• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ada beberapa pembagian wali Nikah yang didasarkan atas: a. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 20 ayat (2) menyebutkan hanya dua macam wali nikah yang terbagi atas :

1. WaliNasab

Walinasabterdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, dimana kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai urutan kekerabatan dengan calon mempelai perempuan.

138Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ,Op.Cit, hal.69

139Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqhu Madzahibil al-Khamasah, terjemahan Afif Muhammad,cetakan kesatu,Basrie Press,Jakarta,1994, hal 35

140 Zahri Hamid,Beberapa Masalah tentang Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Secara Sosiologi Hukum, PT.Pradnya Paramita, Cetakan kesatu , Jakarta, 1987, hal.29

2. Wali Hakim yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa.

b. Menurut Kekuasaannya

Wali-wali ini apabila dipandang dari kekuasaannya dapat dibagi yaitu:141 1. WaliMujbiryaitu wali yang terdiri dari ayah atok hingga ke atas.

2. WaliGhairu Mujbiryaitu wali yang terdiri selain yang disebut di atas tadi yaitu:

a. Saudara laki-laki seibu sebapak.

b. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapak. c. Saudara laki-laki seibu.

d. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak. e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu.

3. Wali Hakim yaitu kepala Negara Islam atau pejabat yang ditunjukkan olehnya, dan yang ketiga ini (hakim) apabila betul-betul tidak ada wali yang yang tadi, ataupun ashabah-ashabah tidak ada, maka berpindahlah wali itu kepada Hakim (qadhi) sesuai menurut Hadistt Rasulullah SAW yang berbunyi:

Tidak nikah seseorang kecuali dengan adanya wali dan Hakim yang menjadi Wali apabila tidak ada wali untuknya, dikeluarkan olehTabrani. Dalam menetapkan wali nasabterdapat beda pendapat diantara kalangan ulama. Beda pendapat ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari Nabi, sedangkan Al-Qur’an tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yang berhak menjadi wali.142

c. Menurut izin

Perwalian dalam nikah adalah kekuatan untuk melangsungkan akad nikah yang terlaksana tanpa tergantung pada izin seseorang.

Perwalian ini ada dua macam:143 1. Perwalian terbatas dalam akad nikah

141

Hasballah Thaib dan Marahalim Harahap,Op.Cit, hal.74

142

Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.75-76

Perwalian terbatas adalah kekuatan seseorang untuk menikahi dirinya sendiri tanpa tergantung pada izin seseorang. Para fuqaha bersepakat bahwa hal itu berlaku bagi seorang laki-laki dewasa yang berakal. Apabila ia menikahkan dirinya kepada yang ia kehendaki maka nikahnya sah dan orang lain tidak berhak menolak, baik ia menikah dengan mas kawin matsal atau lebih dari itu. Baik ia menikah dengan orang yang setara dengannya ataupun tidak.

2. Perwalian yang tidak terbatas dalam pernikahan

Adapun perwalian yang tidak terbatas adalah seseorang yang berhak menikahkan orang lain secara paksa. Perwalian seperti ini dinamakan juga dengan perwalian paksa (wilayah ijbar).

Menurut Mazhab Hanafi, ada jenis lain dari perwalian ini yang disebut sebagai perwalian sunah, yaitu perwalian terhadap perempuan dewasa yang berakal, perawan atau janda. Menurut mazhab ini perempuan berhak mewalikan dirinya sendiri untuk menikah. Namun dianjurkan akad tersebut diwakilkan oleh walinya. Para fuqaha lain menamakan perwalian ini dengan sebutan perwalian bersama (wilayah syirkah). Hal ini dikarenakan apabila si perempuan janda, ia turut serta dengan walinya untuk memilih suami, kemudian sang walilah yang berhak untuk melangsungkan akad nikah, karena menurut mereka janda tidak boleh melangsungkan akad nikah sendiri.144 Penyebab perwalian tidak terbatas yaitu:145

1. Kepemilikan, yaitu hamba yang dimiliki, baik laki-laki atau perempuan. 2. Kerabat kandung, yaitu hubungan yang mengikat seseorang dengan

kerabat kandung. Misal perwalian bapak atas anaknya dan perwalian saudara laki-laki atas keponakannya.

3. Kerabat secara hukum, terdiri atas dua macam yaitu:

a. Hubungan antara seorang majikan dengan orang yang dimerdekakannya.

b. Kesepakatan antara dua orang sahabat yang bukan kerabat untuk saling menolong.

4. Kepemimpinan, yaitu tanggungan seorang pemimpin masyarakat atau wakilnya untuk menikahkan anak kecil. Pemimpin tersebut juga bisa mewakilkannya kepada siapa saja dari wakilnya yang dikendaki, seperti hakim atau wakilnya dapat menikahkan seorang perempuan kepada orang yang setara dengannya ketika para walinya enggan untuk menikahkannya, atau terbukti telah berselisih dengannya.

144Ibid, hal.184

d. Menurut Jumhur Ulama

Jumhur ulama yang terdiri dari Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah membagi wali itu atas dua kelompok:146

1. Wali dekat atauwali qaribatau waliaqrabyaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya. Ia dapat mengawinkan anaknya yang masih berada dalam usia muda tanpa minta persetujuan dari anaknya tersebut. Wali dalam kedudukan seperti ini disebutwali Mujbir.

2. Wali jauh atauwali ab’adyaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu, karena anak menurut jumhur ulama tidak boleh menjadi wali terhadap ibunya dari segi dia adalah anak, bila anak berkedudukan sebagai wali hakim boleh dia mengawinkan ibunya sebagai wali hakim.

Adapunwali ab’adadalah sebagai berikut:147 a. Saudara laki-laki kandung

b. Saudara laki-laki seayah

c. Anak saudara laki-laki kandung d. Anak saudara laki-laki seayah e. Paman kandung

f. Paman seayah

g. Anak paman kandung h. Anak paman seayah

i. Ahli waris kerabat lainnya kalau ada

Ulama Hanafi menempatkan seluruh kerabat nasab baik sebagai ashabah dalam kewarisan atau tidak sebagai wali nasab, termasuk zaul arham. Menurut mereka yang mempunyai hak ijbar bukan hanya ayah dan kakek tetapi semua mempunyai hak ijbar, selama yang dikawinkan itu adalah perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akalnya. Berbeda dengan pendapat jumhur ulama, anak dapat menjadi wali terhadap ibunya yang akan nikah.148

146Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit,hal.75-76

147Ibid, hal.76

Ulama Maliki menempatkan seluruh kerabat nasab yang ashabah sebagai wali nasab dan membolehkan anak mengawinkan ibunya, bahkan kedudukannya lebih utama dari ayah atau kakek. Berbeda dengan ulama Hanafi golongan ini memberikan ijbarhanya kepada ayah saja dan menempatkannya dalam kategori waliaqrab.149 2. Orang-Orang yang Berhak Menjadi Wali Nikah

Masa sebelum agama Islam datang, semua wanita yang belum bersuami pada umumnya berada di bawah kekuasaan dan pengaruh kaum kerabat laki-laki dari pihak ayah, yang pada waktu itu mempunyai kekuasaan, menetapkan wanita yang dikuasainya dan menyerahkan kepada seorang pria untuk dijadikan istri meski sang wanita tidak setuju namun tak berdaya untuk melakukan penolakan.

Agama Islam membawa ketentuan-ketentuan baru, dimana seorang wanita dimintai izin dan persetujuannya untuk dinikahkan dengan seorang pria tertentu, meski yang menikahkannya adalah wali yang terdiri dari keluarga laki-laki dari pihak ayah. Hanya ayah dan kakeklah (ayah dari ayah) yang mempunyai kekuasaan untuk memberikan penekanan tentang persyaratan-persyaratan tertentu.

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa orang-orang yang berhak menjadi wali adalah :150

1. Ayah, kakek dan seterusnya keatas dari garis laki-laki. 2. Saudara laki-laki kandung (seayah seibu) atau seayah

3. Kemanakan laki-laki kandung atau seayah (anak laki-laki saudara laki-laki kandung atau seayah)

4. Paman kandung atau seayah (saudara laki-laki paman kandung atau seayah) 5. Sultan (penguasa tertinggi) yang disebut juga hakim (bukan Qadli, hakim

pengadilan)

6. Wali yang diangkat oleh mempelai bersangkutan, yang disebut walimuhakkam.

149Ibid

Diantara wali nasab tersebut ada yang berhak memaksa (ijbar) gadis dibawah perwaliannya untuk dinikahkan dengan laki-laki tanpa izin gadis yang bersangkutan. Wali yang mempunya hak memaksa tersebut disebut walimujbir. Wali mujbirhanya terdiri dari ayah dan kakek (bapak dan seterusnya ke atas) yang dipandang paling besar kasih sayangnya kepada perempuan dibawah perwaliannya. Selain mereka tidak berhakijbar.

Wali mujbir yang akan menikahkan perempuan gadis di bawah perwaliannya tanpa izin gadis bersangkutan diisyaratkan:151

a. Laki-laki pilihan wali haruskufu(seimbang) dengan gadis yang dinikahkan. b. Antara walimujbirdan gadis tidak ada permusuhan.

c. Calon istri dan calon suami tidak ada permusuhan.

d. Calon suami harus sanggup membayar mas kawin dengan tunai.

e. Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap istri dengan baik, dan tidak terbayang akan berbuat sesuatu yang mengakibatkan kesengsaraan istri.

Agama memang mengakui wali mujbir memiliki kewenangan memaksakan memaksakan ijab akad nikah anak perempuannya yang belum dewasa selagi masih Islam. Dalam hal inifuqahasependapat.

Menurut Mazhab Maliki, pemilihan pasangan oleh wanita muslim tergantung pada daya kuasa ijbaryang diberikan ayahnya atau walinya. Apabila ayah atau wali si wanita mendapatkan bahwa dalam usianya yang belum matang itu si wanita sudah sangat ingin menikah dengan seorang laki-laki yang memiliki sifat buruk, atau memiliki harta yang memadai untuk nafkah hidupnya, maka wali tersebut boleh menghalanginya untuk menikah dengan laki-laki tersebut dan dapat mencarikan orang yang cocok untuk menjadi suaminya lalu menikahkannya dengan laki-laki tersebut.152

151Ibid, hal.77

Wali yang lebih jauh hanya berhak menjadi wali apabila wali yang lebih dekat tidak ada atau tidak memenuhi persyaratan wali. Apabila wali yang lebih dekat sedang bepergian atau tidak ada ditempat, wali yang lebih jauh hanya dapat menjadi wali bila mendapat kuasa dari wali yang lebih dekat. Apabila pemberian kuasa tersebut tidak ada maka perwalian pindah kepada sultan (Kepala Negara) ataupun yang diberi kuasa oleh Kepala Negara.

Di Indonesia, Kepala Negara adalah Presiden yang telah memberi kuasa kepada para Pegawai Pencatat Nikah untuk bertindak sebagai wali hakim. Satu hal yang harus diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan wali hakim bukan wali pengadilan. Meskipun demikian hakim pengadilan (Pengadilan Agama) dimungkinkan juga bertindak menjadi wali hakim apabila memang memperoleh kuasa dari Kepala Negara cq Menteri Agama.153

Dalam keadaan tertentu, apabila wali nasabtidak dapat bertindak sebagai wali karena tidak memenuhi persyaratan atau menolak menjadi wali sementara wali hakim tidak dapat bertindak sebagai pengganti wali nasab karena adanya berbagai sebab, maka untuk memenuhi sahnya nikah, mempelai yang bersangkutan dapat mengangkat seseorang menjadi walinya. Wali yang diangkat oleh mempelai yang bersangkutan disebutWali Muhakkam.

F. Peranan Wali Nikah Menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam

Dokumen terkait