• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil dan Pembahasan Analisis Prioritas Kebijakan

VIII. PRIORITAS KEBIJAKAN

8.3. Hasil dan Pembahasan Analisis Prioritas Kebijakan

Prioritas kebijakan pemberantasan IL di Indonesia berdasarkan hasil analisis data melalui pendekatan AHP disajikan pada Gambar 33. Secara umum hasil yang disajikan pada Gambar 33 menunjukkan bahwa faktor, aktor, tujuan, dan alternatif kebijakan yang memiliki nilai prioritas tertinggi adalah faktor penegakan hukum, aktor pemerintah, tujuan untuk pemulihan ekosistem hutan, dan menerapkan kebijakan yang bersifat

command and control.

Gambar 33. Hirarki Hasil AHP Kebijakan Pemberantasan IL di Indonesia

Hasil analisis menunjukkan bahwa prioritas faktor yang mempengaruhi pemberantasan IL di Indonesia adalah: penegakan hukum (0,483), pemberdayaan ekonomi masyarakat (0,257), pelaksanaan sistem pengelolaan hutan berkelanjutan yang konsisten (0,198), serta peningkatan pendapatan nasional dan regional (0,093) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 34. Penegakkan hukum (law enforcement) dalam pemberantasan IL di Indonesia masih dianggap lemah dan belum menimbulkan efek jera terhadap pelaku IL. Penegakan hukum yang efektif tentunya tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh upaya

pemberdayaan masyarakat sebagai bagian terpadu dalam sistem pengelolaan hutan. Oleh karena itu, konsistensi pelaksanaan sistem pengelolaan hutan disamping berkontribusi terhadap perbaikan lingkungan juga berkontribusi terhadap pendapatan nasional dan daerah.

0.451 0.257 0.198 0.093 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0.5

Penegakan Hukum Ekonomi Masyarakat Sistem Pengelolaan Hutan Berkelanjutan

Pendapatan Nasional dan Daerah FAKTOR

BOBOT

Gambar 34. Urutan Prioritas Faktor yang Mempengaruhi Pemberantasan IL di Indonesia

Urutan prioritas aktor yang mempengaruhi pemberantasan IL di Indonesia adalah: Pemerintah (0,342), Pemerintah Daerah (0,267), Aparat Penegak Hukum (0,204), Masyarakat (0,102), dan LSM (0,085) (Gambar 35). Praktek IL di Indonesia yang sangat menghawatirkan perlu diberantas melalui sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan oleh besarnya intensitas praktek IL dan dampaknya terhadap lingkungan, kehidupan ekonomi masyarakat, dan pembangunan.

0.342 0.267 0.204 0.102 0.085 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4

Pemerintah Pemerintah Daerah Aparat Penegak Hukum M asyarakat LSM AKTOR

BOBOT

Gambar 35. Urutan Prioritas Aktor yang Mempengaruhi Pemberantasan IL di Indonesia

Pemerintah bersama dengan lembaga legislatif sebenarnya dapat merumuskan dan menerapkan kebijakan yang paling efektif untuk menimbulkan dampak jera bagi pelaku IL. Pemerintah dengan kewenangannya selain menerapkan kebijakan hukum pemberantasan IL, juga dapat menetapkan kebijakan lainnya untuk mempersempit ruang gerak pelaku IL, misalnya: (a) menetapkan kebijakan penggunaan bahan baku industri berbasis hasil hutan harus berasal dari sumber yang sah dan legal; (b) menetapkan kriteria legalitas kayu; (c) menetapkan kebijakan pengelolaan hutan yang bebas korupsi dan kolusi; (d) memberikan insentif kepada pelaku dunia usaha kehutanan yang mampu mengelola hutannya dengan berkelanjutan; (e) meningkatkan kerjasama dengan dunia internasional dalam pemberantasan IL, khususnya yang berkaitan dengan perdagangan kayu internasional, baik berupa kerjasama bilateral maupun multilateral.

Pemerintah daerah berkontribusi besar terhadap keberhasilan pemberantasan IL di daerahnya, dimana hutan berada di wilayahnya. Dukungan penuh pemerintah daerah dalam pemberantasan IL merupakan kunci penting pemberantasan IL. Kebijakan daerah yang pro-ekologis tentunya akan sangat membantu efektifnya pemberantasan IL, namun sebaliknya kebijakan daerah yang lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi akan menjadi kendala pemberantasan IL.

Permasalahan IL yang cenderung mengarah terhadap pelanggaran aturan hukum kehutanan memerlukan peranan aparat penegak hukum, baik instansi kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Tiga institusi penegak hukum tersebut diharapkan mampu berjalan secara harmonis, sehingga proses penegakan hukum dapat berjalan dengan baik dan memberikan dampak jera terhadap pelaku IL.

Selain itu, partisipasi masyarakat dalam pemberantasan IL sangat

penting, dimana tanpa dukungan masyarakat maka program

pemberantasan IL tidak akan berjalan efektif. Masyarakat sekitar hutan dengan kondisi ekonomi yang miskin menjadikan kegiatan penebangan kayu, baik legal maupun ilegal sebagai sumber pekerjaannya karena tidak

ada pilihan pekerjaan yang lebih baik. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat dalam pemberantasan IL harus disertai dengan upaya peningkatan kesejahteraannya, dimana tanpa terpenuhinya kebutuhan hidup, maka hutan yang ada di sekitarnya menjadi tumpuan untuk bertahan hidup. Pemberantasan IL perlu didukung oleh LSM yang berperan untuk membantu aparat dalam memberikan data informasi kejadian IL, serta memfasilitasi masyarakat untuk meningkatkan kehidupannya.

Hasil analisis (Gambar 36) menunjukkan bahwa tujuan pemberantasan IL di Indonesia lebih diprioritaskan pada upaya untuk memulihkan ekosistem hutan (0,526), meningkatkan nilai ekonomi hutan (0,295), dan meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonommi (0,179). Akibat praktek IL yang tidak terkendali meningkatkan lahan kritis yang terdegradasi kualitasnya. Hutan yang terdegradasi memiliki nilai tangible dan intangible yang rendah, sehingga untuk meningkatkan nilai manfaat hutan memerlukan upaya pemulihan ekosistem hutan. Hutan yang kembali baik akan memberikan manfaat yang optimal pula, sehingga nilai ekonomi hutan akan meningkat. Dengan meningkatnya nilai ekonomi hutan, maka akan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi wilayah.

0.526 0.295 0.179 0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600

Pem ulihan Ekosistem Hutan

Peningkatan Nilai Ekonom i Hutan

Peningkatan Kesejahteraan dan Pertum buhan Ekonom i TUJUAN

BOBOT

Gambar 36. Urutan Prioritas Tujuan yang Mempengaruhi Pemberantasan IL di Indonesia

Dalam melakukan pemberantasan IL di Indonesia, kebijakan yang bersifat command and control menempati prioritas pertama (0,500), yang selanjutnya berupa kebijakan yang bersifat insentif/disinsentif (0,315), serta gabungan antara dua kebijakan sebelumnya (0,186) (Gambar 36). Kebijakan command and control dipandang perlu diterapkan dalam pemberantasan IL di Indonesia karena: (a) Tingkat kekritisan lahan hutan akibat praktek IL berada pada taraf mengkhawatirkan dan sebagian diantaranya menjadi pemicu terjadinya bencana alam dan bencana ekologis yang sangat mengganggu kehidupan masyarakat dan pembangunan. Oleh karena itu, penanganan yang cepat dan terpusat masih diperlukan; dan (b) Tingkat ketaatan terhadap hukum (law compliance) masyarakat terhadap aturan hukum kehutanan relatif masih rendah, sehingga upaya penegakan hukum masih diperlukan untuk mengarahkan perilaku masyarakat agar patuh terhadap aturan hukum yang telah ditetapkan. Apabila ketaatan masyarakat terhadap aturan hukum meningkat, maka kebijakan insentif dan disinsentif secara ekonomi dapat diberlakukan. 0.500 0.315 0.186 0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600

Kebijakan Pemberantasan Illog Bersifat Command and Control

Kebijakan Pemberantasan Illog Bersifat Incentives and

Disinsentives

Gabungan Kebijakan Pemberantasan Illog Bersifat Command and Control dengan

Incentives and Disinsentives ALTERNATIF KEBIJAKAN

BOBOT

Gambar 37. Urutan Prioritas Alternatif Kebijakan yang Mempengaruhi Pemberantasan IL di Indonesia

8.4. Kesimpulan

Faktor, aktor, tujuan, dan alternatif kebijakan yang mempengaruhi upaya pemberantasan IL di Indonesia dengan nilai prioritas tertinggi adalah faktor penegakan hukum, aktor pemerintah, tujuan untuk pemulihan ekosistem hutan, dan menerapkan kebijakan yang bersifat command and control.

Penegakan hukum yang lemah menyebabkan pelanggaran terhadap aturan hukum yang telah ada makin tinggi, karena tidak memberikan efek jera bagi pelaku dan jaringannya. Oleh karena itu penegakan hukum yang tegas, konsisten, dan tidak diskriminatif sangat dibutuhkan dalam pemberantasan IL di Indonesia. Untuk mendorong hal tersebut, Pemerintah dengan otoritas yang dimilikinya dapat menerapkan kebijakan lingkungan yang ketat sekalipun karena karakteristik IL di Indonesia yang masif di dalam sistem tata kelola pemerintahan yang masih koruptif-kolusif akan sulit diberantas. Kebijakan yang bersifat command and control perlu dikedepankan ketika tingkat ketaatan dan kepatuhan terhadap hukum rendah. Untuk mengurangi makin luasnya lahan hutan yang terdegradasi akibat IL, tindakan represif dan persuasif adalah pilihan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum beserta stakeholders lainnya untuk menyelamatkan hutan tropis Indonesia. Kebijakan pemberantasan IL pada akhirnya ditujukan untuk mencapai tujuan pemulihan ekosistem hutan, sehingga nilai manfaat hutan yang sebelumnya mengalami degradasi dan deplesi akan kembali pulih.

Dokumen terkait