• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 KEEFEKTIFAN IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN

6.4 Pembagian Tugas dan Fungsi Instansi Terkait

Pembagian tugas dan fungsi pelaksana peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan SL ditandai dengan uraian tugas dan fungsi instansi yang bertanggung jawab dalam pengaturan pemanfaatan SL. Tugas dan fungsi tersebut diberikan kepada beberapa instansi pusat maupun daerah. Terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros, pembagian tugas dan fungsi pelaksana peraturan perundang-undangan terdapat pada instansi: Ditjen PHKA, Balai Besar KSDA Sulsel, LIPI, Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel, serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros.

12

Pasal 65 poin a PP 8/1999 menyatakan: "...Departemen yang bertanggungjawab di bidang Kehutanan ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola

(Management Authority) Konservasi Tumbuhan dan Satwa Liar...". Melalui

Kepmenhut 104/2003, Dirjen PHKA ditunjuk sebagai Pelaksana Otoritas Pengelola CITES di Indonesia. Selanjutnya pada Pasal 1 butir 23 Kepmenhut 447/2003 dinyatakan:

"...Otorita Pengelola (Management Authority) adalah Otorita yang mempunyai kewenangan berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam mengatur dan mengelola pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar secara berkelanjutan, untuk selanjutnya ditunjuk Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam -Departemen Kehutanan...".

Pasal 1 ayat (1) Permenhut 02/200713 menyatakan: "...Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam adalah organisasi pelaksana tugas teknis di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang berada di

bawah dan bertanggung jawab kepada Dirjen PHKA...". Selanjutnya pada Pasal

2 dinyatakan:

"...Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam mempunyai tugas penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman buru, koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan lindung serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan konservasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku...".

Pasal 65 poin b PP 8/1999 menyatakan: "...Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI) ditetapkan sebagai Otoritas Keilmuan (Scientific Authority)...".

Selanjutnya menurut Lampiran AA PP 38/2007 bahwa pemberian izin pemanfaatan SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah provinsi memiliki kewenangan pengawasan pemberian izin pemanfaatan SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES.

Pelaksanaan dari tugas dan fungsi Ditjen PHKA, Balai Besar KSDA Sulsel, LIPI, Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel, dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros terkait dengan pengaturan pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros dijelaskan lebih lanjut berikut ini.

6.4.1 Direktorat Jenderal PHKA

Hasil penelaahan atas isi Kepmenhut 447/2003 menunjukkan bahwa terdapat beberapa tugas dan fungsi Direktorat Jenderal PHKA sebagai Otoritas Pengelola dalam rangka pemanfaatan komersial SL. Pelaksanaan tugas dan fungsi Ditjen PHKA terkait dengan pemanfaatan komersial SL kupu-kupu di Kabupaten Maros disajikan pada Tabel 6.4.

13

Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.02/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA)

Tabel 6.4 Pelaksanaan tugas dan fungsi Ditjen PHKA terkait pemanfaatan komersial kupu-kupu

Instansi Tugas dan fungsi Pelaksanaan

Ya Tidak

Ditjen PHKA

Menetapkan kuota penangkapan (pasal 6 ayat 2). Menyampaikan kuota penangkapan kepada Kepala Balai BKSDA dan Asosiasi Pemanfaat (pasal 13 ayat 1).

Membuat ketentuan mengenai penilaian proposal, rencana kerja tahunan dan pertimbangan teknis terkait tata cara dan prosedur memperoleh izin pengedar atau perdagangan dalam dan luar negeri (pasal 44 ayat 6, dan pasal 51 ayat 7).

Menerbitkan izin pengedar SL luar negeri (pasal 50 ayat 2).

Menerbitkan SATS-LN (pasal 70 ayat 1). Melakukan koordinasi dalam pengembangan kebijakan, pelaksanaan konvensi dan penegakan hukum, khususnya dengan pihak Ditjen Bea dan Cukai, POLRI dan Karantina (pasal 81 ayat 1). Menyampaikan laporan tahunan (annual report) dan laporan 2 tahunan (biennial report) kepada Sekretariat CITES (pasal 105 ayat 1).

Melakukan pembinaan kepada para Balai, para pengedar SL ke dan dari luar negeri, dan para asosiasi pemanfaat TSL (pasal 107 ayat 4). Menerbitkan pedoman-pedoman, petunjuk dan standar teknis yang berhubungan dengan pemanfaatan TSL serta sosialisasi ketentuan- ketentuan di atas (pasal 108 ayat 1).

Membentuk gugus tugas untuk melakukan

penyelidikan dan penyidikan dan menindaklanjuti proses hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran perundang-undangan yang berkaitan dengan TSL yang mempunyai skala nasional (lintas provinsi) dan internasional (Pasal 109 ayat 1 dan 2).

Tabel 6.4 menunjukkan bahwa terdapat 3 dari 10 poin tugas dan fungsi Ditjen PHKA yang belum dilaksanakan terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu. Seperti misalnya ketentuan mengenai penilaian proposal izin pengedar SL, pedoman, petunjuk dan standar teknis yang berhubungan dengan pemanfaatan komersial SL belum ada. Hasil wawancara dengan informan di Balai Besar KSDA Sulsel menyatakan: "... sebaiknya format proposal untuk pengajuan izin edar sudah ditetapkan.... supaya para pengusaha yang mau mengajukan izin tinggal

mengisi saja....jangan proposalnya mereka buat sendiri seperti mengarang bebas..."(BK3.35).

Hasil wawancara dan studi dokumen menunjukkan bahwa sejauh ini belum pernah ada pengajuan izin pengedar LN pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros kepada Direktorat Jenderal PHKA. Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang di Desa Kalabbirang menyatakan: "...selama ini kami mengirim ke kolektor LN tidak pakai izin ekspor...tidak pakai SATS-

LN14....masalahanya...dari 3 jenis, Toides helena, haliphron, dan

hypolitus...harganya tidak lebih dari 30 ribu rupiah...sementara rumit mengurus

CITES...harus di jakarta...mahal...jadi kalau sesuai aturan...berat..." (KI1.39).

Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa Ditjen PHKA belum menyediakan pendanaan yang memadai bagi kegiatan inventarisasi atau monitoring populasi sebagai dasar penetapan kuota. Keterbatasan informasi yang dimiliki para pihak yang terkait dengan penetapan kuota terutama Balai Besar KSDA Sulsel, Ditjen PHKA, serta Pusat Penelitian Biologi LIPI menyebabkan implementasi terhadap proses pengusulan dan penetapan kuota tidak efektif di lapangan. Hasil wawancara dengan pengumpul pedagang kupu-kupu di Desa Kalabbirang menyatakan bahwa kuota pemanfaatan kupu-kupu yang ditetapkan setiap tahun tersebut sebagian besar tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Menurut mereka, terdapat jenis-jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat namun belum ditetapkan kuotanya. Sebaliknya jenis-jenis yang sudah dimanfaatkan secara luas tetapi belum ada kuotanya.

Dukungan dari pihak-pihak lain yang terkait dengan pemanfaatan SL juga belum memadai. Koordinasi antara otoritas pengelola dan otoritas keilmuan dalam hal pendanaan juga belum jelas. Direktorat Jenderal PHKA tidak menyediakan pendanaan yang memadai dalam proses penetapan kuota. Demikian halnya dari pihak LIPI tidak secara khusus memasukkan kegiatan inventarisasi dan monitoring populasi SL ke dalam anggaran penelitian tahunannya.

6.4.2 Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan

Keberhasilan implementasi peraturan pemanfaatan SL khususnya pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros sangat ditentukan oleh peran Balai Besar KSDA Sulsel. Sebagai pelaksana peraturan perundang- undangan pemanfaatan SL, Balai Besar KSDA Sulsel dituntut melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan Kepmenhut 447/2003. Implementasi isi peraturan tersebut berdasarkan urusan dan kewenangan Balai Besar KSDA Sulsel, ditunjukkan pada Lampiran 4. Hasil penelaahan atas isi Kepmenhut 447/2003, terdapat 40 poin tugas dan fungsi Balai KSDA terkait dengan pemanfaatan komersial SL. Hasil analisis menunjukkan bahwa implementasi isi peraturan yang menyangkut pemanfaatan komersial kupu-kupu yang telah dilaksanakan adalah sebanyak 12 poin (30 %), sedangkan 28 poin (70 %) belum dilaksanakan.

Pemahaman terhadap isi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL oleh pejabat di Balai Besar KSDA Sulsel menunjukkan kategori baik. Pemahaman yang baik tersebut belum diwujudkan pada tataran implementasi. Implementasi peraturan perundangan yang tidak efektif disebabkan karena aparat pemerintah di

14

lapangan tidak melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana mestinya (Kartodihardjo, 2006).

Hasil wawancara dan analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat 5 hal yang menyebabkan sehingga kontrol yang seharusnya dilaksanakan oleh petugas Balai Besar KSDA Sulsel tidak berjalan. Pertama, terdapat banyak jenis SL yang menjadi tanggung jawab Balai Besar KSDA Sulsel untuk diatur pemanfaatannya. Tercatat sebanyak 215 jenis SL yang terdiri atas 130 jenis yang dilindungi dan 85 jenis yang tidak dilindungi yang masuk di dalam kuota pemanfaatan untuk lokasi tangkap Sulsel Periode Tahun 2013.

Selain itu, terdapat pula jenis-jenis yang telah dimanfaatkan secara komersial namun belum tercantum di dalam kuota pemanfaatan. Oleh sebab itu, Balai Besar KSDA Sulsel perlu mempertimbangkan secara cermat dalam menentukan prioritas jenis-jenis SL untuk kegiatan inventarisasi, monitoring populasi, maupun pemantauan pengendalian pemanfaatannya. Jumlah jenis SL yang berada dalam wilayah kerja Balai jumlahnya cukup banyak. Sementara itu, satwa liar termasuk kupu-kupu di habitat alam memiliki karakteristik biaya transaksi tinggi (high transaction cost). Mahalnya biaya transaksi berkaitan dengan pengorbanan yang dilakukan dalam rangka melaksanaan peraturan, biaya pengawasan, penegakan peraturan dan mengendalikan para pihak agar sumber daya tidak dimanfaatkan secara berlebihan dan ilegal.

Oleh sebab itu, kebijakan yang baik (dapat diimplementasikan) harus memperhatikan adanya karakteristik tersebut. Adanya biaya transaksi dalam mekanisme peraturan tidak bisa dihindari, namun yang terpenting adalah meminimalisir biaya tersebut sehingga hanya kepada biaya yang memang diperlukan (Priyono 2004).

Kedua, SL kupu-kupu belum menjadi SL yang "bermasalah" sehingga belum menjadi prioritas. Ketiga, SL kupu-kupu yang dimanfaatkan oleh masyarakat berada di daerah penyangga TN Babul sehingga pemanfaatan kupu- kupu tersebut seolah-olah menjadi urusan dan tanggung jawab Balai TN Babul. Keempat, produk kupu-kupu awetan, secara fisik relatif lebih mudah disembunyikan atau disamarkan sehingga pengiriman ke luar daerah atau antar pulau sulit dikendalikan. Kelima, dengan adanya pembagian kewenangan sesuai PP 38/2007 menimbulkan kesan adanya ketidakjelasan pembagian tugas dan fungsi pengaturan pemanfaatan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa implementasi peraturan yang tidak efektif juga disebabkan oleh Balai Besar KSDA Sulsel kurang memberikan informasi dalam bentuk sosialisasi kepada masyarakat. Peraturan yang belum tersosialisasi dengan baik menyebabkan kurangnya pemahaman mereka tentang isi dari ketentuan peraturan tersebut. Tujuan pemberian sosialisasi adalah agar kelompok sasaran memahami isi peraturan yang akan diimplementasikan sehingga mereka tidak hanya dapat menerima akan tetapi ikut berpartisipasi atau patuh terhadap peraturan untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan.

Hasil wawancara dan pengamatan menunjukkan bahwa petugas di lapangan belum melakukan kontrol dan tindakan terhadap aktivitas penangkapan dan perdagangan jenis-jenis kupu-kupu yang dilindungi sehingga terkesan adanya pembiaran terhadap pelanggaran. Pelaksana peraturan tidak melarang atau

memproses secara hukum para pelaku yang melakukan aktivitas pemanfaatan yang tidak sesuai dengan ketentuan.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa terdapat beberapa alasan sehingga proses hukum tidak dilakukan terhadap pelanggaran yang terjadi dalam pemanfaatan komersial jenis kupu-kupu yang dilindungi. Pertama adalah karena alasan kemanusiaan, bahwa hasil yang didapat oleh masyarakat pemanfaat kupu- kupu mayoritas hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari- hari maka pengenaan sanksi masih belum dapat diterapkan dengan tegas. Kedua adalah adanya hambatan psikologis dari para petugas terutama yang memiliki hubungan kekerabatan, kenalan dan lain-lain untuk memproses secara hukum atas pelanggaran yang terjadi.

6.4.3 LIPI

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Otoritas Ilmiah memiliki beberapa kewenangan terkait dengan pemanfaatan SL. Pelaksanaan dari tugas dan fungsi LIPI terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu ditunjukkan pada Tabel 6.5.

LIPI sebagai pemegang otoritas ilmiah diharapkan memiliki data dan informasi ilmiah mengenai populasi jenis-jenis SL yang diperoleh dari kegiatan inventarisasi dan monitoring populasi di lapangan. Data dan informasi tersebut juga didukung oleh data biologi yang didapatkan dari kegiatan pengamatan di habitatnya atau di penangkaran serta dari informasi yang sudah ada.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa kegiatan inventarisasi dan atau monitoring populasi SL sebagai dasar penentuan kuota pemanfaatan untuk jenis kupu-kupu belum pernah dilaksanakan. Hasil wawancara dengan salah seorang pejabat pada Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI menunjukkan bahwa selama ini yang dilakukan LIPI sehubungan dengan pemberian rokomendasi penetapan kuota jenis kupu-kupu adalah berdasarkan usulan Direktorat Jenderal PHKA sebagai Otoritas Pengelola.

Dasar penilaian dalam memberikan rekomendasi adalah membandingkan usulan kuota dengan usulan serta realisasi pemanfaatan pada tahun-tahun sebelumnya. Pertimbangan lainnya adalah memperhatikan daerah sebaran jenis- jenis berdasarkan referensi yang dimiliki. Inventarisasi dan monitoring populasi belum dilaksanakan terutama disebabkan oleh terbatasnya sumber daya, khususnya pendanaan.

Hasil wawancara dengan informan tersebut menyatakan: "... ada anggaran monitoring populasi kurang lebih 200 juta per tahun,...tetapi diutamakan

terhadap jenis-jenis yang bermasalah..." (LP.26). Monitoring populasi hanya

dilakukan terhadap jenis-jenis tertentu yang apabila "bermasalah" atau mendapat "sorotan" dari masyarakat luas, sementara kelompok jenis kupu-kupu

(Lepidoptera) belum termasuk jenis-jenis yang bermasalah atau mendapat sorotan.

Menurut LIPI (2003), hambatan dalam melaksanakan inventarisasi dan monitoring populasi adalah: (a) lokasi yang harus disurvei dalam rangka penentuan kuota sangat luas, bahkan mencakup seluruh wilayah Indonesia; (b) jumlah jenis yang harus ditetapkan kuotanya sangat banyak; (c) data biologi SL terutama mengenai reproduksinya masih sangat kurang; serta (d) sumber daya manusia (SDM) yang mendalami bidang SL juga masih sangat terbatas.

Tabel 6.5 Pelaksanaan tugas dan fungsi LIPI terkait pemanfaatan komersial kupu-kupu

Instansi Tugas dan fungsi Pelaksanaan

Ya Tidak

Pusat Penelitian Biologi, LIPI

Memberikan rekomendasi kepada Otoritas Pengelola tentang penetapan Daftar Klasifikasi, kuota penangkapan dan perdagangan termasuk ekspor, re-ekspor, impor, introduksi dari laut, semua spesimen tumbuhan dan SL (pasal 66 ayat 2 butir a, PP 8/1999).

Memonitor izin perdagangan dan realisasi perdagangan, serta memberikan rekomendasi kepada Otaritas Pengelola tentang pembatasan pemberian izin perdagangan tumbuhan dan SL karena berdasarkan evaluasi secara biologis pembatasan seperti itu perlu dilakukan (pasal 66 ayat 2 butir b, PP 8/1999).

Melaksanakan inventarisasi dan atau monitoring populasi SL (pasal 9 ayat 1 Kepmenhut No. 447/Kpts-II/2003).

Mengembangkan atau menetapkan metode standar pelaksanaan inventarisasi dan atau monitoring populasi SL (pasal 9 ayat 2, Kepmenhut No. 447/Kpts-II/2003).

Mengumpulkan data dan informasi tentang populasi jenis SL baik dari hasil inventarisasi dan monitoring maupun data dan informasi lainnya, yaitu :

- kondisi habitat dan populasi jenis yang ditetapkan

- informasi ilmiah dan teknis lain tetang populasi dan habitat atau jenis yang ditetapkan

- realisasi penangkapan SL dari kuota tahun- tahun sebelumnya

- kearifan tradisional

(pasal 10 dan pasal 8 ayat 2 butir a sampai d Kepmenhut No. 447/Kpts-II/2003).

Membuat rekomendasi penetapan satwa buru terhadap jenis-jenis dilindungi dari habitat alam yang populasi di habitat alamnya cukup tinggi atau melebihi daya dukung habitat. (pasal 7 ayat 5 Kepmenhut No. 447/Kpts-II/2003).

√ √ √ √ √ √

6.4.4 Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan

Berdasarkan Lampiran AA PP 38/2007, kewenangan Pemerintah Provinsi Sulsel dalam hal ini Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros adalah melaksanakan pengawasan pemberian izin pemanfaatan. Pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel tersebut disajikan pada Tabel 6.6.

Tabel 6.6 Pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel terkait pemanfaatan komersial kupu-kupu

Instansi Tugas dan fungsi Pelaksanaan

Ya Tidak

Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel

Melaksanakan pengawasan pemberian Izin Pemanfaatan (Penangkapan dan Peredaran) tumbuhan dan SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Lampiran (Appendix) CITES (Lampiran AA hal. 759, PP 38/2007).

Hasil wawancara menunjukkan bahwa pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL yang terkategori kurang sampai cukup merupakan salah satu penyebab sehingga pelaksanaan pengawasan pemberian izin pemanfaatan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi belum dilakukan. Selain itu adalah belum adanya payung hukum berupa peraturan daerah yang mengatur lebih lanjut terkait dengan pembagian kewenangan pengawasan pemberian izin pemanfaatan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi dan non Appendix CITES. 6.4.5 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros

Hasil wawancara menunjukkan bahwa Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros belum melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan SL. Pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros sehubungan dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu seperti ditunjukkan pada Tabel 6.7.

Tabel 6.7 Pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros terkait pemanfaatan komersial kupu-kupu

Instansi Tugas dan fungsi Pelaksanaan

Ya Tidak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros

Melaksanakan inventarisasi dan atau monitoring populasi SL (pasal 9 ayat 1 Kepmenhut 447/ 2003).

Menerbitkan Izin Pemanfaatan (Penangkapan dan Peredaran) untuk tujuan komersial SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Lampiran

(Appendix) CITES. (pasal 13 ayat 4 Kepmenhut

447/ 2003 dan Lampiran AA hal. 759, PP 38/2007).

Hasil wawancara menunjukkan bahwa Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros belum pernah memproses serta menerbitkan izin pemanfaatan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES. Informan pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros, meyatakan: "...kalau menyangkut satwa liar belum.... itu masih kewenangan BKSDA... kami di

sini tidak mengurus hal itu..." (DM1.3). Selanjutnya dinyatakan: "...mengenai PP

38 .... memang betul ada urusan-urusan yang dilimpahkan ke kabupaten... tetapi itu perlu dibuat perda untuk pedoman pelaksanaan kami... tetapi sampai sekarang

mengenai perizinan TSL belum ada..." (DM1.4).

Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan kewenangan pengaturan pemanfaatan SL belum menjadi perhatian pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, pertama, pemahaman aparatur terhadap peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL yang kurang; kedua, belum adanya payung hukum berupa peraturan daerah yang mengatur lebih lanjut mengenai kewenangan daerah tentang pemanfaatan SL; ketiga, perhatian pemerintah daerah terkait dengan pemanfaatan SL sangat kurang sebab pendapatan daerah yang mungkin diperoleh dari pemanfaatan SL tidak signifikan terhadap pendapatan asli daerah; keempat, kurangnya sosialisasi dan koordinasi dari pemerintah pusat khususnya Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan tentang pengelolaan pemanfaatan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES.

Keefektifan implementasi peraturan pemanfaatan komersial SL dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa isi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan SL belum mengatur dengan jelas ketentuan sanksi pidana dan denda administrasi bagi pelaku perdagangan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi tanpa izin. Pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL oleh aparatur pemerintah daerah dan warga pemanfaat kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul tergolong kurang. Dukungan masyarakat dalam implementasi peraturan pemanfaatan SL tergolong rendah, serta implementasi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL oleh instansi pemerintah yang terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul belum sepenuhnya dilaksanakan.

7 PENGUATAN KELEMBAGAAN PEMANFAATAN

KOMERSIAL KUPU-KUPU

7.1 Permasalahan Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu