Pekan IV
Dari Metafisika ke Logika 28. Apakah Logika Itu?
Hari ini kita memulai bagian kedua dari empat bagian utama matakuliah kita. Di Bagian Satu, akar-akar pohon filsafat memberi kita wawasan penting mengenai metafisika, yang pada awalnya ditemukan oleh Sokrates, lalu diungkap dengan jauh lebih lengkap oleh Kant. Seperti akar pohon yang hampir seluruhnya terpendam di tanah sehingga kita tidak bisa melihatnya, sebagaimana adanya (sekurang-kurangnya tidak tanpa menumbangkan pohon), landasan metafisis pengetahuan kita pun terdiri atas sesuatu yang pada dasarnya tak dapat diketahui oleh benak manusia. Dengan dilengkapi dengan wawasan ini,
sekarang kita bisa menarik diri dari kedalaman metafisika yang kelam dan naik ke bagian pohon filsafat yang membiarkan diri untuk diamati dengan lebih mudah. Seperti yang kita perhatikan di Kuliah 1, ―logika‖ filosofis itu bagaikan batang pohon. Namun, apakah logika itu? Saya ingin kalian turut menjawab pertanyaan ini untuk beberapa saat. Saya menduga, sebelum kalian mengikuti matakuliah ini kebanyakan dari kalian lebih memiliki pandangan mengenai hakikat logika daripada mengenai hakikat filsafat pada umumnya. Jadi, saya harap pertanyaan diskusi ini akan agak lebih mudah daripada yang kita hadapi di Kuliah 1. Siapa yang mau mengajukan jawaban pertama? Apakah logika itu?
Mahasiswa H. ―Saya pikir logika itu seperti sains: sama-sama diharapkan untuk mengajarkan kita fakta-fakta di dunia ini, sehingga kita tidak harus bersandar pada pendapat kita belaka.‖
Logika memang berkaitan dengan sesuatu yang mempermudah kita dalam melihat hal-hal di balik opini kita sendiri. Akan tetapi, saya rasa saya tak mungkin sepakat dengan anda bila anda hubungkan logika sedemikian dekat dengan fakta-fakta ilmiah. Namun
demikian, saya senang anda mengatakannya, karena pandangan yang keliru mengenai logika ini banyak dianut oleh mahasiswa yang baru belajar filsafat. Logika sebetulnya sama sekali tidak mengajarkan kita fakta-fakta baru! Sesungguhnya, logika lebih
menyerupai metafisika daripada fisika bila sampai pada persoalan pengajaran fakta-fakta baru. Metafisika, sekurang-kurangnya bagi Kant, tidak menambah pengetahuan sama sekali, tetapi mencegah kekeliruan, seperti halnya akar-akar pohon tidak mengandung buah, namun perlu dipelihara untuk memastikan agar buahnya sehat. Begitu pula batangnya, logika. Alasan mengkaji metafisika dan logika bukanlah agar kita bisa lebih mengetahui, melainkan supaya kita dapat belajar mengungkapkan dengan lebih jelas dan cermat pengetahuan yang kita peroleh dari sumber-sumber lain. Kalau tidak, kita bisa mendapati diri membudidayakan wawasan yang terlihat manis di luar, tetapi busuk ketika kita ―gigit‖. Jadi, apakah logika itu?
Mahasiswa I. ―Logika adalah proses berpikir selangkah demi selangkah, seperti yang selalu dipakai oleh ilmuwan yang baik.‖
Saya rasa pandangan anda benar bahwa berpikir ilmiah harus logis; berpikir ―selangkah demi selangkah‖, yang mensyaratkan langkah-langkah yang harus diikuti menurut suatu tatanan tertentu, tentu saja merupakan salah satu ciri utama segala hal yang logis. Kata ―tatanan‖ (order) menyiratkan pertalian tertentu yang ada antara langkah-langkah berlainan yang kita ikuti dalam proses berpikir kita. Saya menganggap itulah maksud anda kala mengatakan ―selangkah demi selangkah‖. Namun jawaban anda
memperlihatkan bahwa anda salah paham terhadap pertanyaan saya. Apakah kalian menyadarinya? Jika dalam Pengantar Sejarah seorang mahasiswa menanyai saya ―Apakah sejarah itu?‖, maka memadaikah jawaban saya kepadanya bila mengatakan ―Sejarah adalah sesuatu mengenai masa lalu yang penting‖? Adakah di antara kalian yang sedang mempelajari sejarah saat ini yang bisa memberi tahu saya apakah pemerian saya tentang apa yang sedang anda pelajati itu akurat ataukah tidak?
Mahasiswa J. ―Kami belajar banyak mengenai peristiwa-peristiwa signifikan yang terjadi di masa lalu.‖
Itukah tepatnya yang anda pelajari? Di semua matakuliah, para mahasiswa pasti mempelajari hal-hal penting mengenai masa lalu tanpa benar-benar mengkaji sejarah. Contohnya, di kuliah-kuliah terdahulu kita sudah mempelajari metafisika dengan menelaah ide-ide filsuf masa lalu, tetapi pengambilan pendekatan historis tidak berarti kita mengkaji sejarah begitu saja. Hal lain apa yang kalian pelajari di matakuliah sejarah? Mahasiswa J. ―Sebagian pengajar menyajikan berbagai teori tentang bagaimana
perubahan historis pada aktualnya berlangsung, umpamanya perdebatan apakah sejarah itu seperti garis ataukah lingkaran. Juga, kita diharapkan untuk tidak sekadar mempelajari fakta-fakta masa lalu, tetapi mengapa fakta-fakta itu signifikan, dan bagaimana kita bisa menafsirkannya dengan cara sebaik-baiknya.‖
Bagus sekali! Nah, seperti halnya semua disiplin akademik mengajarkan sesuatu mengenai masa lalu tanpa perlu mengajarkan sejarah, semua disiplin akademik—atau paling tidak, mestinya—pun bersifat logis, namun tidak mengajarkan logika. Tidak hanya matakuliah sains; sejarah, ekonomi, politik, agama, musik, dan seni pun biasanya juga diajarkan dengan cara logis, tertata (namun tentu saja terdapat berbagai tipe tatanan). Jadi, permintaan saya sekarang, katakan apa yang menjadikan logika itu sendiri khas sebagai disiplin akademik! Bila kita alihkan perhatian kita ke logika, apa yang akan kita telaah?
Mahasiswa K. ―Prinsip pemikiran yang tertata?‖
Ya! Bahkan itu bisa dipakai sebagai landasan definisi umum logika. Logika sebagai disiplin akademik berbeda dengan disiplin lain dengan kenyataan bahwa logikawan tidak sekadar menggunakan pemikiran yang tertata; mereka berpikir dengan cara yang tertata mengenai berpikir secara tertata. Barangkali definisi yang dipandang paling umum adalah ―ilmu tentang hukum pikir‖.
Definisi tersebut mengingatkan saya pada istilah khas yang dimanfaatkan oleh Kant dalam memaparkan pola-pola yang terpasang tetap pada benak manusia. Ia menyamakan filsuf yang baik dengan arsitek yang membangun sistem-sistem (bangunan-bangunan konseptual) menurut rencana yang ditetapkan sebelumnya. Struktur ―arsitektonik‖ akal itu sendiri menyediakan seperangkat pola yang telah tersusun yang menurut Kant harus dipakai oleh para filsuf sebagai alat untuk menyajikan ide-ide filsosofis mereka dengan cara yang lebih tertata. Kant sendiri tidak pernah mencurahkan banyak waktu untuk menjelaskan hakikat pola-pola tersebut; namun di Bagian Dua ini, cukup banyak
perhatian kita yang akan tercurah pada tugas itu. Seperti yang akan kita saksikan, melalui logikalah kita dengan sebaik-baiknya mengakui suatu ide dan penataan bagian-
bagiannya, yang Kant anggap sebagai prasyarat untuk memahami suatu sistem filsafat. Tentu saja, pemberian definisi sederhana logika itu bukanlah satu-satunya cara untuk menjawab pertanyaan kita. Adakah yang mempunyai ide lain tentang apakah logika itu? Mahasiswa L. ―Saya ingat, pada salah satu kuliah awal kita anda membicarakan kata Yunani logos. Apakah kata tersebut berkaitan dengan apa yang kita nyana akan kita pelajari selama beberapa pekan mendatang ini?
Barangkali anda juga ingat bahwa, ketika saya menyebut logos pada Kuliah 3, saya berusaha menyoroti beberapa kebermaknaan mitos bagi filsafat. Istilah logos kadang- kadang dapat mengacu pada mitos itu sendiri, makna yang tersembunyi, sesuatu yang tidak diketahui. Akan tetapi, saya pikir yang terbaik adalah menafsirkan bahwa istilah itu mengacu pada upaya pertama untuk mengungkap makna ini dalam kata-kata. Karena ―logos‖ berarti ―kata‖, kita bisa menyatakan bahwa dalam pengertian ini istilah ―logis‖ mengacu pada penggunaan kata-kata sedemikian sehingga kata-kata membawa beberapa makna. Seperti yang akan kita lihat di kuliah-kuliah pekan ini, ada dua tipe logika: tipe pertama benar-benar mengabaikan segala makna yang tersembunyi (yakni mitologis), sedangkan tipe kedua hampir seluruhnya berfokus pada penyingkapan makna-makna semacam itu seterang-terangnya.
Kata-kata biasanya membawa makna bilamana berkombinasi dengan kata-kata lain. Istilah khas yang dipakai dalam logika untuk menunjukkan kalimat yang mengemukakan hubungan maknawi antara dua kata atau lebih adalah ―proposisi‖. Untuk contoh,
pelajaran kita di Kuliah 5 bahwa bagi Aristoteles ―substansi adalah forma plus bahan‖ bisa dipandang sebagai proposisi sederhana, yang menunjukkan pertalian tertentu antara tiga konsep: ―substansi‖, ―forma‖, dan ―bahan‖. Dalam kuliah mendatang saya akan memperkenalkan beberapa istilah khas yang akan memungkinkan kita untuk mengacu pada nama-nama tipe hubungan proporsional terpenting.
Mengapa perlu dipelajari bagaimana kata-kata mendapatkan maknanya? Bila kita mengetahui arti suatu kata, mengapa kita perlu mempelajari dan mendalami hukum- hukum yang menentukan bagaimana makna-makna itu muncul? Pertanyaan ini mestinya mudah untuk kalian jawab, karena saya telah menyebutkan alasannya pada awal kuliah ini.
Mahasiswa M. ―Jika kita tidak mengetahui hukum-hukumnya, maka bisa-bisa kita melakukan kekeliruan tanpa menyadarinya. Mempelajari hukum-hukum tersebut akan menolong kita untuk berpikir dan berkata dengan sebenar-benarnya. Orang yang logis tidak akan mengatakan hal-hal yang salah.‖
Ya, menghindari kekeliruan merupakan jawaban yang saya setujui. Namun sekali lagi, kita jangan mengira sesuatu niscaya benar hanya lantaran logis. Barangkali anda akan terkejut mendapati bahwa sesungguhnya logika itu tidak mempedulikan kebenaran kata- kata yang kita pakai, tetapi hanya mengenai nilai kebenarannya. Seperti yang akan kita lihat, sesuatu ternyata bisa salah total, sekalipun diungkapkan dengan cara yang logis (atau sahih); bisa pula sesuatu ternyata benar sepenuhnya, walau kebenaran itu dinyatakan dengan cara yang tidak logis. Jenis kekeliruan yang kita elakkan dengan bantuan logika itu tidak disebut ―kesalahan‖ (falsehood), tetapi ―kesesatan‖ (fallacy). Kesesatan adalah kekeliruan susunan argumen yang kita gunakan untuk menarik
kesimpulan berdasarkan bukti. Kesesatan terpenting yang perlu anda pelajari adalah yang bertalian erat dengan sesuatu yang disebut masalah mengacu-diri. Karena saya sangat sering menjumpai kesesatan ini yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa di lembar mawas mereka, di sini saya mengingatkan anda akan bahaya-bahayanya di permulaan kuliah logika kita. Istilah ―mengacu-diri‖ merujuk pada proposisi apa pun yang mengacu pada proposisi itu sendiri. Kebanyakan proposisi tersebut tidak mengandung masalah logika. Umpamanya, jika kata ―ini‖ dalam kalimat ―Kalimat ini benar‖ mengacu pada kalimat itu sendiri (yakni kalimat di dalam tanda kutip), kita tidak kesulitan untuk memahami bagaimana ini bisa benar. Namun bila kita mengubah kalimat itu sedikit saja, hingga terbaca ―Kalimat ini salah‖, maka timbul masalah besar selekas kita anggap kata ―ini‖ mengacu pada kalimat tersebut. Masalahnya adalah bahwa bila proposisi tersebut memiliki nilai kebenaran positif (yaitu jika kita hendak mengklaim bahwa proposisi tersebut benar), maka ini mengisyaratkan bahwa kita mempercayai bahwa kalimat
tersebut salah, karena itulah yang dikatakan oleh kalimat itu mengenai kalimat itu sendiri. Padahal, jika kita menerima bahwa proposisi itu salah, maka (menurut tuntutan kalimat itu) pastilah salah pernyataan bahwa kalimat tersebut salah. Dengan kata lain, bila itu benar, maka itu salah, dan jika itu salah, maka itu benar! Ini mengakibatkan sesuatu yang kadang-kadang disebut ―lingkaran syetan‖—yakni daur implikasi tak berujung-pangkal yang memustahilkan penentuan makna proposisi tersebut.
Masalah tersebut sering muncul samar-samar di lembar mawas mahasiswa. Yang paling lazim adalah yang terdapat di lembar-lembar mengenai topik-topik seperti ―Apakah Kebenaran Itu?‖ atau ―Bagaimana Saya Mengetahui Benar-Salah Perbuatan?‖ atau ―Apa Standar Keindahan?‖. Mahasiswa-mahasiswa secara khas biasanya memperhatikan fakta bahwa budaya-budaya yang berlainan (dan terkadang bahkan orang-orang yang berbeda di kebudayaan yang sama) mempunyai pandangan yang beragam tentang persoalan- persoalan tersebut. Lantas, mereka menyimpulkan: ―tidak ada jawaban yang pasti‖. Namun penarikan kesimpulan sedemikian itu menyesatkan, karena gagal dalam tes mengacu-diri. Hal ini menjadi jelas segera seusai kita akui bahwa proposisi tersebut memberikan suatu jawaban pasti terhadap pertanyaan yang ada—yakni jawaban yang akan mengakhiri pembahasan (sebagaimana yang dilakukan oleh semua jawaban yang
sungguh-sungguh pasti) dengan bersikeras bahwa pencarian jawaban-pasti itu berada di jalan buntu. Karena [kalimat] ―tidak ada jawaban yang pasti‖ itu sendiri merupakan jawaban yang pasti, kalimat tersebut itu sendiri memberikan contoh-balik kebenaran yang diklaim: jika proposisi ―tidak ada jawaban yang pasti‖ ditetapkan benar, maka proposisi tersebut pasti salah, karena menggambarkan bahwa sekurang-kurangnya pasti ada satu jawaban yang pasti!
Kesesatan itu bisa dikoreksi dengan dua cara. Pertama, kita dapat mengakui bahwa proposisi yang dibicarakan merupakan pengecualian terhadap aturan tersebut. Dalam hal ini, pada dasarnya kita menerima kehadiran mitos. Dengan kata lain, kita bisa
mengatakan: ―Satu-satunya jawaban yang pasti terhadap pertanyaan ini adalah bahwa tidak ada jawaban yang pasti (kecuali yang ini).‖ Melakukannya berarti membenarkan mitos; namun masalah mengacu-diri menggambarkan bahwa tidak semua mitos bisa kita singkirkan. Kadang-kadang, daripada menganggap diri tidak memiliki mitos sama sekali, lebih baik kita sadar akan mitos-mitos kita (praduga-praduga kita yang tak bisa dibela) saja. Untuk menyatakan simpulan dengan cara yang lebih akurat dan maknawi, pilihan kedua adalah semacam: ―terdapat terlalu banyak jawaban yang pasti‖. Hal ini bersesuaian dengan jenis bukti yang secara khas terdapat pada lembar-lembar mawas mahasiswa, yang mempertimbangkan argumen pendahulu yang telah memperbandingkan beberapa jawaban pasti, yang bersaingan, atas pertanyaan apa pun. Bahkan, sebagian besar (kalau tidak semua) pertanyaan filosofis mempunyai karakteristik penting tersebut. Pertanyaan- pertanyaan itu bukan tidak memiliki jawaban; kalau tidak punya, pembahasannya sia-sia belaka. Pertanyaan-pertanyaan itu justru berpotensi besar untuk mempunyai jawaban- jawaban yang baik sampai-sampai tidak memungkinkan kita untuk memastikan jawaban mana yang terbaik. Tentu saja, pilihan kedua ini tidak lepas dari yang pertama, karena sebetulnya kita menyatakan: ―Jawaban terbaik adalah bahwa ada banyak jawaban yang baik, tetapi tidak ada jawaban yang terbaik (kecuali yang ini).‖
Mengenali kesesatan tersebut dan tipe-tipe kesesatan lainnya bisa menjadi keterampilan yang sangat bermanfaat, walau anda tidak perlu bersusah-payah menghafal nama-nama Latin asing yang sering dikemukakan. Beberapa kesesatan umum yang harus anda perhatikan tatkala menulis lembar mawas adalah: berargumen ad hoc (dari contoh tunggal), ad antiquitatem (dari tradisi), ad novutatem (dari kebaruan), ad baculum (dengan memanfaatkan kekuatan), atau ad hominem (dengan memanfaatkan kelemahan pribadi pihak lawan atau pihak lain yang menerima simpulan yang sama); dengan mengalihkan ―tanggung jawab pembuktian‖ (yakni mengklaim pandangan diri sendiri benar selama tidak ada yang membuktikannya salah); dengan mengecoh (yaitu
menggunakan satu kata dengan dua cara yang berbeda tanpa menunjukkan
perbedaannya); menyerang ―versi pandangan lawan yang lemah, yang mudah dibuktikan kesalahannya); ―mengundang pertanyaan‖ dengan menganggap benar hal yang ingin anda buktikan—dan masih banyak lagi, nyaris tak terbatas. Akan tetapi, sebagian filsuf terlalu gemar menjuluki sesat segala jenis kekeliruan berlogika, sehingga pencarian mereka terhadap kesesatan menjadi kesesatan sendiri. Ini terjadi manakala mereka menganggap bahwa penemuan suatu kesesatan merupakan alasan yang mencukupi untuk menyalahkan atau meremehkan simpulan argumennya, dan karenanya mereka menolak untuk mempertimbangkannya lebih lanjut. Memperlakukan kesasatan dengan cara itu
sama dengan melakukan sesuatu yang saya sebut (dengan sengaja bereksperimen dengan sedikit mengacu-diri) ―kesesatan perihal kesesatan‖ (the fallacy fallacy)! dengan kata lain, sesatlah penyimpulan dari fakta bahwa bila suatu argumen mengandung kesesatan, maka simpulannya pasti tidak benar.
Hal itu bisa saya gambarkan dengan sebuah contoh sederhana. Jika saya katakan ―Sejarah dan filsafat tidak mempunyai kesamaan sama sekali; anda sejarahwan dan saya filsuf; karena itu, kita tidak mempunyai minat yang sama‖, maka argumen saya menyesatkan. Walaupun dua pernyataan (yang disebut ―premis‖) pertama keduanya benar, keduanya tidak mesti menyiratkan pernyataan ketiga, karena anda dan saya barangkali memiliki suatu kesamaan yang tidak berkaitan dengan sejarah atau filsafat. Di sisi lain, meskipun satu atau dua premis tersebut salah, simpulannya mungkin benar: sejarah dan filsafat mungkin bertalian erat dalam hal-hal tertentu, atau anda mungkin mengkaji kimia, bukan sejarah; namun kita barangkali tidak memiliki minat yang sama. Logika pada hakikatnya tidak mampu memberi tahu kita apakah salah satu atau kedua skenario itu pada
kenyataannya benar; yang bisa dilakukan hanyalah memberi tahu kita kondisi tertentu [sedemikian rupa sehingga] kebenaran klaim tertentu bisa diperagakan. Oleh sebab itu, sesatlah asumsi bahwa simpulan argumen saya niscaya tidak benar karena argumen saya mengandung kesesatan.
Para logikawan terkadang memahami hal itu dengan mengatakan logika lebih terkait dengan ―kebenaran formal‖ daripada ―kebenaran material‖. Kebenaran material proposisi adalah fakta eksternal khas yang menyebabkan proposisi itu benar atau salah. Jadi, jika kita ingin memperagakan kebenaran material pernyataan ―Kapur tulis ini putih‖, maka jalan terbaiknya bagi saya hanyalah memegangnya seperti ini, sehingga kalian semua bisa melihat bahwa ini putih. Proposisi itu benar bila ternyata kapur tulis di tangan saya ini pada kenyataannya memang putih. Sebaliknya, kebenaran formal proposisi adalah ungkapan internal umum. Dengan ―internal‖ saya bermaksud bahwa, tanpa keluar dari proposisi itu sendiri, kita dapat menentukan nilai kebenaran formalnya. Sebagai contoh, mari kita ambil proposisi kompleks ―Jika kapur tulis ini sepenuhnya putih, maka ini bukan biru‖. Dalam hal ini, kita dapat mengatakan bahwa, tanpa melihat kapur tulis sama sekali, kita mengetahui bahwa jika proposisi pertama benar, maka benar pula proposisi kedua.
Kebenaran formal proposisi tidak bergantung sama sekali pada makna khas kata-kata yang dipakai dalam proposisi itu. Namun bagaimanapun, kita mengetahui nilai
kebenaran setiap bagiannya. Karena alasan ini, logikawan acapkali mendapatkan manfaat dari penggantian kata-kata dalam suatu proposisi dengan simbol-simbol. Karena simbol itu hanya melambangkan sifat umum atau formal setiap kata, simbol itu mempermudah kita dalam melihat lebih jauh isi khasnya dan melihat struktur logis yang melandasi proposisi. Jadi, tujuan ideal sebagian logikawan adalah mengembangkan logika simbolik lengkap yang bisa berfungsi, secara agak ironis, sebagai bahasa tanpa kata (yakni logika tanpa logoi). Contohnya, proposisi ―Jika ... maka ...‖ tersebut di atas bisa diungkapkan dengan menggantikan ―kapur tulis ini‖ dengan ―a‖, ―sepenuhnya putih‖ dengan ―w‖, ―tidak‖ dengan ―-‖, dan ―biru‖ dengan ―-w‖ (yakni ―tidak putih‖), sehingga struktur formal proposisi itu menjadi jelas: proposisi ―Jika a adalah w, maka a adalah –(-w)‖
selalu merupakan proposisi yang benar, apa pun kata-kata yang kita pakai untuk menggantikan simbol-simbol itu.
Begitu banyaknya simbol-simbol dalam buku-buku-ajar logika, mungkin lebih daripada yang lain, menakutkan bagi mahasiswa-mahasiswa pemula sampai-sampai mereka lari dari logika. Namun seperti bahasa baru yang mana saja, selekas kita pelajari cara pakai simbol-simbol itu, berlalulah kecanggungan dan kebingungan awal. Dalam matakuliah ini, saya akan memperkenalkan kepada kalian simbol-simbol logika beberapa gelintir saja. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan pandangan-pandangan anda yang berwawasan luas mengenai hakikat logika, saya banyak berharap agar sebagian dari kalian akan cukup tertarik untuk benar-benar membaca sendiri lebih lanjut bacaan-bacaan di bidang logika simbolik. Kepentingan saya di delapan kuliah mendatang adalah
membantu anda dalam memperdalam wawasan anda ke dalam logika itu sendiri pada aktualnya.
11. Dua Jenis Logika
Saya mau memulai kuliah ini dengan melihat contoh khas tentang bagaimana logika bisa membantu kita dalam melihat hubungan formal antara kata-kata dan dalam melihat nilai kebenaran proposisi yang tersusun oleh kata-kata [yang saling berhubungan secara formal] itu. Nilai kebenaran proposisi, sebagaimana paparan saya di kuliah yang lalu, sangat berbeda dengan kebenaran material aktualnya. Ini mengacu pada kebenaran atau kesesatan proposisi yang akan dimiliki dalam segala perangkat kondisi yang ada. Jadi, kita bisa menemukan nilai kebenaran tanpa mengetahui sama sekali isi aktualnya, asalkan kita tahu jenis proposisinya. Salah satu cara melakukannya adalah menyusun sesuatu yang disebut ―tabel kebenaran‖ proposisi. Mari kita ambil contoh proposisi: ―Jika anda membaca Bacaan Anjuran, maka anda akan berhasil di pengujian akhir.‖ (Pada
aktualnya, saya lebih suka tidak memberi uji tulis—atau nilai apa pun mengenai materinya—karena hampir mustahil menilai seberapa banyak filsafat hakiki yang anda serap hanya dengan memberlakukan tes konvensional. Matakuliah ini tidak bermaksud mengajari anda mengenai filsafat—yang bisa diuji dengan mudah—tetapi mengajari anda berfilsafat. Namun demikian, universitas menghajatkan dosen untuk ―menilai‖
mahasiswa mereka; jadi, mari kita manfaatkan logika untuk mengingatkan kita sendiri tentang salah satu cara yang baik untuk mengupayakan nilai yang tinggi, bila anda membaca Bacaan Anjuran sebagai bagian dari matakuliah yang dinilai.)
Langkah pertama dalam menyusun tabel kebenaran adalah mereduksi proposisi yang dibicarakan ke bentuk logisnya yang tersederhana. Dalam hal ini, kita dapat
menggantikan ―anda membaca Bacaan Anjuran‖ dengan p dan ―anda akan berhasil di pengujian akhir‖ dengan q, yang memberi kita proposisi ―Jika p, maka q‖. Ini bisa diungkapkan seluruhnya dengan simbol-simbol sebagai ―p ? q‖, yang di sini tanda anak panah berarti ―menyiratkan‖ (yang secara logis sama dengan ―Jika..., maka...‖). Langkah