• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembagian keuntungan  premi, deviden, frenchise, dan royaltay   atas dasar: a.Premi adalahpembagian keuntungan atas dasar kerja

Dalam dokumen Etika Farmasi (Halaman 143-151)

b. Deviden adalahpembagian keuntungan atas dasar modal.

c. Frenchise adalahpembagian keuntungan atas dasar hak paten. d. Royalti adalah pembagian keuntungan atas dasar pencapaian target.

19. Syarat penyimpanan narkotik sesuai denganUU No. 35/2009 Pasal 14 ayat 1:

 Narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana  penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat,  balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpansecara khusus.

Tata cara penyimpanan narkotika diatur dalamPeraturan Menkes RI No.28/Menkes/Per/VI/1978. Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa apotek harus mempunyaitempat khusus untuk menyimpan narkotika danharus dikunci dengan baik.Tempat penyimpanan narkotika di apotek harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat.  b. Harus mempunyai kunci yang kuat.

c. Dibagi dua, masing-masing dengan kunci yang berlainan; bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidin dan garam-garamnya serta persediaan narkotika; bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika yang dipakai sehari-hari.

d. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40 x 80 x 100 cm, maka lemari tersebut harus dibuat melekat pada tembok atau lantai.

e. Lemari khusus tidak boleh digunakan untuk menyimpan barang lain selain narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan.

f. Anak kunci lemari khusus harus dipegang oleh pegawai yang dikuasakan.

20. Rumus pemberian harga untuk Resep, OB/OBT dan OWA: a. Pemberian harga Resep:

Resep = HjA x jumlah obat +Toeslag + Embalage Karena HjA = HNA x index, maka:

Resep = HNA x Index x Jumlah Obat +Toeslag + Embalage b. Pemberian harga OB/OBT

OB/OBT = HNA x Index x Jumlah Obat c. Pemberian harga OWA

OWA = HNA x Index x Jumlah Obat + Toeslag

Keterangan:

Toeslag : Uang jasa pelayanan tenaga medis yang harus dibagikan tiap bulan. Embalage : Biaya pengemas

Index : Resep 1,3; OWA 1,2; OB/OBT 1,1

21. Berdasarkan Kepmenkes 1027/2004 Apoteker melakukan skrining resep meliputi : a. persyaratan administratif :

- Nama,SIP dan alamat dokter. - Tanggal penulisan resep.

- Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.

- Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien. - Nama obat , potensi, dosis, jumlah yang minta.

- Cara pemakaian yang jelas. - Informasi lainnya.

farmasetik: bentuk sediaan, dosis,potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.

ngan klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain).

Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah  pemberitahuan.

RACIKAN PUYER DAN TRADISI MENULIS RESEP

OBAT RACIKAN PUYER DAN PERMASALAHANNYA

Puyer merupakan istilah umum di masyarakat untuk bentuk sediaan serbuk obat dalam  bungkusan-bungkusan kecil. Istilah dalam bidang farmasi adalah pulveres, yaitu serbuk bagi, yang dibagi-bagi dalam bungkusan-bungkusan. Tentu ada tata cara pembuatan puyer agar obat di dalamnya tetap terjaga.

Campuran berbagai obat yang diracik dan dijadikan "puyer" (obat bubuk) atau dimasukkan ke dalam kapsul atau sirup oleh petugas apotik lazim disebut compounding. Lima puluh tahun yang

lalu pembuatan obat dengan cara racikan ini dikerjakan pada 60% resep dokter, namun di luar negeri resep racikan ini turun tinggal 1% sekarang.

 Di Indonesia resep puyer untuk anak masih sering sekali dijumpai.

Kontroversi penggunaan puyer timbul karena kekhawatiran bahwa puyer tidak steril, berisiko dosis tidak tepat, reaksi campuran bermacam-macam obat, tidak sesuai dengan Rational Use of  Drugs (RUD) dan tidak sesuai Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).

Mengapa dokter sering meresepkan obat puyer?

Peresepan obat puyer untuk anak di Indonesia sangat sering dilakukan karena beberapa factoryaitu:

1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan anak secara lebih tepat.

2. Biayanya bisa ditekan menjadi lebih murah.

3. Obat yang diserahkan kepada pasien hanya satu macam, walaupun mengandung  banyak komponen.

Apa masalah yang ditimbulkan pembuatan obat racikan bentuk puyer? Dewasa ini peresepan obat puyer di negara maju sudah sangat berkurang karena:

1. Kemungkinan kesalahan manusia dalam pembuatan obat racik puyer ini tidak dapat diabaikan, misalnya kesalahan menimbang obat, atau membagi puyer dalam porsi-porsi yang tidak sama  besar. Kontrol kualitas sulit sekali dapat dilaksanakan untuk membuat obat racikan ini.

2. Stabilitas obat tertentu dapat menurun bila bentuk aslinya digerus, misalnya bentuk tablet salut selaput (film coated), tablet salut selaput (enteric coated), atau obat yang tidak stabil (misalnya asam klavulanat) dan obat yang higroskopis (misalnya preparat yang mengandung enzim  pencernaan).

3. Toksisitas obat dapat meningkat, misalnya preparat lepas lambat bila digerus akan kehilangan sifat lepas lambatnya.

4. Waktu penyediaan obat lebih lama. Rata-rata diperlukan waktu 10 menit untuk membuat satu resep racikan puyer, 20 menit untuk racikan kapsul, sedangkan untuk mengambil obat jadi diperlukan waktu hanya kurang dari 1 menit. Kelambatan ini berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien.

5. Efektivitas obat dapat berkurang karena sebagian obat akan menempel pada blender/mortir dan kertas pembungkus. Hal ini terutama terjadi pada obat-obat yang dibutuhkan dalam jumlah kecil, misalnya puyer yang mengandung klorpromazin.

6. Pembuatan obat puyer menyebabkan pencemaran lingkungan yang kronis di bagian farmasi akibat bubuk obat yang beterbangan ke sekitarnya. Hal ini dapat merusak kesehatan petugas setempat.

7. Obat racikan puyer tidak dapat dibuat dengan tingkat higienis yang tinggi sebagaimana halnya obat yang dibuat pabrik karena kontaminasi yang tak terhindarkan pada waktu  pembuatannya.

8. Pembuatan obat racikan puyer membutuhkan biaya lebih mahal karena menggunakan jam kerja tenaga di bagian farmasi sehingga asumsi bahwa harganya akan lebih murah belum tentu tercapai.

9. Dokter yang menulis resep sering kurang mengetahui adanya obat sulit dibuat puyer (difficult-to compound drugs) misalnya preparat enzim.

10. Peresepan obat racik puyer meningkatkan kecenderungan penggunaan obat irasional karena  penggunaan obat polifarmasi tidak mudah diketahui oleh pasien.

Bagaimana mengatasinya?

1. Dari uraian di atas terlihat bahwa peresepan racikan puyer membawa risiko untuk pasien dan  berbagai dampak negatif lainnya. Sebagian rumah sakit dengan alasan melindungi

mengupayakan frekuensi penulisan resep dan pembuatan obat racikan ini perlu diupayakan untuk dihapus.

2. Komite Farmasi dan Terapi menganjurkan agar penulisan resep obat racik puyer dan  pembuatannya dibatasi hanya untuk kebutuhan obat yang tidak tersedia dalam bentuk formulasi untuk anak atau bila untuk sementara tidak tersedia di pasaran. Obat-obat untuk anak yang tersedia dalam bentuk obat sirup atau tetes misalnya amoksisilin, ibuprofen,  parasetamol, teofilin, bromheksin, dll seyogyanya tidak lagi diresepkan dalam bentuk racikan  puyer.

3. Untuk membantu para dokter mengetahui obat apa saja untuk anak yang tersedia dalam bentuk formulasi pabrik, bagian farmasi akan menyediakan daftar obat2 tersebut kepada para dokter . Kelak diharapkan semua kebutuhan obat untuk anak dapat dipenuhi berdasarkan obat formulasi pabrik.

Puyer memang memungkinkan pencampuran berbagai obat dalam satu paket. Bentuk sediaan ini umumnya digunakan untuk anak-anak, yang masih sulit untuk menelan tablet atau kapsul.

Mengapa dijadikan satu?

Ini bertujuan untuk kepraktisan minum. Anak kecil umumnya susah minum obat, apalagi kalau obatnya bermacam-macam. Jadi, akan lebih praktis jika disatukan dalam bentuk puyer.

Tetapi, bolehkah semua obat dicampur jadi satu dalam bentuk puyer? Tentu tidak semua obat dapat dijadikan satu.

Pertama,masalah teknis pencampuran. Tidak semua obat bisa kompatibel/sesuai jika dijadikan satu paket serbuk. Farmasis diberi pengetahuan mengenai inkompatibilitas obat. Ada obat yang  jika dicampurkan bersama membuat sediaannya jadi lembek karena adanya interaksi antarbahan

(menurunkan titik eutetis/titik lebur obat). Atau warnanya berubah, dlsb. Jadi, tentunya tidak sembarang obat bisa dicampur menjadi satu puyer..

Kedua,masalah rasionalitas penggunaan. Perlu ada interaksi yang baik antara dokter sebagai  penulis resep dan apoteker sebagai peracik obatnya (dispenser). Komposisi resep yang kurang

rasional misalnya adalah antibiotika dicampur dengan obat turun panas. Mengapa?

Antibiotika harus diminum sampai habis, misalnya 5 hari. Sedangkan obat turun panas cukup diminum bila perlu saja. Nah, kalau mereka digabung jadi satu puyer, maka bisa jadi obat turun  panas akan diminum juga selama 5 hari. Hal ini tentu tidak tepat. Disamping tidak diperlukan lagi, pemberian obat berlebihan juga meningkatkan resiko terjadinya efek samping atau toksisitas/keracunan. Untuk hal semacam ini, mestinya apoteker menyampaikan kepada penulis resep untuk bisa mengubah komposisi resepnya. Tingga masalahnya, dokternya mau atau tidak? Apotekernya ada di apotek atau tidak? Apoteknya melakukan screening resep atai tidak?

Contoh lain misalnya ada resep yang meminta apoteker membuat puyer dari obat-obatan yang mestinya sustain-release atau enteric coated. Obat sustain-release artinya obat tersebut didesain oleh pabrik pembuatnya untuk dilepaskan pelan-pelan dalam tubuh. Enteric coated adalah sediaan yang disalut dan didesain supaya ia nanti melepaskan obatnya diusus, bukan di lambung, karena mungkin obatnya bersifat mengiritasi lambung. Jika obat seperti ini digerus menjadi  puyer maka tujuan desain obat tadi tidak tercapai. Bisa jadi obat yang mestinya tidak terurai di

lambung, karena digerus malah jadi mengiritasi lambung. Atau obat yang mestinya dilepas  pelan-pelan jadi terlalu cepat dan kadarnya melebihi seharusnya. Hal seperti ini mestinya bisa

terbuka untuk didiskusikan bagi dokter penulis resep dan apoteker peracik obatnya.

Ketiga, masalah kebersihan. Apoteker tentu sudah diajari untuk menjaga kebersihan mortar dan stemper (alat untuk membuat puyer) agar tidak saling mengkontaminasi. Kalau perlu, satu apotek harus memiliki jumlah tertentu mortar dan stamper sesuai kapasitas apoteknya. Jadi, jika masih ada puyer yang terkontaminasi, karena mortirnya tidak dibersihkan sebelum digunakan untuk meracik obat lain, itu berarti ulah oknum yang menyiapkan puyer.

Keempat,masalah dosis yang tidak tepat. Apoteker juga sudah diajari untuk membagi serbuk dalam bungkusan-bungkusan supaya dosisnya seragam. Ada tata caranya. Jika itu obat keras, harus dibagi dengan penimbangan, dst.

Jadi, sebenarnya kontroversi ini akarnya adalah

Human E rr or.

Puyer menjadi kambing hitam dari tenaga kesehatan yang tidak kompeten dan bertanggung jawab dalam

menjalankan tugasnya. Puyernya sendiri tidak salah, selama diresepkan secara rasional, disiapkan dengan bersih dengan penimbangan yang tepat. Jika di banyak Negara puyer sudah mulai ditinggalkan, mungkin karena ada bentuk sediaan lain yang lebih pas untuk anak-anak. Misalnya untuk asma, bentuk inhaler lebih direkomendasikan meski harganya

relative mahal (Ikawati, 2010).

"Tradisi Menulis Resep Obat Perlu Dikoreksi"

Kurangnya informasi terhadap bukti ilmiah baru tentang obat dan farmakoterapi tampaknya tetap menghantui kalangan professional kesehatan di negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Meskipun hampir semua jurnal biomedik dan buku-buku teks kedokteran telah tersedia dalam bentuk elektronik dan dengan mudah diakses melalui internet, namun kendala  biaya, bahasa, perangkat komputer fasilitas akses internet tampaknya belum akan teratasi hingga 10-15 tahun ke depan. Bahkan tenaga kesehatan di daerah-daerah terpencil dikhawatirkan semakin jauh dari konsep-konsep farmakoterapi berbasis bukti yang mutakhir.

Ironisnya, kelemahan inilah yang dimanfaatkan duta-duta farmasi sebagai peluang dan secara gencar membanjiri para dokter dengan informasi-informasi tentang obat mereka. Sayang, informasi ini umumnya unbalanced , cenderungmisleading   atau dilebih-lebihkan, dan berpihak  pada kepentingan komersial.

"Penggunaan informasi seperti ini jika ditelan begitu saja akan sangat beresiko dalam  proses terapi".

Keterbatasan informasi ini menjadikan off-label use of drug sangat marak dalam  praktek sehari-hari. Off-label use adalah penggunaan obat di luar indikasi yang direkomendasikan. Obat yang sering digunakan secara off label antara lain antihistamin,antikonvulsan, antibiotika, serta obat flu dan batuk.

"Berbagai obat kardiovaskuler pun tergolong sangat sering digunakan secaraoff label , antara lain antiangina, antiaritmia, dan antikoagulan. Gabapentin yang hanya diindikasikan

untuk adjunctive therapy pada partial seizures dan untuk  postherpetic neuralgia ternyata telah digunakan secara off label untuk kondisi lainnya, termasuk diantaranya monoterapi pada epilepsy, restless leg syndrome, bipolar disorder, migraine, dan kejang karena putus alkohol,"

Banyak praktek-praktek kefarmasian di apotek tergolong off label use. "Menggeruskan tablet untuk dijadikan puyer, kapsul, bahkan sirup untuk sediaan anak, atau menggeruskan tablet atau kaplet untuk dijadikan saleb dan krim adalah bentuk off label use yang jamak ditemukan. Hal itu telah telah terjadi secara turun menurun, berlangsung selama puluhan tahun tanpa ada yang sanggup menghentikannya".

Menulis resep,seolah telah menjadi tradisi ritual yang tidak bisa dikoreksi. Tulisan yang sulit dibaca seolah menjadi bagian dari sakralisasi peresepan.

"Padahal bahaya mengintai dimana-mana. Resep yang sulit dibaca akan membuat  pembacanya (asisten apoteker dan apoteker) mencoba menduga, menebak, dan akhirnya memaksakan diri untuk menterjemahkan dalam bahasa sendiri yang berdampak fatal jika keliru." Terlalu banyak nama obat mirip satu dengan yang lain, tetapi isinya sama sekali berbeda.

Misalnya: Sound a like

Losec® yang berisi omerprazole (untuk gangguan lambung) sering keliru dibaca sebagai sebagai Lasix® yang berisi furosemida (diuretika).

Feldene® yang merupakan suatu AINS sering keliru terbaca sebagai Seldane® yang berisi terfenadine (suatu antihistamin.

Sotatic® yang berisi metoclopramide (obat antimuntah) sering keliru dibaca menjadi Cytotec® (berisi misoprostol) yang dapat menyebabkan terjadinya aborsi jika diberikan pada ibu hamil.

Kebiasaan keliru menuliskan aturan resep 3 kali sehari (signa 3 dd 1) seharusnya mulai ditinggalkan dan diganti menjadi diminum tiap 8 jam. Pun dengan obat yang diberikan 2 kali sehari, seharusnya bisa ditulis tiap 12 jam dan seterusnya.

Dalam dokumen Etika Farmasi (Halaman 143-151)

Dokumen terkait