• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN TERHADAP KENDARAAN BERMOTOR (STUDI KASUS DI KEPOLISIAN SEKTOR KUTA KABUPATEN BADUNG).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN TERHADAP KENDARAAN BERMOTOR (STUDI KASUS DI KEPOLISIAN SEKTOR KUTA KABUPATEN BADUNG)."

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCURIAN

DENGAN KEKERASAN TERHADAP

KENDARAAN BERMOTOR

(Studi Kasus di Kepolisian Sektor Kuta Kabupaten Badung)

I GUSTI NGURAH AGUNG BAGUS LAKSAMANA ANANDA NIM : 1103005212

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

PENANGGULANGAN PERAMPASAN KENDARAAN

BERMOTOR

(Studi Kasus di Kepolisian Sektor Kuta Kabupaten Badung)

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I GUSTI NGURAH AGUNG BAGUS LAKSAMANA ANANDA NIM : 1103005212

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ……….. i

PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ………. ii

HALAMAN PENGESAHAN………..……….……….. iii

HALAMAN PENETAPAN ………... iv

KATA PENGANTAR ……… iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN………. vii

DAFTAR ISI ……… x

ABSTRAK ……… xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN………... 1

1.1. Latar Belakang Masalah …………... 1

1.2. Rumusan Masalah ……….……… 8

1.3. Ruang Lingkup Masalah ……….……….. 9

1.4. Orisinalitas Penelitian ... 9

1.5. Tujuan Penelitian ……….………. 11

a. Tujuan Umum ...………..………... 11

b. Tujuan Khusus …...………...………. 11

1.6. Manfaat Penelitian ... 12

a. Manfaat Teoritis ... 12

b. Manfaat Praktis ... 12

1.7. Landasan Teoritis ... 12

(10)

1.8.1. Jenis Penelitian ....………... 18

1.8.2. Sifat Penelitian ...……….. 19

1.8.3. Jenis Pendekatan ...………... 19

1.8.4. Data dan Sumber Data ...………... 20

1.8.5. Teknik Pengumpulan Data ... 21

1.8.6. Teknik Penentuan Sampel Penelitian ... 22

1.8.7. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 23

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PERAMPASAN ... 25

2.1. Pengertian Tindak Pidana ... 25

2.2. Unsur-unsur Tindak Pidana ... 27

2.3. Pengertian Perampasan ... 33

2.4. Unsur-unsur perampasan ... 36

2.5. Klasifikasi Tindak Pidana Perampasan dalam KUHP ... 42

BAB III : TINJAUAN TENTANG TINDAK PIDANA PERAMPASANKENDARAAN BERMOTOR DI KABUPATEN BADUNG ... 53

3.1. Tindak Pidana Perampasan Kendaraan Bermotor di Polsek Kuta Kabupaten Badung... 53

(11)

BAB IV : UPAYA-UPAYA PENANGGULANGAN

TINDAK PIDANA PENCURIAN SEPEDA MOTOR

DI KABUPATEN BADUNG ... 68

4.1. Upaya Preventif ... 68

4.2. Upaya Represif ... 72

BAB V : PENUTUP ... 77

5.1. Simpulan ... 77

5.2. Saran-saran ... 78

(12)

ABSTRAK

Penelitian Penanggulangan Pencurian Kendaraan Bermotor (Studi Kasus di Kepolisian Sektor Kuta Kabupaten Badung) ini mencakup dua permasalahan yakni apakah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencurian kendaraan bermotor di Polsek Kuta Kabupaten Badung dan bagaimanakah upaya penanggulangan bagi pelaku tindak pidana pencurian kendaraan bermotor di Polsek Kuta Kabupaten Badung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan pencurian sepeda motor di jalan raya dan mengetahui upaya pihak Kepolisian Sektor Kuta Kabupaten Badung dalam penanggulangan kejahatan pencurian sepeda motor di jalan raya. Pihak Kepolisian Sektor Kuta Kabupaten Badung dalam menanggulangi pencurian sepeda motor di jalan dan solusi yang diberikan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis empiris yang bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis peraturan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan kasus yang bersifat kualitatif. Sedangkan lokasi penelitian di Kepolisian Sektor Kuta Kabupaten Badung yang beralamat di jalan Raya Tuban, Kuta, Kabupaten Badung. Sumber data dalam penelitian ini dipeoleh dari data primer sebagai data utama yaitu hasil wawancara baik dengan responden maupun informan dan data sekunder sebagai data pelengkap yaitu kepustakaan, peraturan perundang-undangan, majalah dan website. Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara dan studi pustaka dalam hal ini bahan pustaka yang digunakan adalah buku-buku dan peraturan perundang-undangan. Teknik analisis data penelitian ini mengunakan metode deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan dapat diketahui bahwa Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pencurian sepeda motor di Kuta sering terjadi yaitu dipicu oleh faktor ekonomi, faktor kurangnya lapangan pekerjaan, kenakalan remaja,dan faktor lingkungan .Upaya-upaya yang dilakukan pihak kepolisian dalam menanggulangi kejahatan pencurian sepeda motor di jalan adalah upaya preventif (pencegahan) dan represif (penindakan) serta kendala-kendala yang dihadapi pihak kepolisian dalam menanggulangi kejahatan pencurian sepeda motor di jalan yaitu kurangnya informasi yang diperoleh dari pihak pelapor, lokasi kejadian yang berbeda-beda dan kondisi psikologis korban yang menyulitnya untuk menggali informasi lebih dalam dan solusi yang diberikan oleh pihak Kepolisian Sektor Kuta Kabupaten Badung yaitu bagi masyarakat pengguna jalan khususnya sepeda motor agar tidak melakukan perjalanan pada malam hari didaerah rawan, apabila diharuskan untuk pulang pada larut malam upayakan jangan berkendara sendirian, ketika melihat atau merasakan keadaan yang kurang nyaman, misalnya ketika didekati oleh pengguna motor lain, seharusnya pengendara motor itu membunyikan klakson secara terus-terusan untuk menarik perhatian warga.

(13)

ABSTRACT

The Research Countermeasures Deprivation of Motorcycles (Case Study in Police Sector Kuta Badung regency include two issues of whether the factors that cause the occurrence of the crime of appropriation of motorcycles in the police Kuta Badung and how the response to the criminal seizure of motorcycles in the police Kuta district Badung. This study aims to determine the factors that cause crime seizure of motorcycles on the road and know the efforts of the Police Sector Kuta Badung in the prevention of crime seizure of motorcycles on the road. The Police Sector Kuta Badung in tackling deprivation motorcycle road and given solutions. This research is juridical empirical research is descriptive analytic by using pendekatan juridical legislation, the approach and the concept of qualitative approach to the case. While the study site in Kuta Badung Police Sector which is located on Tuban Street, Kuta, Badung. Source of data in this study dipeoleh of primary data as the main data is of good interviews with respondents and informants and secondary data as supplementary data namely literature, legislation, magazines and websites. Data collection techniques used were interview and literature in this library materials used are books and legislation. This research data analysis techniques using descriptive method. Based on the results of research and analysis that is done can be seen that the factors that led to the deprivation of motorcycles in Kuta often are triggered by economic factors, factors lack of jobs, juvenile delinquency, and environmental factors .Upaya measures being taken by the police in tackling crime seizure of motorcycles on the road are preventive measures (prevention) and repression (prosecution) and the constraints faced by the police in tackling crime seizure of motorcycles on the road is the lack of information obtained from the complainant, the scene that is different and conditions psychological victims menyulitnya to dig deeper and solutions provided by the Police Sector Kuta Badung is for the public road users, especially motorcycles in order not to travel at night areas prone, if required to return late at night try not drive alone, when see or feel less comfortable circumstances, for example when approached by other motorists, motorcyclists should the honking is kept to draw the attention of citizens.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam usaha mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat, merupakan sesuatu yang sangat sulit bagi Pemerintah dalam menjalankan programnya. Dewasa ini, demikian banyak gangguan yang melanda kehidupan masyarakat terutama dalam bidang-bidang perekonomian. Misalnya, dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari baik kebutuhan sandang, pangan dan papan. Setiap orang memiliki kebutuhan hidup yang berbeda-beda dan bagi sebagian orang wajib memberikan nafkah kepada keluarganya. Sehingga masyarakat akan merasa terdesak oleh kebutuhannya sendiri. Dengan demikian, setiap orang akan berpacu secara terus menerus dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan keluarganya. Melihat fenomena ini, maka akan terjadi benturan kepentingan antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga sangat memungkinkan terjadinya tindak kejahatan dalam masyarakat Berbagai macam kejahatan yang dapat terjadi dan ditemui didalam masyarakat pada setiap saat maupun pada semua tempat.

(15)

hidup yang relative sulit dipenuhi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi memberi peluang tindak pidana makin tinggi dan meningkat kualitasnya termasuk pelanggaran pidana yang semakin bervariasi. Seperti halnya yang terjadi di Provinsi Bali yaitu pencurian kendaraan bermotor di Polsek Kuta. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yakni dikarenakan daerah Kuta merupakan daerah pariwisata yang sangat diperhatikan oleh Pemerintah, baik Pemerintah Provinsi Bali maupun Pemerintah Pusat. Disamping itu pula, daerah Kuta juga menjadi perhatian masyarakat Bali, masyarakat di seluruh Indonesia dan mancanegara. Dengan demikian daerah Kuta menjadi pusat perhatian masyarakat Bali maupun wisatawan. Apabila terjadi tindak pidana pencurian kendaraan bermotor di Kecamatan Kuta ini, maka akan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi keamanan dan kenyamanan masyarakat Kuta maupun wisatawan baik wisatawan lokal maupun wisatawan asing. Sehingga dampak yang diterima oleh masyarakat Bali sangat terasa yaitu dampak berkurangnya wisatawan lokal maupun asing yang berkunjung atau menikmati indahnya pantai Kuta serta wisatawan yang mencari hiburan malam dan lain-lain. Peristiwa pencurian kendaraan bermotor ini memberikan dampak yang dapat meresahkan wisatawan dan masyarakat lokal. Oleh karena itu, maka sangat penting untuk diadakan penelitian di Kecamatan Kuta.

(16)

kasus ini, pelaku memaksa korban untuk diantarkan ke suatu tempat dan melancarkan aksinya dengan memukul dan merampas motor korban di tempat sepi. Pada saat itu, korban ditampar tiga kali kemudian dipukul dan ditendang, kemudian pelaku lari. Pada akhirnya, pelaku ditangkap di sekitar Kuta saat membawa sepeda motor yang pelat nomornya telah dibongkar. Dalam peristiwa ini, pelaku melakukan begal karena faktor ekonomi dimana dirinya sudah lama menganggur.1

Tindak pidana pencurian kendaraan bermotor lainnya juga terjadi di Kecamatan Kuta Selatan yakni di Jalan Kunti Gang Kelapa Seminyak, Kuta. Dalam kasus ini, terjadi pada Minggu tanggal 15 Pebruari 2015 sekitar pukul 05.30 wita, awalnya Haerudin berada di Jalan Popies II Kecamatan Kuta tiba-tiba, dia didatangi tersangka dan menyuruh korban mengantarnya naik motor. Awalnya korban menolak, namun tersangka memaksa dan langsung mengambil kunci motor Yamaha Vega ZR DK 3751 IJ milik korban. Selanjutnya, korban disuruh naik dan tersangka langsung tancap gas meninggalkan tempat tersebut. Setibanya di Jalan Kunti Gang Kelapa, korban minta turun. Saat itulah, tersangka memukul korban hingga jatuh dari atas motor. Selanjutnya, motor tersebut langsung dibawa kabur dan meninggalkan korban di jalan. korban lalu melaporkan peristiwa tersebut ke Polsek Kuta.2

. Dalam hal ini, berbeda dengan pelaku begal di Kuta, Bali ini, Dewi Puspita Sari namanya. Selain perempuan, dia juga memiliki cara lain merampas motor korbannya yakni dengan cara mengajak korban melakukan hubungan intim

1

Republika.co.id, Bali Antisipasi Begal Motor, tanggal 10 Maret 2015, Pk. 13.42 wita. 2

(17)

disebuah penginapan, dipuaskanlah kebutuhan birahi korban sampai lelah dan tertidur. Setelah itu, janda beranak satu ini langsung membawa kabur motor korban. Jika korban terbangun, dia berdalih hanya meminjam motor untuk pergi ke warung membeli rokok atau minuman. Walaupun caranya ini terbilang ekstrem dengan mengajak korban berhubungan intim. Namun, kepada polisi dia mengaku selalu membawa kondom disetiap ingin melancarkan aksinya. Alasannya, ia tak mau tertular jika sang korban memiliki penyakit kelamin. Selain itu, perempuan berusia 26 tahun ini mengaku selektif dalam memilih korbannya, selain melihat merk motor apa yang dipakai korban, dia juga melihat fisik sang korban, apakah memenuhi seleranya atau tidak.3 Selain kasus tersebut diatas, tindak pidana pencurian kendaraan bermotor juga terjadi di daerah Kuta tetapi pelakunya adalah seorang perempuan. Pelaku begal yang tertangkap polisi umumnya berjenis kelamin pria ditambah dengan memiliki fisik yang menyeramkan layaknya potongan penjahat pada umumnya. Fisik yang menyeramkan tersebut sesuai dengan cara sadis mereka saat bekerja, mengancam dengan senjata tajam seperti pisau, samurai bahkan senjata api. Jika pengendara motor melawan, tak segan para begal akan melukai korban bahkan banyak yang terluka sampai tewas.

Sebagaimana kasus-kasus yang dijelaskan diatas bahwa tindak pidana pencurian kendaraan bermotor lebih banyak terjadi di Kepolisian Sektor Kuta. Untuk menanggulangi kejahatan dan tindak pidana demikian itu dibutuhkan kebijakan penindakan dan antisipasi yang menyeluruh. Tindak pidana yang semakin pelik dan rumit dengan dampak yang luas, dewasa ini menuntut penegak

3

(18)

hukum oleh aparat yang berwenang menerapkan sanksi hukum dan kebijakan penegakan yang tepat guna, sesuai hukum yang berlaku yang dampaknya diharapkan dapat mengurangi sampai batas minimum tindak pidana begal tersebut. Penegakan hukum terhadap ketentuan undang-undang hukum pidana tujuannya untuk mendukung kesejahteraan masyarakat dengan menekan semaksimal mungkin adanya pelanggaran hukum dan tindak pidana yang merugikan masyarakat, baik moril maupun materiil bahkan jiwa seseorang. Para pelaku tindak pidana begal dapat melakukan aksinya dengan berbagai upaya dan dengan berbagai cara. Keadaan seperti itu menyebabkan kita sering mendengar

“modus operandi” (model pelaksanaan kejahatan) yang berbeda-beda antara

kejahatan satu dengan lainnya. Dengan kemajuan teknologi dewasa ini, modus operandi para penjahat juga mengarah kepada kemajuan ilmu dan teknologi. Faktor-faktor yang melatarbelakangi kejahatan, menurut Mulyana W. Kusumah pada dasarnya dapat dikelompokkan kedalam 4 (empat) golongan faktor, yaitu:

1. Faktor dasar atau faktor sosio-struktural, yang secara umum mencakup aspek budaya serta aspek pola hubungan penting didalam masyarakat. 2. Faktor interaksi sosial, yang meliputi segenap aspek dinamik dan

prosesual didalam masyarakat, yang mempunyai cara berfikir, bersikap dan bertindak individu dalam hubungan dengan kejahatan.

3. Faktor pencetus (precipitating factors), yang menyangkut aspek individu serta situasional yang berkaitan langsung dengan dilakukannya kejahatan.

4. Faktor reaksi sosial yang dalam ruang lingkupnya mencakup keseluruhan respons dalam bentuk sikap, tindakan dan kebijaksanaan. yang dilakukan secara melembaga oleh unsur-unsur sistem peradilan

pidana khususnya dan variasi respons, yang secara “informal”

diperlihatkan oleh warga masyarakat.4

4

(19)

Dalam Hukum Pidana dikenal asas legalitas, asas ini dapat disebut sebagai dasar dalam hukum pidana di Indonesia. Asas ini berarti bahwa tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya, atau dalam bahasa latinnya ”Nullum Delictum nulla poena sine legipoenali”.5 Dalam hal ini, terdapat dua hal yaitu :

a. Jika sesuatu perbuatan yang dilarang diperbuat orang, maka perbuatan itu harus termasuk dalam ketentuan-ketentuan undang-undang pidana. b. Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian

demi keuntungan si tersangka.6

Berbagai kejahatan begal yang ada di Polsek Kuta memang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana umum. Walaupun dalam prakteknya, tidak jarang pula terjadi tumpang tindih pada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Seperti dapat kita lihat pada kejahatan korupsi, kejahatan ekonomi, dan kejahatan subversi. Dimana ketiganya sebenarnya juga mengacaukan perekonomian Negara.

Dalam kejahatan korupsi memang ditegaskan unsur “mengacaukan perekonomian

dan keuangan Negara”, demikian pula pada tindak pidana ekonomi. Sementara

itu, pada tindak pidana subversi terdapat unsur perbuatan yang “menghambat

industri dan distribusi” yang dilakukan oleh Negara. Selanjutnya pada tindak

pidana umum, juga kita dapatkan beraneka ragam atau macamnya, di mana salah satunya adalah tindak pidana pencurian. Menurut Poerwadarminta, dalam kamus umum bahasa Indonesia, mengatakan sebagai berikut:“ Pencuri berasal dari kata dasar curi; yang berarti berbagai-bagai perkara pencurian, sedang arti dari pada

5

R. Achmad Soemadi Pradja, 1982, Asas-asas Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 57. 6

(20)

pencurian adalah perkara (perbuatan dan sebagainya) mencuri (mengambil milik orang tidak dengan jalan yang sah)”.7 tindak pidana pencurian yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disingkat dengan KUHP) juga dibagi menjadi beberapa macam antara lain tindak pidana pencurian sesuai dengan ketentuan Pasal 362 KUHP atau pencurian biasa, tindak pidana pencurian dengan pemberatan sesuai yang diatur dengan Pasal 363 KUHP, tindak pidana pencurian ringan seperti yang ditentukan dalam Pasal 364 KUHP, tindak pidana pencurian dalam keluarga serta tindak pidana pencurian dengan kekerasan.

Tindak pidana pencurian dengan kekerasan sesuai dengan ketentuan Pasal 365 KUHP ditambah dengan tindak pidana pencurian dengan pemberatan sesuai ketentuan Pasal 363 KUHP, dimasukkan kedalam pencurian yang dikualifikasikan oleh akibatnya. Didalam penelitian ini, fokus masalah akan diarahkan kepada pencurian khusus yang diatur dalam Pasal 365 KUHP, yang pada intinya memiliki maksud untuk melakukan pencurian, yaitu kasus begal wanita. Dalam hal ini, perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang mendahului pengambilan barang. Misalnya : mengikat penjaga rumah, memukul dan lain-lain.8 Maksud

untuk “mempermudah pencurian”, yaitu pengambilan barang dipermudah dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan. Misalnya: menodong agar diam, tidak bergerak, sedangkan si pencuri lain mengambil barang-barang dalam rumah (Pasal 365 ayat 1 KUHP). Sementara itu, menurut M Sudradjat Bassar hal-hal yang dapat memperberat ancaman hukuman pelakunya adalah apabila dalam

7

W.J.S Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal. 3

8

(21)

perbuatannya terkandung pula hal-hal yaitu melakukan pencurian di jalan umum atau dalam kereta api yang sedang berjalan, mobil atau bus umum (Pasal 365 ayat 2 KUHP).9 Alasan yang memberatkan hukuman ini, adalah bahwa ditempat-tempat tersebut si korban tidak mudah mendapatkan pertolongan orang lain dan apabila perbuatan menyebabkan orang luka berat atau berakibat matinya orang. Dapat diancam dengan pidana mati, penjara seumur hidup atau 20 tahun penjara.

Dengan demikian, fokus penelitian ini hanya ditujukan pada pencurian kendaraan bermotor yang dibarengi dengan kekerasan terhadap pemilik motor atau orang lain yang diserahi pemilik sebelum dan sesudah perbuatan pencurian dengan kekerasan tersebut dilakukan. Oleh karena itu penulis menyusun skripsi

ini yang berjudul “PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCURIAN

DENGAN KEKERASAN TERHADAP KENDARAAN BERMOTOR (Studi Kasus di Kepolisian Sektor Kuta Kabupaten Badung)”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan kasus-kasus yang telah dipaparkan sebagaimana tersebut diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencurian kendaraan bermotor di Polsek Kuta ?

2. Bagaimanakah upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan kekerasan terhadap kendaraan bermotor bagi pelaku di Polsek Kuta ?

9

(22)

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari permasalahan yang terlalu luas dan memperoleh hasil penelitian yang kualitatif dan juga dapat memberikan kesimpulan yang sesuai dengan judul, maka untuk itu dapat dibatasi materi yang diangkat ini hanya berkisar pada faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencurian kendaraan bermotor di Polsek Kuta. Dalam hal ini akan dibatasi pada faktor-faktor penyebab pelaku tindak pidana pencurian kendaraan bermotor. Jadi dalam hal ini, ditentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaku dalam melakukan tindak pidana begal tersebut. Selanjutnya, permasalahan ini dibatasi pada upaya penanggulangan bagi pelaku tindak pidana pencurian kendaraan bermotor di Polsek Kuta. Dalam hal ini, terbatas pada penerapan sanksi pidana yang ditujukan pada pelaku tindak pidana begal di Polsek Kuta. Dengan demikian akan dapat diketahui tentang sanksi apa saja yang diterapkan dan mengenai keberlakuan sanksi yang diterapkan tersebut terhadap pelaku tindak pidana begal tersebut. Dengan demikian, dalam pelaksanaan pengumpulan data, analisis data dan pembahasannya nanti tidak akan melebar atau menyimpang dari permasalahan.

1.4 Orisinalitas Penelitian

(23)

pidana pencurian dengan kekerasan terhadap kendaraan bermotor di Polsek Kuta (Studi Kasus di Kepolisian Sektor Kuta Kabupaten Badung)” permasalahan-permasalahan yang dibahas antara lain Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya pencurian kendaraan bermotor di Polsek Kuta dan Bagaimanakah upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan kekerasan terhadap kendaraan bermotor bagi pelaku di Polsek Kuta, kasus yang dijadikan penelitian terjadi di Kecamatan Kuta Selatan. serta mengambil tempat penelitian di Polsek Kuta dan Kantor Kepolisian Resor Kota Denpasar dengan metode yuridis empiris.

Berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan didalam media elektronik, hanya melihat hasil skripsi Tahun 2013 yang di tulis oleh Fadli Ramadhani

dengan judul “Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Pencurian

Kendaraan Bermotor Yang Dilakukan Oleh Oknum Mahasiswa di Wilayah Kota Makassar”, dengan rumusan permasalahan antara lain pertama, Bagaimanakah sebab-sebab terjadinya delik dalam kasus pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh oknum mahasiswa? dan permasalahan yang kedua yaitu Bagaimanakah upaya yang dilakukan dalam rangka untuk mencegah, mengurangi dan memberantas delik-delik pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh oknum mahasiswa ?. Penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris.

Selanjutnya, skripsi yang disusun oleh Dito Astawansyah Putra yang

berjudul “Tinjauan Kriminologis Tentang Kejahatan Pencurian Kendaraan

(24)

kabupaten Konawe dalam kurun waktu lima tahun terakhir ? dan permasalahan yang ke 2. Upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk meminimalisir terjadinya kejahatan pencurian kendaraan bermotor roda dua di kabupaten Konawe ?. Dalam skripsi yang kedua ini menggunakan metode penelitian hukum empiris.

Adapun tujuan mencantumkan penelitian tersebut agar bisa dijadikan perbandingan, sehingga orisinalitas tulisan yang penulis buat dapat dipertanggung jawabkan.

1.5 Tujuan Penelitian :

Tujuan penelitian pada hakekatnya mengungkapkan, apa yang hendak dicapai oleh peneliti. Yang biasanya disusun secara hierarkhis menurut urutan prioritas.10 Maka dari itu ada 2 (dua) tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

a. Tujuan Umum :

Tujuan Umum penelitian ini adalah untuk mengetahui penanggulangan tindak pidana pencurian dengan kekerasan terhadap kendaraan bermotor di Polsek Kuta yang terjadi di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung yang selama ini kasus tersebut dalam putusannya belum dapat memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

b. Tujuan Khusus :

Adapun yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini sesuai permasalahan yang dibahas adalah :

10

(25)

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana pencurian dengan kekerasan terhadap kendaraan bermotor di Polsek Kuta.

2. Untuk mengetahui upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan kekerasan terhadap kendaraan bermotor bagi pelaku di Polsek Kuta.

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari suatu hasil penelitian, diharapkan ada dua manfaat, baik manfaat yang bersifat teoritis maupun manfaat praktis.

a. Manfaat Teoritis dalam penelitian ini yaitu memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana.

b. Manfaat praktis dalam penelitian ini yaitu memberikan kontribusi dan sumbangan pengetahuan bagi penegak hukum khususnya Polisi Sektor Kuta dalam menentukan sanksi pidana terhadap kasus pencurian kendaraan bermotor di Polsek Kuta.

1.7. Landasan Teoritis

Teori diperlukan untuk menerangkan dan menjelaskan secara spesifik suatu proses tertentu yang terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan

(26)

benarannya.11 Teori juga merupakan alur penalaran atau logika (flow of reasonic/logic), yang terdiri dari seperangkat konsep atau variabel, definisi dan proposisi yang disusun secara sistematis.12

Landasan teoritis merupakan dukungan teori, konsep, asas, dan pendapat-pendapat hukum dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.13 Oleh sebab itu sebelum mengemukakan asumsi terhadap permasalahan, maka terlebih dahulu dikemukakan beberapa pasal dalam Peraturan perundang-undangan dan beberapa teori berupa pendapat para ahli yang relevan dengan permasalahan yang diteliti yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk menentukan asumsi.

Dalam kaitannya dengan penulisan skripsi ini, adapun teori-teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis yaitu:

1. Teori Kriminologi

Secara etimologi, kriminologi berasal dari kata Crime artinya kejahatan dan Logos artinya ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu kriminologi dapat diartikan secara luas dan lengkap sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan.14 Menurut Moelijatno menyatakan bahwa kriminologi merupakan ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan kelakuan-kelakuan jelek serta tentang

11

J.J.JM. Wuisaman, 1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, h.203

12

J. Supranto, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, h. 194 13

Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju Bandung, h. 141

14

(27)

orang yang tersangkut pada kejahatan dan kelakuan-kelakuan jelek itu.15 Dengan kejahatan yang dimaksud pada pelanggaran, artinya perbuatan menurut undang-undang diancam dengan pidana dan kriminalitas merupakan bagian masalah manusia dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, Rusli Effendy menyatakan bahwa disamping ilmu hukum pidana yang juga dinamakan ilmu tentang hukumnya kejahatan, ada juga ilmu tentang kejahatan itu sendiri yang dinamakan kriminologi, kecuali obyeknya berlainan dan tujuannya pun berbeda.16 Hukum pidana adalah peraturan hukum yang mengenai kejahatan atau yang berkaitan dengan pidana dengan tujuan ialah agar dapat dimengerti dan dipergunakan dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya sedangkan obyek kriminologi adalah kejahatan itu sendiri, tujuannya mempelajari apa sebabnya sehingga orang yang melakukan dan upaya penanggulangan kejahatan itu. Sehubungan. dengan pengertian tersebut maka tepatlah apa yang kemukakan oleh Rusli Effendi bahwa kriminologi itu meliputi :

a. Etiologi Kriminal adalah cabang ilmu kriminologi yang secara. khusus mempelajari sebab‑sebab atau latar belakang, penjelasan dan korelasi kejahatan, cabang ilmu ini lazimnya mencakup : biologi kriminal, psikologi kriminal, psikiatri kriminal, maupun sosiologi hukum pidana. b. Fenomenologi kriminal adalah merupakan cabang ilmu kriminologi dari

mempelajari tentang bagaimana perkembangan kejahatan dan gejalanya.

c. Victimologi kriminal adalah cabang kriminologi yang secara khusus mempelajari tentang akibat yang timbul dari suatu kejahatan (korban kejahatan)

d. Penologi adalah ilmu tentang penghukuman dalam arti yang sempit, namun ilmu ini adalah merupakan salah satu cabang kriminologi yang membahas konstruksi undang‑undang hukum pidana, penghukuman dan administrasi sanksi pidana.17

15

Moeljatno, 1985, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, h. 36. 16

Rusli Effendy, 1983, Ruang Lingkup Kriminologi, Alumni, Bandung, h. 10. 17

(28)

Kriminologi sebagai salah satu cabang dari ilmu pengetahuan sosial, sebenarnya masih tergolong sebagai ilmu pengetahuan yang masih muda, oleh karena kriminologi baru mulai menampakkan dirinya sebagai salah satu disiplin ilmu pengetahuan hukum khusunya dalam hukum pidana. Meskipun tergolong ilmu yang masih baru, namun perkembangan kriminologi tampak begitu pesat, hal ini tidak lain karena konsekuensi logis dari berkembangnya pula berbagai bentuk kejahatan dalam masyarakat. Perkembangan kejahatan bukanlah suatu hal yang asing, oleh karena sejarah kehidupan manusia sejak awal diciptakan telah terbukti mengenal kejahatan. Apalagi pada saat seperti sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi justru memberi peluang yang lebih besar bagi berkembangnya berbagai bentuk kejahatan. Atas dasar itulah maka kriminologi dalam pengaktualisasian dirinya berupaya mencari jalan untuk mengantisipasi

segala bentuk kejahatan serta gejala‑gejalanya.

Selanjutnya Soerjono Soekanto menyatakan bahwa kriminologi adalah ilmu pengetahuan mengenai sikap tindak kriminal. Sehubungan itu beliau menjelaskan pula bahwa Kriminologi modern berakar dari sosiologi, psikologi, psikiatri dan ilmu hukum yang ruang lingkupnya meliputi :

a. Hakekat, bentuk-bentuk dan frekuensi-frekuensi perbuatan kriminal sesuai dengan distribusi sosial, temporal dan geografis.

b. Karakteristik fisik, psikologis, sejarah serta. sosial penjahat dan hubungan antara. kriminalitas dengan tingka laku abnormal lainnya. c. Karakteristik korban kejahatan.

d. Tingkah laku non kriminal anti sosial, yang tidak semua masyarakat dianggap, sebagai kriminalitas.

e. Prosedur sistem peradilan pidana

(29)

h. Metode-metode pengendalian dan penanggulangan kejahatan i. Metode-metode identifikasi kejahatan dan penjahat

j. Studi mengenai asas dan perkembangan hukum pidana serta. sikap umum terhadap kejahatan dan penjahat.18

2. Teori kepastian Hukum

Teori Kepastian Hukum diungkapkan oleh Gustav Radbruch dalam Theo Huijbers yang menyatakan bahwa :

Hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh sebab kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, pun pula kalau isinya kurang adil, atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Tetapi terdapat kekecualian, yakni bilamana pertentangan antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga tata hukum itu nampak tidak adil pada saat itu tata hukum itu boleh dilepaskan.19

Dengan adanya suatu kepastian hukum, maka tujuan dari hukum yaitu keadilan akan dapat dicapai. Dalam kaitannya dengan skripsi ini, maka peraturan perundang-undangan yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHP) harus diterapkan dengan tujuan untuk mewujudkan kepastian hukum demi keamanan masyarakat pada umumnya dan khususnya masyarakat di Kecamatan Kuta Selatan. Sedangkan unsur keadilanpun harus diterapkan dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab terjadinya kasus pencurian kendaraan bermotor tersebut. Dengan demikian keadilan akan dapat tercermin dalam penerapan sanksi pidana terhadap kasus tersebut.

18

Soerjono Soekanto, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, h. 27. (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II).

19

(30)

3. Teori Efektivitas

Diperlukannya teori efektivitas hukum ini didalam masyarakat, karena efektivitas hukum adalah daya kerja hukum dalam mengatur dan memaksa masyarakat (law as social control). Dalam bukunya Soerjono Soekanto dikemukakan bahwa untuk berlakunya suatu aturan hukum harus memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu :

1. Kaedah hukum berlaku secara filosofis 2. Kaedah hukum berlaku secara yuridis 3. Kaedah hukum berlaku secara sosiologis20

Berlakunya kaedah hukum secara yuridis, mengandung pengertian bahwa aturan hukum yang ada harus didasarkan pada kaedah hukum yang lebih tinggi21. Berlakunya kaedah hukum secara sosiologis artinya kaedah hukum tersebut berlaku dalam masyarakat sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat dimana kaedah hukum tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa (teori kekuasaan), ataupun karena adanya pengakuan dan penerimaan oleh masyarakat kepada siapa kaidah hukum tersebut diberlakukan (teori pengakuan). Pada dasarnya adanya suatu kaedah hukum tersebut diakui dan diterima oleh masyarakat dengan tanpa perlu dipaksakan oleh penguasa apabila memang sudah dirasakan sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma hidup dan kehidupan dari

20

Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, h. 72. (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III).

21

(31)

masyarakat yang bersangkutan22. Sedangkan berlakunya kaedah hukum secara filosofis artinya suatu kaedah hukum harus berdasarkan pada cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi23. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat yaiu :

1. Kaidah hukum atau peraturan hukum itu sendiri

2. Petugas atau penegak hukumnya

3. Sarana dan fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum 4. Kesadaran masyarakat24.

Maka sangat penting Menurut Ravianto bahwa pengertian efektivitas itu

adalah “ Seberapa baik orang melakukan pekerjaan yang dilakukan, sejauh mana

orang menghasilkan keluaran sesuai dengan yang diharapkan. Ini berarti bahwa apabila suatu pekerjaan dapat diselesaikan dengan perencanaan, baik dalam

waktu, biaya maupun mutunya, maka dapat dikatakan efektif”25 .

1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian hukum empiris, yaitu penelitian hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan dan mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum

22

Ibid

23

Ibid, h. 79 24

Zainudin Ali, 2009, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 62 25

(32)

normatif (kodifikasi, Undang-Undang atau kontrak) secara in action/in abstracto pada setiap peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat (in concreto).26

1.8.2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam penulisan karya ilmiah ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif analitis bertujuan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya,27 maka dapat diambil data obyektif karena ingin menggambarkan kenyataan yang terjadi di Polsek Kuta di Kecamatan Kuta Selatan.

1.8.3. Jenis Pendekatan

Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksudkan adalah bahan untuk mengawali sebagai dasar sudut pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti untuk melakukan analisis. Dalam penulisan karya ilmiah ini, agar mendapatkan hasil yang ilmiah, serta dapat dipertahankan secara ilmiah, maka masalah dalam penelitian ini dibahas menggunakan jenis pendekatan sebagai berikut:

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) hal ini

dimaksudkan bahwa peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis.

26

Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 134

(33)

b. Pendekatan kasus (case approach), pendekatan kasus dalam penelitian hukum bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.

c. Pendekatan analitis (Analytical Approach), pendekatan ini dilakukan dengan mencari makna pada istilah-istilah hukum yang terdapat didalam perundang-undangan, dengan begitu peneliti memperoleh pengertian atau makna baru dari istilah-istiah hukum dan menguji penerapannya secara praktis. 28

1.8.4. Data dan Sumber Data

Dalam penelitian hukum empiris data dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh terutama dari penelitian yang

dilakukan langsung didalam masyarakat.29 Sumber data primer yang

diperoleh dari penelitian ini dengan melakukan penelitian yang

berlokasi di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi

Bali. Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan wawancara

dengan informan dan responden yang ada pada lokasi penelitian

tersebut. Informan, adalah orang atau individu yang memberikan

informasi data yang dibutuhkan oleh peneliti sebatas yang diketahuinya.

28

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, h. 185-190

29

(34)

Informan diperlukan didalam penelitian empiris untuk mendapatkan

data secara kualitatif. Responden, adalah seseorang atau individu yang

akan memberikan respons terhadap pertanyaan yang diajukan oleh

peneliti. Responden ini merupakan orang atau individu yang terkait

secara langsung dengan data yang dibutuhkan.30

2. Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan bahan-bahan hukum sebagai berikut:31 Bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Selanjutnya dalam bahan hukum sekunder, yang terdiri dari literatur-literatur, buku-buku, makalah, dan jurnal yang ditulis oleh para ahli dan dokumen-dokumen yang berkenaan dengan masalah yang dibahas. Sedangkan Bahan hukum tersier, yang terdiri dari kamus dan ensiklopedi.32

1.8.5. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan ini yaitu :

1. Teknik Studi Dokumen

Untuk data kepustakaan dipakai teknik studi dokumen dengan cara membaca memahami membandingkan karangan-karangan ilmiah dan para

30

Ibid, h. 174 31

Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan I, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 24.

32

(35)

sarjana dan dan sumber-sumber lainnya, baik peraturan-peraturan maupun tulisan-tulisan ilmiah yang terdapat dalam berbagai literatur atau sumber bahan bacaan lain yang relevan dengan permasalahan.

2. Teknik Wawancara (interview)

Data lapangan digunakan teknik wawancara (interview), yaitu proses Tanya jawab lisan dalam masa dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik yang satu dapat melihat yang lain dan mendengarkan dengan telinganya sendiri.33 Dalam hal ini dilakukan penelitian dilakukan dengan wawancara kepada para responden dengan menggunakan daftar pertanyaan. Pertanyaan tersebut dalam penelitian ini berkisar pada fakto-faktor penyebab terjadinya pencurian kendaraan bermotor dan penerapan sanksi pidana oleh Polsek Kuta. Data ini diperoleh dengan penelitian langsung oleh objek penelitian, dimana objek penelitian adalah Polsek Kuta.

1.8.6. Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Adapun lokasi Penelitian dalam penyusunan penelitian ini pada Polsek Kuta di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Terpilihnya lokasi tersebut sebagai lokasi penelitian dikarenakan ditemukan beberapa kasus kredit pencurian kendaraan bermotor atau begal.

Dalam Penelitian ini metode sampel yang digunakan adalah sampel secara Non Random Sampling, yaitu suatu cara menentukan sampel dimana peneliti telah

33

(36)

menentukan atau menunjuk sendiri sampel dalam penelitiannya. Sesuai dengan judul dalam penulisan skripsi ini maka dalam penelitian ini sampel yang digunakan yaitu Polsek Kuta di Kecamatan Kuta Selatan. Populasi yang dipilih menjadi sampel setelah sebelumnya dipilih dan direncanakan oleh peneliti karena populasi ini bersifat heterogen, dimana setiap populasi tidak semuanya dapat mewakili seluruh unit populasi34

Penentuan responden ataupun informan dilakukan dengan menggunakan metode snowball sampling yang dipilih berdasarkan penunjukan atau rekomendasi dari sampel sebelumnya. Sampel pertama yang diteliti ditentukan sendiri oleh peneliti yaitu dengan mencari responden kunci ataupun informan kunci, kemudian responden berikutnya yang akan dijadikan sampel tergantung dari rekomendasi yang diberikan oleh responden kunci yang diawali dengan menunjuk sejumlah responden yaitu responden yang mengetahui, memahami, dan berpengalaman sesuai dengan objek penelitian ini yakni Polsek Kuta di Kecamatan Kuta Selatan.

1.8.7. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data–data yang diperoleh baik data Primer maupun Sekunder. Selanjutnya dianalisa, teknik analisa data disini dilakukan dengan analisa secara kualitatif, yaitu dengan memilih data yang kualitasnya dapat menjawab permasalahan yang diajukan dan untuk penyajiannya dilakukan secara deskriptif analisa yaitu suatu

(37)

cara analisis data yang dilakukan dengan jalan menyusun secara sistematis sehingga diperoleh kesimpulan umum.35

35

(38)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

2.1. Pengertian Tindak Pidana

Dalam Ilmu Pengetahuan Hukum, masalah istilah adalah sangat penting. Demikian pula halnya dengan istilah terhadap tindak pidana. Istilah tindak pidana ini sebenarnya bersumber dari terjemahan strajbaar feit atau delict (bahasa Belanda) dimana terjemahan strajbaar feit tersebut dalam bahasa Indonesia hingga kini belum terdapat adanya kesamaan pendapat dikalangan para saijana. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai macam istilah dalam menterjemahkan strajbaar feit tersebut, seperti peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang boleh dihukum, dan juga dengan sebutan tindak pidana.

Menurut Moeljatno dengan menggunakan istilah perbuatan pidana memberikan rumusan sebagai berikut: ’’Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan

tersebut”.36

Sedangkan menurut A. Ridwan Halim. S, menyebutkan tindak pidana

sebagai ’’delik” yaitu suatu perbuatan atau tindakan yang dilarang dan diancam

dengan hukuman oleh Undang- undang (pidana).37 Disamping terjemahan stafbaar feit diatas, Van Apeldoom juga menyebutkan sebagai peristiwa pidana yakni suatu tindakan (berbuat atau lalai berbuat) yang bertentangan dengan hukum positif, jadi yang bersifat tanpa hak yang menimbulkan akibat yang oleh

36

Moeliatno. Azas-Azas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta, 1985, h. 54. 37

(39)

hukum dilarang dengan ancaman hukuman. Selanjutnya beliau berpendapat bahwa unsur yang diperlukan untuk peristiwa pidana adalah sifat tanpa hak (onrechtmatigheid) yakni sifat melanggar hukum dimana tidak terdapat unsur tanpa hak, tidak ada peristiwa pidana. Dengan demikian dalam suatu peristiwa pidana ciri khas yang paling utama adalah melanggar hukum (sifat tanpa hak).38

Pengertian lain untuk terjemahan strajbaar feit diberikan pula oleh S.Kartanegara, dimana beliau lebih condong dengan istilah tindak pidana dengan

rumusannya yakni ”suatu perbuatan (melakukan atau lalai melakukan) yang

bertentangan hukum positif, yaitu yang menimbulkan akibat yang oleh hukum

dilarang dan diancam hukuman”.39

Berdasarkan kedua pandangan tersebut dengan demikian, dapat kita lihat adanya persamaan pendapat antara S. Kartanegara dan Van Apeldoom yang mana unsur tanpa hak, yaitu melanggar hukum merupakan unsur yang penting untuk suatu strajbaar feit. Strajbaar feit dalam bahasa Indonesia memang perbedaan dalam sebutannya, namun harus tetap diakui terjemahan dalam bahasa Indonesia. Walaupun berbeda-beda, tetapi unsur melanggar hukum dan hak tetap ada yang merupakan ciri khasnya. Kita mengetahui apakah perbuatan tersebut melawan hukum haruslah dilihat dasar undang-undang. rumusan undang-undang menunjukkan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan boleh dilakukan. Ada suatu asas pidana yang mengatakan bahwa suatu perbuatan tidak boleh dihukum apabila ada peraturan yang mengatur sebelum perbuatan itu dilakukan. Asas ini disebut Nullum

38

Van Apeldoom, Pengantar Ilmu Hukum. Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, h. 338. 2

(40)

Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali atau asas tersebut dapat kita lihat dalam ketentuan pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi sebagai berikut: 'Tiada suatu perbutan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu. Makna yang terkandung dalam asas legalitas itu ada tiga pengertian, yaitu ada perbuatan yang dilarang yang diancam dengan pidana kalau hal itu lebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang maka dapat ditentukan bahwa adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan secara penafsiran secara analogi.

2.2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Sehubungan dengan perumusan tindak pidana yang mempunyai sejumlah unsur di dalam tiap-tiap tindak pidana, maka nampak adanya jalan pikiran yang berlainan antara para ahli untuk secara mendasar dan adanya pula pendapat yang membagi unsur-unsur perumusan tindak pidana secara terperinci. Pembagian secara mendasar didalam melihat unsur perumusan tindak pidana, hanya mempunyai dua (2) unsur yaitu:

1. Unsur obyektif. 2. Unsur subyektif.

(41)

dalam hatinya.40 Dalam hal ini C. S. T. Kansil mempertegasnya dengan menyebutkan unsur-unsur obyektif tersebut adalah mengenai perbuatan, akibat,

dan keadaan. Unsur-unsur subyektif ialah mengenai keadaan dapat

dipertanggungjawabkan dan schuld (kesalahan) dalam arti dolus (sengaja) dan culpa (kelalaian).41

Satochid Kartanegara dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Kumpulan kuliah, mengemukakan bahwa unsur obyektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar diri manusia, yaitu yang berupa: 1. Suatu tertentu; 2. Keadaan yang kesemuanya dilarang dan diancam dengan pidana atau hukuman oleh undang-undang. Sedangkan unsur-unsur subyektif, adalah sebagaimana disebutkan oleh Simon, yaitu harus memuat unsur- unsur sebagai berikut:

“Pertama Suatu perbuatan manusia, disini dimaksudkan bahwa tidak saja perbuatan, akan tetapi juga mengabaikan; sedangkan yang kedua yakni Perbuatan (perbuatan dan mengabaikan) dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang; dan yang ketiga yaitu Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.”42

Jadi, pembagian unsur-unsur secara mendasar seperti diatas, dapat disimpulkan bahwa unsur yang obyektif adalah unsur yang terdapat diluar diri manusia yang dapat berupa kelakuan yang bertentangan dengan hukum, sedangkan unsur yang subyektif ialah unsur-unsur yang melekat pada diri si

pelaku yang ditentukan dalam perundang-undangan dan dapat

dipertanggungjawabkan.

40

P. A. F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru, Bandung, 1983, h.84.

41

C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta, 1989, h. 284.

42

(42)

Pembagian perumusan tindak pidana secara terperinci, melihat unsur tindak pidana didasarkan atas susunan perumusan dari tiap-tiap tindak pidana yang bersangkutan, sehingga secara alternatif, setiap tindak pidana harus mempunyai unsur-unsur yang pada umumnya dikenal dengan ilmu pengetahuan. Di dalam doktrin tidak terdapat keseragaman didalam menentukan adanya unsur-unsur dalam suatu tindak pidana.

Apabila kita lihat rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP, dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu:

a. Unsur tingkah laku;

b. Unsur melawan hukum

c. Unsur kesalahan;

d. Unsur akibat konstitutif;

e. Unsur keadaan yang menyertai;

f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana; g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana; h. Unsur syarat untuk dapatnya dipidana;

i. Unsur obyek hukum tindak pidana;

j. Unsur kualitas subyek hukum tindak pidana;

k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.43

Sedangkan, menurut Moeljatno unsur-unsur tindak pidana tersebut adalah: 1. Perbuatan;

43

(43)

2. Yang dilarang (oleh aturan hukum);

3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).44

Dalam hukum pidana dikenal beberapa kategorisasi tindak pidana (delik), yang dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, diantaranya:

1. Menurut KUHP, dapat dibagi atas Kejahatan (misdrijven), dalam ketentuan KUHP diatur dalam buku II, Pasal 104 sampai dengan Pasal 488. Contoh: pencurian, pembunuhan, penggelapan. Pelanggaran (overtredingen), dalam ketentuan KUHP diatur dalam buku III, Pasal 489 sampai dengan Pasal 569. 2. Menurut doktrin atau ilmu pengetahuan hukum, tindak pidana itu dapat dibagi

menurut beberapa sudut:

a. Berdasarkan bentuk kesalahanya, dapat dibedakan atas dolus dan culpa. Dolus, yaitu perbuatan sengaja yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dalam hal ini akibat yang ditimbulkan oleh delik tersebut memang dikehendaki oleh pelaku. Culpa, perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan tidak sengaja, hanya karena kealpaan (ketidakhati-hatian) saja.

b. Berdasarkan wujudnya, dapat dibedakan atas:

- Delik komisionis, yaitu delik yang terjadi karena seseorang melanggar larangan, yang dapat meliputi baik delik formil maupun materiil.

- Delik omisionis, yaitu delik yang teijadi karena seseorang melalaikan suruhan (tidak berbuat), biasanya delik formil

44

(44)

- Delik komisionis peromisionim, yaitu delik yang pada umumnya dilaksanakan dengan perbuatan, tetapi mungkin terjadi pula bila orang tidak berbuat (berbuat tapi yang tampak tidak berbuat).

c. Berdasarkan pada perumusan tindak pidana, dapat dibedakan atas: - Delik materiil, yaitu delik yang perumusannya menitikberatkan pada

akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. - Delik formil, yaitu delik yang perumusannya menitikberatkan pada

perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.

3. Menurut segi pandangan dari sudut-sudut lain yakni:

a. Berdasarkan sumbernya, maka tindak pidana itu dibedakan atas: - Delik umum, yaitu semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP

sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (Buku II dan Buku III KUHP).

*

- Delik khusus, yakni semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut. Misalnya, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika dan psikotropika.

b. Berdasarkan faktor waktu atau lamanya tindak pidana itu dilakukan, maka

dapat dibedakan atas:

(45)

aflopende delicten. Misalnya, pencurian, jika perbuatan mengambilnya selesai, tindak pidana itu menjadi selesai secara sempurna.

- Delik terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus, yaitu tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voortdurende delicten. Tindak pidana ini dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang terlarang.

c. Berdasarkan faktor syarat-syarat untuk dapat dituntut, tindak pidana itu dapat dibedakan atas:

- Delik aduan, yaitu tindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan disyaratkan untuk terlebih dulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan. Misalnya, tindak pidana pencabulan.

- Delik biasa, yaitu tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. Sebagian besar tindak pidana adalah tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini. Misalnya, pencurian, penganiayaan.

(46)

- Delik Communia, yaitu tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang (delicta communia).

- Delik propria, yaitu tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu (delicta propria).

Misalnya, pegawai negeri (pada kejahatan jabatan), atau nakhoda (pada kejahatan pelayaran) dan sebagainya.

2.3. Pengertian Pencurian

Dalam kehidupan masyarakat kejahatan terhadap harta benda orang marak sekali terjadi. Kejahatan terhadap harta benda ini adalah berupa perkosaan atau penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang lain (bukan milik petindak). Jenis-jenis kejahatan terhadap harta benda orang dimuat dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:

1. Pencurian (diefstal), diatur dalam Bab XXII.

2. Pemerasan dan pengancaman (afpersing dan afdreiging), diatur dalam Bab XXIII.

3. Penggelapan (versduistering), diatur dalam Bab XXIV. 4. Penipuan (bedrog), diatur dalam Bab XXV.

5. Penghancuran dan perusakan benda (vemieling of beschadiging van goederen), diatur dalam Bab XXVII.

6. Penadahan (heling), diatur dalam Bab XXX.45

Menurut sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jenis-jenis

kejahatan yang termasuk dalam golongan ’’kejahatan yang ditujukan terhadap hak

milik dan lain-lain hak yang timbul dari hak milik”, adalah kejahatan-kejahatan: 1. Pencurian.

2. Pemerasan.

3. Penggelapan.

45

(47)

4. Penipuan. 5. Pengerusakan.46

Pada umumnya kejahatan tersebut merupakan tindak pidana formil yang berarti perbuatannya yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang. Diantara kejahatan-kejahatan terhadap milik orang, yang paling marak terjadi di Indonesia adalah pencurian.

Tindak pidana pencurian pertama yang diatur dalam Bab XXII Buku II KUHP ialah tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok, yang memuat semua unsur dari tindak pidana pencurian. Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok itu diatur dalam Pasal 365 KUHP yang rumusan aslinya berbahasa Belanda. Kemudian beberapa sarjana meterjemahkan rumusan tersebut dengan versinya masing-masing.

R. Sugandhi menterjemahkan Pasal 365 KUHP yaitu “Barang siapa mengambil barang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum, dipidana karena melawan hukum dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ribu rupiah”.47

Menurut R. Soesilo, pasal 362 KUHP diterjemahkan sebagai berikut:

“Barang siapa mengambil suatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk

kepunyaan orang lain dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 9000,-”.48

(48)

Pasal 365 KUHP diterjemahkan menurut Moch. Anwar adalah: ’’Barang siapa mengambil barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki barang itu secara melawan hukum, dihukum karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun atau denda sebanyak-banyaknya 15 kali enam

puluh rupiah”.49

Terjemahan pasal 365 KUHP menurut R. Sugandhi, R. Soesilo dan Moch. Anwar memiliki kesamaan versi, namun ada beberapa sarjana memiliki pandangan tersendiri walaupun pada prinsipnya menjelaskan tentang pencurian dalam bentuk pokok. Menurut P. A. F. Lamintang dan Djisman Samosir pasal 362 KUHP diterjemahkan sebagai berikut:

Barang siapa mengambil suatu benda, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hak, maka ia dihukum karena salahnya melakukan pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah.50

Dilihat dari rumusan tersebut, segera dapat kita ketahui bahwa pencurian itu merupakan delik yang dirumuskan secara formil atau yang disebut juga delict met formele omschrijving, dimana yang dilarang dan diancam dengan hukuman itu adalah suatu perbuatan yang dalam hal ini adalah perbuatan mengambil atau wegnemen.

Berbeda dengan terjemahan pasal 362 KUHP menurut P. A. F. Lamintang dan Djisman Samosir, dimana didalam terjemahannya diatas, P. A. F. Lamintang

Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia. Bogor. 1990. h. 249. 49

Moch. Anwar. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II). Alumni, Bandung, 1980, h. 17.

50

(49)

dan Djisman Samosir dengan sengaja menterjemahkan ”zich toeeigenen” itu

dengan 'menguasai” yang mana mempunyai pengertian berbeda dengan

’’memiliki” yang ternyata sampai saat sekarang banyak dipakai dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana yang telah diterjemahkan dalam bahasa

Indonesia, walaupun benar bahwa perbuatan ’’memiliki” itu sendiri termasuk

didalam pengertian ”zich toeeigenen” seperti yang dimaksudkan didalam pasal

362 KUHP.51 Mengenai hal ini lebih lanjut akan dibicarakan pada pembahasan berikutnya.

2.4. Unsur-unsur pencurian.

Untuk dapat mengetahui apa yang sebenarnya diatur didalam pasal 365 KUHP yang berbunyi “barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Pertama-tama perlu diketahui unsur-unsur dari perbuatan pencurian tersebut. Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok seperti yang diatur dalam pasal 365 KUHP itu terdiri dari unsur-unsur subyektif dan unsur-unsur-unsur-unsur obyektif.52

Menurut pasal 365 KUHP, pencurian itu mengandung dua unsur pokok

51

Ibid. 52

(50)

yaitu:

1. Unsur obyektif:

- Mengambil

- Memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

- Barang

- Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain

2. Unsur Subyektif

- Dengan maksud

- Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain

Mengambil merupakan unsur pertama dari tindak pidana pencurian ialah

perbuatan ’’mengambil” {wegnemen). Kata mengambil (wegnemen) dalam arti

sempit terbatas pada menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang barangnya, dan mengalihkannya ke tempat lain. Menurut P. A. F. Lamintang dan Djisman Samosir bahwa perbuatan mengambil ditafsirkan sebagai setiap perbuatan untuk membawa sesuatu benda dibawah kekuasaanya yang nyata dan mutlak. Noyon Langemeyer mengemukakan pandangannya yakni pengertian mengambil tersebut adalah selalu merupakan suatu tindakan sepihak untuk membuat suatu benda berada dalam penguasaannya (pelaku). Berikutnya, Simon memberikan pengertian mengambil adalah membawa sesuatu benda menjadi berada dalam penguasaannya atau membawa benda tersebut secara mutlak berada dibawah penguasaannya yang nyata.

(51)

mengambil dianggap selesai, terlaksana apabila benda itu sudah berpindah dari tempat asalnya, tetapi dalam praktek ditafsirkan secara luas dan mengalami perkembangan dalam pengertiannya, sehingga tidak sesuai lagi dengan pengertian dalam tata bahasa. Sebagai contoh: mengendarai mobil orang lain yang sedang terparkir tanpa izin pemiliknya dan setelah mempergunakannya mobil dikembalikan pada tempatnya. Mempergunakan mobil itu adalah perbuatan mengambil bensin karena bensin dalam tank mobil itu terpakai. Dengan demikian, perbuatan mengambil harus dilihat dari kasusnya yang dihadapi sesuai dengan perkembangan masyarakat.

Mengenai barang yang diambil itu harus berharga, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Tentang harga barang yang diambil itu tidak selalu harus bersifat ekonomis, misalnya barang yang diambil itu tidak mungkin dapat terjual kepada orang lain, akan tetapi bagi si korban barang tersebut berharga sebagai suatu kenang-kenangan. Van Bemmelen memberi contoh, yaitu berupa beberapa halaman yang disobek dari suatu buku catatan atau surat kabar; berupa beberapa helai rambut (hearlok) dari seseoarang yang wafat yang dicintai.53

Menurut Memorie van Toelichting mengenai pembentukan Pasal 365

KUHP, dapat diketahui bahwa ’’benda” tersebut haruslah diartikan sebagai benda

berwujud yang menurut sifatnya dapat dipindahkan. Dalam prakteknya sekarang pengertian tentang benda ini juga mengalami perkembangan, dimana yang dapat

dijadikan obyek dari kejahatan pencurian itu bukan lagi terbatas pada ’’benda

berwujud dan bergerak”, melainkan secara umum dapat dikatakan bahwa menurut

53

(52)

pengertian masa kini yang dapat dijadikan obyek pencurian adalah setiap benda baik itu merupakan benda bergerak maupun tidak bergerak, baik itu merupakan benda berwujud maupun tidak berwujud dan sampai batas-batas tertentu juga benda-benda yang tergolong res nullius.

Mengenai perkembangan atau penyimpangan yang demikian jauh dari maksud semula dari undang-undang tentang pengertian barang/benda di dalam Pasal 362 KUHP itu dapat dilihat dari putusan-putusan pengadilan seperti berikut: a. Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 (N. J. 1921 halaman 564, W.

10728), tentang pencurian listrik (stroom). Arrest ini kemudian dikenal dengan apa yang disebut ’’Electriciteits-arrest”;

b. Arrest Hoge Raad tanggal 9 Nopember 1932 (N. J. 1932 W. 12409), tentang pencurian gas;

c. Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1911 (N. J. 1911 W. 9205), tentang pencurian pohon atau kayu.54

Dari beberapa contoh diatas dapat diketahui, bahwa benda-benda tidak berwujud seperti tenaga listrik dan gas serta benda-benda tidak bergerak seperti pohon itu dapat dijadikan obyek dari kejahatan pencurian. Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain:

Barang yang dicuri tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain, cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik pelaku sendiri. Barang yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi obyek pencurian, misalnya binatang liar yang hidup di alam, barang-barang yang sudah dibuang oleh pemiliknya dan

54

(53)

sebagainya. Unsur-unsur pencurian tersebut mengandung persamaan dengan Pasal 365 KUHP.

Perkataan dengan maksud dalam rumusan pasal 362 KUHP itu mempunyai arti yang sama dengan opzet atau kesengajaan, dimana harus ditafsirkan sebagai opzet dalam arti sempit atau ’’opzet als oogmerk” saja. Opzet atau maksud itu haruslah diartikan untuk menguasai benda yang diambilnya itu bagi dirinya sendiri secara melawan hak. Ini berarti bahwa harus dibuktikan:

a. Bahwa maksud orang itu adalah demikian atau bahwa orang itu

mempunyai maksud untuk menguasai barang yang dicurinya itu bagi dirinya sendiri.

b. Bahwa pada waktu orang tersebut mengambil barang itu, ia harus mengetahui bahwa barang yang diambilnya adalah kepunyaan orang lain. c. Bahwa dengan perbuatannya itu, ia tahu bahwa ia telah melakukan suatu

perbuatan yang melawan hak atau bahwa ia tidak untuk berbuat demikian untuk memiliki/untuk menguasai:

(54)

Memiliki bagi diri sendiri atau untuk kepentingan orang lain seperti pencurian adalah setiap perbuatan penguasaan atas barang tersebut, melakukan tindakan atas barang itu seakan-akan pemiliknya, sedangkan ia bukan pemiliknya. Setiap penggunaan atas barang yang dilakukan pelaku seakan- akan pemilik, sedangkan ia bukan pemilik. Noyon-Langemeyer memberi definisi memiliki

barang” adalah menjelmakan menjadi perbuatan tertentu suatu niat untuk

memanfaatkan suatu barang menurut kehendak sendiri.55 Maksud untuk memiliki barang itu perlu terlaksana, cukup apabila maksud itu ada, meskipun barang itu belum sempat dipergunakan, misalnya sudah tertangkap dulu, karena kejahatan pencurian telah selesai terlaksana dengan selesainya perbuatan mengambil barang. Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil barang, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki barang orang lain (dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum. Pada dasarnya melawan hukum (wederrechtelijk) adalah sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan tertentu. Dalam doktrin dikenal ada dua macam melawan hukum, yaitu pertama melawan hukum formil, dan kedua melawan hukum materiil. Melawan hukum formil adalah bertentangan dengan hukum tertulis, artinya sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan itu terletak atau oleh sebab dari hukum tertulis, sedangkan melawan hukum materiil ialah disamping bertentangan dengan hukum tertulis, juga bertentangan dengan asas-asas hukum umum yang ada dalam kehidupan masyarakat.

55

(55)

Sebagaimana diterangkan dalam Memorie van Toelichting, maksud dicantumkannya melawan hukum secara tegas dalam suatu tindak pidana, didasarkan pada suatu pertimbangan pembentuk undang-undang bahwa ada kekhawatiran orang-orang tertentu yang melakukan perbuatan seperti yang dirumuskan itu yang tidak bersifat melawan hukum akan dapat juga dipidana. Demikian juga halnya dengan memasukkan unsur melawan hukum kedalam rumusan pencurian dan pencurian. Pembentuk undang-undang merasa khawatir adanya perbuatan-perbuatan mengambil benda milik orang lain dengan maksud untuk memilikinya tanpa dengan melawan hukum. Apabila unsur melawan hukum tidak dicantumkan dalam rumusan hukum, maka orang seperti itu dapat dipidana. Keadaan ini bisa terjadi, misalnya seorang calon pembeli di toko swalayan dengan mengambil sendiri barang yang akan dibelinya.56

2.5. Klasifikasi Tindak Pidana Pencurian dalam KUHP

Sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Tindak pencurian diatur dalam Pasal 365 yakni :

ayat (1)

Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atsu mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang

56

Referensi

Dokumen terkait

Penurunan luas panen yang cukup signifikan terjadi di daerah sentra jagung seperti Kabupaten Pesisir Selatan dan Pasaman Barat.. Penurunan luas panen terjadi karena

Wajib pajak akan berprilaku patuh dalam melaksanakan kewajiban peprajakan apabila wajib pajak dapat memperoleh banyak manfaat atas kepemilikan NPWP, wajib pajak

Bahwa Majelis Hakim (Judex Factie) salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku dengan tidak menerapkan Pasal 103 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayat- Nya sehingga penulis dapat menyelasaikan skripsi yang berjudul "Tingkat Konsumsi Protein Ikan

Tujuan penelitian yaitu untuk menganalisis hubungan pengetahuan dengan minat ibu nifas tentang postnatal massage di Puskesmas Jelakombo, Kecamatan Jombang, Kabupaten

aspek struktur sosial masyarakat Madura sebagai satu komunitas, dan otonomi-relasi antara aspek jatidiri orang Madura dengan makna nasionalisme yang disadari telah

Dalam pembuatan animasi 3D digunakan gerakan kamera yang dapat memuat gambar dari keseluruhan objek dengan menggunakan bantuan cahaya.. Saat ini terdapat banyak sekali

Dengan demikian, semua item yang memiliki korelasi kurang dari 0,30 dapat disisihkan dan item-item yang akan dimasukkan dalam alat test adalah item-item yang memiliki korelasi