• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu Kupu di Daerah Penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu Kupu di Daerah Penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KELEMBAGAAN PEMANFAATAN KOMERSIAL

KUPU-KUPU DI DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL

BANTIMURUNG BULUSARAUNG KABUPATEN MAROS

PROVINSI SULAWESI SELATAN

MUHAMMAD ARIF MUHAMMADIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu di Daerah Penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014

(3)

MUHAMMAD ARIF MUHAMMADIYAH. Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu di Daerah Penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI, BURHANUDDIN MASY'UD dan DAMAYANTI BUCHORI.

Pemanfaatan komersial kupu-kupu dari habitat alam di Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan telah dilakukan oleh masyarakat sejak tahun 1970-an dan masih terus berlangsung sampai saat ini. Pemanfaatan komersial kupu-kupu melalui penangkapan dari habitat alam diduga merupakan salah satu penyebab terjadinya penurunan jumlah jenis dan ukuran populasi kupu-kupu. Kinerja kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu sebagai sumber daya bersama

(common pool resources, CPRs) diindikasikan oleh kelestarian sumber daya

kupu-kupu di habitat alam dan peningkatan pendapatan masyarakat. Kinerja tersebut ditentukan oleh karakteristik sumber daya, karakteristik komunitas pemanfaat, serta peraturan perundang-undangan.

Penelitian ini bertujuan: (1) mendeskripsikan dan menganalisis karakteristik sumber daya kupu-kupu (Lepidoptera) yang dimanfaatkan secara komersial; (2) mendeskripsikan dan menganalisis karakteristik pelaku, teknik penangkapan dan perdagangan kupu-kupu; (3) menganalisis isi teks peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan komersial satwa liar dan keefektifan implementasi di lapangan; serta (4) merumuskan penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Analisis penguatan kelembagaan menggunakan analisis tema yang dilakukan berdasarkan hasil kajian untuk mencapai tujuan penelitian (1), (2), dan (3), selanjutnya dirumuskan permasalahan kelembagaan serta solusi penguatan kelembagaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para penangkap menangkap seluruh individu kupu-kupu yang dijumpai di alam. Rasio kelamin kupu-kupu hasil tangkapan menunjukkan jumlah jantan lebih banyak dibandingkan dengan betina. Terdapat 838 individu kupu-kupu hasil tangkapan dari 89 jenis, yang tergolong dalam famili Nymphalidae 52 jenis, Papilionidae 16 jenis, Pieridae 16 jenis, dan

Lycaenidae 5 jenis. Kupu-kupu hasil tangkapan tersebut termasuk 4 jenis

kupu-kupu yang dilindungi, 3 diantaranya dari genus Troides yang tergolong Appendix

II CITES. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari jenis kupu-kupu hasil

tangkapan tersebut, terdapat jenis-jenis yang belum ditetapkan kuotanya, yaitu dari famili Nymphalidae sebanyak 30 jenis, Pieridae 9 jenis, Lycaenidae 5 jenis,

dan Papilionidae 1 jenis.

(4)

atau kebun milik masyarakat. Waktu penangkapan adalah setiap hari yang dilakukan pada pukul 08.00−15.00.

Pelaku perdagangan kupu-kupu di daerah penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung terdiri atas para penangkap, pengumpul pedagang, pengrajin souvenir, penjual souvenir, pembeli setempat, pembeli dari luar provinsi, dan kolektor luar negeri. Pengumpul pedagang memiliki peran yang sentral dalam aliran perdagangan kupu-kupu. Kupu-kupu yang diperdagangkan terdiri atas kualitas A1, A-, A2, dan A3. Kualitas kupu-kupu sangat ditentukan oleh cara menangkap, penanganan spesimen setelah ditangkap, serta kondisi kupu-kupu di alam sebelum ditangkap. Harga kupu-kupu yang diperdagangkan bervariasi, bergantung pada kualitas, jenis, jenis kelamin, dan ukurannya.

Terdapat sedikitnya 4 (empat) peraturan perundang-undangan yang mengatur pemanfaatan komersial satwa liar. Peraturan perundang-undangan tersebut belum efektif mengendalikan perilaku aparatur pemerintah maupun masyarakat dalam pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros, karena belum diimplementasikan secara keseluruhan oleh para pelaksana peraturan maupun oleh masyarakat pemanfaat sebagai kelompok sasaran. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya pemahaman atas isi peraturan perundang-undangan, tidak ada ketentuan sanksi yang jelas bagi siapa-siapa yang tidak memiliki izin dan melakukan perdagangan satwa liar yang tidak dilindungi, sehingga menyebabkan aparatur di lapangan tidak melakukan tindakan dan memberikan sanksi atas pelanggaran yang terjadi. Isi Kepmenhut 447/2003 masih sangat umum dan menyangkut objek yang sangat luas, yaitu mencakup seluruh jenis tumbuhan dan satwa liar. Sementara pemanfaatan satwa liar kupu-kupu membutuhkan peraturan yang lebih detail, sebab satwa liar ini memiliki siklus hidup yang spesifik, dan memiliki musim perkembangbiakan. Substansi peraturan bila dilaksanakan menimbulkan biaya transaksi tinggi, mulai dari biaya informasi, pengawasan, penegakan peraturan, pengendalian para pihak, maupun biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh kelompok sasaran untuk memperoleh hak dalam pemanfaatan.

Penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros dilakukan melalui upaya: (1) pendelegasian wewenang pengaturan pemanfaatan jenis kupu-kupu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk Appendix

CITES kepada Pemerintah Kabupaten Maros sebagaimana diatur dalam PP

38/2007; (2) penyusunan aturan operasional pemanfaatan komersial kupu-kupu yang memuat antara lain tentang: batasan sumber daya kupu-kupu yang dapat dimanfaatkan; batasan pelaku pemanfaatan; aktivitas pemanfaatan; mekanisme pengawasan dan sanksi; serta (3) izin penangkapan dan izin peredaran kupu-kupu untuk tujuan komersial diberikan kepada para pengumpul pedagang dengan mendaftarkan seluruh penangkap yang dikoordinirnya secara periodik. Peningkatan kapasitas Forum Pelestari Kupu-Kupu perlu dilakukan mengingat tingkat inisiatif dalam menyusun program-program aksi yang terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu secara lestari masih lemah, yaitu dengan cara pendampingan dan memberikan asistensi teknis serta permodalan.

(5)

MUHAMMAD ARIF MUHAMMADIYAH. Institutional Analysis of butterfly commercial utilization in Bantimurung Bulusaraung National Park Buffer Zone Maros Regency, South Sulawesi Province. Supervised by SAMBAS BASUNI, BURHANUDDIN MASY'UD and DAMAYANTI BUCHORI.

Butterfly trades and its commerce has been the source of income for many in habitats surrounding Bantimurung Bulusaraung National Park Maros Regency, South Sulawesi. The activites started as early as 1970s and still continues to the present time. Unfortunately, the extent of commercial utilization seems to threat the conservation of butterflies, in fact, it has been strongly linked with the causes for the decline of both species number and population size. The sustainability of butterfly commerce is very important for the livelihood of the community and its level of sustainability can be measured by the extent of conservation of the butterflies in the field. Overall, three factors have been diagnosed as having strong influence on butterfly conservation, i.e. the resource characteristics, the communities’ characters, and regulations of local natural resources.

The objective of this research are: (1) to study and analyze butterfly trading in the area, which includes descriptions of the species that are being traded commercially; (2) to describe and analyze the typologies of butterfly hunters, the hunting techniques and butterfly trades; (3) to analyze the regulation on wildlife commercial utilization and its implementation in the field; and (4) to study the factors influencing institutional strength for butterfly commercial utilization in Maros Regency, South Sulawesi.

The results of the research revealed that all hunters caught all their specimens from the forests. Most of the butterflies caught are males, Altogether, 89 spp of butterflies were caught during a period of three months. Of the 838 butterfly specimens caught, 52 spp belongs to the Nymphalidae family, Papilionidae (16 species), Pieridae (16 species), and Lycaenidae (5 species). Four species belong to the protected category: 3 of which were from Troides genus which belongs to Appendix II CITES. Research result also showed that among the butterflies caught, there were a number of species whose quota were not yet determined; namely Nymphalidae family (as many as 30 species), Pieridae (9 species), Lycaenidae (5 species), and Papilionidae (1 species).

Must butterfly hunters did not have catching permit. In fact, there are no clear regulation that controls the numbers of hunters, the numbers of catches that are permitted, and the frequency of the hunters to enter the forests. Most hunters collect butterflies using the standard tool of a net. Sometimes they also use bait to capture the butterflies, such as urine or dead butterflies. Most of the hunting activities were located outside Bantimurung Bulusaraung National Park, mainly in the public area or the community’s garden. Most hunters hunt around 08.00−15.00 everyday.

(6)

prices of butterflies varied, depending on quality, species, sexes, and sizes.

There are no less than four regulations managing wild animal commercial utilization; however, they are not effective in controlling behavior of not only society but also government agency in butterfly commercial utilization in Maros Regency, as they have not been entirely implemented by regulation perpetrators and society as the target group. This is due to inadequate understanding upon regulation content, and the absence of obvious sanctions for those having no license and trading unprotected wild animal, so that government agency did not perform any action nor give any sanction upon existing violation. The content of Forestry Ministry Decree (Kepmenhut) of 447/2003 is broadly general and covers relatively extensive objects; namely, all flora and wild fauna species. In fact, wild butterfly utilization definitely requires more detail regulations, since these wild animals posses specific life cycle and breeding season. When regulations are carried out, high cost transaction will be required, ranging from the cost for information, supervision, law enforcement, management of all sides and other costs required to be spent by target groups to obtain utilization right.

Institution strengthening of butterfly commercial utilization in Maros Regency was carried out through a number of efforts: (1) delegating authorities for managing utilization of unprotected butterfly species and those not listed in Appendix CITES to Maros Regency government as arranged in PP 38/2007; (2) arranging operational regulation for butterfly commercial utilization, containing, among others, limitation on utilizable butterfly resources; restriction on users; utilization activities; and sanction mechanism; and also (3) providing license for butterfly catching and circulation for commercial given to all middle men, by registering all catchers organized periodically. Increasing capacity of "Forum Pelestari Kupu-Kupu" needed to be performed regarding level of initiative in arranging action programs related to fragile butterfly commercial utilization by supervision and technical and capital assistance.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

(8)

ANALISIS KELEMBAGAAN PEMANFAATAN KOMERSIAL

KUPU-KUPU DI DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL

BANTIMURUNG BULUSARAUNG KABUPATEN MAROS

PROVINSI SULAWESI SELATAN

MUHAMMAD ARIF MUHAMMADIYAH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian:

Tertutup : 1. Dr Arif Satria, SP, MSi

2. Dr Ir Rinekso Soekmadi, MScF

Terbuka : 1. Dr Ir Novianto Bambang W., MSi

(10)

Daerah Penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan

Nama : Muhammad Arif Muhammadiyah

NIM : E361100021

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua

Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS Anggota

Prof Dr Ir Damayanti Buchori, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Konservasi Biodiversitas Tropika

Dr Ir Burhanuddin Masy'ud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari hingga September 2013 ini ialah analisis kelembagaan, dengan judul Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu di Daerah Penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Sambas Basuni MS, Bapak Dr Ir Burhanuddin Masy'ud MS dan Ibu Prof Dr Ir Damayanti Buchori MSc selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Pusat Diklat Kehutanan Kementerian Kehutanan yang telah membiayai pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih kepada Kepala Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan, Kepala Balai TN Babul, beserta staf serta masyarakat pemanfaat kupu-kupu di daerah penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri Ilyana Ilyas S.Hut., anak Muhammad Dzaky Arif, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014

(12)

DAFTAR TABEL xvi

DAFTAR GAMBAR xvii

DAFTAR LAMPIRAN xvii

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran Penelitian 5

1.4 Tujuan Penelitian 7

1.5 Manfaat Penelitian 8

1.6 Kebaruan (Novelty) 8

1.7 Definisi Operasional 8

2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Letak dan Potensi Wisata 11

2.2 Iklim dan Tanah 11

2.3 Satwa dan Tumbuhan 12

2.4 Vegetasi Tumbuhan Pakan Kupu-Kupu 12

2.5 Kependudukan dan Budaya 14

2.6 Tingkat Pendidikan 15

2.7 Mata Pencaharian dan Jumlah Tanggungan Keluarga 15

3 METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 17

3.2 Rancangan Penelitian 18

3.3 Metode Pengumpulan Data 18

3.4 Analisis Data 22

4 KARAKTERISTIK SUMBER DAYA KUPU-KUPU (Lepidoptera) YANG DIMANFAATKAN SECARA KOMERSIAL 4.1 Kupu-Kupu Hasil Tangkapan 24

4.2 Status Jenis Kupu-Kupu Yang Dimanfaatkan Secara Komersial 28

5 KARAKTERISTIK PELAKU, TEKNIK PENANGKAPAN DAN PERDAGANGAN KUPU-KUPU 5.1 Pelaku Penangkapan 31

5.2 Metode Menjaring Kupu-Kupu 33

5.3 Pelaku Peredaran (Perdagangan) Kupu-Kupu 36

5.4 Aktivitas Peredaran (Perdagangan) Kupu-Kupu 39

5.5 Klasifikasi Kualitas dan Harga Kupu-Kupu 40

5.6 Upaya Budi Daya Kupu-Kupu 43

6 KEEFEKTIFAN IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN KOMERSIAL SATWA LIAR 6.1 Isi Peraturan Perundang-Undangan 47

6.2 Aliran Informasi dan Pemahaman Peraturan Perundang-Undangan 51

6.3 Dukungan Masyarakat 55

(13)

7 PENGUATAN KELEMBAGAAN PEMANFAATAN KOMERSIAL KUPU-KUPU

7.1 Permasalahan Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu 65

7.2 Rumusan Penguatan Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu 72

8 SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan 77

8.2 Saran 78

DAFTAR PUSTAKA 79

LAMPIRAN 85

(14)

2.1 Jenis-jenis tumbuhan pakan larva kupu-kupu 13 2.2 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin, luas wilayah dan

kepadatan penduduk di lokasi penelitian 14

3.1 Informan penelitian 19

3.2 Waktu pengamatan aktivitas penangkapan kupu-kupu di lokasi

penelitian tahun 2013 20

4.1 Jumlah jenis dan individu kupu-kupu hasil tangkapan berdasarkan

famili di lokasi penelitian 24

4.2 Jumlah jenis kupu-kupu berdasarkan kelompok famili menurut

beberapa hasil penelitian 24

4.3 Jumlah spesies dan individu kupu-kupu berdasarkan kelompok famili

pada setiap lokasi pengamatan 25

4.4 Jumlah spesies dan individu kupu-kupu berdasarkan kelompok famili

pada setiap bulan pengamatan 26

4.5 Jumlah individu berdasarkan rasio kelamin 4 jenis kupu-kupu

dominan di lokasi penelitian 27

4.6 Jumlah individu kupu-kupu yang dilindungi menurut jenis kelamin

di lokasi pengamatan 28

4.7 Jumlah spesies dan individu kupu-kupu hasil tangkapan yang belum

ditetapkan kuota penangkapannya berdasarkan kelompok famili 29 5.1 Jumlah penangkap (orang) berdasarkan hasil pengamatan menurut

kelompok usia dan anggota pengumpul pedagang di lokasi penelitian 32 5.2 Jumlah penangkap (orang) berdasarkan hasil wawancara menurut

kelompok usia dan anggota pengumpul pedagang di lokasi penelitian 32 5.3 Metode dan teknik menjaring kupu-kupu di lokasi penelitian 34 5.4 Jumlah pengrajin dan penjual souvenir kupu-kupu berdasarkan hasil

pengamatan di lokasi penelitian (orang) 38

5.5 Klasifikasi kualitas spesimen kupu-kupu yang diperdagangkan 41 5.6 Jumlah spesimen kupu-kupu berdasarkan kelas kualitas yang

dikumpulkan oleh pengumpul pedagang di Desa Kalabbirang 41 5.7 Harga rata-rata beberapa jenis kupu-kupu kualitas A1dan A2 menurut

jenis kelamin pada tingkat penangkap dan pengumpul pedagang (Rupiah) 42 6.1 Matriks kecukupan isi peraturan perundang-undangan pemanfaatan

satwa liar 48

6.2 Tingkat pemahaman informan aparatur pemerintah terhadap peraturan

perundang-undangan pemanfaatan satwa liar 52

6.3 Tingkat pemahaman para penangkap dan pengumpul pedagang terhadap peraturan perundang-undangan pemanfaatan satwa liar 54 6.4 Pelaksanaan tugas dan fungsi Ditjen PHKA terkait pemanfaatan

komersial kupu-kupu 58

6.5 Pelaksanaan tugas dan fungsi LIPI terkait pemanfaatan komersial

kupu-kupu 62

6.6 Pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel

(15)

6.7 Pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Kabupaten Maros terkait pemanfaatan komersial kupu-kupu 63

7.1 Indikator kinerja harapan dan indikator kinerja faktual pemanfaatan komersial kupu-kupu di lokasi penelitian 65

DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka pemikiran penelitian 6

3.1 Peta lokasi penelitian 17

5.1 Jenis Graphium milon pada pasir yang diberi umpan air seni 34

5.2 Metode menjaring kupu-kupu tanpa umpan 35

5.3 Kupu-kupu hasil tangkapan 35

5.4 Bagan alir tata niaga kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul 36

5.5 Produk souvenir gantungan kunci 40

5.6 Kepompong yang dipelihara oleh pengumpul pedagang 44

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jumlah individu per jenis kelamin spesies kupu-kupu hasil tangkapan berdasarkan famili di lokasi penelitian 87

2 Daftar kuota tangkap kupu-kupu untuk wilayah kerja Balai Besar KSDA Sulsel tahun 2009 hingga 2013 90

3 Pelaksanaan kewajiban penangkap dan pengumpul pedagang kupu-kupu menurut Kepmenhut 447/2003 93

(16)

1.1 Latar Belakang

Kupu-kupu merupakan satwa liar (SL) dari kelas serangga (Insecta) yang memiliki warna dan bentuk sayap yang indah. Di alam, kupu-kupu memiliki nilai penting, yaitu sebagai penyerbuk pada proses pembuahan bunga, sehingga secara ekologis turut memberi andil dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem dan memperkaya keanekaragaman hayati. Secara ekonomi, kupu-kupu mempunyai nilai jual yang tinggi dan merupakan obyek rekreasi yang menarik. Potensi ekonomi inilah yang menyebabkan kupu-kupu banyak ditangkap dari habitat alam untuk dinikmati keindahannya maupun dikoleksi sebagai kenang-kenangan, atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan tropis diperkirakan memiliki kekayaan jenis kupu-kupu mencapai 2.500 jenis, dengan tingkat endemisitas yang tinggi yaitu mencapai 35 % dari jumlah total jenisnya (Peggie 2011). Pulau Sulawesi memiliki 560 jenis kupu-kupu, 42 persen diantaranya endemik (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Kawasan Bantimurung yang terletak di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan identik dengan kupu-kupu, sehingga penjelajah asal Inggris Alfred Russel Wallace (1890) dalam bukunya The Malay

Archipelago menyebutkan Bantimurung sebagai Kerajaan Kupu-Kupu (Kingdom

of The Butterflies). Pada saat itu, ia menemukan 256 jenis kupu-kupu di kawasan

tersebut.

Dalam perkembangannya, jumlah jenis kupu-kupu terus menurun. Mattimu

et al. (1977) melaporkan hasil temuannya sebanyak 103 jenis kupu-kupu dan

Achmad (2002) pada tahun 1995 juga melakukan inventarisasi pada kawasan yang sama, tetapi jumlah jenis kupu-kupu hanya tinggal sekitar 80 jenis. Salah satu faktor penyebabnya diduga akibat kegiatan pemanfaatan komersial (Achmad 2002; Hamidun 2008; Sumah 2012). Pemanfaatan komersial yang dimaksud adalah untuk tujuan perdagangan yang dilakukan melalui penangkapan dari habitat alam. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan jenis SL menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 19991

yang bertujuan agar jenis satwa liar dapat didayagunakan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat belum sepenuhnya efektif.

Pemanfaatan komersial kupu-kupu dari habitat alam di daerah penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) Kabupaten Maros telah dilakukan oleh masyarakat sejak tahun 1970-an2 dan masih terus berlangsung sampai saat ini. Hal tersebut juga berkaitan erat dengan keberadaan kawasan Bantimurung sebagai lokasi wisata, sehingga permintaan akan kupu-kupu awetan oleh para pengunjung cukup tinggi. Bagi sebagian masyarakat di daerah penyangga TN Babul, pemanfaatan komersial kupu-kupu dari habitat alam merupakan mata pencaharian tetap dan memberikan hasil yang cukup besar.

Tingginya aktivitas penangkapan kupu-kupu diduga menyebabkan beberapa jenis mengalami penurunan populasi dan peluang untuk menghasilkan keturunan

1

PP 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

2

Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang kupu-kupu di Kecamatan Bantimurung.

(17)

menjadi kecil sehingga ancaman kepunahannya menjadi tinggi (Achmad 2002).

Kegiatan penangkapan kupu-kupu yang berlebihan, apalagi tanpa

mempertimbangkan keseimbangan populasinya di alam, pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap kelestarian kupu-kupu itu sendiri, sehingga sumber daya kupu-kupu di habitatnya mengalami tekanan dan bahkan sangat mungkin pada suatu waktu masyarakat akan kehilangan sumber daya ini.

Sumber daya kupu-kupu di habitat alam adalah sebagai sumber daya bersama (common pool resources, CPRs3

). Sumber daya bersama menurut

Dharmawan dan Daryanto (2002) adalah sumber daya yang secara de facto tidak dimiliki atau diawasi secara eksklusif oleh satu orang pemilik atau satu kelompok pemilik. Oleh sebab itu menurutnya, pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatan tidak memiliki kendali dan tanggung jawab yang jelas terhadap kualitas dan prospek sumber daya tersebut, sehingga tidak memiliki insentif untuk membuat keputusan investasi dan alokasi sumber daya yang efisien. Eksploitasi sumber daya bersama ini cenderung menguntungkan siapa yang lebih dahulu dan mengeruk terus menerus manfaat (keuntungan) yang bisa diperoleh, dengan mengabaikan pihak lain dan efek yang ditimbulkannya.

Praktik penangkapan kupu-kupu secara bebas dari alam jelas tidak akan memberikan insentif untuk mempraktikkan penangkapan secara selektif. Perilaku yang demikian juga meniadakan insentif bagi pengembangbiakan buatan dalam bentuk penangkaran atau budi daya lainnya, yang dampaknya beresiko terhadap populasi kupu-kupu dalam jangka panjang. Dalam sumber daya bersama, apabila seseorang yang merasakan manfaat, kemudian mengembangbiakan populasi kupu-kupu melalui pengembangan habitat dan penyediaan tumbuhan pakan, tidak menjamin bahwa hanya orang tersebut yang boleh memanfaatkan hasil dari keberadaan kupu-kupu. Orang lain yang tidak berkontribusi juga dapat menerima manfaat tanpa harus ikut menanggung biaya untuk pengadaannya. Perilaku ini disebut dengan free riders (pengguna gratis).

Ketidakjelasan tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan kupu-kupu, belum adanya penerapan aturan serta penegakan sanksi secara konsisten menunjukkan bahwa kelembagaan4 dalam alokasi sumber daya alam hayati tersebut tidak berfungsi, sehingga menimbulkan inefisiensi dan mengancam kelestariannya. Kelembagaan yang tidak berfungsi tersebut menjadi salah satu sebab terjadinya tekanan terhadap populasi kupu-kupu di habitat alam yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana kelembagaan berupa peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL berperan mengendalikan perilaku masyarakat dalam kegiatan pemanfaatan komersial kupu-kupu. Keberadaan peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL tidak dapat menjamin kinerja yang baik, jika peraturan perundang-undangan yang diterapkan tidak sesuai dengan situasi yang ada.

3

Common pool resources (CPRs) adalah karakteristik sumber daya alam yang memiliki excludability rendah (secara fisik seseorang sangat sulit untuk membatasi orang lain dalam memanfaatkan barang/sumber daya tersebut) dan subtractability tinggi (barang/sumber daya tersebut mudah berkurang karena pemanfaatan) (Buck 1998; Berge 2003).

4

(18)

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan kenapa individu, kelompok masyarakat, dan pihak-pihak lain yang terlibat membuat keputusan produksi, alokasi dan konsumsi tidak kondusif terhadap pemanfaatan sumber daya sangat ditentukan oleh gugus kesempatan yang tersedia dalam lingkungannya. Menurut North (1990) gugus kesempatan tersebut bergantung pada aturan main yang ada, baik yang bersifat formal maupun informal. Aturan main formal antara lain dalam bentuk kebijakan formal. Kebijakan formal adalah keputusan-keputusan yang dikodifikasi secara tertulis dan disahkan atau diformalkan agar dapat berlaku (Nugroho 2013). Seluruh aturan main tersebut merupakan bentuk kelembagaan yang menentukan interdependensi antar individu atau kelompok masyarakat yang terlibat (Schmid 1987; North 1990; Barzel 1991). Kelembagaan merupakan instrumen yang mengatur hubungan antar individu atau kelompok masyarakat dan mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh seseorang atau dalam kondisi bagaimana seseorang dapat mengerjakan sesuatu (North 1990).

Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka di dalam penelitian ini masalah kelembagaan yang dimaksud meliputi dua aspek utama yaitu kelembagaan sebagai aturan main dan kelembagaan sebagai organisasi (lembaga). Kelembagaan sebagai aturan main dalam hal ini berupa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemanfaatan jenis SL, antara lain adalah: (a) UU 5/19905

; (b) PP 8/1999; (c) PP 38/20076

; (d) Kepmenhut 447/20037

; dan (e) Permen LH 29/20098.

Sementara sebagai organisasi, berdasarkan pasal 65 PP 8/1999, departemen yang bertanggungjawab di bidang Kehutanan ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola (Management Authority) konservasi tumbuhan dan SL dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ditetapkan sebagai Otoritas Keilmuan

(Scientific Authority). Selanjutnya melalui Kepmenhut Nomor 104/Kpts-II/2003,

Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) ditunjuk sebagai pelaksana Otoritas Pengelola CITES9 di Indonesia.

Pengaturan pemanfaatan SL diawali dengan penetapan kuota penangkapan SL dari habitat alam yang merupakan batas maksimal jenis dan jumlah spesimen SL yang dapat ditangkap dari habitat alam. Kuota ditetapkan oleh Dirjen PHKA berdasarkan rekomendasi LIPI untuk setiap kurun waktu 1 (satu) tahun takwim untuk spesimen, baik yang termasuk maupun tidak termasuk dalam daftar

Appendix CITES, jenis yang dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang.

Ketersediaan data potensi SL yang menggambarkan populasi dan penyebaran setiap jenis masih sangat terbatas sehingga merupakan hambatan bagi otoritas

5

UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

6

PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

7

Kepmenhut 447/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.

8

Permen LH 29/2009 tentang Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah.

9

(19)

keilmuan dalam memberikan rekomendasi kepada otoritas pengelola bagi penetapan kuota penangkapan secara optimal.

Sementara menurut PP 38/2007, pemberian izin pemanfaatan SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah provinsi memiliki kewenangan pengawasan pemberian izin pemanfaatan SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam AppendixCITES.

Ketentuan Kepmenhut 447/2003 telah mengatur peran dan fungsi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk melaksanakan penilaian keberhasilan pemanfaatan, melakukan pembinaan dan pengendalian, pengawasan peredaran di dalam negeri maupun ke luar negeri dalam wilayah kerjanya. Merujuk pada Keputusan Menteri tersebut, secara legal formal, BKSDA telah diakui menjadi sebuah entitas tata kelola pemanfaatan SL. Dengan demikian BKSDA mempunyai otoritas secara teknis administratif untuk memaksimalkan kewenangan yang dimilikinya. Pada tataran konseptual, dengan adanya peraturan tersebut, idealnya segenap perangkat organisasi BKSDA dapat menjalankan fungsi administrasi, fungsi regulasi, fungsi pelayanan publik, maupun fungsi pengawasan. Namun demikian, realitas praktis berkebalikan dengan asumsi konseptual itu. Balai KSDA di wilayah kerja hanya menghadirkan tata kelola dalam derajat yang minimalis, artinya fungsi-fungsi tersebut belum seluruhnya dilaksanakan. Hal ini tercermin dari belum sepenuhnya ketentuan peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL dapat diimplementasikan. Berpijak pada paparan praktis di atas, penguatan tata kelola pemanfaatan SL sangat diperlukan.

Aktivitas pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros yang masih berlangsung, belum sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ketidaksesuaian tersebut adalah tidak dilengkapi dengan izin, tidak mematuhi kuota penangkapan, tidak sesuai dengan lokasi penangkapan dan waktu yang ditentukan, serta dilakukan oleh perorangan atau kelompok yang dianggap belum mampu secara teknis dan terampil melakukan penangkapan sehingga menyebabkan terganggunya populasi serta habitatnya di alam.

Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa ketentuan peraturan

perundang-undangan pemanfaatan SL belum menyelesaikan permasalahan yang

sesungguhnya. Padahal, peraturan perundang-undangan bertujuan untuk menciptakan tertib pemanfaatan SL termasuk mekanisme penegakan hukum dan sanksi sebagaimana diatur dalam UU 5/1990, PP 8/1999 dan Kepmenhut 447/2003. Semua permasalahan yang diuraikan di atas mengindikasikan bahwa negara dalam hal ini pemerintah selaku pihak yang menguasai kekayaan alam termasuk SL kupu-kupu di habitat alam, belum berhasil melakukan pengelolaan pemanfaatan sebagaimana yang diharapkan.

Penelitian ini dilaksanakan dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan mengapa kelembagaan yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan lembaga pemerintah yang mengatur pemanfaatan SL termasuk dalam hal ini pemanfaatan komersial kupu-kupu, belum sepenuhnya mampu mengarahkan perilaku masyarakat dan para pihak yang terkait ke arah pemanfaatan kupu-kupu secara lestari.

(20)

dari habitat alam selalu berlanjut tanpa henti. Penangkapan SL tersebut didasarkan pada nilai. Nilai yang dicari oleh para pemanfaat kupu-kupu ini adalah nilai ekonomi yang terdapat pada SL tersebut. Karakteristik sumber daya kupu-kupu terutama kelimpahan jenis, seks rasio, dan status pemanfaatan kupu-kupu yang diperdagangkan (komersial) perlu diketahui. Karakteristik pemanfaatan melalui penangkapan dan peredaran/perdagangan kupu-kupu oleh masyarakat juga perlu diketahui.

North (1990) dan Agrawal (2001) menyatakan bahwa permasalahan yang yang harus diperhatikan dan sangat krusial adalah berkenaan dengan aturan formal, karena aturan formal menentukan perilaku individu/kelompok. Aturan formal mengatur hubungan antar pemanfaat dengan sumber daya yang dimanfaatkan, dan hubungan antara pihak-pihak yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya. Oleh sebab itu, permasalahan yang terkait dengan aturan formal perlu diketahui. Sejauh mana kewenangan lembaga yang terkait, serta keefektifan implementasi terhadap peraturan perundang-undangan pemanfaatan komersial SL kupu-kupu.

Pemahaman terhadap karakteristik sumber daya kupu-kupu, karakteristik masyarakat pemanfaat dan aktivitasnya, serta peraturan perundang-undangan akan sangat bermanfaat dalam menyusun kelembagaan yang efektif untuk mencapai kinerja yang diharapkan, yaitu pemanfaatan komersial kupu-kupu yang terjamin kelestariannya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

Beberapa pokok permasalahan yang perlu dijawab dalam rangka meningkatkan kinerja pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros, adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah karakteristik sumber daya kupu-kupu yang dimanfaatkan secara komersial?

2. Bagaimanakah karakteristik pemanfaatan meliputi penangkapan dari alam dan peredaran komersial kupu-kupu?

3. Sejauh mana keefektifan implementasi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL kaitanya dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu?

4. Bagaimanakah kelembagaan yang efektif yang harus disusun untuk mengendalikan pemanfaatan komersial kupu-kupu secara lestari?

1.3 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran Penelitian

Satwa liar kupu-kupu di habitat alam merupakan sumber daya bersama

(common pool resources, CPRs) yang di Indonesia pengaturannya di bawah rezim

kepemilikan negara. Menurut Ellsworth (2004), rezim kepemilikan negara adalah bentuk pengelolaan sumber daya alam yang pemiliknya adalah lembaga publik atau organisasi pemerintah yang diberi kuasa oleh negara. Hak kepemilikan negara memiliki ciri pengaturannya dilaksanakan pemerintah. Pengaturan oleh pemerintah ini harus menjamin masyarakat untuk memperoleh hak untuk memanfaatkan secara berkeadilan. Pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul didasarkan pada peraturan perundang-undangan tertentu. Siapa yang dapat menjadi pemegang hak (izin) ditentukan oleh kaidah peraturan perundang-undangan, sedangkan kewajiban pemegang izin ditujukan untuk memelihara tujuan sosial (Ellsworth 2004).

(21)

bagaimana sumber daya tersebut harus dikelola dan prosedur administrasi yang harus dilalui (peraturan perundang-undangan), tetapi juga ditentukan oleh kondisi fisik material (karakteristik sumber daya) dan atribut komunitas (karakteristik pemanfaat). North (1990) dan Agrawal (2001) menjelaskan bahwa aturan formal dan informal mengarahkan perilaku individu/organisasi dalam hubungannya dengan sumber daya, sementara perilaku individu/organisasi merupakan faktor kunci yang menentukan keberhasilan pengelolaan sumber daya, tidak terkecuali dalam pemanfaatan komersial kupu-kupu. Hal ini berarti bahwa perilaku pelaksana peraturan perundang-undangan dan perilaku individu/kelompok masyarakat pemanfaat sebagai kelompok sasaran berperan dalam keberhasilan pengelolaan pemanfaatan sumber daya kupu-kupu.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, disusun kerangka pemikiran penelitian yang merupakan kerangka analisis kelembagaan sebagaimana disajikan pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Kerangka pemikiran penelitian (dimodifikasi dari Basuni 2003)

Kerangka analisis kelembagaan yang digunakan dalam penelitian ini mengadaptasi konsep analisis yang dikemukakan oleh Heltberg (2001) dan Oakerson (1992). Analisis kelembagaan dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap: 1) analisis karakteristik spesifik tentang sumber daya kupu-kupu yang dimanfaatkan secara komersial; 2) analisis karakteristik pemanfaatan komersial kupu-kupu meliputi penangkapan dari habitat alam dan aktivitas peredaran (perdagangan); 3) analisis isi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL dan keefektifan implementasinya; 4) perilaku pemanfaat kupu-kupu dan pelaksana peraturan; dan 5) analisis kinerja pemanfaatan komersial kupu-kupu.

(22)

Indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros adalah : (1) Penangkapan kupu-kupu dilakukan dengan memperhatikan kelestarian (tidak melampaui kuota yang telah ditetapkan) dan tidak menyebabkan kerusakan pada spesimen kupu-kupu yang ditangkap; (2) Cara menangkap kupu-kupu tidak menyebabkan terganggunya atau rusaknya populasi dan habitat di alam; (3) Penangkapan dan peredaran spesimen kupu-kupu harus sesuai dengan izin termasuk lokasi penangkapan dan musim perkembangbiakan, serta dilakukan oleh perorangan atau kelompok yang dianggap mampu secara teknis atau terampil dalam melakukan penangkapan; serta (4) Penerapan peraturan dan sanksi dilakukan secara konsisten oleh lembaga yang bertanggungjawab.

Bila kinerja tidak sesuai dengan yang diharapkan, berarti kelembagaan tersebut belum dapat mengarahkan perilaku masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat untuk mencapai kinerja yang diharapkan (Basuni 2003). Menurut Pratiwi (2008), ketika kelembagaan tidak berjalan atau kinerjanya dipertanyakan maka diperlukan suatu langkah perbaikan. Salah satu langkah perbaikan adalah melalui penguatan kelembagaan. Penguatan kelembagaan merupakan usaha untuk mengorganisasi ulang (reorganize) atau melakukan orientasi ulang terhadap kelembagaan agar dapat berfungsi kembali secara efektif (Pratiwi 2008).

Penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu merupakan bentuk rekayasa sosial yang ditujukan untuk memecahkan suatu masalah sosial yang dihadapi dalam rangka mengatur alokasi sumber daya untuk mencapai kinerja yang dikehendaki yaitu pemanfaatan komersial kupu-kupu secara lestari dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Keluaran dari suatu penelitian menunjang rekayasa sosial adalah pengetahuan mengenai preskripsi atau resep yang dicirikan oleh suatu penelitian multi disiplin ilmu.

Pakpahan (1989) menyatakan: "...suatu penelitian rekayasa sosial dicirikan oleh suatu penelitian yang bersifat lintas bidang. Kelompok disiplin bio-fisik memegang peranan dalam menghasilkan pengetahuan positif dan kelompok disiplin ilmu-ilmu sosial memegang peranan penting dalam menghasilkan

pengetahuan tentang nilai...". Pendekatan positivisme berguna untuk

mendapatkan pengetahuan bio-fisik antara lain mengenai populasi kupu-kupu hasil tangkapan. Selain itu, pendekatan normativisme juga diperlukan, dalam hal ini pengetahuan mengenai aktivitas penangkapan dan peredaran kupu-kupu serta implementasi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL. Berdasarkan dua pendekatan tersebut maka penelitian ini diharapkan menghasilkan suatu preskripsi tentang penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu secara lestari di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Mendeskripsikan dan menganalisis karakteristik sumber daya kupu-kupu

(Lepidoptera) yang dimanfaatkan secara komersial.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis karakteristik pelaku, teknik penangkapan dan perdagangan kupu-kupu.

(23)

4. Merumuskan penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

1.5 Manfaat Penelitian

Informasi mengenai pemanfaatan komersial kupu-kupu terutama pada skala lokal sangat sedikit sehingga dibutuhkan suatu penelitian. Karakteristik pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul disadari tidak dapat mewakili seluruh tingkat pemanfaatan komersial kupu-kupu di Provinsi Sulawesi Selatan, akan tetapi hasil penelitian ini diharapkan dapat:

1. Menghasilkan informasi dan pengetahuan ilmiah yang berguna bagi para pihak yang berkepentingan terutama bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros khususnya, serta kebijakan pemanfaatan komersial kupu-kupu di Indonesia pada umumnya.

2. Berguna sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang akan meneliti permasalahan yang berkaitan dengan pemanfaatan komersial SL kupu-kupu dari habitat alam.

1.6 Kebaruan (Novelty)

Penelitian mengenai analisis kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga taman nasional belum pernah dilakukan, khususnya ditinjau berdasarkan hal-hal berikut: pertama, karakteristik sumber daya kupu-kupu yang dimanfaatkan; kedua, karakteristik pelaku, teknik penangkapan dan perdagangan kupu-kupu; dan ketiga, aturan-aturan formal terkait pemanfaatan SL dan keefektifan implementasinya di lapangan. Kebaruan penelitian ini menyangkut data yang diperoleh serta rumusan masalah dan alternatif solusi terkait dengan penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros.

1.7 Definisi Operasional

1. Kebijakan adalah keputusan formal-legal-terkodifikasi yang dibuat oleh suatu lembaga dan bersifat mengikat para pihak yang terkait dengan lembaga tersebut.

2. Pemanfaatan komersial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemanfaatan dalam bentuk penangkapan kupu-kupu dari habitat alam untuk tujuan perdagangan.

3. Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia (UU 5/1990).

4. Penangkapan spesimen satwa liar adalah kegiatan memperoleh satwa liar dari habitat alam.

5. Penangkap adalah orang atau individu yang melakukan kegiatan memperoleh kupu-kupu dari habitat alam.

(24)

8. Pengumpul pedagang adalah orang atau individu yang membeli atau menampung hasil tangkapan para penangkap, mengolah kupu-kupu menjadi produk souvenir, atau menjual kembali dalam bentuk kupu-kupu yang belum atau sudah diolah.

9. Spesimen kupu-kupu adalah fisik satwa liar kupu-kupu dalam keadaan hidup atau mati atau bagian-bagian dari padanya yang secara visual masih dapat dikenali.

10.Jenis satwa liar adalah jenis yang secara ilmiah disebut spesies atau anak-anak jenis yang secara ilmiah disebut sub-spesies baik di dalam maupun di luar habitat aslinya.

11.Kuota adalah batas maksimum ukuran dan satuan satwa liar dari alam untuk setiap jenis yang dapat dimanfaatkan selama satu tahun takwim.

12.Peraturan perundangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perangkat regulasi formal terkait pemanfaatan komersial SL kupu-kupu, meliputi: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, dan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah. 13.Pelaku pemanfaatan kupu-kupu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

individu kepala keluarga dan atau anggota keluarga yang terdaftar sebagai penduduk desa/kelurahan pada areal studi kasus.

14.Lembaga atau organisasi terkait adalah Balai Besar KSDA Sulsel, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros.

15.Perilaku adalah tindakan atau cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam memanfaatkan satwa liar kupu-kupu, meliputi tata cara menangkap, musim dan waktu menangkap, peralatan yang digunakan serta proses penanganan spesimen kupu-kupu setelah ditangkap sampai dengan siap untuk dijual. 16.Perilaku harapan adalah tindakan atau cara masyarakat (warga) dalam

memanfaatkan kupu-kupu, yaitu: penangkapan sesuai dengan kuota yang ditentukan dan tidak merusak populasinya di alam, penangkapan dan peredaran sesuai dengan izin serta sesuai dengan lokasi dan musim perkembangbiakan.

17.Kinerja adalah serangkaian proses mengenai apa dan bagaimana suatu pekerjaan dilakukan serta hasil atau capaian prestasi yang dapat diperoleh dari proses tersebut.

18.Kinerja harapan adalah hasil atau capaian akhir dari pemanfaatan komersial kupu-kupu, yaitu kelestarian kupu-kupu di habitat alam serta pendapatan masyarakat meningkat. Kinerja harapan dalam penelitian ini diukur dari indikator kinerja sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Kepmenhut 447/2003. 19.Inventarisasi populasi adalah kegiatan mengumpulkan data lapangan yang

(25)

20.Monitoring populasi adalah kegiatan mengumpulkan data lapangan yang bertujuan untuk mengetahui kecenderungan naik atau turunnya populasi akibat adanya penangkapan pada populasi suatu jenis di tempat tertentu, yang dilakukan secara berulang dan teratur dengan metoda yang secara ilmiah berlaku.

21.Nilai adalah sifat-sifat yang penting bagi kemanusiaan.

22.Observasi adalah merupakan kegiatan pasif yang biasa dipergunakan oleh peneliti dengan tujuan menjelaskan obyek penelitian dalam hal atribut atributnya.

23.Survei adalah cara mengumpulkan data primer dengan tujuan untuk meneliti populasi secara langsung.

(26)

2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Letak dan Potensi Wisata

Secara administrasi pemerintahan, lokasi penelitian terletak di Desa Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung; serta Desa Jenetaesa dan Desa Samangki, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis areal penelitian ini terletak antara 119°37’30”–119°45’00” Bujur Timur dan antara 4°57’43”–5°06’08” Lintang Selatan. Lokasi penelitian ini merupakan daerah penyangga bagi kawasan TN Babul.

Kawasan TN Babul ditunjuk oleh Menteri Kehutanan pada tanggal 18 Oktober 2004 melalui SK.398/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Bantimurung–Bulusaraung seluas ± 43.750 Ha terdiri dari Cagar Alam seluas ± 10.282,65 Ha, Taman Wisata Alam seluas ± 1.624,25 Ha, Hutan Lindung seluas ± 21.343,10 Ha, Hutan Produksi Terbatas seluas ± 145 Ha, dan Hutan Produksi Tetap seluas ± 10.335 Ha yang terletak di Kabupaten Maros dan Pangkep, Provinsi Sulsel menjadi TN Babul.

Di kawasan Bantimurung terdapat air terjun yang sudah sangat dikenal kalangan masyarakat di Sulawesi Selatan. Obyek wisata ini merupakan idola masyarakat karena tingkat aksesibilitasnya yang tinggi. Pada tahun 2012, tercatat jumlah pengunjung areal wisata Bantimurung mencapai 566.586 orang pengunjung. Obyek wisata ini di tahun 2012 mampu menghasilkan PAD bagi Pemerintah Kabupaten Maros sebesar Rp6 957 673 200 dari retribusi karcis pengunjung, sedangkan dari retribusi jasa penggunaan lahan parkir sebesar Rp132 848 000. Sementara dari tingkat kunjungan tahun 2012 tersebut jumlah PNBP yang diperoleh melalui Balai TN Babul sebesar Rp1 422 350 000. Bagi Balai TN Babul sasaran ini dapat direlisasikan melebihi target yang ditetapkan, yaitu sebesar atau 101,60% dari target yang ditetapkan sebesar 1,4 M di tahun 2012.

2.2 Iklim dan Tanah

Achmad (2011) menyatakan bahwa berdasar pada peta sebaran intensitas curah hujan dengan metode Polygon Thiessen dari data rataan curah hujan selama 10 tahun pada enam stasiun di sekitar areal karst Maros-Pangkep, menunjukkan bahwa pada wilayah Bantimurung dan sekitarnya yang juga merupakan lokasi penelitian memiliki intensitas curah hujan 3.249 mm/tahun. Selanjutnya dijelaskan bahwa tipe iklim di lokasi penelitian termasuk tipe D (Schmid & Fergusson) dengan nilai Qratio = 56,52%. Curah hujan bulanan dengan intensitas

di atas 100 mm berlangsung antara bulan November hingga Mei, intensitas

60−100 mm pada bulan Juni−Juli dan Oktober−November, sedangkan intensitas curah hujan di bawah 60 mm berlangsung pada bulan Agustus−September.

(27)

2.3 Satwa dan Tumbuhan

Menurut Ditjen PHKA (2008), pada kawasan TN Babul telah terdaftar sebanyak 356 jenis SL. Daftar jenis SL tersebut dihimpun dari berbagai sumber yang dapat dipercaya serta hasil dari kegiatan identifikasi jenis yang dilakukan oleh Balai TN Babul sendiri. Jenis-jenis satwa liar tersebut terdiri dari 6 jenis Mamalia, 73 jenis Aves, 7 jenis Amphibi, 19 jenis Reptilia, 224 Jenis Insecta, serta 27 jenis Collembola, Pisces, Moluska dan lain sebagainya. Dari 356 jenis SL yang telah terdaftar pada TN Babul, 30 jenis diantaranya adalah jenis SL yang dilindungi undang-undang, 1 jenis diantaranya adalah jenis SL yang termasuk dalam Appendix I CITES, 9 jenis adalah jenis SL yang termasuk dalam Appendix

II CITES, dan 1 jenis SL yang termasuk dalam Appendix III CITES. Dari 224 jenis

insecta, tercatat 147 jenis merupakan jenis kupu-kupu. TN Babul dikenal dengan potensi kupu-kupunya. Jenis-jenis tersebut dikatakan sebagai Flag Species taman nasional ini.

Selain jenis-jenis SL, terdapat juga 302 jenis tumbuhan alam yang telah dicatat pada kawasan TN Babul. Jenis-jenis tumbuhan tersebut terdiri atas 2 famili dari kelas Monocotyledonae dan 43 famili dari kelas Dicotyledonae. Dari 302 jenis tumbuhan alam yang telah terdaftar pada TN Babul tersebut, 1 jenis diantaranya adalah jenis tumbuhan alam yang dilindungi undang-undang, 1 jenis tumbuhan alam yang termasuk dalam Appendix II CITES, dan 1 jenis lainnya adalah termasuk dalam Appendix III CITES. Suatu hal yang cukup unik dari keberadaan tumbuhan alam tersebut adalah adanya 43 jenis/sub spesies tumbuhan alam dari marga Ficus. Jenis-jenis Ficus ini adalah makanan utama bagi banyak jenis SL termasuk yang paling umum adalah kera hitam sulawesi/Dare (Macaca

maura).

Daftar keanekaragaman hayati di dalam TN Babul masih terus bertambah panjang seiring dengan semakin intensifnya pelaksanaan identifikasi, inventarisasi ataupun sensus di dalam kawasan. Daftar jenis keanekaragaman hayati tersebut, hingga saat ini masih sebatas menjadi daftar. Upaya-upaya konservasi keanekaragaman hayati di dalam kawasan masih dalam tahap pengumpulan dan pengolahan data, serta pemetaan sebaran habitatnya di dalam kawasan. Kajian lebih lanjut tentang bagaimana kondisi populasinya di dalam kawasan, daya dukung habitat terhadap kelangsungan populasi jenis tersebut, serta hal-hal lain yang terkait dengan konservasi keanekaragaman hayati belum dapat diupayakan hingga saat ini (Ditjen PHKA 2008).

2.4 Vegetasi Tumbuhan Pakan Kupu-Kupu

Lokasi pengamatan aktivitas penangkapan kupu-kupu di Desa Kalabbirang adalah areal yang relatif terbuka dan merupakan pemukiman penduduk. Pada lokasi tersebut dijumpai jenis-jenis tumbuhan Lantana camara (Verbenaceae),

Psidium guajava (Myrtaceae), Annona muricata (Annonaceae), Aristolochia sp.

(Aristolochiaceae), Citrus sp. (Rutaceae), Tectona grandis (Verbenaceae) dan

Ficus sp. (Moraceae). Lokasi pengamatan Desa Jenetaesa juga merupakan areal

pemukiman penduduk. Pada lokasi ini terdapat aliran sungai yang selalu mengalir, jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan antara lain adalah Hibiscus sp. (Malvaceae),

Bauhinia purpurea (Caesalpiniaceae), Ixora sp. (Rubiaceae), Arenga pinnata

(28)

Ficus sp. (Moraceae). Selanjutnya lokasi pengamatan Desa Samangki merupakan formasi hutan sekunder dan terdapat aliran sungai yang selalu mengalir setiap tahun. Jenis-jenis tumbuhan berbunga yang dapat dijumpai di lokasi ini adalah

Aristolochia sp. (Aristolochiaceae), Arenga pinnata (Palmae), Lantana camara

(Verbenaceae), Hibiscus sp. (Malvaceae), Tectona grandis (Verbenaceae), Ficus

sp. (Moraceae) dan tumbuhan benalu.

Noerdjito dan Amir (1992) menyatakan bahwa tumbuhan perdu yang berbunga dan banyak dikunjungi kupu-kupu di Leang-Leang (Kecamatan Bantimurung) antara lain: Lantana, Mimosa, tumbuhan Asteraceae, Myrtaceae,

dan Graminae. Di sekitar kawasan wisata Bantimurung, jenis-jenis vegetasi yang

menonjol adalah pandan, aren, Ficus, dan tumbuhan merambat seperti

Aristolochiaceae dan Convolvulaceae. Sementara di Pattunuang, Desa Samangki

(Kecamatan Simbang) terdapat banyak jenis tumbuhan yang ditanam penduduk seperti pisang, jeruk (Rutaceae), nangka (Annonaceae) serta beberapa perdu. Jenis-jenis tumbuhan Leguminosae, palem, aren, dan tumbuhan Ficus juga banyak ditemukan.

Achmad (2011) telah mengidentifikasi 14 jenis tumbuhan yang diketahui dengan pasti sebagai tumbuhan inang dari beberapa jenis larva kupu-kupu di Bantimurung seperti tersaji pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Jenis-jenis tumbuhan pakan larva kupu-kupu

Jenis tumbuhan Jenis larva kupu-kupu

(29)

bahwa satu jenis tumbuhan dapat merupakan tumbuhan inang dari beberapa jenis kupu-kupu yang bergenus sama, dan sebaliknya satu jenis kupu-kupu mempunyai lebih dari satu jenis tumbuhan inang yang spesifik untuk meletakkan telurnya dan sekaligus sebagai tumbuhan pakan larvanya.

2.5 Kependudukan dan Budaya

Menurut data BPS Kabupaten Maros Tahun 2012, secara keseluruhan pada dua kecamatan (Kecamatan Bantimurung dan Kecamatan Simbang) yang merupakan daerah penyangga kawasan TN Babul terdapat populasi penduduk sebanyak 50.678 jiwa. Kecamatan Bantimurung dengan jumlah penduduk 28.278 jiwa, terdiri atas 13.506 jiwa laki-laki dan 14.772 jiwa perempuan. Kecamatan Simbang dengan jumlah penduduk 22.400 jiwa, terdiri atas 10.766 laki-laki dan 11.634 jiwa perempuan.

Pada lokasi penelitian yaitu di Desa Kalabbirang (Kecamatan Bantimurung); Desa Jenetaesa dan Desa Samangki (Kecamatan Simbang), data keadaan penduduk tahun 2011 ditunjukkan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin, luas wilayah dan kepadatan penduduk di lokasi penelitian

Kecamatan Desa Jumlah penduduk (jiwa) Luas

(km2)

Masyarakat yang bermukim di daerah penyangga TN Babul pada umumnya merupakan etnis Bugis─Makassar yang menganut agama Islam. Sistem kepercayaan dan budaya masyarakat sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya Bugis─Makassar dan Islam. Nilai-nilai budaya yang berlaku masih dijunjung tinggi oleh masyarakat di wilayah tersebut.

(30)

2.6 Tingkat Pendidikan

Pendidikan masyarakat merupakan salah satu indikator kesejahteraan dan keberhasilan pembangunan suatu daerah. Tingkat pendidikan masyarakat dapat mempengaruhi cara berpikir seseorang, terutama dalam menganalisis suatu permasalahan. Dengan tingkat pendidikan masyarakat yang tinggi diharapkan masyarakat lebih cepat menerima dan memberikan respon terhadap hal-hal yang membutuhkan kemampuan berpikir dari inovasi-inovasi baru yang dianjurkan kepadanya. Kecenderungan yang ada, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin responsif orang tersebut terhadap perubahan–perubahan. Tingkat pendidikan masyarakat yang bermukim di sekitar TN Babul dapat

dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu tingkat pendidikan rendah (≤ SD),

tingkat pendidikan menengah (SLTP−SLTA) dan tingkat pendidikan tinggi (Akademi/PT).

Hasil penelitian Kadir et al. (2010) menunjukkan bahwa persentase masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan rendah mencapai 84,4%. Tingkat pendidikan masyarakat sekitar TN Babul yang rendah dapat menjadi faktor penghambat dalam pengelolaan TN Babul. Walau demikian, hal ini dapat diatasi dengan melakukan kegiatan pendampingan kepada masyarakat sekitar, meningkatkan kegiatan penyuluhan dan pelatihan secara intensif sehingga tercipta kesamaan visi dan persepsi terhadap pengelolaan SL dan TN Babul.

2.7 Mata Pencaharian dan Jumlah Tanggungan Keluarga

Masyarakat yang bermukim di sekitar taman nasional selain bekerja sebagai petani, peternak dan pedagang, sebagian juga menggantungkan hidupnya dari hasil hutan. Bisa saja dikatakan bahwa tidak sedikit yang menggantungkan hidupnya dari hasil hutan, karena pada umumnya masyarakat ini juga mempunyai mata pencaharian ganda. Pekerjaan pokok masyarakat yag bermukim di sekitar TN Babul umumnya (92,2%) adalah petani (petani sawah dan kebun). Hal ini berarti bahwa masyarakat di sekitar TN Babul sangat bergantung kepada potensi sumber daya alam berupa lahan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari (Kadir et al. 2010).

Aktivitas ekonomi masyarakat yang dilakukan di sekitar kawasan taman nasional umumnya adalah pembuat gula aren, mencari madu, menangkap kupu-kupu, memungut kemiri, dan mengambil kayu bahan bangunan, bahkan sebagian masyarakat berkebun atau berladang di dalam kawasan taman nasional karena ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang status lahan (pada umumnya di wilayah-wilayah yang dulunya adalah hutan lindung dan produksi). Pemungutan hasil hutan ikutan seperti gula aren, kemiri dan madu merupakan aktivitas yang memberikan keuntungan ekonomi yang cukup besar bagi masyarakat setempat. Penangkapan kupu-kupu juga merupakan sumber pendapatan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan wisata Bantimurung khususnya di Kecamatan Bantimurung dan Kecamatan Simbang (Ditjen PHKA 2008).

(31)

2010 sebesar Rp1 000 000/bulan (Rp12 000 000/tahun). Hal ini berarti bahwa sebagian masyarakat sekitar TN Babul belum dapat memenuhi kebutuhan minimum mereka sehari-hari.

Jumlah tanggungan setiap kepala keluarga dapat mempengaruhi semangat dan tingkat kreativitas seorang kepala keluarga. Dengan banyaknya jumlah orang yang ditanggung dalam keluarga maka semakin besar biaya yang harus disiapkan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Banyaknya jumlah tanggungan keluarga juga dapat mengindikasikan besarnya potensi tenaga kerja keluarga yang tersedia yang dapat membantu kepala keluarga dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari

(32)

3 METODE

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai bulan September 2013. Lokasi penelitian terletak di Desa Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung; serta di Desa Jenetaesa dan Desa Samangki, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros. Alasan pemilihan desa-desa tersebut karena merupakan lokasi-lokasi penangkapan berbagai jenis kupu-kupu yang diperdagangkan (Noerdjito dan Aswari 2003).

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian; Sumber: Ditjen PHKA (2008)

(33)

3.2 Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat lintas bidang dengan menggunakan pengetahuan positif dan pengetahuan tentang nilai untuk menghasilkan suatu preskripsi (resep) tentang penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros. Pakpahan (1989) menyatakan "...suatu

preskripsi selalu mengandung unsur nilai dan bukan nilai...". Pendekatan

penelitian menggunakan metode deskriptif kuantitatif dan deskriptif kualitatif sesuai keperluan masing-masing kajian. Kajian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi: karakteristik sumber daya kupu-kupu (Lepidoptera) yang dimanfaatkan secara komersial; karakteristik pelaku, teknik penangkapan dan pedagangan kupu-kupu; keefektifan implementasi peraturan pemanfaatan komersial SL; serta penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu.

Penggunaan metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif tersebut menekankan pada penggambaran, pemahaman dan penjelasan atas data-data yang dikumpulkan. Kredibilitas data diuji secara triangulasi terhadap cara pengumpulan dan sumber data (Sugiyono 2012).

3.3 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui: (a) observasi atau pengamatan untuk memperoleh data primer dan melihat langsung aktivitas pemanfaatan komersial kupu-kupu di lapangan; (b) wawancara mendalam dengan informan yang meliputi para pelaku pemanfaat kupu-kupu yaitu penangkap, pengumpul pedagang serta para pejabat di instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan pemanfaatan SL; serta (c) studi literatur terhadap beberapa data sekunder. Data primer diperoleh langsung melalui observasi dan wawancara, serta data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, data statistik dan laporan tahunan diperoleh dari instansi terkait.

Observasi awal dilakukan dengan menelusuri para pengumpul pedagang serta para penangkap secara snow ball technique untuk mendapatkan informasi mengenai para pengumpul pedagang dan penangkap yang ada di lokasi penelitian. Setiap kali melakukan kunjungan ke pengumpul pedagang, dilakukan wawancara secara mendalam mengenai aspek perdagangan dan informasi jenis-jenis kupu-kupu dilihat dari pembelian hasil tangkapan. Wawancara juga dilakukan dengan para penangkap saat melakukan aktivitas penangkapan di lapangan, guna mendapatkan gambaran tambahan mengenai jenis-jenis kupu-kupu serta sebagai suatu cross reference terhadap data yang telah disampaikan oleh para pengumpul pedagang. Wawancara mendalam juga dilakukan terhadap petugas pada instansi terkait mengenai aspek pengaturan pemanfaatan komersial kupu-kupu. Studi literatur sebagai pelengkap data dan informasi, didapatkan dari instansi terkait.

(34)

Jumlah informan ditentukan dengan pertimbangan-pertimbangan informasi yang diperlukan, jika tidak ada lagi informasi yang dapat dijaring maka pemilihan informan sudah dapat diakhiri (Moleong 2002). Jumlah informan yang dimaksud dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Informan penelitian

Pelaksana Peraturan Jabatan Jumlah

Balai Besar KSDA

Kepala Seksi Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Kepala Seksi Aneka Usaha Kehutanan

Kepala Sub Direktorat Program dan Evaluasi Penyidikan dan Pengamanan

Kepala Seksi Pembalakan Ilegal dan Satwa Liar Wilayah I

Kelompok Sasaran Kategori Jumlah

Penangkap

Pengumpul pedagang

Kelompok usia di bawah 19 tahun Kelompok usia di atas 19 tahun Memiliki izin pengedar

3.3.1 Kajian tentang karakteristik sumber daya kupu-kupu (Lepidoptera) yang dimanfaatkan secara komersial

(35)

tangkapan yang meliputi jumlah individu setiap jenis dan rasio kelamin, serta status jenis kupu-kupu yang dimanfaatkan secara komersial dari habitat alam. Pada umumnya kondisi populasi satwa liar, termasuk kupu-kupu di alam sangat sulit untuk diketahui. Hal ini disebabkan oleh luasnya habitat, letak geografis, serta sifat dari satwa liar tersebut yang tidak memungkinkan dilakukan sensus secara terstruktur dalam satu satuan waktu yang pendek (Shine et al. 1998; Schlaeper et al. 2005; Iskandar dan Erdelen 2006; Semiadi dan Sidik 2011).

Oleh sebab itu, kajian tidak langsung melalui pemantauan terhadap hasil yang dipanen/ditangkap yang ada di tingkat penangkap dapat menjadi indikator penting mengenai kondisinya di alam (TRAFFIC 2008; Semiadi dan Sidik 2011). Gambaran sesungguhnya mengenai kondisi populasi serta status jenis kupu-kupu di alam perlu terus dipantau secara reguler untuk memperoleh informasi sebagai dasar pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan pemanfaatan kupu-kupu secara lestari.

Pengamatan jenis-jenis kupu-kupu hasil tangkapan dilakukan terhadap masing-masing 3 orang penangkap pada 3 lokasi penangkapan di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros. Pemilihan lokasi pengamatan dilakukan secara sengaja (purposive) dengan cara mengikuti pilihan para penangkap yang biasanya melakukan aktivitas penangkapan. Selama melakukan pengamatan didampingi oleh dua orang pengenal jenis kupu-kupu yang mampu mengidentifikasi kupu-kupu dengan baik.

Pengamatan dilakukan pada bulan Februari, Mei, dan Agustus 2013 di setiap lokasi penangkapan. Pemilihan waktu pengamatan berdasarkan pertimbangan bahwa intensitas curah hujan pada bulan-bulan tersebut secara berturut-turut adalah tinggi, sedang dan rendah. Selain itu, menurut informasi para pengumpul pedagang bahwa komposisi jenis kupu-kupu hasil tangkapan selama 1 hingga 2 bulan relatif sama. Jadi dengan asumsi rentang waktu pengamatan selama 3 bulan, maka akan memperoleh data komposisi jenis kupu-kupu hasil tangkapan yang berbeda. Masing-masing lokasi dilakukan pengamatan selama 3 hari. Pengamatan dilakukan pada pagi hari (08.00-12.00 WITA) dan siang hingga sore hari (pukul 13.00-16.00 WITA). Pengamatan penangkapan kupu-kupu dilakukan di sepanjang jalur berukuran lebar 20 meter dengan panjang 150 meter, menggunakan metode sensus transek (transect count) (Pollard dan Yates 1993; Noerdjito dan Aswari 2003). Rincian waktu pengamatan aktivitas penangkapan kupu-kupu di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Waktu pengamatan aktivitas penangkapan kupu-kupu di lokasi penelitian tahun 2013

Bulan Desa Kalabbirang Desa Jenetaesa Desa Samangki

Februari

Penangkapan kupu-kupu oleh para penangkap menggunakan jaring serangga

(sweep net) berdiameter 50 cm dengan panjang tongkat 200 cm. Penangkapan

(36)

kupu-kupu yang tertangkap dicatat jumlahnya, nama jenis dan perbedaan jenis kelaminnya. Cara memperkirakan rasio kelamin dari populasi kupu-kupu adalah dengan menghitung perbandingan jantan dengan betina hasil tangkapan. Asumsi yang mendasari praktek ini bahwa koleksi kupu-kupu liar di alam sehubungan dengan rasio kelamin adalah acak (Idris dan Hassan 2014).

Data jenis-jenis kupu-kupu hasil tangkapan berupa jumlah individu setiap jenis dan rasio kelamin diketahui dengan cara menghitung seluruh individu yang tertangkap di dalam transek selama waktu pengamatan. Data hasil pengamatan kemudian ditabulasi dan dijabarkan secara deskriptif.

3.3.2 Kajian tentang karakteristik pelaku, teknik penangkapan dan perdagangan kupu-kupu

Kajian ini meliputi pelaku penangkapan, metode menangkap, pelaku perdagangan, aktivitas perdagangan, klasifikasi kualitas dan harga kupu-kupu, serta upaya budi daya kupu-kupu. Karakteristik penangkapan kupu-kupu dari habitat alam untuk tujuan perdagangan berkaitan dengan siapa saja yang terlibat dalam aktivitas penangkapan. Observasi lapangan serta wawancara mendalam dilakukan untuk mengetahui berapa jumlah penangkap yang secara aktif melakukan penangkapan, metode menangkap (menjaring), lokasi serta waktu penangkapan kupu-kupu.

Data dan informasi tentang karakteristik perdagangan (peredaran) kupu-kupu dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan observasi lapangan untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan kupu-kupu, aktivitas pelaku perdagangan, klasifikasi kualitas dan harga kupu-kupu yang diperdagangkan, serta perilaku warga dalam melakukan budi daya kupu-kupu. Pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul dihitung jumlahnya serta digambarkan dalam bagan alir tata niaga kupu-kupu.

3.3.3 Kajian tentang keefektifan implementasi peraturan pemanfaatan komersial satwa liar

Gambar

Gambar 1.1  Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 2.1  Jenis-jenis tumbuhan pakan larva kupu-kupu
Gambar 3.1  Peta lokasi penelitian; Sumber: Ditjen PHKA (2008)
Tabel 3.1  Informan penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

2%.. 4etelah pembuatan kontur selesai kemudian buka soft!are magpi"k 6gambar ).#)7 pilih file   open grid file.. Pada tahap ini dilakukan untuk memisahkan anomaly regional

Menu untuk mendaftar bagi masyarakat umum tersebut berada di halaman publik depan website Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya, pengunjung website atau

Responsivitas melihat dari apa yang dibutuhkan dan apa yang diharapkan oleh masyarakat terhadap pelayanan publik di kantor Kecamatan Johan pahlawan kurang dapat diberikan secara

Memorandum of Understanding yang telah dibuat sebaiknya bersifat final sebagai suatu perjanjian, hal ini bertujuan agar apabila terjadi wanprestasi dalam pelaksanaannya oleh

Results: There was a significance difference between the mean distance of the inferior orbital margin to the infra orbital foramen and the inferior orbital margin to the

Dalam hal ini peneliti berpendapat bahwa, sebagian besar responden remaja berada pada insomnia jangka pendek yang berlangsung selama 1-4 minggu disebabkan karena

Tidak ada hubungan antara pola asuh orang tua, pencarian pengobatan dan kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas

Justeru dalam perbincangan yang seterusnya, akan ditunjukkan bahawa menerusi beberapa pembaharuan yang diperkenalkan dalam Program Minimalis, khususnya dari segi perubahan