• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = Pengaruh rataan umum

τ = Pengaruh perlakuan ke-i

ε = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

Rancangan ini digunakan pada uji antibakteri penentuan KHTM dan uji antibakteri terhadap penyimpanan menggunakan cara perforasi metode Bintang (1993). Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA (analysis of variance) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0.05. Uji lanjut yang digunakan adalah uji Tukey. Semua data dianalisis dengan program SPSS 14.0

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Pendahuluan

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah bawang putih dan rimpang kunyit. Bawang putih yang digunakan pada penelitian ini yaitu filtratnya, sedangkan rimpang kunyit yang digunakan adalah ekstrak metanol. Bawang putih pada penelitian ini tidak diekstrak karena berdasarkan penelitian Rustama (2005) bahwa ekstrak murni (filtrat bawang putih) memiliki daya hambat paling besar dibandingkan dengan ekstrak air atau ekstrak etanol baik terhadap bakteri Gram positif maupun negatif. Hal ini disebabkan karena pada ekstrak murni bawang putih mengandung senyawa lengkap yaitu senyawa yang polar dan non-polar. Pada ekstrak murni semua jenis senyawa yang terlarut ada di dalamnya. Akan tetapi, pada ekstrak air dan etanol, senyawa yang terekstraksi terbatas pada senyawa yang terekstrak oleh pelarut yang digunakan saja.

Rimpang kunyit diekstrak dengan menggunakan tiga pelarut yang berbeda, yaitu etanol 95 %, heksana 70 %, dan metanol 70 %. Ekstrak etanol yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan dua metode, yang pertama yaitu ekstraksi dengan menggunakan

8

metode yang sama dengan ekstrak heksana dan ekstrak metanol, yang kedua ekstrak etanol pertama dilarutkan lagi dengan etanol kemusian didiamkan sampai mengendap dan di saring. Setelah itu dipekatkan kembali dengan menggunakan rotapavour.

Berdasarkan Gambar 5 ekstrak etanol dengan satu kali ekstraksi dan ekstrak heksana konsentrasi 100 % tidak memiliki aktivitas antibakteri. Akan tetapi, ekstrak etanol dengan dua kali ekstraksi dan ekstrak heksana dengan konsentrasi 50 % memiliki zona hambat sebesar 6.75 mm dan 7.25 mm. Ekstrak metanol memiliki zona hambat sebesar 10.00 mm. Karena dari ketiga ekstrak tersebut zona hambat terbesar dimiliki oleh ekstrak metanol, maka untuk penelitian selanjutnya digunakan ekstrak metanol.

Rimpang kunyit yang digunakan untuk ekstrak yaitu rimpang kunyit segar (tanpa pengeringan), karena berdasakan penelitian Sukraso dkk. (2000), pengeringan dapat menurunkan kadar minyak atsiri, sedangkan minyak atsiri sangat berpotensi untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Selain itu, pengeringan juga dapat menyebabkan perubahan komposisi minyak atsiri yang disebabkan oleh oksidasi.

Gambar 5 Aktivitas antibakteri berbagai ekstrak rimpang kunyit

Ekstraksi Rimpang Kunyit

Metode yang digunakan untuk mengekstrak rimpang kunyit adalah secara maserasi dengan metode Harborne (1987) yang dimodifikasi. Maserasi merupakan teknik ekstraksi yang dilakukan untuk bahan yang tidak tahan panas dengan cara perendaman di dalam pelarut tertentu selama waktu tertentu. Ekstraksi menggunakan teknik ini karena sederhana tapi menghasilkan produk yang baik, selain itu dengan teknik ini zat-zat yang tidak tahan panas tidak akan rusak. Banyak penelitian tentang isolasi bahan

aktif dari tanaman untuk uji antibakteri menggunakan teknik ini.

Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi pada penelitian ini adalah metanol. Pemilihan pelarut didasarkan karena ekstrak yang dihasilkan memiliki zona hambat terbesar bila dibandingan dengan ekstrak etanol dan heksana. Selain itu, ekstrak metanol memiliki rendemen yang paling tinggi yaitu 7.31 %, sedangkan ekstrak etanol 4.91 %, dan heksana 1 %.

Berdasarkan Lampiran 5, rendemen yang dihasilkan dari ketiga ekstrak metanol berbeda-beda. Hal ini mungkin disebabkan pada ekstrak kedua dan ketiga senyawa polar lebih sedikit dibandingkan dengan ekstrak pertama. Karena prinsip ekstraksi yaitu like disolve like yaitu pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan sebaliknya senyawa nonpolar akan melarutkan senyawa nonpolar (Khopkar 1990). Metanol merupakan pelarut yang cukup polar, dengan kepolaran 0.73 (Moyler 1995).

Analisis Fitokimia

Analisis fitokimia dilakukan untuk mengidentifikasi secara kualitatif golongan senyawa aktif yang terdapat pada suatu tanaman. Analisis fitokimia dilakukan pada ekstrak metanol rimpang kunyit (Curcuma domestica Val.), sedangkan analisis fitokimia filtrat bawang putih tidak dilakukan pada penelitian ini, karena sudah banyak yang melakukan analisis fitokimia filtrat bawang putih, sehingga pada penelitian ini data untuk analisis fitokimia filtrat bawang putih menggunakan data yang sudah ada.

Berdasarkan hasil penelitian Rustama

dkk. (2005) bawang putih mengandung senyawa alkaloid, saponin, dan tanin, sedangkan berdasarkan penelitian Safithri (2004), bawang putih mengandung karbohidrat, protein, sterol, alkaloid, flavonoid, fenol hidroquinon, dan saponin. Rustama dkk. tidak melakukan analisis terhadap karbohidrat, protein, sterol, fenol hidroquinon, dan triterpenoid, sedangkan Safithri hanya tanin yang tidak dianalisis.

Bawang putih yang digunakan oleh Rustama dkk. untuk analisis fitokimia adalah filtratnya, sedangkan bawang putih yang digunakan oleh Safithri adalah bawang putih yang telah diekstrak dengan air. Analisis fitokimia yang dihasilkan oleh Rustama dkk.

dan Safithri terdapat perbedaan yaitu pada hasil penelitian Rustama filtrat bawang putih tidak mengandung flavonoid, sedangkan pada penelitian Safithri ekstrak air bawang putih

9

mengandung flavonoid. Hal ini diduga karena flavonoid berupa senyawa yang larut dalam air. Flavonoid dapat diekstraksi dengan etanol 70 % dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Oleh sebab itu, pada penelitian Rustama dkk.

tidak ditemukan senyawa flavonoid, karena untuk menghasilkan senyawa flavonoid dibutuhkan suatu pelarut. Selain itu juga karena flavonoid jarang terdapat tunggal dalam tumbuhan (Harborne 1987).

Analisis fitokimia yang dilakukan pada ekstrak metanol rimpang kunyit yaitu analisis senyawa alkaloid, saponin, flavonoid, sterol/triterpenoid, minyak atsiri, dan tanin. Hasil analisis fitokimia dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil analisis menunjukkan bahwa ekstrak metanol rimpang kunyit mengandung alkaloid, flavonoid, steroid/triterpenoid, minyak atsiri, dan tanin. Pelczar & Chan (1988) mengatakan bahwa senyawa yang bersifat sebagai antimikrob antara lain alkohol, senyawa fenolik, klor, iodium, dan etilen oksida. Flavonoid dan tanin termasuk golongan senyawa fenolik, sehingga kedua senyawa ini diduga sebagai senyawa antibakteri pada ekstrak metanol rimpang kunyit, sedangkan pada filtrat bawang putih, selain alisin juga terdapat tanin yang bersifat sebagai senyawa antibakteri. Flavonoid sebagai antibakteri juga didukung oleh penelitian Kosalec et al. (2005) bahwa flavonoid dapat menghambat pertumbuhan B. subtilis, S. aureus, P. Pyogenes, E. faecalis, dan C. albicans.

Harborne (1987) menyatakan bahwa flavonoid berperan sebagai faktor pertahanan alam, sedangkan tanin merupakan senyawa yang berasa sepat dan banyak terdapat pada tanaman hijau. Keberadaan tanin dalam sel mengganggu penyerapan protein oleh cairan tubuh karena menghambat proteolitik menguraikan protein menjadi asam amino (Harborne 1987). Selain senyawa fenolik, sterol dan alkaloid juga diduga berpotensi sebagai antibakteri. Menurut Harborne (1987), alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder terbesar dan seringkali beracun sehingga sering digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Jouvenaz et al. (1972) dan Karou et al. (2006) mengatakan bahwa steroid dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan negatif, namun mekanisme penghambatan senyawa alkaloid terhadap bakteri belum jelas.

Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa, yaitu minyak atsiri yang mudah

menguap, triterpenoid, dan sterol serta pigmen karetenoid yang sukar menguap. Bagian utama minyak atsiri adalah terpenoid. Zat ini menyebabkan wangi, harum, atau bau yang khas (Harborne 1987). Menurut Darwis et al. (1991) minyak atsiri yang terdapat dalam kunyit mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan mikroorganisme penyebab radang kantung empedu.

Tabel 1 Hasil analisis fitokimia ekstrak metanol rimpang kunyit

Senyawa Hasil Alkaloid Saponin Flavonoid Sterol/triterpenoid Minyak atsiri Tanin + - + + + +

Efektivitas Penghambatan Filtrat Bawang putih dan Ekstrak Metanol Rimpang

Kunyit Terhadap Tetrasiklin 10 % Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu filtrat bawang putih dan ekstrak metanol rimpang kunyit, karena filtrat bawang putih dan ekstrak metanol rimpang kunyit menunjukkan hasil positif terhadap penghambatan bakteri S. typhimurium. Pembanding yang digunakan dalam uji ini adalah tetrasiklin dengan konsentrasi 10 %. Daya hambat tetrasiklin terhadap S. typhimurium sebesar 11.69 mm. Tetrasiklin merupakan antibiotik yang bekerja menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya antibiotik ke dalam ribosom bakteri Gram negatif, pertama difusi pasif melalui kanal hidrofilik dan kedua sistem transport aktif. Setelah antibiotik masuk, maka antibiotik berikatan dengan ribosom 30S dan menghalangi masuknya kompleks tRNA-asam amino pada lokasi asam amino (Ganiswara 1995).

Perbandingan penghambatan filtrat bawang putih dan ekstrak metanol rimpang kunyit dengan tetrasiklin 10 % dapat dilihat pada Gambar 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa filtrat bawang putih dengan konsentrasi 2 % sampai 10 % memiliki aktivitas antibakteri lemah dengan zona hambat sekitar 2.58 mm sampai 4.87 mm, sedangkan pada konsentrasi 20 % dan 30 % filtrat bawang putih mempunyai akivitas antibakteri sedang dengan zona hambat 7.54 mm dan

10

0 2 4 6 8 10 12 14 Zona ha m b a t ( m m ) 1 3 5 7 9 20 40 60 80 100 Konsentrasi (%)

Filtrat bawang putih Ekstrak metanol rimpang kunyit Tetrasiklin 10 %

Gambar 6 Perbandingan daya hambat filtrat bawang putih dan ekstrak metanol rimpang kunyit terhadap tetrasiklin 10 %

8.75 mm dan pada konsentrasi 40 % sampai 100 %, aktivitas antibakteri filtrat bawang putih tergolong kuat dengan zona hambat sekitar 10.08 mm sampai 12.13 mm. Ekstrak metanol rimpang kunyit dengan konsentrasi 2 % sampai 20 % memiliki aktivitas antibakteri yang lemah dengan zona hambat sekitar 0.48 mm sampai 4.67 mm, sedangkan konsentrasi 30 % sampai 100 % ekstrak metanol rimpang kunyit memiliki aktivits antibakteri yang tergolong sedang dengan zona hambat sekitar 5.81 mm sampai 7.77 mm. Tetrasilkin memiliki aktivitas antibakteri yang tergolong kuat dengan zona hambat sebesar 11.69 mm.

Efektivitas filtrat bawang putih 10 (4.54 mm) dan ekstrak metanol rimpang kunyit 10 % (3.38 mm) hanya 38.84 % dan 28.91 % jika dibandingkan dengan tetrasiklin 10 %. Uji statistik (P<0.05) menunjukkan bahwa tetrasiklin 0.01 mg/mL dengan filtrat bawang putih konsentrasi 50 % sampai 100 % menghasilkan zona hambat yang tidak berbeda, artinya filtrat bawang putih dengan konsentrasi 50 % sampai 100 % setara dengan tetrasiklin 10 %. Akan tetapi, ekstrak metanol rimpang kunyit sampai konsentrasi 100 % menghasilkan zona hambat yang berbeda dengan tetrasiklin 10 %. Analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 14.

Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM)

Penentuan konsentrasi hambat tumbuh minimum dan maksimum dilakukan untuk mengetahui konsentrasi terendah dan tertinggi dari filtrat bawang putih dan ekstrak metanol

rimpang kunyit yang masih dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji. Konsentrasi yang digunakan bervariasi antara 1 sampai 100 %. Hasil pengamatan zona bening dapat dilihat pada Gambar 7. Pada gambar 7 dapat dilihat bahwa KHTM yang dihasilkan oleh filtrat bawang putih dan ekstrak metanol rimpang kunyit berbeda. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan senyawa aktif yang terdapat pada filtrat bawang putih dan ekstrak metanol rimpang kunyit berbeda.

Secara umum diameter zona hambat zat antibakteri filtrat bawang putih lebih besar bila dibandingkan dengan ekstrak metanol rimpang kunyit, hal ini dapat dilihat dari tinggi diagram pada Gambar 7, sehingga dapat disimpulkan bahwa S. typhimurium lebih peka terhadap filtrat bawang putih dibandingan ekstrak metanol rimpang kunyit. Gambar 7 juga memperlihatkan bahwa pada konsentrasi 1 % dari filtrat bawang putih dan ekstrak metanol rimpang kunyit mempunyai daya hambat sebesar 0 mm. Hal ini menunjukkan bahwa baik filtrat bawang putih maupun ekstrak metanol rimpang kunyit tidak mempunyai aktivitas antibakteri terhadap S. typhimurium.

Filtrat bawang putih dengan konsentrasi 2 % sampai 10 % memiliki aktivitas antibakteri yang tergolong lemah dengan zona hambat sekitar 2.58 mm sampai 4.87 mm, sedangkan pada konsentrasi 20 % dan 30 %, filtrat bawang putih mempunyai aktivitas antibakteri yang sedang dengan zona hambat 7.54 mm dan 8.75 mm dan pada konsentrasi 40 %

11

0.0000 2.0000 4.0000 6.0000 8.0000 10.0000 12.0000 14.0000 Z o n a ha m b at ( m m ) 1 3 5 7 9 20 40 60 80 100 Konsentrasi (%)

filtrat bawang putih ekstrak metanol rimpang kunyit

Gambar 7 Konsentrasi hambat tumbuh minimum dan maksimum S. typhimurium.

sampai 100 %, aktivitas antibakteri filtrat bawang putih tergolong kuat dengan zona hambat sekitar 10.08 mm sampai 12.13 mm.

Berdasarkan Gambar 7 minimum filtrat bawang putih yang masih dapat menghambat pertumbuhan S. typhimurium yaitu sebesar 2 % dengan zona hambat sebesar 2.58 mm. Namun, berdasarkan uji statistik (P<0.05) konsentrasi ini sampai dengan 10 % menunjukkan hasil yang tidak berbeda .

Zona hambat maksimum filtrat bawang putih pada konsentrasi 90 % dengan zona hambat sebesar 12.13 mm. Namun, berdasarkan analisis statistik (P<0.05) konsentrasi maksimum filtrat bawang putih yang dapat menghambat pertumbuhan S. typhimurium yaitu sebesar 30 % dengan zona hambat sebesar 8.75 mm karena pada konsentrasi ini sampai dengan 100 % menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Akan tetapi, semakin tinggi konsentrasi filtrat bawang putih, maka aktivitas antibakterinya semakin tinggi. Hasil analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 14.

Penelitian yang dilakukan oleh Suharti (2004) menunjukkan bawang putih dengan konsentrasi 2.5 %, 5 %, 7.5 %, dan 10 % mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. typhimurium dengan zona hambat masing-masing sebesar 4.0 mm, 6.0 mm, 7.0 mm, 7.5 mm, dan 8.0 mm. Jika dibandingkan dengan penelitian ini, dengan konsentrasi yang sama menunjukkan zona hambat yang berbeda. Hal ini diduga karena preparasi sampel yang dilakukan berbeda. Bawang putih pada penelitian Suharti dikeringkan dahulu kemudian dibuat bubuk, sedangkan pada penelitian ini bawang putih yang digunakan adalah bawang putih segar, sehingga dengan

konsentrasi yang sama kemungkinan terdapat perbedaan jumlah senyawa. Selan itu, sumber bawang putih mungkin tidak berasal dari daerah yang sama, sehingga senyawa aktif yang terdapat pada bawang putih tidak sama.

Aktivitas antibakteri filtrat bawang putih diduga disebabkan oleh kandungan diallyl thiosulfinate yang biasa disebut alisin. Alisin tidak ditemukan pada tanaman utuh tetapi terbentuk oleh aktivitas enzim allin alkyl-sulfonate-lyase pada komponen asam amino non protein S-allylcysteine S-oxide (alin). Pada tanaman utuh, asam amino dan enzim disimpan terpisah dalam kompartemen seluler. Namun demikian, ketika bahan tersebut diolah secara fisik (dipotong), maka penghalang antara kompartemen ini akan pecah dan allin lyase mengkatalisis eliminasi beta dari alin menghasilkan piruvat, amonia, dan asam

allysulfenik yaitu dua molekul yang secara spontan bereaksi membentuk alisin (Feldberg

et al. 1998). Selain alisin, senyawa lain yang berpotensi sebagai antibakteri dalam bawang putih yaitu flavonoid, alkaloid, sterol, dan saponin, karena semua senyawa ini terdapat dalam bawang putih.

Ekstrak metanol rimpang kunyit dengan konsentrasi 2 % sampai 20 % memiliki aktivitas antibakteri yang tergolong lemah dengan zona hambat sekitar 0.48 mm sampai 4.67 mm, sedangkan pada konsentrasi 30 % sampai 100 % aktivitas antibakteri ekstrak metanol rimpang kunyit tergolong sedang dengan zona hambat sekitar 5.81 mm sampai 7.77 mm. Tidak seperti bawang putih, ekstrak metanol rimpang kunyit tidak memiliki aktivitas antibakteri yang kuat.

Konsentrasi minimum ekstrak metanol rimpang kunyit yang masih dapat

12

menghambat pertumbuhan S. typhimurium

yaitu sebesar 2 % dengan zona hambat sebesar 0.52 mm. Akan tetapi, berdasarkan uji statistik (P<0.05) konsentrasi ini sampai dengan 10 % menunjukkan hasil yang tidak berbeda.

Zona hambat maksimum ekstrak metanol rimpang kunyit pada konsentrasi 100 % dengan zona hambat 7.77 mm. Akan tetapi, berdasarkan analisis statistik (P<0.05) konsentrasi maksimum ekstrak metanol rimpang kunyit yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. typhimurium sebesar 30 % dengan zona hambat 5.81 mm, karena pada konsentrasi ini menunjukkan hasil yang tidak berbeda dengan 100 %. Akan tetapi, dari terlihat semakin tinggi konsentrasi ekstrak metanol rimpang kunyit, maka aktivitas antibakterinya semakin tinggi. Hasil analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 14.

Aktivitas antibakteri ekstrak metanol rimpang kunyit diduga disebabkan oleh minyak atsiri, hal ini sesuai dengan penyataan Sundari dan Winarno (2001) yang menyatakan bahwa minyak atsiri bersifat sebagai antibakteri dan antifungi. Kemampuan minyak atsiri sebagai antibakteri dan antifungi juga didukung oleh penelitian Yuharmen dkk.

(2002) yang membuktikan bahwa minyak atsiri dengan konsentrasi 6 % mampu menghambat pertumbuhan bakteri B. subtilis

dan pada konsentrasi 8 % minyak atsiri mampu menghambat pertumbuhan bakteri B. subtilis dan S. aureus dan jamur Penicillium sp. dan Neurospora sp. sedangkan pada konsentrasi 10 %, minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan jamur Rhizopus sp. Selain minyak atsiri, senyawa yang bersifat sebagai antibakteri pada rimpang kunyit adalah kurkumin.

Kurkumin merupakan senyawa fenolik, oleh sebab itu diduga mempunyai mekanisme yang sama dengan senyawa fenolik lainnya dalam fungsinya sebagai zat antimikrob. Senyawa ini akan mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien dari dalam sel sehingga sel bakteri akan mati atau terhambat pertumbuhannya (Lukman 1984). Selain kurkumin dan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, sterol/triterpenoid, dan tanin diduga memiliki potensi sebagai antibakteri, karena semua senyawa ini terdapat dalam ekstrak metanol rimpang kunyit.

Selain sebagai antibakteri, ekstrak kunyit pada penelitian lanjutan (secara in vivo) diharapkan dapat menambah nafsu makan ayam, sehingga dapat meningkatkan bobot

badan ayam. Selain itu, penambahan ekstrak metanol rimpang kunyit dapat menetralkan bau dari bawang putih, karena pada penelitian

in vivo, ransum ayam akan dicampur dengan filtrat bawang putih dan ekstrak metanol rimpang kunyit.

Berdasarkan penelitian Rosalyn (2005) bahwa terjadi peningkatan jumlah ransum yang dikonsumsi oleh ayam yang diberi perlakuan kunyit. Akan tetapi, hal ini hanya berlangsung sampai minggu ke-4, menjelang minggu ke-5 sampai minggu ke-6 konsumsi ransum cenderung statis bahkan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena semakin lama pemeliharaan maka jumlah kunyit yang dikonsumsi semakin banyak, sehingga jumlah senyawa minyak atsiri dan kurkuminoid yang dicerna semakin meningkat. Walaupun pada minggu ke-5 dan ke-6 konsumsi ransum menurun, namun dilaporkan secara numerik bobot badan akhir broiler yang diberi kunyit cenderung lebih besar dibandingkan dengan kontrol. Selain itu, berdasarkan penelitian Gultom (2003), penambahan tepung kunyit pada ransum dapat mengurangi bau feses. Berkurangnya bau amoniak pada feses diduga disebabkan karena kandungan minyak atsiri pada kunyit.

Bawang putih selain sebagai antibakteri juga dapat meningkatkan pertumbuhan, karena selain menghambat pertumbuhan bakteri S. typhimurium juga akan dapat menekan pertumbuhan bakteri coliform atau bakteri yang merugikan, dan hal ini akan memberikan peluang pertumbuhan mikroorganisme yang menguntungkan di dalam saluran pencernaan ayam broiler secara optimum, sehingga pemanfaatan zat-zat makanan untuk pertumbuhan dapat maksimum (Bidura 1999).

Selain itu, karena adanya senyawa bersulfur pada filtrat bawang putih akan mendukung ketersediaan asam-asam amino yang mengandung sulfur, seperti sistin, sistein, dan metionin. Berdasarkan penelitian Wiradisastra (2001), bahwa penambahan metionin dalam ransum ayam broiler dapat meningkatkan berat badan ayam. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian Suharti (2004), bahwa penambahan senyawa antibakteri seperti bawang putih sebesar 2.5 % mampu meningkatkan pertambahan bobot badan ayam yang terinfeksi S. typhimurium.

Pengujian Aktivitas Antibakteri bawang Putih Selama Penyimpanan Filtrat bawang putih yang sudah terbukti sebagai senyawa antibakteri kemudian

13

disimpan dan diuji lagi pada hari ke-3 dan hari ke-7. Hal ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antibakteri filtrat bawang putih masih dapat bertahan sampai hari ke-7. Ekstrak metanol rimpang kunyit pada penelitian ini tidak dilakukan pengujian selama penyimpanan, hal ini karena hasil ekstrak tidak mungkin langsung diuji aktivitas antibakterinya. Jadi, secara tidak langsung pengujian aktivitas antibakteri ekstrak sudah mengalami penyimpanan dan diduga aktivitas antibakteri dari ekstrak tidak mengalami perubahan.

Filtrat bawang putih yang digunakan untuk analisis ini yaitu filtrat bawang putih dengan konsentrasi 100 %, karena pada konsentrasi ini filtrat tidak ditambahkan air sehingga menghindari terjadinya reaksi kimia yang terjadi antara senyawa yang terdapat pada filtrat bawang putih dengan air. Filtrat bawang putih disimpan dalam dua suhu yang berbeda, yaitu pada suhu 10 °C dan 27 °C.

Hasil uji aktivitas antibakteri terhadap penyimpanan yang tertera pada Gambar 8. Gambar 8 menunjukkan bahwa hari ke-3 pada suhu 10 °C dan 27 °C masih mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. typhimurium dengan zona hambat masing-masing sebesar 17.88 mm dan 14.81 mm. Begitu pula hari ke-7 pada suhu 10 °C dan 27 °C masih mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. typhimurium dengan zona hambat masing-masing sebesar 14.50 mm dan 6.19 mm. Zona hambat pada hari ke-0 sebesar 16.69 mm. Berdasarkan data di atas penyimpanan pada suhu 10 °C menghasilkan zona hambat yan lebih besar dibandingkan dengan suhu 27 °C dan zona hambat terbesar dimiliki oleh bawang putih dengan waktu penyimpanan 3 hari pada suhu 10 °C. Hasil ini menunjukkan bahwa bawang putih lebih efektif setelah disimpan selama 3 hari dibandingkan dengan digunakan secara langsung. 0.0000 2.0000 4.0000 6.0000 8.0000 10.0000 12.0000 14.0000 16.0000 18.0000 zo n a h a m b a t ( m m) 0 3 (27ºC) 3 (10ºC) 7 (27ºC) 7 (10ºC)

penyimpanan filtrat bawang putih hari ke- (suhu)

Gambar 8 Aktivitas antibakteri filtrat bawang putih selama penyimpanan.

Analisis statistika (P<0.05) menunjukkan bahwa penyimpanan selama 3 hari pada suhu 10 °C memperoleh hasil yang tidak berbeda dengan bawang putih tanpa penyimpanan. Hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 13.

Dokumen terkait