• Tidak ada hasil yang ditemukan

AZT+3TC+TDF

2) Pemantauan Laboratoris:

a) pemantauan laboratoris dilakukan untuk pemantauan CD 4 secara rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis. Angka limfosit total (TLC) tidak direkomendasikan untuk digunakan memantau terapi karena perubahan nilai TLC tidak dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan terapi;

b) untuk pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pada minggu ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia. Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila ada tanda dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu yang rutin. Akan tetapi bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD 4 antara 250 – 350 sel/mm3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase pada minggu 2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV (bila memungkinkan), dilanjutkan dengan pemantauan berdasarkan gejala klinis;

c) evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan TDF. Keadaan hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat terjadi pada beberapa pasien yang mendapatkan NRTI, terutama D4T atau DDI. Tidak direkomendasi untuk pemeriksaan kadar asam laktat secara rutin, kecuali bila pasien menunjukkan tanda dan gejala yang mengarah pada asidosis laktat; dan

d) penggunaan protease inhibitor (PI) dapat memengaruhi metabo-lisme glukosa dan lipid. Beberapa ahli menganjurkan pemeriksaan gula darah dan profil lipid secara reguler tetapi lebih diutamakan untuk dilakukan atas dasar tanda dan gejala. Pengukuran viral load (VL) sampai sekarang tidak dianjurkan untuk memantau pasien dalam terapi ARV dalam keadaan terbatas fasilitas dan kemampuan pasien. Pemeriksaan VL digunakan untuk membantu diagnosis gagal terapi. Hasil VL dapat memprediksi gagal terapi lebih awal dibandingkan dengan hanya menggunakan pemantauan klinis dan pemeriksaan jumlah CD 4. Jika pengukuran VL dapat dilakukan maka terapi ARV diharapkan menurunkan VL menjadi tidak terdeteksi (undetectable) setelah bulan ke 6.

3) pemantauan pemulihan jumlah sel CD 4:

a) pemberian terapi ARV akan meningkatkan jumlah CD 4. Hal ini akan berlanjut bertahun-tahun dengan terapi yang efektif. Keadaan tersebut, kadang tidak terjadi, terutama pada pasien dengan jumlah CD 4 yang sangat rendah pada saat mulai terapi. Meskipun demikian, pasien dengan jumlah CD 4 yang sangat rendah tetap dapat mencapai pemulihan imun yang baik tetapi memerlukan waktu yang lebih lama. Pada pasien yang tidak pernah mencapai jumlah CD 4 yang lebih dari 100 sel/mm3 dan atau pasien yang pernah mencapai jumlah CD 4 yang tinggi tetapi kemudian turun secara progresif tanpa ada penyakit/kondisi medis lain, maka perlu dicurigai adanya keadaan gagal terapi secara imunologis; dan

b) data jumlah CD 4 saat mulai terapi ARV dan perkembangan CD 4 yang dievaluasi tiap 6 bulan sangat diperlukan untuk menentukan adanya gagal terapi secara imunologis. Pada sebagian kecil pasien dengan stadium lanjut dan jumlah CD 4 yang rendah pada saat mulai terapi ARV, kadang jumlah CD 4 tidak meningkat atau sedikit turun meski terjadi perbaikan klinis.

4) Kematian dalam terapi antiretroviral. Kematian dalam terapi Anti-retroviral terjadi sejak dimulainya terapi ARV, angka kematian yang berhubungan dengan HIV semakin turun. Secara umum, penyebab kematian pasien dengan infeksi HIV disebabkan karena penanganan infeksi oportunistik yang tidak adekuat, efek samping ARV berat (Steven Johnson Syndrome), dan keadaan gagal fungsi hati stadium akhir (End Stage Liver Disease) pada kasus Ko-infeksi HIV/HBV. Hal ini dapat tercapai bila pasien datang di layanan HIV dan mendapat terapi ARV secepatnya.

BAB IV

HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN

23. Umum. Dalam mendukung kelancaran proses penatalaksanaan kasus HIV-AIDS dengan memperhatikan kepatuhan, kewaspadaan dan pelaporan untuk menjaga keberlangsungan proses selanjutnya.

24. Kepatuhan. Kepatuhan (adherence) pada terapi adalah suatu keadaan dimana pasien mematuhi pengobatannya atas dasar kesadaran sendiri, bukan hanya karena mematuhi perintah dokter karena kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh ketidakpatuhan pasien mengonsumsi ARV. Adapun yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

a. Faktor Yang Memengaruhi Kepatuhan.

1) Fasilitas layanan kesehatan. Sistem layanan yang berbelit, sistem pembiayaan kesehatan yang mahal, tidak jelas dan birokratik adalah penghambat yang berperan sangat signifikan terhadap kepatuhan, karena hal tersebut menyebabkan pasien tidak dapat mengakses layanan kesehatan dengan mudah. Termasuk diantaranya ruangan yang nyaman, jaminan kerahasiaan dan penjadwalan yang baik, petugas yang ramah dan membantu pasien.

2) Karakteristik pasien. Karakteristik pasien meliputi:

a) faktor sosiodemografi (umur, jenis kelamin, ras/etnis, penghasilan, pendidikan, buta/melek huruf, asuransi kesehatan, dan asal kelompok dalam masyarakat misalnya waria atau pekerja seks komersial); dan

b) faktor psikososial (kesehatan jiwa, penggunaan Napza, lingkungan dan dukungan sosial, pengetahuan dan perilaku terhadap HIV dan terapinya).

3) Paduan terapi ARV. Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan, bentuk paduan Fixed Drugs Combination (FDC) atau bukan FDC, jumlah pil yang harus diminum, kompleksnya paduan (frekuensi minum dan pengaruh dengan makanan), karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses untuk mendapatkan ARV.

4) Karakteristik penyakit penyerta. Meliputi stadium klinis dan lamanya sejak terdiagnosis HIV, jenis infeksi oportunistik penyerta, dan gejala yang berhubungan dengan HIV. Adanya infeksi oportunistik atau penyakit lain menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus diminum.

5) Hubungan pasien-tenaga kesehatan. Karakteristik hubungan pasien-tenaga kesehatan yang dapat mempengaruhi kepatuhan meliputi: kepuasan dan kepercayaan pasien terhadap tenaga kesehatan dan staf klinik, pandangan pasien terhadap kompetensi tenaga kesehatan, komunikasi yang melibatkan pasien dalam proses penentuan keputusan, nada afeksi dari hubungan tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll) dan kesesuaian kemampuan dan kapasitas tempat layanan dengan kebutuhan pasien.

b. Langkah-Langkah Untuk Meningkatkan Kepatuhan. Langkah-langkah untuk meningkatkan kepatuhan antara lain.

1) Informasi. Klien diberi informasi dasar tentang pengobatan ARV, rencana terapi, kemungkinan timbulnya efek samping dan konsekuensi ketidakpatuhan. Perlu diberikan informasi yang mengutamakan aspek positif dari pengobatan sehinga dapat membang-kitkan komitmen kepatuhan berobat.

2) Konseling Perorangan. Petugas kesehatan perlu membantu klien untuk mengeksplorasi kesiapan pengobatannya. Sebagian klien sudah jenuh dengan beban keluarga atau rumah tangga, pekerjaan dan tidak dapat menjamin kepatuhan berobat. Sebagian klien tidak siap untuk membuka statusnya kepada orang lain. Hal ini sering mengganggu kepatuhan minum ARV, sehingga sering menjadi hambatan dalam menjaga kepatuhan. Ketidaksiapan pasien bukan merupakan dasar untuk tidak memberikan ARV, untuk itu klien perlu didukung agar mampu menghadapi kenyataan dan menentukan siapa yang perlu mengetahui statusnya.

3) Mencari penyelesaian masalah dan membuat rencana terapi. Setelah memahami keadaan dan masalah klien, perlu dilanjutkan dengan diskusi guna penyelesaian masalah tersebut secara bersama dan membuat perencanaan praktis. Hal-hal praktis yang perlu didiskusikan antara lain:

a) dimana obat ARV akan disimpan; b) pada jam berapa akan diminum;

c) siapa, yang akan mengingatkan setiap hari untuk minum obat?; dan

d) apa yang akan diperbuat bila terjadi penyimpangan kebiasaan sehari-hari?

25. Kewaspadaan.

a. Penerapan Kewaspadaan. Penerapan kewaspadaan standar pada: 1) darah;

2) semua cairan tubuh sekresi dan sekresi kecuali keringat; 3) kulit yang tidak utuh; dan

4) mukosa.

b. Penggunaan Kewaspadaan. Kewaspadaan standar yang digunakan dalam menangani kasus HIV-AIDS di fasilitas kesehatan adalah:

1) Universal Precaution (UP) terhadap darah ataupun cairan tubuh. Diciptakan untuk menurunkan risiko transmisi patogen melalui darah/cairan tubuh dari sumber yang tidak diketahui.

2) Body Substance Isolation (BSI). Diciptakan untuk menurunkan risiko transmisi patogen melalui cairan tubuh.

c. Prinsip Kewaspadaan. Prinsip kewaspadaan secara umum meliputi: 1) cuci tangan guna mencegah infeksi silang;

2) pemakaian alat pelindung diri/perorangan (APD);

3) pengelolaan alat kesehatan bekas pakai (dekontaminasi, sterilisasi, disinfeksi);

4) pengelolaan jarum dan alat tajam; dan 5) pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan. 26. Tindakan Pelaporan.

a. Fasilitas pelayanan kesehatan TNI yang menemukan adanya kasus baru ODHA wajib segera melaporkan dengan klasifikasi sangat rahasia kepada instansi kesehatan di atasnya sesuai jalur komando/hierarki di lingkungan TNI.

b. Instansi yang memberikan layanan KTS/VCT, melakukan perawatan dan pemberian ART bagi ODHA untuk melaporkan secara rutin setiap bulan sekali kepada instansi kesehatan di atasnya sesuai dengan prosedur dan jalur hierarki yang berlaku di lingkungan TNI (form pelaporan seperti pada sublampiran daftar contoh).

c. Instansi yang melakukan pemeriksaan HIV wajib (mandatory test counseling) melaporkan hasil pelaksanaan tes kepada instansi kesehatan di atasnya sesuai jalur komando/hierarki di lingkungan TNI (form pelaporan seperti pada sublampiran daftar contoh).

d. Kapuskes TNI melaporkan kepada Pimpinan TNI dan Instansi Pemerintah yang berwenang serta berkoordinasi dengan Kesehatan Angkatan untuk menentukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan terhadap individu, keluarga dan kesatuan serta lingkungan dengan memperhatikan kerahasiaan pribadi penderita dan keluarga.

BAB V

KOMANDO DAN PENGENDALIAN

27. Umum. Komando dan pengendalian merupakan fungsi komando seorang Komandan/Pemimpin atas semua satuan yang terlibat dalam penatalaksanaan kasus HIV-AIDS di lingkungan TNI. Kapuskes TNI dan Direktur/Kepala Dinas Kesehatan Angkatan mempunyai peran menentukan dalam keberhasilan setiap penyelengaraan kegiatan ini di wilayah kewenangannya.

28. Komando. Komando dilaksanakan sesuai dengan kewenangan sebagai berikut: a. Kepala Pusat Kesehatan TNI selaku pemegang komando di tingkat Mabes TNI.

b. Direktur/Kepala Dinas Kesehatan Angkatan selaku Pemegang Komando di tingkat Mabes Angkatan.

29. Pengendalian. Pengendalian dilakukan sesuai dengan kewenangannya.

a. Kepala Pusat Kesehatan TNI dibantu Kadisyankesin mengendalikan kegiatan dengan melakukan berupa pemberian bimbingan, supervisi, konsultasi dan pemberdayaan administrasi lainnya dalam kegiatan penatalaksanaan kasus HIV-AIDS.

b. Direktur/Kepala Dinas Kesehatan Angkatan dibantu Kasubdit/dis Yankes melakukan pengendalian kegiatan penatalaksanaan kasus HIV-AIDS di wilayah kewenangannya.

BAB VI PENUTUP

30. Keberhasilan. Demi tercapainya keberhasilan penatalaksanaan kasus HIV-AIDS ini sangat tergantung pada disiplin para penyelenggara kegiatan yang terlibat untuk mentaati pelaksanaan kegiatan ini.

31. Penyempurnaan. Segala sesuatu yang diperlukan demi penyempurnaan naskah ini agar disarankan kepada Panglima TNI u.p. Kapuskes TNI sesuai dengan mekanisme umpan balik.

a.n. Panglima TNI Kapuskes,

dr. Maryunani, MS., Sp.KP Marsekal Muda TNI

Paraf:

1. Kadisbangkes : ... 2. Kadisyankesin : ... 3. Ses : ... 4. Waka : ...

TENTARA NASIONAL INDONESIA Sublampiran A

MARKAS BESAR Lampiran Keputusan Panglima TNI

Nomor Kep/680/VIII/2012 Tanggal 13 Agustus 2012

SKEMA ALIRAN PENYUSUNAN BUJUKNIS

PENATALAKSANAAN KASUS HIV-AIDS DI LINGKUNGAN TNI

BUJUKIN KESEHATAN TNI

BUJUKNIS

PENATALAKSANAAN KASUS HIV-AIDS DI LINGKUNGAN TNI

BUJUKLAK

PENANGGULANGAN HIV-AIDS DI LINGKUNGAN TNI

a.n. Panglima TNI Kapuskes,

dr. Maryunani, MS., Sp.KP. Marsekal Muda TNI

TENTARA NASIONAL INDONESIA Sublampiran B

MARKAS BESAR Lampiran Keputusan Panglima TNI

Nomor Kep/680/VIII/2012 Tanggal 13 Agustus 2012

PENGERTIAN

1. Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). AIDS adalah kumpulan

gejala penyakit akibat berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh penurunan kekebalan tubuh disebabkan oleh HIV.

2. Human Immuno-deficiency Virus (HIV). HIV adalah virus yang menyerang

sistem kekebalan tubuh dan dapat menyebabkan AIDS virus penyebab AIDS.

3. Periode Jendela. Periode jendela adalah suatu periode atau masa sejak orang terinfeksi HIV sampai badan orang tersebut membentuk antibodi melawan HIV yang cukup untuk dapat dideteksi dengan pemeriksaan rutin tes HIV.

4. Pengidap HIV. Pengidap HIV adalah seseorang yang telah terinfeksi HIV yang belum menunjukkan gejala AIDS, tetapi sudah potensial sebagai sumber penularan. 5. Penderita AIDS. Penderita AIDS adalah pengidap HIV yang sudah menunjukkan gejala-gejala oportunistik.

6. Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA). ODHA adalah orang yang di dalam tubuhnya terdapat HIV atau Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia.

7. Cluster of Difference 4 (CD 4). CD 4 adalah suatu limfosit (T helper cell) yang

merupakan bagian penting dari sel sistem imun.

8. Ante Natal Care (ANC). ANC adalah suatu perawatan perempuan selama

kehamilannya. Biasanya dilakukan di KIA (Klinik Ibu dan Anak), dokter kebidanan atau bidan.

9. Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta dan/atau masyarakat termasuk rumah sakit TNI.

10. Penatalaksanaan Kasus HIV-AIDS di Lingkungan TNI. Penatalaksanaan Kasus HIV-AIDS di Lingkungan TNI adalah semua upaya, pekerjaan dan kegiatan untuk memutuskan mata rantai penularan HIV dan pencegahan progresifitas infeksi HIV menjadi AIDS, serta pencegahan kematian terkait AIDS melalui upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

11. Integrasi. Integrasi adalah pendekatan pelayanan yang membuat petugas kesehatan menangani klien secara utuh, menilai kedatangan pasien berkunjung ke fasilitas kesehatan atas dasar kebutuhan pasien, dan disalurkan kepada layanan yang dibutuhkannya ke fasilitas rujukan jika diperlukan.

12. Anti Retro Viral (ARV). ARV adalah obat yang digunakan untuk menghambat kecepatan replikasi virus dalam tubuh orang yang terinfeksi HIV.

13. Infeksi Oportunis (IO). IO adalah penyakit infeksi yang menyertai dan memanfaatkan kesempatan saat sistem kekebalan tubuh menurun akibat dari infeksi HIV. 14. Anti Retroviral Therapy (ART). ART adalah metode pengobatan yang

menggunakan ARV.

15. Informed Consent (IC). IC adalah persetujuan tindakan kedokteran yang

diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. 16. Konseling. Konseling adalah proses dialog dimana seseorang dengan tulus dan tujuannya jelas memberikan pertolongan, memberikan waktu, perhatian dan keahliannya, untuk membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan.

17. Prevention of Mother-To-Child Transmission (PMTCT). PMTCT adalah

pencegahan penularan HIV dari ibu kepada anak yang akan atau sedang atau sudah dilahirkannya. Layanan PMTCT bertujuan mencegah penularan HIV dari ibu kepada anak.

18. Test HIV. Test HIV adalah test terhadap antibodi yang terbentuk akibat infeksi virus HIV ke dalam tubuh, atau test antigen yang mendeteksi adanya virus itu sendiri atau komponennya.

a.n. Panglima TNI Kapuskes,

dr. Maryunani, MS., Sp.KP. Marsekal Muda TNI

TENTARA NASIONAL INDONESIA Sublampiran C

MARKAS BESAR Lampiran Keputusan Panglima TNI

Nomor Kep/680/VIII/2012 Tanggal 13 Agustus 2012

STRUKTUR ORGANISASI TIM PENANGANAN HIV-AIDS

TIM PENATALAKSANAAN KASUS HIV-AIDS PUSKES TNI

TIM PENATALAKSANAAN KASUS HIV-AIDS DIT/DIS KESEHATAN ANGKATAN

TIM PENATALAKSANAAN KASUS HIV-AIDS KESEHATAN KOTAMA ANGKATAN

TIM PENATALAKSANAAN KASUS HIV-AIDS RUMKIT TNI SEKRETARIS KOORDINATOR LAYANAN VCT/KTS KOORDINATOR LAYANAN CST/PDP KOORDINATOR LAYANAN PMTCT KOORDINATOR LAYANAN DOTS TB- HIV

a.n. Panglima TNI Kapuskes,

dr. Maryunani, MS., Sp.KP. Marsekal Muda TNI

TENTARA NASIONAL INDONESIA Sublampiran D

MARKAS BESAR Lampiran Keputusan Panglima TNI

Nomor Kep/680/VIII/2012 Tanggal 13 Agustus 2012

GAMBAR PERJALANAN INFEKSI HIV

CD + c el l C o u n t

Asymptomatic

TB= Tuberculosis, OHL=Oral Hairy Cell

Leukoplaki a

OC= Oral candidias is

PPE= Papular Pruritic Eruption PCP = Pneumocystis carinii

pneumonia

CM= Cryptococcal meningitis CMV= Cytomegal ovi rus

retinitis

MAC= Mycobacte rium avium

infection

Months…….. Years After HIV In fectio n

Dokumen terkait