• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: ANALISIS TERHADAP PEMAHAMAN HADIS - HADIS TENTANG

D. Keragaman Metode dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah

2. Pemahaman Ormas Al-Jam’iyatul Washliyah

ُـَلاَّسلا َؿاَقَػف

ْمُكْيَلَع

.

ِوَّللا ُةَْحَْرَو َكْيَلَع ُـَلاَّسلا اوُلاَقَػف

.

،َـَدآ ِةَروُص ىَلَع َةَّنَْلجا ُلُخْدَي ْنَم ُّلُكَف ،ِوَّللا ُةَْحَْرَو ُهوُداَزَػف

َفلْا َّتَّح ُدْعَػب ُصُقْػنَػي ُقْلَْلخا ِؿَزَػي ْمَلَػف

"

)يراخبلا هاور(

‚Telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Ja‘far, telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaq, dari Ma‘mar dari Hammam dari abu Hurairah ra., dari Nabi saw, beliau bersabda: Allah menciptakan Adam setinggi 60 zira‘. Kemudian Allah berfirman, ‘Pergilah, kemudian ucapkan salam kepada para malaikat dan dengarkan jawaban mereka, karena jawaban tersebut akan menjadi salammu dan salam keturunannmu’. Maka Adam mengucapkan ‘Assalamu’alakum’. Para malaikat menjawab, ‘Assalamu’alaika Warahmatullah’. Para malaikat menambahkan kata Warahmatullah. Setiap orang masuk surga tubuhnya akan berpostur seperti Adam. Anak cucu Adam diciptakan semakin mengecil hingga sekarang.‛ (HR. al-Bukh±ri)

Jadi walaupun fenomena alam dapat disebut sunnatullah, namun yang perlu ditekankan adalah di mana yang tidak akan berubah itu adalah ketentuan Allah yang selalu penuh dengan perhitungan dan hikmat yang agung, sedangkan alam itu sendiri hanya makhluk dan dapat berubah apabila penciptanya menghendaki.

2. Pemahaman Ormas Al Jam’iyatul Washliyah

Al Jam’iyatul Washliyah memahami bahwasanya term ru`yat hanya terdapat pada penentuan waktu puasa, dan tidak terkait dengan penentuan waktu salat. Hal ini disebabkan secara syara’, istilah rukyat hanya dipakai pada pada penentuan bulan Qamariyah saja.

Dr. Arso, Ketua Badan Hisab Rukyat PB Al Jam’iyatul Washliyah yang bermukim di kota Medan menegaskan bahwa tidak ada keterkaitan ru`yat pada penentuan waktu salat, di mana tidak ada satupun dalil, yang memerintahkan manusia untuk melakukan rukyat saat menentukan waktu salat. Sebaliknya dalam penentuan waktu salat, yang diperhatikan adalah fenomena alam yang terjadi ketika masuknya waktu salat, yang kemudian dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, fenomena-fenomena alam tersebut dapat dipastikan dengan perhitungan

astronomi. Maka sebagai imbas kemajuan ilmu pengetahuan ini, jadwal-jadwal waktu salat yang awalnya didasarkan dari fenomena alam, dapat dikonversikan ke dalam waktu jam, menit dan detik.187

Berbeda dengan kasus penentuan bulan Qamariah, khususnya untuk menentukan waktu puasa dan hari raya, Rasulullah jelas memerintahkan umatnya untuk merukyat hilal, sebagaimana sabda beliau:

اَنَػثَّدَح

ُـَدآ

اَنَػثَّدَح ،

ُةَبْعُش

اَنَػثَّدَح ،

ٍداَيِز ُنْب ُدَّمَُمح

َؿاَق ،

:

ْعَِسَ

ُت

َةَرْػيَرُى اَبَأ

: ُؿوُقَػي ، ُوْنَع ُوَّللا َيِضَر

ُوَّللا ىَّلَص ِمِساَقْلا وُبَأ َؿاَق : َؿاَق ْوَأ ، َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص ُِّبيَّنلا َؿاَق

َمَّلَسَو ِوْيَلَع

: "

ِوِتَيْؤُرِل اوُموُص

)يراخبلا هاور( .َينِث َلاَث َفاَبْعَش َةَّدِع اوُلِمْكَأَف ْمُكْيَلَع َيبيُغ ْفِإَف ، ِوِتَيْؤُرِل اوُرِطْفَأَو

ٔٛٛ

‚Telah menceritakan kepada kami ²dam, telah menceritakan kepada kami Syu‘bah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Ziy±d, ia berkata: aku telah mendengari Abu Hurairah ra. berkata: Nabi saw bersabda, atau ia berkata: Abu al-Q±sim saw bersabda, ‘Berpuasalah dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya (hilal), apabila kalian terhalangi maka sempurnakanlah bilangan sya‘ban menjadi tiga puluh.’‛ (HR. al-Bukh±ri)

Merujuk kepada kaedah fikih yang di bawah ini:

َداَعْلا ُلْصَا َو ِنِاَعَمْلا َلىِإ تافتللاا َفْوُد ُدُّبَعَّػتلا ِفَّلَكُمْلا َلىِإ ِةَبْسينلااِب ِةَداَبِعْلا ِفي ُلْصَْلاا

ِت

ُتاَقِتْللاا

. ِنِاَعَمْلا َلىِإ

ٜٔٛ

‛Pada dasarnya ibadah dalam hubungannya dengan mukallaf adalah bersifat ta’abbudi, tanpa berpaling kepada makna-maknanya, sedangkan pada dasarnya ‘adat (muamalah) menoleh pada makna-maknanya.‛

Puasa merupakan ibadah yang bersifat ta‘abbudi, oleh karena itu hal-hal yang terkait dengan puasa maka dalil dipahami sesuai dengan teksnya tanpa pengalihan makna. Dengan demikian, rukyat yang dimaksud dalam hadis yang telah disebutkan sebelumnya harus dimaknai sebagai ru’yah bil-fi‘li. Selain itu tidak ada

187 Syukri Aba, Studi Pemahaman dan Pengamalan Hadis Tentang Rukyat..., h. 95.

188Muhammad ibn Ism±‘³l al-Bukh±ri, Sahih al-Bukhari., Kitab as-Saum, Bab Qaul Nabi Saw.: I©a ra-aitum al-hilal fa sumu wa i©a ra-atumuhu fa aftiru, no. 1909.

189Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad asy-Sy±¯ibi, al-Muw±faq±t, (Kairo: Dar Ibnu ‘Affan, 2003), h. 513

qarinah yang menunjukkan pengertian rukyat dalam hadis dipahami sebagai ru’yah bil-‘ilmi.

Namun demikian, Al Jam’iyatul Washliyah mengakui adanya berbagai kendala dalam melakukan rukyat dengan kasat mata, oleh karena itu dalam prakteknya penentuan waktu puasa juga dibantu dengan hisab atau perhitungan astronomi. Inilah yang dimaksud dengan imkan ru’yah, yakni menentukan posisi hilal dengan perhitungan astronomi pada posisi yang memungkinkan orang-orang mampu melihat hilal tersebut dengan kasat mata. Namun ini baru diterapkan setelah terhalangnya penglihatan manusia daripada melihat hilal secara kasat mata.190

Hal yang demikian didukung oleh beberapa pendapat ulama, di antaranya: a. Imam Al-Qusyairi

اَذِإو

ًلاَثَم ِميَغلاَك ِعناَمػلا ُدوُجُو َؿْوَل ىَرُػي وجو ىلع ِقُفُلأا نِم َعَلَط دق َؿ َلاِلذا َّفأ ىلع ُباَسِلحا َّؿَد

.ييِعرَّشلا ِبَبَّسلا دوجوِل ُبوجولا يِضَتْقَػي اذهف

ٜٔٔ

‚Bila hisab menunjukkan bahwa hilal ada di atas ufuk yang bisa dilihat kalau tidak ada mani’ (penghalang) seumpama mendung, maka ini menunjukkan wajib berpuasa karena ada sebab syar‘i.‛

b. Ibnu al-Qasim al-‘Ibadi

ىِفكّي فأ ِلعفلاب ْدجوت لِ ْنِكَل ُوُتَػيؤُر ىَّتأتت ُثيبح بورغلا دعب هدوجو ىلع ُّيِعطَقلا ُباَسِلحا َّؿَد وَل

.كلاذ

َ

‚Bila hisab qa¯‘i telah menunjukkan atas wujudnya hilal setelah terbenamnya matahari sehingga bisa dilihat, tetapi tidak dapat dilihat dengan mata kepala, sepatutnya dianggap cukup demikian.‛

190 Syukri Aba, Studi Pemahaman dan Pengamalan Hadis Tentang Rukyat..., h. 97.

191Arso, Dasar-Dasar Ilmu Falak, Sejarah dan Dinamika Perkembangannya, (Diktat kuliah yang beliau ajarkan pada bidang Studi Ilmu Falak, Fakultas Syari’ah UIN Sumatra Utara), h. 20.

c. Imam asy-Syafi‘i

َّينبت ّثم ِرمقلا ِؿزانمو ِـوجنلاب ؿلادتسلإا ُوُبَىذَم فاك نَم

ٌّيػِػػئرم ؿلالذا ّفأ ؿلادتسلإا ةهج نِم ول

.ِويِزجػُيو ـوصلا دقعّي فأ ول َّفإف َّمُغ دقو

ٜٕٔ

‚Orang-orang yang mazhabnya itu mengambil pedoman dengan bintang-bintang dan kedudukan bulan, kemudian jelas baginya menurut dalil tersebut, bahwa hilal telah bisa dilihat, tetapi tertutup awan, maka orang tersebut boleh menjalankan puasa dan cukuplah.‛

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam penentuan waktu salat Al Jam’iyatul Washliyah menggunakan tanda-tanda fenomena alam yang tercantum di dalam hadis-hadis Rasulullah serta posisi matahari terhadap bumi sebagai acuan untuk melakukan perhitungan astronomi yang kemudian dikonversikan dalam satuan jam, menit dan detik. Sedangkan untuk penentuan waktu puasa yang dijadikan sebagai acuan adalah posisi hilal atau bulan baru yang dapat dilihat dengan mata telanjang, jika tidak dapat dilihat secara fisik barulah ilmu hisab dipergunakan.

Terkait pengamalannya di lapangan, untuk dapat melakukan rukyat secara rutin Al Jam’iyatul Washliyah masih dibatasi oleh alat dan dana. Oleh karena itu setiap tahunnya Al Jam’iyatul Washliyah hanya turut berpartisipasi dalam pengamatan hilal yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI baik di tingkat provinsi maupun pusat.

Ditinjau dari pendekatan tekstual dan kontekstual, pemahaman Ormas Al Jam’iyatul Washliyah terhadap hadis-hadis tentang ru`yat dalam penentuan waktu salat dapat dikatagorikan kepada pemahaman kontekstual, sedangkan pemahaman mereka terhadap penentuan waktu puasa cenderung kepada pemahaman tekstual.

Namun peneliti mendapati kerancuan dalam pendapat narasumber ormas ini terkait tidak adanya rukyat dalam penentuan waktu salat. Dari sudut pandang ini,

pemahaman narasumber hanya menitik beratkan pada shigat insya’i talabi dalam memahami dilalah nash. Padahal banyak perkara baik terkait ibadah maupun sosial, adakalanya tidak disampaikan melalui shigat insya’i thalabi (perintah dan larangan), melainkan dengan memberikan petunjuk melalui khabar ataupun melalui pengamalan langsung Rasulullah Saw. sendiri. Dalam kasus ini, walaupun dalam menjelaskan waktu salat Rasulullah tidak memberi perintah, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam prakteknya Rasulullah dan para sahabat di zaman itu menggunakan rukyat. Berdasarkan analisa penulis, narasumber memahami makna rukyat hanya dalam batasan term fiqh saja, di mana dalam literatur fiqh, kata ini hanya dicantumkan pada pembahasan penentuan waktu puasa saja. Oleh karena itu nara sumber mengabaikan pengertian rukyat dari secara bahasa. Peneliti menyayangkan hal tersebut dikarenakan pengetahuan terhadap pengertian suatu kata baik secara epistimologi maupun terminologinya adalah hal mendasar yang diperlukan untuk mencapai pemahaman yang lebih komprehensif.

Akan tetapi hal ini semakin menunjukkan bahwa pemahaman al-Washliyah terhadap hadis tentang rukyat dalam penentuan waktu puasa sangat cenderung kepada pemahaman tekstual. Oleh karena itu, apapun konteks eksternal yang diajukan untuk memahami hadis di luar teksnya, akan sulit diterima.

Namun demikian, dalam prakteknya masih banyak hambatan yang ditemui untuk melaksanakan perintah melakukan rukyat langsung. Oleh karena itu ormas ini pun tidak dapat menghindari untuk melaksanakannya dengan bantuan ilmu hisab, atau yang lebih dikenal dalam istilah metode imkan rukyat. Walaupun metode

imkan rukyat diakui tidak menjawab sepenuhnya perintah Rasulullah untuk melaksanakan rukyat hilal secara langsung, tetapi metode ini dipandang sebagai metode yang paling mendekati untuk melaksanakan perintah rukyat, di mana hilal diyakini muncul di atas ufuk dari segi ilmu pengetahuan dan telah memungkinkan untuk dilihat oleh mata jika faktor-faktor penghalang seperti awan dan bias sinar matahari tidak muncul menghalangi pandangan mata.

Tidaklah tepat mengatakan bahwa ormas al-Washliyah melalukan rukyat murni dalam penentuan waktu puasa, melainkan dalam prakteknya ormas al-Washliyah sendiri masih cenderung berpedoman pada hasil hisab dikarenakan faktor geografis Indonesia sendiri merupakan hambatan yang sangat menyulitkan umat untuk mendapatkan hasil rukyat secara pasti.

Dokumen terkait