• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebutuhan protein daging untuk mencukupi asupan gizi terus mengalami peningkatan. Hal ini seiring dengan meningkatnya kesejahteraan dan kesadaran masyarakat akan kesehatan tubuh. Penyediaan daging di Indonesia yang berasal dari ternak unggas didominasi oleh ayam pedaging/broiler.

Itik lokal merupakan komoditas nasional yang telah banyak dibudidayakan oleh masyarakat terutama daerah pedesaan dan pesisir untuk meningkatkan kesejahteraannya. Umumnya masyarakat memelihara itik sebagai penghasil telur dan masih jarang sebagai penghasil daging (Sujana et al. 2009).

Potensi itik sebagai produksi daging cukup tinggi selain didukung oleh populasinya yang tinggi di Indonesia (FAO 2006), juga kandungan nutrisi pada daging itik cukup baik untuk kesehatan tubuh. Daging itik mengandung asam lemak tak jenuh ganda, seperti asam linoleat, linolenat, dan arakidonat (Hustiany 2001; Rukmiasih 2011) yang dibutuhkan tubuh. Kendala yang dihadapi dalam mengembangkan itik sebagai sumber daging terkait dengan kriteria daging yang dimilikinya. Daging itik bertekstur liat (Oteku et al. 2006), kandungan lemaknya cukup tinggi sekitar 16-23% (Farrell 2000), sekitar 60% dari total asam lemak (Chartrin et al. 2006), dan berwarna merah (Baeza 2006; Kim et al. 2009). Oleh karena itu daging itik mudah mengalami kerusakan akibat oksidasi selama pengolahan maupun penyimpanan.

Akibat oksidasi ini kualitas daging mengalami penurunan yang ditandai dengan menurunnya nilai gizi, seperti mineral, lemak, vitamin, dan protein serta munculnya sensasi off flavor (Carvajal et al. 2009) karena dihasilkannya produk oksidasi sekunder, seperti aldehida, keton, hidrokarbon, asam karboksilat, alkohol, dan ester (Pignoli et al. 2009; Juntachote et al. 2007). Sensasi off flavor yang muncul pada daging yang telah dimasak atau dipanaskan terlebih dahulu kemudian disimpan di refrigerator suhu 4 oC selama minimal 48 jam, setelah itu dipanaskan kembali disebut dengan warmed over flavor (WOF). Heksanal merupakan senyawa aldehida jenuh sebagai salah satu produk oksidasi sekunder dari asam lemak tak jenuh ganda -6, seperti asam linoleat dan arakidonat yang digunakan sebagai indikator terjadinya WOF (Varlet et al. 2007; Kochhar 1993).

Penyimpangan flavor ini dapat menyebabkan tingkat penerimaan konsumen terhadap daging dan produk olahannya mengalami penurunan. Oleh karena itu untuk mencegah terbentuknya WOF pada daging atau produk olahannya dapat dicegah dengan menambahkan senyawa antioksidan (Gatellier et al. 2007). Penggunaan senyawa ini pada produk pangan dapat mencegah oksidasi lemak dengan memutus rantai oksidasi akibat radikal bebas dan katalis ion besi sehingga kerusakan pangan dapat dihambat (Moein et al. 2007; Choe et al. 2011). Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan, maka penggunaan antioksidan sintetik pada produk pangan mulai dihindari (Valentao et al. 2010). Berbagai penelitian telah dilakukan terhadap bahan alami, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, herba, dan rempah-rempah yang mempunyai aktivitas antioksidan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan antioksidan alami yang diharapkan dapat menggantikan atau menurunkan penggunaan antioksidan sintetik.

Beluntas (Pluchea indica Less) merupakan salah satu tanaman herba yang telah dimanfaatkan masyarakat sebagai pangan dan sediaan obat bahan alam (Ardiansyah et al. 2003). Kandungan senyawaan fitokimia pada tanaman ini yang menyebabkannya mempunyai beberapa aktivitas biologis, salah satunya sebagai antioksidan. Penelitian sebelumnya telah membuktikan aktivitas antioksidan ekstrak etanolik daun beluntas diberbagai sistem uji in vitro, sedangkan aktivitas antioksidan ekstrak metanolik daun beluntas belum pernah dikaji. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan rendemen, senyawa fenolik dan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi. Selain itu potensi antioksidan dari fraksi ekstrak metanolik daun beluntas, seperti fraksi etil asetat, fraksi n-butanol, dan fraksi air belum diketahui hingga kini. Oleh karena itu penelitian ini difokuskan untuk mengetahui potensi antioksidan dari ekstrak metanolik daun beluntas dan fraksinya, terutama dalam mencegah WOF selama penyimpanan daging itik yang telah dipanaskan.

Hasil menunjukkan bahwa daun beluntas mengandung senyawaan fitokimia, seperti grup senyawa tanin, flavonoid, sterol, dan fenol hidrokuinon. Kandungan masing-masing senyawaan fitokimia pada daun beluntas berbeda berdasarkan tingkat ketuaan daun, didukung oleh Navarro et al. (2006). Semua senyawa tersebut lebih cenderung ditemukan pada daun yang paling muda, yaitu kelompok daun 1-3 (urutan dari pucuk). Kadar senyawa ini berkurang dengan

meningkatnya ketuaan daun, yaitu pada kelompok daun 4-6 dan >6, yang ditunjukkan dengan intensitas warna larutan yang menunjukkan adanya senyawaan fitokimia secara kualitatif mengalami penurunan. Hasil uji total fenol (TP) dan total flavonoid (TF) yang didukung oleh hasil analisis kualitatif senyawaan fitokimia, menunjukkan bahwa kadar TP dan TF untuk kelompok daun 1-3 > daun 4-6 > daun >6. Kadar TP dan TF berkorelasi dengan aktivitas menangkap radikal bebas DPPH, didukung oleh Kubola & Siriamornpun (2008). Kelompok daun 1-3 mempunyai aktivitas antioksidan lebih tinggi dibandingkan kedua kelompok daun yang lain, sedangkan kelompok daun 4-6 mempunyai aktivitas lebih tinggi dari kelompok daun >6. Namun hasil perhitungan IC50

(konsentrasi penghambatan radikal DPPH 50%) menunjukkan bahwa kelompok daun 1-6 tidak berbeda nyata. Oleh karena itu daun beluntas 1-6 berpotensi sebagai sumber antioksidan.

Hasil seleksi perbedaan kelarutan senyawa antioksidan dari daun beluntas 1-6 menunjukkan bahwa semua senyawaan fitokimia yang terdeteksi pada daun beluntas ditemukan pada ekstrak metanolik daun beluntas (EMB), fraksi etil asetat (FEA), dan fraksi n-butanol (FNB). Hanya pada fraksi air (FA) tidak ditemukan adanya grup senyawa sterol. Perbedaan tingkat kepolaran pelarut yang menentukan perbedaan kandungan senyawaan fitokimia. Metanol bersifat polar dapat melarutkan senyawa gula, asam amino, dan glikosida (Houghton & Raman 1998), fenolik dengan berat molekul rendah dan tingkat kepolaran sedang (Yu Lin et al. 2009), flavonoid aglikon (Dehkharghanian et al. 2010), antosianin, terpenoid, saponin, tanin, santosilin, totarol, kuasinoid, lakton, flavon, fenon, dan polifenol (Cowan 1999). Etil asetat bersifat semipolar yang dapat mengekstrak senyawa alkaloid, aglikon, dan glikosida (Houghton & Raman 1998), sterol, terpenoid, dan flavonoid (Cowan 1999). Air bersifat sangat polar yang dapat melarutkan glikosida, gula, dan asam amino (Houghton & Raman 1998), aglikon (Liu et al. 2011; Dehkharghanian et al. 2010), dan vitamin C (Dalimarta 2003).

Berdasarkan sifat kelarutan dan data menunjukkan bahwa metanol dapat melarutkan senyawa semipolar, polar dan sangat polar. Komponen yang bersifat sangat polar merupakan penyusun utama EMB, yang ditunjukkan dengan kadar rendemen FA paling tinggi dari kedua fraksi lainnya. Sedangkan senyawa fenolik semipolar merupakan komponen penyusun terbesar dari EMB, yang ditunjukkan oleh kadar TP dan TF dari FEA paling tinggi. Untuk menyeleksi ekstrak atau

fraksi daun beluntas yang berpotensi sebagai sumber antioksidan alami dilakukan pengujian aktivitas menangkap radikal bebas DPPH. Hasil menunjukkan bahwa FEA lebih berpotensi sebagai sumber antioksidan alami dari beluntas dibandingkan EMB dan kedua fraksi yang lain, hal ini didukung oleh perhitungan IC50 dan AE (efisiensi antiradikal).

IC50 adalah konsentrasi antioksidan yang diperlukan untuk menghambat radikal bebas DPPH sebesar 50%. AE ditentukan dengan persamaan AE=1/(EC50

x TEC50), dimana EC50 yaitu jumlah konsentrasi antioksidan yang diperlukan untuk mereduksi konsentrasi DPPH awal (t=0) yang dinyatakan dalam mg/g DPPH. TEC50 adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk mencapai kondisi

steady state (kinetika reaksi). Parameter EC50 dan IC50 adalah pengukuran kuantitatif secara langsung dari aktivitas antioksidan, semakin tinggi aktivitas antioksidan ditunjukkan dengan nilainya semakin rendah dan sebaliknya. Sedangkan parameter AE merupakan pengukuran kuantitatif aktivitas antioksidan yang nilainya berkebalikan dengan EC50, semakin tinggi aktivitas antioksidan maka nilai AE-nya semakin besar (Qian & Nihorimbere 2004).

Potensi FEA menangkap radikal bebas DPPH sangat ditentukan oleh sifat kepolaran dari senyawaan fitokimia penyusunnya (Huang et al. 2010). Aktivitas antioksidannya ditentukan oleh jumlah, posisi dan jenis gugus hidroksil pada cincin aromatis (Skerget et al. 2005). Perbedaan tingkat kepolaran senyawaan fitokimia pada FEA dan EMB berpengaruh pada mekanisme antioksidannya. Pada beberapa pengujian aktivitas antioksidan secara in vitro, membuktikan bahwa FEA mempunyai aktivitas antioksidan melalui kemampuan menangkap radikal superoksida, mereduksi dan mengkelat ion besi. Sedangkan EMB mempunyai aktivitas antioksidan berdasarkan kemampuan menangkap radikal superoksida, menghambat oksidasi asam linoleat- -karoten, dan mereduksi ion besi.

Pada pengujian aktivitas antioksidan FEA dan EMB dalam mencegah WOF daging itik pada berbagai perlakuan digunakan daging itik giling, hal ini dilakukan untuk mendapatkan sistem uji yang kompleks yang berupa campuran antara komponen polar dan non polar pada daging itik. Penggilingan daging dapat merusak membran fosfolipid yang banyak tersusun atas ALTJG, sehingga sangat memungkinkan terjadinya kontak antara ALTJG dengan oksigen dan ion besi

heme. Menurut Lewie (1998) bahwa oksidasi ALTJG pada fosfolipid yang berperan penting terjadinya penyimpangan flavor pada daging.

Senyawa fenolik pada FEA berpotensi sebagai antioksidan pada daging itik, didukung oleh Ganhao et al. (2010) bahwa senyawa fenolik tanaman dapat berfungsi sebagai antioksidan pada daging atau produk daging karena mempunyai kemampuan menangkap radikal bebas dan mengkelat ion besi. Sedangkan Banu et al. (1985) melaporkan bahwa senyawa antioksidan dapat berpotensi memutus rantai oksidasi karena mempunyai kemampuan mendonorkan elektron/atom hidrogen, mengkelat dan mereduksi ion besi. Hal ini terkait dengan penyebab utama oksidasi lemak pada daging adalah peran dari radikal bebas dan ion besi heme maupun non heme.

Potensi FEA mencegah WOF daging itik ditunjukkan pada kemampuannya mempertahankan kadar ALTJG ( -6), terutama asam linoleat dan arakidonat, mencegah pembentukan MDA dan menurunkan kandungan heksanal. Penggunaan FEA konsentrasi rendah (250 ppm) lebih efektif sebagai antioksidan dibandingkan konsentrasi tinggi (600 ppm). Hal ini untuk menghindari efek prooksidan dari klorofil yang terkandung pada FEA, seperti yang dijelaskan oleh Juntachote et al. (2007). Selain itu keberadaan klorofil dapat menyebabkan terjadinya interaksi pigmen hijau dengan pigmen merah dari mioglobin atau hemoglobin sehingga dapat menurunkan ketiga parameter warna (a, b, dan L) yang terukur pada daging itik di berbagai perlakuan (Ganhao et al. 2010).

Pada pengujian kemampuan mencegah WOF pada daging itik, EMB menunjukkan kurang berpotensi sebagai antioksidan. Namun adanya senyawa volatil yang terkandung dalam ekstrak tersebut dapat meningkatkan skor kesukaan panelis terhadap aroma daging itik dan menekan intensitas green dan grassy

daging itik selama perlakuan. Efek yang ditimbulkan sama dengan penambahan antioksidan BHT dan lebih tinggi dari FEA dan AT, hal ini sesuai dengan pendapat Plutowska & Wardencki (2007).