• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAGIAN HARTA WARIS MENURUT HUKUM ISLAM 2.1Pewar is Dalam Hukum Islam

Menurut Kompilasi Hukum Islam pewaris diartikan orang yang pada saat meninggalnya beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Oleh karena itu, seseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris, miskipun pengalihan tersebut dilakukan saat menjelang kematian.59

Dalam kompilasi hukum Islam tidak menyebutkan lebih lanjut siapa saja sebagai pewaris. Namun bila kita telusuri garis hukum kewarisan dalam Alquran, maka dapat diketahui, diantaranya adalah orangtua, anak, suami atau istri, dan saudara atau saudari. Yang bisa diperluas pengertianya yang memasukan keturunan ayah dan ibu adalah yang dimaksud adalah kakek dan nenek, dan perluasan pengertian anak adalah cucu, begitu juga pegertian dari saudara adalah bisa berupa paman dan bibi.

Pewaris yang tersebut diatas, perlu ditegaskan bahwa seseorang menjadi pewaris bila telah nyata meninggal. Karena sepanjang belum jelas meninggalnya eseorang, hartanya tetap menjadi pemiliknya sebagaimana halnya orang yang masih hidup. Demikian juga bila belum ada kepastian meninggal seseorang, orang itu dipandang masih hidup.

59

Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 46

2.2Ahli War is Dalam Hukum Islam dan Besar Bagiannya

Menurut kompilasi hukum Islam ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai pertalian darah atau pertalin perkawinan dengan pewaris dengan ketentuan mereka juga harus beragama Islam, tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris dan tidak terhalang oleh ahli waris lainya. Dengan demikian ahli waris itu adalah mereka yang pada waktu meninggal pewaris mempunyai pertalian darah atau perkawinan dengan pewarisnya.

Sistem hukum kewarisan islam mengakui adanya prinsip keutamaan. Kelompok keutamaan para ahli waris, yaitu ahli waris yang didahulukan untuk mewaris dari kelompok ahli waris yang lainya. Mereka yang menurut Al-quran termasuk kelompok yang didahulukan untuk mewaris atau disebut dengan kelompok keutamaan, 60 yaitu lebih berhaknya seseorang atas atas warisan dibandingkan dengan yang lain. Selama masih ada kerabat yang utama, maka kerabat yang lainya tidak mendapat. Kutamaan ini dapat disebabkan oleh jarak yang lain dan oleh kuatnya hubungan kekerabatan.

Kelompok-kelompok ahli waris sesuai dengan Pasal 174 kompilasi hukum islam terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah

1. Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.

2. Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.

60

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda dan janda. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Adapun besarnya bagian masing-masing waris menurut kompilasi hukum islam di Indonesia.

1. Pasal 176

Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabla anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan,

2. Pasal 177

Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.

3. Pasal 178

(1). Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.

(2). Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.

4. Pasal 179

Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagaian.

5. Pasal 180

Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian.

6. Pasal 181

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing

mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.

7. Pasal 182

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.

8. Pasal 186

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya

9. Pasal 190

Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya.

10.Pasal 191

Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum.

Sedangkan Ahli waris besarya bagian menurut Al-quran, dibagi atas : 1. Ahli waris kerabat (Nasab) terdiri atas:

a. Anak

Kedudukan anak sebagai ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan ditentukan bagianya masing-masing dalam garis hukum Al-quran surat An-nisaa’ ayat 11, mengatur keseimbangan perolehan antara hak dan kewajiban seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yaitu

2:1, sehingga kalau yang menjadi ahli waris itu hanya mereka saja, maka anak laki-laki memperoleh 2/3 dari harta warisan, sedangkan anak perempuan mendapat 1/3 dari harta warisan.

Dalam ayat tersebut juga mengatur perolehan dua orang anak perempuan atau lebih dari dua orang yaitu 2/3 dari harta warisan. Mereka berbagi sama rata atas jumlah tersebut. Dan menjelaskan bahwa perolehan anak perempuan ½ dari harta warisan apabila dia seorang diri.

b. Ibu dan Ayah

Kedudukan orang tua sebagai ahli waris, baik ibu maupun ayah telah ditentukan bagianya masing-masing sebagai ahli waris dalam 3 (tiga) garis hukum Al-quran surat An-nisaa’ sebagai berikut.

Garis hukum pertama mengatur perolehan masing-masing memperoleh 1/6 harta warisan bila yang meninggal mempunyai anak. Sedangkan garis hukum kedua menentukan perolehan ibu saja, yaitu 1/3 dari harta warisan sedangkan ayah memperoleh bagian terbuka bila yang meninggal tidak mempunyai anak atau saudara. Garis hukum ketiga menentukan perolehan sebesar 1/6 dari harta waris bila yang meninggal tidak meninggalkan anak tetapi mempunyai saudara seayah, seibu ataupun saudara kandung.

c. Duda dan janda

Duda (suami yang istrinya meninggal) dan janda (istri yang suaminya meninggal) telah ditentukan bagianya masing-masing sebagai ahli

waris dalam dalam garis hukum Al-quran surat An-nisaa ayat 12. Garis hukum tersebut mengatur perolehan duda sebesar ½ harta warisan apabila istri tidak mempunyai anak, tetapi bila si istri mempunyai anak, perolehannya ¼ harta peninggalan istrinya. Sebaliknya, janda memperoleh sebesar ¼ harta peninggalan suaminya bila suami tidak meninggalkan anak, bila suami meninggalkan anaka maka janda memperoleh 1/8 harta peninggalan suami.

d. Saudara

Seorang saudara, baik sendirian maupun bersama beberapa orang saudara telah ditentukan bagianya masing-masing sebagai ahli waris. Hal ini dijalaskan dalam Al-quran surat An-nisaa ayat 12.garis hukum tersebut mengatur seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan, yang masing-masing memperoleh 1/6 dari harta warisan, dalam garis hukum tersebut juga menjelaskan perolehan dua orang saudara atau lebih maka semua saudara itu berbagi rata atas 1/3 bagian dari harta waris.

e. Ahli waris pengganti

Seorang anak atau lebih dari seorang, baik laki-laki maupun perempuan yang menggantikan kedudukan orang tuanya sebagai ahli waris. Pewarisanya ditentukan dalam garis hukum Al-quran surah An-nisaa ayat 33.

2.3Har ta War is Dalam Hukum Islam

Dalam kompilasi hukum Islam membedakan antara harta peninggalan dan harta warisan. Kalau harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan pewaris, baik yang berupa harta benda yang miliknya atau hak-haknya. Sedangkan harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang serta pelaksanaan wasiat. Artinya harta yang akan dibagikan kepada ahli waris yang berhak adalah harta yang telah dibersihkan dari kewajiban dan tanggung jawab pewaris terhadap milik dan hak-hak orang lain yang diambilkan dari harta peninggalanya, harta peninggalan yang telah dibersihkan inilah yang dinamakan dengan harta warisan.61

Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa apabila ada harta peninggalan yang di dalamnya masih ada harta bersama dalam perkawinan, maka terlebih dahulu harta tersebut dibagi atau di pisah sesuai dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam pasal 85 dan pasal 87.

2.4Pembagian Har ta War is di Pengadilan Agama

Masalah kewarisan menurut hukum Islam tidaklah begitu menyita perhatian bagi masyarakat baik itu bagi masyarakat awam ataupun praktisi, hal ini terbukti masih sedikitnya perkara waris yang masuk dan ditangani Peradilan Agama, paling tidak perbandingannya dengan perkara perkawinan.

61

Untuk masyarakat awam yang telah mengusung tradisi adat istiadat turun temurun dari nenek moyang mereka dalam hal kewarisan mereka lebih cenderung menggunakan hukum adat mereka walaupun mereka sendiri telah memeluk agama Islam sejak mereka lahir hingga mengerti ajaran-ajaran Islam. Mereka merasa pembagian waris menurut agama Islam kurang adil. Ada lagi yang mengatakan pembagian waris berdasarkan hukum Islam jika dikaitkan dengan jumlah porsi yang berbeda antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Mungkin dengan berdasarkan hukum adat pembagian waris dipandang lebih adil karena tidak membedakan antara waris anak laki-laki maupun waris anak perempuan.

Untuk pembagian waris menurut hukum Islam memang berlandaskan keikhlasan dari para ahli waris meski ada kelebihan ataupun kekurangan dalam pembagian. Faktor keikhlasan itu juga diambil dalam penetapan dan putusan waris di Pengadilan Agama.

Salah satu tugas dan wewenang Pengadilan Agama, dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara antara orang yang beragama Islam yang menyangkut bidang kewarisan adalah menentukan siapa-siapa yang berhak mewarisi dan menentukan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Untuk pelaksanaan pembagian harta waris di Pengadilan Agama dapat dibedakan yaitu :

a. pembagian waris berdasarkan permohonan

permohonan dalam pengertian umum ialah tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa dimana terdapat satu pihak saja. Tapi di pengadilan agama ada suatu kekhususan yaitu adanya permohonan yang perkaranya

mengandung sengketa, seperti permohonan cerai talah, izin poligami yang di dalamnya ada pihak pemohon dan termohon. Adapun ciri-ciri permohonan pada umumnya62 :

1. Acara permohonan bersifat Valuntair 2. Hanya satu pihak saja yang berkepentingan 3. Tidak adanya sengketa

4. Dikehendaki dan ditentukan oleh peraturan perundang-undangan 5. Putusan yang dijatuhkan berupa penetapan

6. Upaya hukumnya adalah kasasi

Dalam perkara permohonan pembagian harta warisan oleh para pihak, dapat dilakukan di pengadilan agama dengan memintakan kepada hakim atau perangkat pengadilan agama lainya untuk memberikan arahan, nasihat,, penjelasan serta penyelesaian hingga akhirnya dibuatkan suatu penetapan yang berisikan menetapkan siapa-siapa saja ahli warisnya dan bagian masing-masing ahli waris.

Perkara permohonan adalah perkara yang tidak mengandung unsur sengketa yang dijukan oleh ahli waris kepada hakim pengadilan agama melalui panetera pengadilan agama untuk menetapkan bagian masing-masing ahli waris atas harta peninggalan pewaris. Pengajuan permohonan tersebut bisa dilakukan perorangan maupun secara bersama-samayang berangkat dari kesepakatan antara mereka para ahli waris.

b. Pembagian berdasarkan putusan

Pelaksanan pembagian waris di pengadilan agama bisa dilaksanakan setelah adanya keputusan dari hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, artinya terhadap putusan hakim tersebut tidak ada upaya hukum seperti banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali.

Putusan hakim artinya perkara tersebut adalah perkara yang mengandung sengketa yang diajukan ke muka hakim untuk diperiksa sampai diputus oleh hakim.

Syarat-syarat pelaksanaan pembagian waris yaitu :

1. putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

artinya terhadap putusan yang bersangkutan tidak ada lagi upaya hukum, suatu putusan yang sdah tertutup tertutup upaya banding dan

62

Wawancara dengan Bpk Fakih, Panitera Muda Pengadilan Agama Sidoarjo, 1 Mei 2012

kasasi, bisa terjadi apabila mengajukan permintaan banding dan kasasi sudah lewat batas waktu.63

2. putusan harus bersifat Condemnatoir.

Artinya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, putusan itu harus mengandung sifat menghukum untuk segera melaksanakan putusan. Putusan bersifat kondemnatoir melekat sifat eksekutorial. Untuk putusan bersifat dekclatoir tidak mengandung sifat eksekutorial karena di dalamnya tidak ada amar memerintah atau menghukum.

Setelah dijatuhkan putusan dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap segera oleh para pihak melakukan pembagian waris. Pembagian tersebut dilakukan berdasarkan isi putusan tersebut baik itu siapa-siapa ahli warisnya yang mendapat bagian maupun bagan masing-masing ahli warisnya.

Apabila pihak terhukum tidak segera menyerahkan harta warisan yang menjadi sengketa tersebut kepada para ahli waris, maka pihak yang merasa dirugikan dapa mengajukan surat permohonan eksekusi ke pengadilan agama yang memutuskan. Oleh pengadilan agama disebut surat teguran (Aan Manning) kepada pihak terhukum untuk segera melaksanakan putusan tersebut.

Perdamaian dalam perkara perdata pada umumnya diatur dalam pasal 130 HIR/ pasal 154 RBg dan pasal 14 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970. Pada setiap permulaan sidang, sebelum pemeriksaan perkara hakim diwajibkan mengushakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. Jika usaha perdamaian berhasil maka dibuat akta perdamaian (acta Van Vergelijk) yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk segera memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat mereka. Apabila terjadi perdamaian maka perkara tersebut dicabut, lalu hakim membuat penetapan yang berisikan perkara yang mengandung unsur sengketa tersebut telah dicabut oleh penggugat karena adanya perdamain antara kedua belah pihak.

Akta perdamaian mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim dan dapat diekskusi. Apabila ada salah satu pihak tidak mau mentaati isi perdamaian, maka pihak yang lain dapat memohon ekskusi kepada pengadilan agama. Ekskusi dijalankan seperti menjalankan putusan hakim.

63

Untuk perkara perdata masalah waris yaitu suatu sengketa masalah kebendaan maka hal ini dapat saja dijalankan para pihak yang telah melakukan perdamaian dalam hal pelaksanaan pembagian waris adalah sesuai dengan yang tercantum dalam pasal-pasal perdamain yang mereka inginkan, baik itu besarnya bagian masing-masing pihak mauoun dalam hal-hal lain tergantung isi dari kesepakatan tersebut.

Dan apabila ada perbedaan pendapat dalam penentuan kompetensi pengadilan mana yang berhak menerima perkara pembagian harta waris dikarenakan adanya perbedaan agama dalam keluarga ahli waris maka perkara tersebut terlebih dahulu diajukan di engadilan Tinggi untuk menetukan kompetensi peradilan mana yang berhak menerima perkara pembagian harta waris tersebut.64

2.5Pelaksanaan Pembagian Har ta War is di Pengadilan Agama Sidoar jo (Penetapan Nomor : 57/Pdt.P/2011/PA.Sda)

Dalam kejadian seperti ini dalam sistem penghitungan pebagian harta waris terlebih dahulu kita mencari siapa sajakah ahli waris yang berhak mendapatkan harta bagian dan berapa bagian masing-masing dari ahli waris yang di tinggalkan. Baik itu ahli waris yang mendapatkan bagian furudhul muqaddarah aupun ashabah. Setelah diketahui masing-masing ashabul furudh lalu dicarikan asal masalah.

Contoh penghitungan Waris :

Seorang muslim meninggal dunia, adapun harta yang ada pada almarhum adalah sebagai berikut:1. Rumah2. Sawah dan kebun. Sedangkan anggota keluarga yang masih hidup adalah: 1 orang suami, 1 orang anak laki - laki.

64

Penyelesaian :

Sebelum dibagikan, semua harta milik almarhum harus dikumpulkan dan dijumlahkan secara nilai nominalnya. Hal ini untuk memudahkan pembagian. Tentu saja bila ada hutang, harus dikeluarkan terlebih dahulu dari harta milik almarhum. Termasuk biaya rumah sakit, penguburan dan keperluan lainnya yang terkait dengan kepentingan almarhum.

Sedangkan tentang ahli waris, terbagi menjadi dua jenis. Yaitu mereka yang menerima secara fardh dan mereka yang menerima secara ashabah.

Pertama, mereka yang menerima secara fardh. Mereka disebut juga dengan istilah ashahabl furudh. Maksudnya, syariat telah menetapkan jatahnya secara pasti, berupa angka pecahan. Misalnya 1/8 untuk suami, 1/6 untuk ayah, 1/6 untuk ibu atau 1/4 untuk suami.

Kedua, mereka yang menerima secara ashabah. Maksudnya adalah mereka tidak punya jatah tertentu dari harta warisan, melainkan menerima dalam bentuk sisa setelah diambil oleh para ashhabul furudh. Misalnya para ash-habul furudh telah mengambil 1/8 + 1/6 + 1/6. Maka jumlah yang diambil adalah 3/24 + 4/24 +4/24 = 11/24. Maka para ahli waris dari kelompok ashabah secara total akan menerima 1 - 11/24 = 24/24 - 11/24 = 13/24.

para ashabah ini kemungkinan juga bisa akan menerima harta dalam bentuk yang fleksibel. Terkadang mereka menerima 100% dari total harta warisan. Tapi terkadang mereka justru tidak mendapat apa-apa, karena ternyata ashhabul furudh mengambil 100% dari total harta.

Kalau kita teliti daftar ahli waris yang tersebut di atas, yang termasuk ashhabul furudh atau menerima jatah bagian yang pasti adalah suami almarhum. Beliau mendapat 1/4 bagian dari seluruh harta yang dibagi waris Sedangkan Sedangkan putera almarhum termasuk ashabah yang menerima sisa dari suami almarhum. Sehingga secara total mereka menerima 1- 1/4 = 3/4 bagian dari total harta yang dibagi waris.

Apa bila dalam kejadian tersebut ada ahli waris atau anak perempuan maka komposisi pembagiannya bukan dengan cara dibagi rata sama besar, sebab dalam hal ini ada ketentuan dari Alquran yang membedakan bagian anak laki-laki dengan bagian anak perempuan. Yaitu anak laki-laki-laki-laki akan menerima bagian yang besarnya 2 kali lipat dari anak perempuan.65

Dari uraian contoh inilah letak salah satu perbedaan penghitungan pembagian waris antara hukum Islam dan kitab undang - undang hukum perdata, yang mana bagian anak laki-laki dan seorang suami almarhum tidak sama.

65

Dokumen terkait