Penelitian mengenai kandungan antimikroba dari ekstrak air kelopak bunga rosella(Hibiscus sabdariffa L.) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus ini dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pada bulan Agustus 2011. Penelitian dilakukan secara uji eksperimental dengan menggunakan metode dilusi yaitu metode yang dapat dipakai untuk mengukur Konsentrasi Hambat Minimal suatu bahan antimikroba dengan cara mengamati perubahan kekeruhan dari campuran medium, ekstrak air, dan bakteri yang ditanam di dalam tabung. Ekstrak air dibuat dari bahan ekstrak air kelopak bunga rosella(Hibiscus sabdariffa L.) yang pembuatannya dilakukan di laboratorium Mikrobiologi dan laboratorium Farmasi
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
6.1 Aktivitas Antimikroba Ekstrak air kelopak bunga rosella(Hi bi scus sabdari ff a L .)
Penelitian Uji Aktivitas antimikroba ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dimulai dengan pembuatan simplisia kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dengan cara dikeringkan ditempat yang teduh dan tidak terkena sinar matahari. Sedangkan pembuatan ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) sebesar 25 gram simplisia/ml dilakukan dengan cara merendam simplisia kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) seberat 50 gram di dalam 200 ml aquabidest selama tujuh hari. Setiap harinya, rendaman tersebut dikocok selama 2 menit. Setelah tujuh hari, rendaman tersebut diperas dengan kain flannel dan disaring dengan millipore. Ekstrak kemudian dicampurkan bersama media tanam dengan perbandingan 1:1 sehingga
diperoleh konsentrasi ekstrak tertinggi 12,5 gram/ml. Sedangkan untuk tabung-tabung selanjutnya dilakukan penambahan media tanam dari campuran ekstrak ditambah dengan media tanam sebelumnya. Penelitian dilaksanakan selama 3 kali replikasi. Penentuan jumlah replikasi tersebut berdasarkan rumus dari Freeder (Steel and Torri, 1989).
Sesuai hasil yang disajikan dalam tabel 5.1, pada penelitian kali ini didapatkan perubahan medium menjadi lebih jernih pada tabung keempat sampai tabung kesatu yang
telah ditanami bakteri Staphylococcus aureus kecuali pada tabung kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, dan kontrol positif (K+). Hal tersebut dapat diartikan bahwa ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) memiliki aktifitas antimikroba yang dimulai dengan kadar 1,56 gram/ml. Selain itu, pada kontrol negatif, tidak adanya perubahan kekeruhan menandakan bahwa ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) tidak mengalami kontaminasi. Hal tersebut juga dibuktikan dengan penanaman ekstrak yang telah dibuat di media nutrient agar plate. Dan hasilnya tidak
didapatkan pertumbuhan bakteri pada agar plate.
Hasil yang sama juga didapatkan pada replikasi ke-2 dan ke-3, yang disajikan dalam tabel 5.2 dan 5.3. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa medium berubah menjadi lebih jernih yang dimulai dari tabung ke-4 hingga tabung ke-1. sedangkan pada tabung dengan tanda K+, tabung ke-5, tabung ke-6, tabung ke-7, dan tabung ke-8, terjadi perubahan kekeruhan. Hal tersebut dapat juga diartikan bahwa ekstrak air kelopak bunga
rosella (Hibiscus sabdariffa L.) memiliki aktifitas antimikroba terhadap bakteri Staphylococcus aureus yang dimulai dengan kadar 1.56 gram/ml.
Bahan aktif dalam ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) yang diduga memiliki efek antibakteri adalah Saponin, Tanin dan Flavonoida ( Badreldin dkk,
2005). Saponin akan membentuk kompleks dengan protein dan dinding sel sehingga berakibat terjadinya denaturasi protein dan rusaknya dinding sel (Dzen dkk, 2003). Tanin akan mempengaruhi permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan rusaknya membran sel (Akiyama dkk, 2001). Sedangkan Flavonoida diduga memiliki efek antibakteri melalui kemampuannya membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler dan polisakarida. Selain itu, sifat lipofilik flavonoid mungkin juga akan merusak membran sel bakteri karena membran sel mengandung lipid sehingga memungkinkan senyawa tersebut melewati membran (Cowan, 1999)
Metode ekstraksi yang dipakai pada penelitian ini masih bersifat kasar sehingga tidak dapat diketahui secara pasti bahan aktif antibakteri apa saja yang terkandung di dalam ekstrak tersebut. Selain itu, prosentase bahan aktif dari hasil ekstrak juga tidak diketahui. Namun, kita dapat memperkirakan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak juga akan meningkatkan konsentrasi bahan aktif antibakteri dalam hubungannya dengan penurunan pertumbuhan koloni bakteri.
Penelitian mengenai ekstrak tanaman kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) yang memiliki efek antibakteri terhadap Staphylococcus aureus juga pernah dilakukan sebelumnya. Namun, pelarut dan metode yang digunakan berbeda yaitu dengan pelarut n-Heksan, Etil Asetat, dan Etanol 70%. Pada penelitian tersebut didapatkan Konsentrasi Bunuh Minimum ekstrak etil asetat adalah 25 gram/ml; 50 gram/ml; 100 gram/ml, KBM ekstrak etanol 70 % terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 adalah 50 gram/ml; 100 gram/ml dan tidak didapat Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) dari ekstrak nheksan. Dalam penelitian tersebut tidak didapat luas daerah hambat dari ekstrak n-heksan terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923, luas daerah hambat rata-rata dari
ekstrak etil asetat adalah 7,67 mm (25 gram/ml); 11,33 mm (50 gram/ml); 20,33 mm (75 gram/ml); 26,67 mm (100 gram/ml). Dan luas daerah hambat rata-rata dari ekstrak etanol 70 % adalah 8,33 mm (50 gram/ml); 11 mm (75 gram/ml); 16 mm (100 gram/ml). Dari ketiga ekstrak tersebut yang paling efektif terhadap aktivitas antibakteri adalah ekstrak etil asetat yang mempunyai daya bunuh terbesar pada konsentrasi 25 gram/ml (Samsumaharto dan Sari, 2009). Berdasarkan penelitian tersebut, konsentrasi ekstrak yang digunakan pada penelitian ini sebesar 25 gram/ml.
Aplikasi klinis yang mungkin dari penelitian ini adalah penggunaan ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa) secara topikal untuk pengobatan infeksi Staphylococcus aureus pada kulit. Sedangkan penggunaan secara sistemik masih memerlukan penelitian lebih lanjut yaitu penelitian in vivo pada hewan coba yang kemudian dilanjutkan dengan uji klinik fase I, II, III, dan IV. Penelitian in vivo pada hewan coba dan uji klinik fase I, II, III, dan IV diperlukan untuk menentukan dosis terapi, dosis toksik, dan efek samping yang mungkin timbul dari pemakaian ekstrak daun anting-anting. Studi toksisitas pada hewan coba terdiri dari 3 uji toksisitas yaitu uji toksisitas akut, toksisitas jangka panjang, dan toksisitas khusus. Walaupun uji farmakologi-toksikologi pada hewan coba memberikan data yang berharga, namun untuk memastikan efeknya pada manusia perlu dilakukan uji klinik (Setyabudi,2001)
Badreldin H. Ali, Naser Al Wabel and Gerald B lunden, 2005, P hytochemical, Pharmacological and Toxicological Aspects of Hibiscus sabdariffa L.: A Rev
BAB 7