• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengamatan pemangsaan teri oleh ikan-ikan pemangsa dilakukan pada 8 jenis ikan yaitu peperek, selar, alu-alu, buntal, kwee, kerong-kerong, bambangan dan lencam. Tetapi hanya dua jenis ikan yang dapat dianalisis pada semua stasion penelitian yaitu peperek dan selar.

Berdasarkan proporsi volume makanan leiognathus, menunjukkan bahwa proporsi jumlah teri lebih besar dari makanan selain teri (Lampiran 10). Hal ini menunjukkan bahwa isi la mbung peperek sebagian besar terdiri dari teri. Proporsi volume makanan berupa teri dalam total makanan peperek bervariasi setiap stasion penelitan, proporsi terbesar teri sebagai organisme makanan pada stasion 3 dan 7 masing- masing mencapai 80% dan terendah pada stasion 8 sebesar 53%. Analisis regresi antara jumlah tangkapan teri oleh bagan rambo dengan jumlah teri dalam makanan peperek menunjukkan adanya korelasi positip dengan koefesien determinasi sebesar 0,1915 (Gambar 25).

Gambar 25 Hubungan jumlah tangkapan teri dan proporsi teri dalam makanan peperek selama penelitian

Jumlah teri yang dikonsumsi oleh selar berkisar antara 12 sampai 29 ekor teri (Lampiran 10). Variasi nilai ini berbeda untuk setiap stasion dan ukuran tubuh selar. Jumlah makanan terbesar diperoleh pada stasion 3 sedangkan jumlah terkecil pada stasion 7. Analisis frekuensi kejadian makanan menunjukkan bahwa

y = 0,0275x + 64,049 R2 = 0,1915 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 Tangkapan teri (kg)

44

pada sebagian besar stasion penelitian yaitu stasion 2, 3, 4, 6 dan 8 seluruh lambung ikan selar terdapat teri, sedangkan pada stasion lain proporsi frekuensi kejadian mencapai 80%. Analisis regresi antara jumlah tangkapan teri oleh bagan rambo dengan jumlah teri dalam makanan selar peperek menunjukkan adanya korelasi positip dengan koefesien determinasi sebesar 0,681 (Gambar 26). Hal ini dapat diartikan bahwa kenaikan jumlah tangkapan teri oleh bagan rambo berarti juga menunjukkan semakin banyak teri yang dikonsumsi oleh selar.

Gambar 26 Hubungan jumlah pemangsaan teri oleh selar dan jumlah tangkapan teri selama penelitian

Komposisi makanan alu-alu, buntal, kwee, kerong-kerong, bambangan dan lencam keseluruhannya berisi organisme teri masing- masing pada semua stasion penelitan. Untuk buntal frekuensi kejadian makanan mencapai 100% pada stasion 2 dan 3. Jenis ikan yang paling banyak memanfaatkan teri sebagai makanannya adalah jenis kwee yang mencapai 36 ekor teri pada stasion 1 (Gambar 27).

y = 0,021x + 81,198 R2 = 0,681 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 100 200 300 400 500 600 Tangkapan teri (kg)

Gambar 27 Jumlah teri yang dimangsa oleh ikan lain 0 5 10 15 20 25 30 35 40 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 Stasion Penelitian

Jumlah Teri (ind)

alu-alu buntal kwee

kerong-kerong bambangan lencam

5 PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru

Perairan Kabupaten Barru terletak di pantai barat pulau Sulawesi dan merupakan bagian dari Selat Makassar. Perairan ini merupakan salah satu pintu masuk arus lintas Indonesia (ARLINDO) dari arah ut ara sehingga secara umum kondisi perairannya banyak dipengaruhi oleh massa air laut dari Samudera Pasifik. Hasil pengukuran beberapa parameter perairan selama penelitian menunjukkan bahwa kondisi perairan Kabupaten Barru relatif homogen dimana fluktuasi nilai- nilai yang diperoleh relatif kecil.

Pengukuran suhu dan salinitas perairan menunjukkan nilai maksimum umumnya terjadi pada hauling III menjelang pagi hari (jam 04:30-05:00). Salinitas maksimum pada hauling III dapat disebabkan kondisi pasang yang terjadi menjelang pagi hari dimana massa air bergerak dari arah lautan dengan salinitas yang lebih tinggi menuju ke arah daratan, sebaliknya salinitas pada

hauling I (jam 21:00-22:00) ditemukan salinitas lebih rendah mencapai 28‰,

dimana pada waktu ini terjadi surut dan massa air banyak mendapat pengaruh dari massa air daratan utama sehingga salinitasnya lebih rendah. Pada stasion 3, 4 yang terletak lebih jauh dari daratan utama ditemukan kecenderung salinitas lebih tinggi dibandingkan stasion 1, 2, 6, 7 dan 8 yang terletak lebih dekat pantai. Hal ini disebabkan pengaruh masukan massa air dari daratan utama dengan salinitas yang lebih rendah pada stasion dekat pantai utama nya pada stasion 1 dan 8 yang terletak dekat dengan muara sungai (Gambar 9).

Kecepatan arus yang lebih besar biasanya terjadi pada hauling I yang dapat disebabkan pengaruh angin yang bertiup cukup kencang pada saat itu. Walaupun arus untuk arus daerah dekat pantai umumnya pengaruh pasang surut lebih besar dibandingkan pengaruh angin, namun pengukuran yang dilakukan hanya pada arus permukaan sehingga pengaruh angin dapat lebih dominan. Umumnya arus pada musim barat lebih kencang daripada arus yang terjadi pada musim timur. Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) memperlihatkan nilai yang cukup besar. Konsentrasi DO di perairan ini berada di atas batas minimum untuk

mendukung kehidupan di perairan seperti yang disebutkan oleh Prescot (1973) yaitu sebesar 2,0 mgO2/liter.

5.2 Komposisi dan Kelimpahan Plankton

Keterkaitan yang erat antara fitoplankton sebagai sumber energi di lautan dengan zooplankton merupakan tahap awal penghantaran energi ke jenjang trofik yang lebih tinggi. Tidak teridentifikasinya korelasi nyata antara kelimpahan fitoplankton dan zooplankton yang berarti bahwa peningkatan kelimpahan fitoplankton tidak disertai dengan peningkatan kelimpahan zooplankton saat itu yang dapat disebabkan adanya time lag karena zooplankton membutuhkan waktu untuk tumbuh mengikuti pertumbuhan fitoplankton. Jika diamati lebih seksama, terdapat trend bahwa peningkatan kelimpahan fitoplankton dalam suatu periode pengambilan data akan diikuti oleh kenaikan kelimpahan zooplankton setelah pengambilan data selanjutnya (Gambar 13). Fenomena ini masih perlu dikaji lagi karena selama penelitian stasion pengambilan data berada pada lokasi yang berbeda. Hubungan yang tidak nyata antara kelimpahan fitoplankton dan zooplankton juga ditemukan oleh Hauhamu (1995) di teluk Ambon dan Umar (2002) di teluk Siddo yang menemukan perbedaan temporal keaneragaman dan dominansi antara fitoplankton dan zooplankton.

Fitoplankton yang ditemukan adalah kelas Bacillariophyceae (diatom), Dynophyceae (dinoflagellata) dan Chrysophycae, dimana kelas Bacillariophyceae adalah yang paling umum ditemukan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Parson et al. (1977), yang mengelompokkan fitoplankton di lautan menjadi delapan kelas yaitu Cyanophyceae, Rhodophyceae, Dynophyceae, Haptophyceae, Chrysophycae, Xanthophyceae, Chlorophyceae dan Bacillariophyceae (diatom). Diantara kelas-kelas itu, kelas Bacillariophyceae dan Dynophyceae merupakan fitoplankton yang umum ditemukan di laut. Dalam perairan tropis, umumnya Bacillariophyceae ditemukan dalam kelimpahan yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan kelas Bacillariophyceae memiliki laju penggandaan ya ng relatif cepat dari kelas lainnya, tetapi dalam kasus tertentu, Dynophyceae dapat dijumpai dalam kelimpahan yang tinggi dan mampu menghambat pertumbuhan plankton

48

sehingga terjadi blooming spesies tertentu seperti yang terjadi pada kasus red

tide.

Penelitian ini hanya menemukan 3 kelas fitoplankton, sementara Parson

et al. (1977) menyatakan bahwa terdapat 8 kelas fitoplankton di lautan. Hal ini

disebabkan oleh faktor waktu pengambilan sampel plankton yang dilakukan pada waktu malam hari sehingga berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis yang diperoleh. Anakotta (2002) dalam penelitiannya di teluk Kupang dan menemukan komposisi dan kelimpahan fitoplankton pada malam hari lebih kecil dibandingkan pada siang hari.

Komposisi jenis zooplankton lebih banyak ditemukan dibandingkan fitoplankton, anggota kelompok zooplankton jumlahnya lebih besar dari kelompok fitoplankton. Zooplankton itu sendiri terdiri dari berbagai macam organisme akuatik hewani baik yang bersifat holoplankton seperti Copepoda maupun meroplankton seperti larva ikan, larva moluska dan lain- lain. Selain itu faktor migrasi vertikal zooplankton yang cenderung naik ke permukaan pada malam hari menyebabkan jenis zooplankton lebih banyak ditemukan pada penelitian ini.

Kelimpahan zooplankton secara umum didominasi oleh sub kelas Copepoda, namun demikian terdapat variasi kelimpahan berdasarkan komposisi jenis pada setiap stasion penelitian. Beberapa jenis melimpah pada stasion penelitian tertentu tetapi kemudian tidak ditemukan pada stasion yang lain. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan komunitas yang dinamis, sehingga suatu jenis dapat lebih dominan dari yang lainnya pada interval waktu tertentu tetapi kemudian menjadi langka pada interval waktu yang lain. Seperti yang ditunjukkan oleh larva dan telur ikan, ditemukan cukup dominan pada stasion 1, 6, 7 dan 8 tetapi pada stasion 2 dan 4 menjadi langka bahkan pada stasion 3 tidak ditemukan sama sekali. Selain itu sub kelas Malacostraca ditemukan dalam jumlah yang sedikit pada stasion 4 tetapi kemudian dominan stasion 7 dan 8 (Gambar 12).

Dokumen terkait