dan rusaknya hubungan interpersonal antara laki-laki dengan perempuan (United Nations, 2008).

Kekerasan terhadap perempuan juga menciptakan citra negatif laki-laki karena perempuan akan selalu menaruh curiga dan takut kepada laki-laki karena khawatir akan menjadi korban kekerasan yang dilakukan laki-laki. Oleh sebab itu, semua laki-laki harus menanggung citra negatif yang telah diciptakan oleh sebagian kecil laki-laki (Berkowitz, 2014) (Flood, 2011). Lebih lanjut perilaku kekerasan laki-laki terhadap perempuan mungkin juga mendorong perilaku kekerasan laki-laki terhadap laki-laki lainnya. Sebagai akibatnya laki-laki memiliki kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat dan bermakna dengan perempuan dan juga dengan sesama laki-laki (Berkowitz, 2014).

Alasan penting lainnya mengapa laki-laki harus terlibat dalam gerakan antikekerasan terhadap perempuan adalah alasan politik yakni laki-laki menduduki mayoritas posisi strategis di dalam masyarakat mulai dari keluarga sampai pemerintah nasional. Selain itu, laki-laki seringkali juga memiliki kontrol atas sumber daya yang diperlukan perempuan untuk menuntut keadilan. Melibatkan laki-laki yang memiliki kekuasaan politik akan mempercepat proses transformasi atau perubahan yang diperlukan untuk membangun masyarakat yang lebih setara dan adil serta mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan (United Nations, 2008).

31

C. ALIANSI LAKI-LAKI BARU

DAN GERAKAN UNTUK