• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. KEGIATAN EKONOMI PADA INDUSTRI BATIK MOTIF

4.1.3. Pembagian Kerja (Cooperation) Pada Karyawan

Dalam perekrutan tenaga kerja yang bekerja pada usaha ini adalah bersifat labour intensive, yaitu berada dalam suatu kawasan yang saling

berdekatan, mengerjakan jenis pekerjaan yang sama secara bersama-sama, serta tidak mengenal spesialisasi. Pembagian kerja pada tenaga kerja yang bekerja di

industri rumah Batik Motif Medan masing-masing dibedakan oleh pemilik sesuai dengan tahapan-tahapan pada proses pembatikan. Karyawan tetap yang bekerja di industri ini berjumlah tujuh orang, di mana semuanya adalah wanita dan merupakan ibu-ibu rumahtangga. Satu orang karyawan tidak mengerjakan satu batik dalam semua proses, akan tetapi satu orang karyawan hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan dalam beberapa kain batik. Artinya satu helai kain batik itu merupakan hasil kerja tangan beberapa karyawan sesuai dengan tahap-tahap pembuatannya.

Contoh, si A mengerjakan bagian pemotifan, kemudian si B mengerjakan bagian pencantingan, si C mengerjakan bagian penembokan, dan si D melakukan bagian pewarnaan-pencucian-pelorodan-dan penjemuran. Tahapan-tahapan yang dikerjakan di D merupakan satu tahapan yang dapat dilakukan oleh satu orang, karena tahapan tersebut waktu pengerjaannya tidak memakan waktu lama, dan intensitas pengerjaannya lebih sering dilakukan dibandingkan dengan tahap yang lain. Untuk bagian pengerjaan pemotifan, pencantingan, penembokan ada lima orang karyawan, sedangkan untuk bagian pewarnaan-pencucian-pelorodan-penjemuran ada dua orang karyawan.

Dalam hal pemberian upah dilakukan dengan cara penghitungan sistem borongan, yaitu berdasarkan jumlah kain yang selesai dikerjakan berdasarkan bagian kerja masing-masing sesuai target dari pemilik usaha. Beda tahap, maka berbeda juga upah yang diberikan. Misalnya si A yang tugasnya adalah memotif, penghitungan upahnya adalah upah memotif dikalikan dengan berapa kain batik yang sudah selesai dia motif, dan demikian selanjutnya pada pekerjaan-pekerjaan yang lain. Setiap pengerjaan yang dilakukan masing-masing

karyawan, termasuk berapa kain yang selesai dikerjakan tertulis dalam satu buku untuk menghindari kelupaan ataupun kekeliruan dalam penghitungan upah.

TABEL 4

UPAH KERJA KARYAWAN

No. Pekerjaan Upah

1. 2. 3. 4. Memotif Mencanting Menembok

Mewarnai, merebus, menjemur

Rp.2.000/helai Rp.2.000/helai Rp.7.000/helai Rp. 4.000/helai Sumber: Wawancara dengan informan

Karyawan yang bekerja di industri batik ini adalah para ibu-ibu rumahtangga yang merupakan tetangga dekat dari Pak Edi, jadi tidak mengherankan apabila tidak kita jumpai hubungan antara “bos-karyawan” di industri milik bapak ini. Karena secara sosial, hubungan antara Pak Edi selaku pemilik usaha dengan para tetangganya selaku yang bekerja di usaha bapak tersebut, adalah sudah menjadi seperti hubungan kekeluargaan. Hubungan sosial semacam itu bisa saja terjadi karena berada dalam satu komunitas (tempat tinggal), satu organisasi sosial baik itu organisasi kesukuan atau organisasi agama, atau bisa juga karena satu suku. Oleh karena faktor-faktor tersebut, bisa saja secara tidak sadar menumbuhkan rasa “satu” dalam diri masing-masing.

Kekeluargaan itu tampak pada sistem kerja yang berlaku di sana. Para karyawan tidak bekerja dalam sebuah paksaan, malah saya lihat mereka mengerjakan pekerjaan masing-masing seolah-olah pada milik sendiri. Seperti yang dipaparkan Pak Edi Gunawan (42 tahun) di bawah ini :

“kalo sistem kerja di sini Dek, enjoy-enjoy aja nya gitu..., bebas-bebas aja. Mau jam berapa datang, datang, mau jam berapa juga

istirahat, ya istirahat, pokoknya kerjaan yang dikasih itu selesai.

siang. Trus udah beres, datang lagi dia lanjutin kerjaannya.

Kayag gitu lah kerja di sini, gak ada sistem paksaan. Kadang

mau sampe malam pun masih di sini orang itu, mau sampe jam

11atau jam 12 malam gitu. Jadi suka hati aja Dek asalkan siap

jumlah target yang dikasih...gitu aja nya.”

Ketika tiba waktu untuk makan siang, para karyawan tersebut kembali ke rumah masing-masing untuk makan siang, dan mengurus pekerjaan rumah sebentar, serta mengurus anak-anak bagi mereka yang masih memiliki anak kecil. Kemudian setelah selesai, mereka kembali lagi melanjutkan pekerjaan masing-masing. Mereka pun bekerja santai saja, sambil sekali-sekali bercerita atau ngobrol-ngobrol, bagaimana kebiasaan kaum wanita pada umumnya. Hal yang

penting adalah bukan bagaimana kerjanya, akan tetapi pencapaian jumlah batik yang harus selesai dikerjakan berdasarkan keinginan Pak Edi.

4.2. MOTIVASI-MOTIVASI UNTUK BERWIRAUSAHA

Entrepreneurship atau kewirausahaan berasal dari bahasa Perancis, yang

di dalam pengucapan bahasa Inggrisnya disebut dengan “antrepreneur”. Jean Baptiste Say menggambarkan fungsi entrepeneur dalam arti yang lebih luas, menekankan pada fungsi penggabungan daripada faktor-faktor produksi dan perlengkapan manajemen yang kontinu, dan selain itu juga sebagai penanggung resiko.14

14

Peter Kilby (ringkasan dan terjemahan oleh : Meutia F. Swasono), “Berburu Binatang

Heffalump”, Berita Antropologi, TH. VII No. 23 SEPTEMBER 1975, hal. 6.

Sedangkan di dalam bahasa Indonesia entrepeneur disebut dengan wirausaha. Gejala-gejala maupun faktor-faktor yang menyebabkan mengapa

seseorang itu berwirausaha dapat ditinjau dari berbagai persfektif ilmu, seperti ilmu ekonomi, ilmu psikologi, serta ilmu sosiologi-antropologi.

Dalam mengambil dan melakukan sebuah keputusan, termasuk keputusan untuk berwirausaha selalu dilatarbelakangi faktor yang membuat mengapa seeorang melakukan hal tersebut. Dalam pandangan Hagen, seorang sosiolog, mengatakan banhwa perkembangan ekonomi hampir seluruhnya sebagai suatu proses perubahan tekhnologi yang ditimbulkan oleh kreativitas tekhnologi daripada individu-individu dalam masyarakat. Dengan demikian, dalam pandangannya beliau melihat entrepreneur sebagai seorang pemecah persoalan yang kreatif, yang tertarik kepada benda-benda dalam lapangan praktis dan teknologis, dan didorong oleh suatu kewajiban untuk mencapai sesuatu.

Ibu Nurcahaya misalnya, sebagai seorang wanita dengan usia yang tidak muda lagi, dan dengan latarbelakang seorang pensiunan Pegawai Negeri Sipil, ibu ini patut dinilai sebagai seseorang yang memiliki jiwa enterpreneur yang berani. Beliau tidak takut akan persalan-persoalan mendatang dalam menjalankan usaha barunya, malah beliau semakin berani mengembangkan usahanya, terbukti dengan mendirikan lembaga keterampilan pelatihan, serta membuat teroboan baru dalam produk batiknya. Dibandingkan dengan sebuah penelitian di Inggris yang dilakukan oleh Staw (1991), yang mengungkapkan pada umumnya pria memulai usahanya sendiri dilakukan pada usia 30 tahun, sedangkan wanita dimulai pada usia 35 tahun. Akan tetapi semangat wirausaha masih tampak di usianya yang terbilang tidak muda lagi.

Seperti yang dipaparkan beliau:

“ Saya memperoleh ide ini setelah ikut pelatihan membatik dari Dekranas di Jawa, kami banyak waktu itu, tapi yang jadi setahu

Ibu, ya Ibulah, mungkin yang lainnya mengalami kendala.

Sesampai di sini kan terpikir buat motifnya yang beda gitu, Ibu

memilih untuk membuat motifnya motif etnis-etnis yang ada di

Sumatera Utara ini, karena saya ingin mengangkat kembali

motif-motif yang ada di Sumut, kan ada banyak itu

macam-macam etnis di Sumatera Utara ini, jadi kan bagus kita

masukkan motif-motifnya itu ke batik....dan Ibu mendirikan LKP

ini bagaimana supaya banyak pembatik yang mampu berdiri

sendiri di Medan ini, tapi sayangnya sejauh ini belum ada yang

bisa.”

Sebuah visi yang bagus sekali terhadap masyarakat yang ingin berwirausaha seperti Ibu Nurcahaya. Akan tetapi, sayangnya dari beberapa orang yang pernah mengikuti pelatihan keterampilan membatik di LKP tersebut, menurut perkataan Ibu itu belum ada yang mampu berdiri sendiri, belum ada yang bisa mendirikan usaha produksi batik sendiri karena dilatarbelakangi berbagai hal, salah satunya keterbatasan kepemilikan modal. Karena menurut beliau, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperoleh untungnya, karena modal kita itu tertanam pada saat proses pembuatan batiknya yang membutuhkan waktu yang lama juga, padahal sementara itu sebelum membuat batik, harus lengkap dahulu semua bahan yang diperlukan, dan untuk memperoleh semua bahan yang nilainya tidak sedikit itu kita wajib mengeluarkan modal.

Secara psikologis, faktor pendorong lahirnya keinginan berwirausaha disebabkan oleh adanya faktor “need for achievement”. Faktor ini merupakan faktor kebutuhan akan prestasi. Berhubungan juga dengan faktor-faktor sosial dan budaya, struktur masyarakat, masalah status, dan juga nilai-nilai kehidupan

yang berbeda juga menjadi salah satu penyebab keinginan untuk berwirausaha. Untuk suku-suku pribumi tertentu di Indonesia, Frederick Barth15

Sama dengan Ibu Nurcahaya, Bapak Edi Gunawan juga selaku entrepreneur pada industri rumah Batik Motif Medan memaparkan alasan mengapa beliau lebih memilih menjadi wirausahawan di industri yang digeluti sekarang ini daripada menjadi kontraktor, yang menjadi profesi beliau sebelum menjadi mengutarakan bahwa entrepreneur adalah seorang yang berkonsentrasi terhadap peningkatan

suatu nilai, yaitu keuntungan, lebih berpengalaman dan berspekulatif, serta berkeinginan untuk menanggung resiko.

Pengertian di atas umumnya mengacu pada wirausahawan-wirausahawan yang bersuku bangsa Minangkabau dan Batak. Pada suku bangsa Batak khususnya disebutkan bahwa orang Batak adalah salah satu suku bangsa di Indonesia yang menonjol kemampuannya di bidang ekonomi. Orang Batak terkenal sebagai suku perantau, dan di perantauan pun mereka tidak jarang menjadi pengusaha termasuk di bidang perdagangan, baik itu dalam skala kecil ataupun besar. Dalam pengertian tersebut merantau adalah mencari keuntungan dan mencapai prestasi yang meresap dalam alam pikiran mereka. ( Swasono, 1975:79)

Di samping itu, pada suku bangsa Jawa yang terkenal dengan golongan santri-nya yang mayoritas berdiam di Jawa Tengah dan Jawa Timur, juga merupakan salah satu suku bangsa pribumi Indonesia yang tangguh di bidang ekonomi khususnya di bidang wirausaha. Menurut C. Geertz (Swasono, 1975:81), entrepeneur-entrepeneur di Jawa banyak terdiri dari golongan orang yang

berasal dari kelas menengah ke atas yang subdominan dan beragama Islam, mereka menyebut dirinya sebagai golongan santri.

15

pengusaha industri batik ini. Alasan beliau hanyalah ingin mengerjakan yang beda, atau ingin berspekulatif terhadap profesi baru menjadi pengusaha, ingin menjadi pemilik usaha, bukan bekerja pada usaha orang lain.

4.3. STRATEGI USAHA PADA BATIK MOTIF MEDAN

Dokumen terkait