• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : KRITIK DAN METODE PEMAHAMAN HADIS

C. Bentuk Pemahaman Hadis

3. Pemahaman Hadis Mukhtalif

62

sosiologis, antropologis dan psikologis terkesan lebih lentur dan elastis. Akan tetapi, tentu dengan tujuan tetap mempertahankan ruh, semangat, dan nilai yang terkandung di dalam hadis tersebut.

Seluruh ijtihad para ulama ini adalah dengan satu tujuan yaitu

untuk menjaga keorisinilan hadis Nabi Saw. terutama dari sudut pemahamannya dan agar tujuan syari'at (maqȃshid al-syarȋ'ah) sebagai rahmatan lil 'ȃlamȋn dapat dicapai.

Pendekatan pemahaman hadis secara kontekstual seperti ini sebenarnya sudah lama diterapkan oleh Imam al-Syafi'iy dalam

menjelaskan hadis-hadis mukhtalif. Menurutnya faktor penyebab

timbulnya penilaian suatu hadis bertentangan dengan lainnya adalah karena tidak mengetahui asba>b al-wuru>d suatu hadis, atau

dengan kata lain karena tidak memperhatikan konteksnya73.

Dengan demikian, jelaslah bahwa memahami hadis dengan memperhatikan konteksnya tidak saja dapat mengantarkan penemuan maksud hadis yang lebih representatif melainkan juga menemukan pengompromian atau penyelesaian hadis yang dinilai kontradiksi, sehingga hadis dapat dipahami sesuai dengan perkembangan zaman.

3. Pemahaman Hadis Mukhtalif

63

Secara bahasa mukhtalif (فهتخم ) adalah bentuk isim fa’il (sabjek)

dari kata بفلاتخا yakni bentuk mas}dar dari kata فهتخا. Menurut Ibn Manzu>r, ihktila>f merujuk pada makna قفتي من (tidak serasi/tidak cocok) dan منبم مك َبستي (segala sesuatu yang tidak sama/beragam), hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’ân surat al-An’âm ayat 141: َنبَّم ُّزنا ََ َنُُتْي َّشنا ََ ًُُهُكُأ بًفِهَتْخُم َع ْر َّشنا ََ َمْخَّىنا ََ ًِببَشَتُم َزْيَغ ََ بًٍِببَشَتُم (pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya)74.

Sedangkan menurut Lois Ma’lu>f, ikhtila>f mempunyai beberapa

makna di antaranya, ضربعت (bertentangan)75عُىت(beragam) atau دذعت

(bermacam-macam), dan ددزت (saling bertolak belakang)76, Dengan melihat

pengertian yang dikemukakan di atas, pada intinya ikhtila>f mengandung dua makna, yaitu, ضربعت dan عُىت.

Secara istilah ada beberapa rumusan definisi H}adith mukhtalif di

antaranya:

a. Al-Nawa>wi> (dikutib oleh al-S}uyu>thi>)

كفٛ١ف اش٘بظ ٕٝؼٌّا ٟف ْادبعزِ ْبث٠ذد ٟرؤ٠ ْأ

بّ٘ذدأ خجش٠ ٚأ بّٕٙ١ث

74Jama>l al-Dîn Muhammad Ibn Mukarram Ibn Mans}ur al-Afriqi> al-Mishri>, Lisa>n al-‘Arab,, Jilid IX (Bairût: Dâr Fikr, 1990), 91

75Secara bahasa kata ضربعت merupakan mashdar dari kata ضربع yang berarti: دبضت (berlawanan) dan هيببت (saling berjauhan). Secara istilah, Lois Ma’lûf mengartikan dengan سزبي هيئيش هيب دبضت زخلأا بمٌذحأ (dua hal yang saling berlawanan yang menimbulakan perbedaan antara satu dengan yang lainnya) . Lihat: Lois Ma’lûf, al-Munjid fi> Lughah wa al-I’lam (Bairût: Da>r al-Masyru>q, 1994), 966.

64

(H}adi>th mukhtalif) ialah dua h}adi>th yang saling bertentangan pada makna zahirnnya, maka kedua h}adi>th tersebut dikompromikan atau di-tarji>h (untuk diambil mana yang kuat dari salah satunya)77.

Edi Safri mengkritik defenisi ini dengan menyebutkan bahwa defenisi ini sebenarnya mengendung kelemahan yakni kekurang tegasan di dalam rumusannya. Dikatakan demikian karena rumusan defenisi tersebut mencakup semua h}adi>th yang secara lahiriyahnya tampak saling bertentangan antara satu dengan lainnya, baik h}adi>th dalam kategori maqbu>l atau mardu>d, tanpa ada batasan. Padahal tidak semua h}adi>th yang tampak saling bertentangan perlu dikaji untuk dapat ditemukan pengkompromian atau penyelesaiannya, maliankan apabila h}adi>th tersebut sama-sama maqbu>l. Apabila salah satunya maqbu>l dan yang lainnya mardu>d, maka dalam hal seperti ini pertentangan yang tampak

tidak perlu diindahkan. Cukuplah dipegang yang maqbu>l dan

ditinggalkan yang mardu>d78.

Walaupun defenisi yang dikemukan al-Nawa>wi> terdapat kekurangan, namun ia telah menawarkan dua cara dalam menyelesaikan h}adi>th mukhtalif yakni kompromi dan tarji>h. Menurut al-Nawa>wi>, ada

h}adi>th mukhtalif yang memungkinkan untuk dikompromikan, dan ada

h}adi>th mukhtalif yang tidak mungkin untuk dikompromikan. Untuk

kategori yang kedua ini, apabila tidak diketahui antara salah-satu h}adi>th

77Jala>l al-Di>n Abu al-Fadhl Abd al-Rahma>n al-Syuyu>t}i>, Tadrî>b Ra>wi> fi> Syarh Taqrî>b al-Nawa>wi>, (Bairu>t: Da>r Fikr, 1988), 196.

65

tersebut ada yang na>sikh dan yang mansu>kh maka ditempuh jalan tarji>h79. Artinya al-Nawa>wi> juga menempuh cara nasakh dalam menyelesaikan h}adi>th mukhtalif di samping cara kompromi dan tarji>h, namun ia tidak menjelaskan secara tegas dalam rumusan defenisinya.

b. Tahunuwi> (dikutib oleh Edi Safri)

ش١غث بّٙ١ٌٌٛذِ ٓ١ث غّجٌا ٓىّ٠ٚ اش٘بظ ٕٝؼٌّا ٟف ْبظسبؼزٌّا ْلاٛجمٌّا ْبث٠ذذٌا

فغؼر

(H}adi>th mukhtalif) ialah dua h}adi>th maqbu>lyang saling bertentangan pada makna zahirnnya, di mana memungkinkan untuk dikompromikan maksud yang dituju oleh kedua h}adi>th tersebut dengan cara tidak dipaksakan (tidak dicari-cari)80.

Sepertinya Tahunuwi> hendak menyuguhkan penyelesaian h}adi>th mukhtalif dengan cara kompromi saja. Walaupun demikian, berbeda dengan al-Nawa>wi>, dalam defenisi di atas Tahunuwi> mensyaratkan h}adi>th mukhtalif itu hendakannya dapat diterima sebagai h}ujjah atau maqbu>l.

c. Edi Safri

H}adi>th mukhtalif ialah h}adi>th s}ahi>h atau h}adi>th h}asan yang secara lahiriyahanya tampak saling bertentangan dengan h}adi>th shahi>h atau h}adi>th h}asan lainnya. Namun makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh h}adi>th tersebut tidaklah bertentangan karena satu dengan

79Al-Syuyu>t}i>, Tadrî>b al-Ra>wi> fi> Syarh Taqrî>b al-Nawa>wi, 197-198.

80Syarf al-Di>n ‘Ali> al-Rajihi, Mushthalah Hadîts wa Atsaruh ‘ala Dâr Lughawiy ‘Inda al-‘Arabiy (Barût: Da>r al-Nahdhat al-‘Arabiyah, tth), 217.

66

yang lainnya dapat dikompromikan atau dicari jalan penyelesaiannya dalam bentuk nasakh atau tarjîh81.

Pada definisi di atas Edi Safri menawarkan tiga cara, seperti yang diungkapkan oleh al-Nawa>wi>, yakni kompromi, nashk, dan tarjîh.

Ketiga definisi di atas mengandung perbedaan dan persamaan yang mendasar. Dari segi sabjek (h}adi>th mukhtalif), Tahunuwi> dan Edi Safri mensyaratkan h}adi>th yang bertentangan itu harus maqbu>l, baik berkualitas sh}ahi>h maupun h}asan. Sementara al-Nawa>wi> tidak mensyaratkannya. Dalam aspek metode penyelesaiannya, Tahunuwi> hanya menempuh cara kompromi. Sementara al-Nawa>wiy dan Edi Safri menawarkan kompromi, nasakh dan tarjîh

Dokumen terkait