• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

E. Pembahasan

Penelitian ini berasumsi bahwa terdapat hubungan antara UDO dengan PsyCap. Analisis terhadap data penelitian dilakukan untuk membuktikan asumsi ini dan diperoleh hasil yang mendukung kebenaran asumsi, yakni berdasarkan analisis korelasi dengan Pearson Product Moment, diperoleh signifikansi sebesar 0.000, yang mana jika signifikansi < 0.05 maka Ha (hipotesis penelitian) diterima, maka di antara UDO dan PsyCap memang terdapat hubungan. Untuk itu, hasil penelitian ini mendukung pernyataan yang dikemukakan oleh Luthans, Avey, Avolio, Norman, & Combs (2006) dalam teori mereka yang mengatakan bahwa PsyCap mencakup metakonstruk level kelompok yang berhubungan dengan adaya dukungan dan hubungan sosial, yang dalam penelitian ini dukungan atau hubungan sosial tersebut berfokus pada UDO. Luthans, Avey, Avolio, Norman, & Combs (2006) lebih jauh menjelaskan bahwa PsyCap yang positif membantu individu agar lebih baik untuk dapat mengejar dan memperoleh tujuan untuk berhasil dalam hidupnya.

Dalam teorinya, PsyCap memang dijelaskan lebih mengacu pada perkembangan psikologis dari individu sendiri secara pribadi, namun manusia merupakan makhluk sosial sehingga mereka berhubungan dengan orang lain (Zulkarnain, 2013) dan individu akan bersatu dengan banyak orang di sekitarnya sehingga membentuk kelompok-kelompok masyarakat, dan penelitian ini membuktikan hal tersebut, bahwa hubungan individu dengan orang lain mempengaruhi perkembangan psikologisnya secara pribadi.

63

Kembali kepada tujuan individu untuk memperoleh keberhasilan dalam hidupnya (dalam uraian tentang PsyCap), tujuan individu tidak akan dapat tercapai jika dirinya memiliki konflik dengan orang lain ataupun kelompoknya (Hogg & Vaughan, 2011). Salah satu hal yang dapat memicu munculnya konflik dalam lingkup sosial ialah adanya perbedaan antara satu individu dengan individu lainnya dalam kelompok. Untuk itu, dalam lingkungan dengan keberagaman sosial budaya yang cukup tinggi, hal ini akan menjadi perhatian yang penting, sehingga dibutuhkan penerimaan dari tiap individu terhadap perbedaan maupun persamaan yang terdapat di antara dirinya dengan orang- orang di sekitarnya (UDO) sehingga kemungkinan munculnya konflik dapat dihindari (Hogg & Vaughan, 2011).

Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa kedua variabel penelitian –UDO dan PsyCap– berkorelasi secara positif, yang berarti semakin tinggi tingkat UDO individu maka semakin tinggi pula tingkat PsyCapnya, begitupun sebaliknya, semakin rendah tingkat UDO individu maka semakin rendah pula tingkat PsyCapnya. Hal ini dapat dilihat dari besarnya korelasi antar kedua variabel yakni sebesar 0.465 (kekuatan korelasi dalam kategori sedang). Hal ini turut mendukung uraian sebelumnya yang mengatakan bahwa ketika individu memiliki kesadaran dan pemahaman yang baik terhadap persamaan dan perbedaan dirinya dengan orang lain serta mau menerima persamaan dan perbedaan tersebut sebagai bagian dari lingkungannya, maka ia akan memiliki perkembangan psikologis yang baik pula, yang ditandai oleh empat hal yakni adanya rasa percaya akan kemampuan dirinya untuk

64

kemampuannya untuk mencapai tujuannya (PsyCap efficacy); yakin bahwa dirinya akan mendapatkan dan mengalami hal-hal yang positif di masa yang akan datang (PsyCap optimism); punya tujuan pribadi serta fokus dalam mengejarnya hingga tercapai, percaya bahwa dirinyalah yang berkontribusi penuh terhadap pencapaian tujuan tersebut, dan memiliki alternatif jalan untuk dapat mencapai tujuan tersebut ketika menghadapi hambatan (PsyCap hope); serta mampu kembali merasa semangat dalam mengejar tujuan setelah mengalami suatu hambatan bahkan dapat menjadi lebih baik dibandingkan sebelum mendapatkan hambatan atau masalah tersebut (PsyCap resiliency). Semua hal ini dibuktikan dapat tercapai ketika individu tersebut memiliki UDO yang tinggi –karena kedua variabel berhubungan secara positif.

Dengan demikian, berdasarkan analisis data dan uraian di atas dapat dibuktikan bahwa UDO memiliki hubungan dengan perkembangan PsyCap individu. Namun, berdasarkan analisis data penelitian, ditemukan bahwa korelasi di antara kedua variabel penelitian ini (UDO dan PsyCap) berada dalam kategori sedang, bahkan tiap aspek dari UDO tampak memiliki korelasi yang rendah dengan PsyCap. Oleh karena itu peneliti juga mempertimbangkan tentang kemungkinan adanya variabel yang mempengaruhi kuat lemahnya hubungan di antara kedua variabel ini (variabel moderator). Meski demikian, variabel moderator juga belum tentu memiliki hubungan langsung terhadap UDO, sehingga penelitian terhadap kemungkinan adanya variabel moderator ini dapat dilakukan lebih lanjut pada penelitian selanjutnya (Urbayatun & Widhiarso, 2012).

65

Adapun variabel yang berkemungkinan dapat menjadi variabel moderator antara UDO dan PsyCap menurut peneliti ialah dukungan sosial. Hal ini dikarenakan dukungan sosial mencakup lebih banyak konsep sosial (cakupan sosial yang lebih luas) sehingga lebih sejalan dengan penjelasan yang dikatakan Luthans, Avey, Avolio, Norman, & Combs (2006) dalam teori dan penelitiannya.

66

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa data dan pembahasan pada bagian sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa UDO memiliki hubungan dengan PsyCap dan hubungan antar kedua variabel ialah positif, yang berarti semakin tinggi tingkat UDO individu maka semakin tinggi pula tingkat PsyCapnya, dan sebaliknya, semakin rendah tingkat UDO individu maka semakin rendah pula tingkat PsyCapnya.

67

B. SARAN

Berdasarkan penelitian serta kesimpulan yang telah dijabarkan, peneliti mengajukan beberapa saran yang diharapkan dapat berguna bagi pengembangan penelitian terkait hubungan UDO dengan PsyCap selanjutnya. Adapun saran-saran yang diajukan oleh peneliti ialah:

1. Saran Metodologis

Peneliti selanjutnya dapat meneliti social support dalam perannya sebagai variabel moderator antara UDO dan PsyCap atau sebagai variabel yang berhubungan langsung dengan PsyCap.

2. Saran Praktis

a. Perguruan tinggi dapat memfasilitasi kegiatan yang dapat mengikutsertakan seluruh mahasiswa baik dari dalam maupun luar universitas sehingga setiap mahasiswa memiliki kesempatan untuk memperluas koneksi dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda;

b. Mahasiswa dan masyarakat dapat bergabung dengan kelompok- kelompok dalam masyarakat karena penguatan sosial dapat diperoleh dengan bergabung dengan kelompok-kelompok masyarakat (Alvord, Uchino, & Wright, 2016).

14

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. PSYCHOLOGICAL CAPITAL 1. Definisi

Luthans, Youssef, & Avolio (2007) dalam bukunya mendefinisikan Psychological Capital (PsyCap) sebagai berikut:

“PsyCap is an individual’s positive psychological state of development and is characterized by: (1) having confidence (self-efficacy) to take on and put in the necessary effort to succeed at challenging tasks; (2) making a positive attribution (optimism) about succeeding now and in the future; (3) persevering toward goals and, when necessary, redirecting paths to goals (hope) in order to succeed; and (4) when beset by problems and adversity, sustaining and bouncing back and even beyond (resiliency) to attain success”.

Dari penjelasan di atas dapat diartikan bahwa PsyCap merupakan kondisi perkembangan psikologis seseorang yang positif yang memiliki beberapa karakteristik, yakni:

a. Kepercayaan diri (self-efficacy) untuk berusaha agar dapat menyelesaikan tugas yang menantang.

b. Memiliki atribusi positif (optimism) tentang keberhasilan di masa sekarang dan masa depan.

c. Tetap mengejar tujuan dan mengatur ulang cara mencapai tujuan jika diperlukan (hope) agar berhasil/sukses.

15

d. Dapat bertahan bahkan menjadi lebih baik dari sebelumnya ketika mengalami kesulitan dan masalah (resiliency) untuk memperoleh kesuksesan.

Luthans, Youssef, & Avolio (2007) lebih lanjut menjelaskan bahwa PsyCap bersifat terbuka terhadap perubahan, dalam artian PsyCap dapat terus berkembang. Tidak seperti human capital yang berbicara tentang apa yang seseorang ketahui, atau social capital yang berbicara tentang siapa yang seseorang ketahui, PsyCap lebih mengacu kepada diri individu itu sendiri dan akan menjadi apa individu tersebut ke depannya. Karena berfokus kepada siapa individu tersebut, PsyCap dapat mencakup pengetahuan, skill, kemampuan teknikal, dan pengalaman. PsyCap juga mencakup metakonstuk level kelompok seperti dukungan sosial dan relasi yang juga menjadi bagian dari diri individu. Individu dengan PsyCap yang

tinggi dapat bertindak dalam “kapasitas yang berbeda-beda” secara fleksibel dan adaptif agar sesuai dengan tuntutan yang ada dan PsyCap mereka akan membantu mereka merasakan well-being dan menyadari kompetensi tinggi yang mereka miliki.

2. Dimensi

a. PsyCap Efficacy

Disebut juga dengan confidence to succeed (keyakinan akan memperoleh keberhasilan). Self-efficacy merupakan konsep yang digunakan Albert Bandura (dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007)

16

melakukan suatu pekerjaan atau kepercayaan mereka terkait kemampuan yang mereka miliki dalam menyesuaikan motivasi, sumber kognitif, dan tindakan mereka yang dibutuhkan untuk melakukan suatu pekerjaan dalam suatu konteks. Tingkat kemungkinan untuk kemampuan melakukan pekerjaan tersebut disebut level of self-efficacy. Dalam pengertian aslinya, self-efficacy lebih berfokus pada keyakinan akan kemampuan yang dimiliki individu untuk melakukan pekerjaan tertentu saja, namun dalam hal ini sifatnya lebih general.

PsyCap efficacy berperan dalam memotivasi individu untuk memilih dan menerima tantangan dan menggunakan kekuatan dan kemampuan yang ada dalam menghadapi tantangan tersebut. PsyCap efficacy juga berperan untuk mendorong individu untuk mengejar tujuan dan menggunakan waktu dan usaha keras untuk memperoleh tujuan-tujuan tersebut. Peran lain dari PsyCap efficacy ialah membantu individu untuk bertahan ketika menemui kendala yang membuat individu ingin menyerah dan akan menghubungkannya dengan hope, optimism, dan resiliency individu tersebut.

PsyCap efficacy merupakan dimensi yang terdapat di dalam diri individu yang terus berkembang dan merupakan kesadaran individu tentang dirinya dan dapat diubah secara positif sehingga sesuai dengan yang diharapkan.

17

Individu yang memiliki PsyCap efficacy memiliki karakteristik berikut ini:

(1) Membuat goal (tujuan) yang tinggi untuk mereka sendiri dan lebih self-select terhadap tugas-tugas yang sulit;

(2) Menerima dan berjuang dalam menghadapi tantangan; (3) Sangat self-motivated;

(4) Melakukan usaha seperlunya untuk memperoleh tujuan mereka; (5) Tetap teguh meski menghadapi kendala dalam mengejar tujuan.

Meski kesuksesan berperan penting dalam PsyCap efficacy, namun kesuksesan tidak sama dengan PsyCap efficacy. Kesuksesan individu dapat mempengaruhi PsyCap efficacy-nya namun hal ini tidak terjadi secara serta merta, individu harus melewati proses kognitif hingga akhirnya kesuksesan yang dialaminya dapat memberi pengaruh positif bagi PsyCap efficacy. Di samping itu, PsyCap efficacy pada individu juga harus sesuai dengan konteks yang ada dan cenderung spesifik serta fokus terhadap hal yang sedang terjadi pada individu.

Dalam penelitiannya, Luthans, Youssef, & Avolio (2007) menjelaskan 5 temuan kunci dalam PsyCap efficacy. Kelima temuan tersebut ialah:

(1) PsyCap efficacy bersifat domain-specific. Keyakinan akan kemampuan diri tidak bersifat general yang berarti bahwa individu yang yakin mampu menyelesaikan tugas tertentu belum tentu yakin bahwa ia mampu dalam menyelesaikan tugas atau hal yang lain;

18

(2) PsyCap efficacy didasarkan pada latihan atau mastery. Ketika individu menghadapi suatu tugas atau kegiatan berkali-kali, individu akan menjadi semakin yakin bahwa ia mampu mengerjakan tugas tersebut;

(3) Selalu ada hal yang harus diperbaiki dalam PsyCap efficacy. Individu mungkin sangat yakin akan kemampuannya dalam menyelesaikan tugas tertentu, meski demikian ia tetap memiliki beberapa hal yang pelu diperbaiki atau ditingkatkan. Sebagai contoh, seseorang memiliki kemampuan komunikasi yang sangat baik namun tidak mampu berpikir secara mendetail dan kritis; (4) PsyCap efficacy dipengaruhi oleh orang lain. Pengaruh dari orang

lain dapat berupa penilaian yang positif terhadap diri individu sehingga mampu meningkatkan keyakinan individu terhadap kemampuannya. Selain itu dengan melihat orang yang sama dengan diri individu itu sendiri berhasil dalam suatu hal akan membuat individu yakin dirinya juga mampu berhasil dalam hal tersebut;

(5) PsyCap efficacy bervariasi. PsyCap efficacy tergantung dari banyak faktor, baik yang berasal dari dalam diri individu (pengetahuan, kecakapan, dan kemampuan), dari lingkungan (misalnya ketersediaan sumber yang membantu pencapaian tujuan), dan kesejahteraan fisik dan psikologis.

19

PsyCap efficacy dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kesuksesan dan proses kognitif dan magnitud (tingkat kesulitan yang ingin dicapai individu), serta kekuatan (tingkat keyakinan individu terhadap kemampuannya menyelesaikan tantangan dalam tiap tingkat kesulitan).

b. PsyCap Hope

Disebut juga the will and the way. Luthans, Youssef, & Avolio (2007) menjelaskan PsyCap hope sebagai harapan yang dimiliki individu untuk mencapai tujuan dan keyakinan bahwa individu tersebut bertanggung jawab secara pribadi terhadap tujuannya sendiri serta dapat mencari alternatif jalan untuk mencapai tujuannya ketika menemukan suatu hambatan. Dalam bukunya, Luthans, Youssef, & Avolio (2007) mengutip pernyataan C. Rick Snyder – seorang profesor psikologi klinis di University of Kansas – yang mendefinisikan hope sebagai “a positive motivational state that is based on an interactively derived sense of successful (1) agency (goal-directed energy) and (2) pathways (planning to meet goals)”.

Didasari oleh pengertian ini, PsyCap hope dapat dimengerti dalam pengertian kognitif atau pemikiran di mana individu mampu membuat tujuan yang realistis namun menantang dan mencapai tujuan tersebut dengan mandiri, energi, dan persepsi yang berfokus pada kontrol personal atau sebagai kemampuan individu dalam memfokuskan usaha mereka untuk mencapai tujuan dan membuat

20

strategi alternatif dalam mencapai tujuan tersebut ketika menemukan hambatan dalam mencapainya.

Namun umumnya pembuatan jalan alternatif dalam mencapai tujuan ini sering disalahartikan menjadi salah satu dari ketiga dimensi PsyCap lainnya (resiliency, self-efficacy, dan optimism).

Terdapat 8 (delapan) pendekatan yang berkontribusi dalam pengembangan PsyCap hope seseorang:

(1) Goal-setting. Goal setting yang diciptakan individu, bersifat partisipatori, dan tepat dapat mendorong individu melakukan kinerja yang lebih baik dan mempengaruhi bagaimana seseorang mendesain cara yang kreatif untuk dapat mencapai tujuan.

(2) Stretch goals. Goal yang berperan baik dalam perkembangan dan kematangan pikiran yang hopeful harus spesifik, dapat diukur, bersifat menantang namun dapat dicapai. Stretch goals dapat dilihat dalam artian hal-hal yang sulit memunculkan semangat dalam mencapai tujuan namun tetap dapat dicapai.

(3) Stepping. Dalam proses ini, tujuan yang sulit, berjangka panjang, bahkan yang overwhelming dipecah menjadi bagian-bagian lebih kecil sehingga dapat dikerjakan secara bertahap.

(4) Involvement. Yang ditekankan dalam hal ini ialah pengambilan keputusan yang bottom-up dan komunikasi, kesempatan untuk berpartisipasi, employee empowerment, engagement, delegation,

21

dan increased autonomy have documented, hasil workplace yang diharapkan.

(5) Reward systems. PsyCap hope dapat diberi penguatan dengan pemberian reward bagi individu yang melakukan usaha untuk mencapai tujuan.

(6) Resources. Pendekatan ini berhubungan dengan PsyCap hope. Menemukan masalah dalam mencapai tujuan bukanlah suatu hal yang baru dan umum terjadi. Untuk itu menjadi suatu hal yang penting bagi individu untuk mampu mengubah usaha-usahanya agar tujuan tetap dapat tercapai. Pengubahan strategi dalam pencapaian tujuan ini tidak terlepas dari resource yang tersedia. Individu yang sulit mendapatkan akses terhadap hal-hal yang diperlukannya dalam mencapai tujuan lebih cepat membuatnya merasa hopeless dan apatis. Untuk itu dalam hal ini diperlukan resources yang berguna bagi individu dalam menemukan jalan untuk mencapai tujuan. Selain yang bersifat materil, resouces di juga berbicara mengenai hubungan yang baik antara individu dengan orang-orang di sekitarnya, untuk itu diperlukan hubungan yang baik dari orang-orang yang berpengaruh pada individu agar lebih mudah dalam menemukan jalan untuk memperoleh tujuan yang ingin dicapai.

22

(7) Strategic alignment. Pendekatan ini berbicara tentang kesesuaian strategi dengan individu yang menjalankannya. Ketika individu menciptakan strategi yang sesuai, maka kesempatannya untuk sukses akan tinggi, namun ketika tidak sesuai, maka sedikit kemungkinan baginya untuk berhasil.

(8) Training. Hal ini dibutuhkan agar individu lebih mudah dalam mencari cara untuk mencapai tujuannya atau cara menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Training yang dapat meningkatkan hope mudah dilaksanakan, interaktif, partisipatif, berorientasi pada kompetensi umum, dan dapat mengembangkan bakat menjadi kekuatan yang dapat diterapkan dalam berbagai situasi.

c. PsyCap Optimism

Dikenal juga dengan realistic and flexible. Dalam bahasa sehari-hari, seseorang dikatakan optimis ketika mereka mengharapkan kejadian yang positif di masa yang akan datang, dan dikatakan pesimis ketika selalu memiliki pikiran negatif dan berpikir akan kejadian negatif yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dalam konteks PsyCap, pengertiannya tidak hanya sebatas demikian. PsyCap optimism tergantung pada alasan dan atribusi yang digunakan seseorang untuk menjelaskan mengapa sesuatu terjadi, apakah bernilai positif atau negatif, apakah itu terjadi pada masa lalu, sekarang, atau masa depan (tidak terikat waktu).

23

Luthans, Youssef, & Avolio (2007) menjelaskan PsyCap optimism sebagai explanatory atau attributional style. Anggapan ini didasari oleh pernyataan Martin Seligman yang mendefinisikan optimism sebagai explanatory style yang mengatribusi kejadian positif secara personal, permanen, dan pervasif dan kejadian negatif secara eksternal, sementara, dan terjadi pada situasi spesifik saja (tidak menyeluruh atau pervasif), sedangkan pesimistic sebaliknya.

Namun perlu diperhatikan bahwa individu yang terlalu atau over optimistic tidak dapat dikatakan baik karena individu dapat menerima tantangan yang sebenarnya terlalu ekstrim atau membahayakan bagi dirinya ataupun orang lain. Untuk itu, Peterson (dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) menekankan agar individu memiliki “flexible optimism” dan Schneider (dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) menekankan agar memiliki “realistic optimism”. PsyCap optimism yang harus dimiliki ialah yang efektif dan tidak ekstrim, serta harus dipandang sebagai pembelajaran untuk disiplin diri, analisis hal-hal yang terjadi di masa lampau, perencanaan kontingen, dan program preventif yang tepat. Sehingga individu dengan PsyCap optimism yang positif, efektif, fleksibel, dan realistis dapat menikmati implikasinya baik secara kognitif maupun emosional karena mampu bertanggung jawab atas kesuksesannya dan memiliki kontrol atas tujuan pribadinya tanpa mengambil resiko berbahaya baik bagi dirinya maupun orang lain secara tidak sadar.

24

Individu dengan PsyCap optimism yang positif juga mampu menunjukkan rasa terima kasih mereka terhadap orang lain atau hal-hal yang berkontribusi terhadap kesuksesan mereka. Ketika menghadapi masa-masa sulit, individu dapat menyelidiki masalah, belajar dari kesalahan, menerima apa yang tidak dapat diubahnya, dan kembali melanjutkan dan fokus pada apa yang harus dikerjakannya. PsyCap optimism yang positif dapat diperoleh individu dengan melepaskan apa yang ada di masa lalu, baik itu yang bersifat positif maupun negatif; menghargai apa yang sedang terjadi saat ini; dan mencari kesempatan untuk masa yang akan datang.

d. PsyCap Resiliency

Disebut juga dengan bouncing back and beyond. PsyCap resiliency tidak hanya berarti kemampuan untuk menjadi teguh kembali setelah ditimpa kejadian atau hal buruk atau kesulitan, namun juga menjadi lebih positif dan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Suatu faktor yang mempengaruhi kualitas PsyCap resiliency individu ialah gaya kepemimpinan orang yang berkuasa terhadap dirinya. Gaya kepemimpinan yang berpengaruh positif terhadap perkembangan PsyCap resiliency ialah transformasional yang dapat dirasakan dari kharisma, pengaruh idealis, stimulasi intelektual, dan pertimbangan individualisasi orang yang berkuasa atas diri individu. Sedangkan gaya kepemimpinan yang berpengaruh negatif terhadap PsyCap efficacy ialah transaksional. Di samping itu, positive psychology

25

mengidentifikasi dan menemukan tiga faktor yang berkontribusi atau mengganggu perkembangan PsyCap resiliency ini. Ketiga faktor tersebut ialah:

(1) Resiliency assets. Masten dan Reed (dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) mendefinisikan aset resiliency sebagai karakteristik situasi dalam kelompok individu yang dapat diukur yang memprediksi hasil positif di masa depan dalam kriteria hasil yang spesifik. Faktor ini mengidentifikasi kemampuan kognitif, temperamen, persepsi diri yang positif, keyakinan, pandangan terhadap hidup, stabilitas emosi, regulasi diri, a sense of humor, ketertarikan secara umum sebagai aset potensial yang dapat berkontribusi terhadap peningkatan resiliency (Masten dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Wolin dan Wolin (dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) menambahkan daftar aset dari resiliency yakni insight, kemandirian, hubungan, inisiatif, kreativitas, humor, dan moral. Berdasarkan aliran psikologi positif, beberapa penekanan berada pada pentingnya aset hubungan dan kontribusinya dengan resiliency, khususnya dalam konteks menerima keragaman atau pengalaman negatif. Gorman (dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) mendukung hubungan integral baik secara personal maupun aset yang berdasarkan pada hubungan dalam perannya meningkatkan resiliency dengan menunjukkan bahwa individu yang dapat menemukan dan mengasah talentanya

26

dan menemukan mentor yang efektif untuk dapat berhasil dalam bidangnya akan memiliki kemampuan untuk bouncing back dan menjadi sukses.

(2) Resiliency risk factors. Masten dan Reed (dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) mendefinisikan resiliency risk factors sebagai faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya kemungkinan outcome yang tidak diharapkan. Kirby & Fraser (dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) menyebutnya sebagai “vulnerability factors” dan mengatakan faktor-faktor resiko ini mencakup pengalaman yang jelas merusak dan disfungsi seperti penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan (Johnson, Bryant, Collins, Noe, Strader, & Berbaum; & Sandau-Beckler, Devall, & de la Rosa dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007), dan pengalaman traumatik seperti kekerasan (Qouta, El-Sarraj, & Punamaki dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Resiko-resiko ini juga dapat mencakup faktor yang samar dan bertahap namun merusak seperti stres dan burnout (Baron, Eisman, Scuello, Veyzer, & Lieberman; & Smith & Carlson dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007), kesehatan yang tidak baik, pendidikan rendah, dan pengangguran (Collins dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Faktor-faktor resiko ini dapat menyebabkan individu mengalami pengalaman yang tidak diharapkan secara intens sehingga kemungkinan munculnya outcome yang negatif dapat meningkat (Cowan, et al.;

27

& Masten dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Namun, munculnya faktor-faktor resiko ini tidak dapat dipandang sebagai hal yang menyebabkan kegagalan dan berkurangnya resiliency. Faktor-faktor resiko ini tidak dapat dielakkan. Oleh karena itu,

Dokumen terkait