• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daging berperan penting dalam pemenuhan nutrisi bagi manusia. Namun saat ini banyak digunakan hormon sebagai pemacu pertumbuhan di peternakan-peternakan sapi sehingga berisiko meninggalkan residu hormon dalam daging. Keberadaan residu hormon dalam daging menyebabkan daging tidak aman dikonsumsi. Perlu dilakukan pengujian hormon untuk melindungi kesehatan konsumen (Nazli 2003). Metode pengujian residu hormon dengan menggunakan

Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan metode uji residu

hormon yang sensitif, akurat, relatif murah, dan mudah pengerjaannya (Indriani et al. 2002; Mahgoub et al. 2006). Hasil pengujian ELISA pada residu MGA dilakukan dengan mengkalkulasikan hasil uji sampel dengan kurva standar uji ELISA. Kurva standar memiliki peranan penting sebagai acuan dalam menetapkan besarnya residu MGA. Limit deteksi ELISA yang digunakan untuk mendeteksi residu MGA adalah 0.075 ppb. Limit deteksi merupakan tingkat konsentrasi terendah yang dapat dideteksi dari suatu substansi. Kurva standar MGA disajikan pada Gambar 3.

26

Residu Melengestrol Asetat dalam Daging yang Berasal dari Australia

Pengujian sampel daging yang berasal dari Australia terhadap residu MGA dengan ELISA didapatkan hasil sebanyak 6 dari 59 sampel (10.17%) positif mengandung MGA. Kisaran (range) kandungan residu MGA dengan ELISA yang

terdeteksi pada sampel daging yang berasal dari Australia sebesar 0.222-0.342 ppb, dengan nilai rata-rata residu MGA sebesar 0.256±0.018 ppb.

Hasil pengujian sampel daging yang diimpor dari Australia disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil pengujian MGA dalam daging yang diimpor dari Australia Negara Asal N n positif %

positif Kode sampel Konsentrasi (ppb) Australia 59 6 10.17 % A7 0.243 A10 0.255 A53 0.342 A57 0.224 A58 0.249 A59 0.222

Australia menggunakan hormon pemacu pertumbuhan (hormonal growth

promotants/HGPs) di peternakan sapi dengan tujuan untuk meningkatkan berat

badan dan mengurangi biaya pada masa penggemukan sapi (Read dan Tudor 2004). Tidak tersedia data mengenai penggunaan hormon MGA di Australia. Hasil uji ELISA menunjukkan 6 sampel daging yang positif mengandung MGA, dapat mengindikasikan kemungkinan penggunaan MGA sebagai imbuhan pakan di peternakan sapi di Australia. Hormon yang umum digunakan di Australia yaitu Progro H (oestradiol dan testosterone), Progro T-S (trenbolone acetate), Progro TE-S (estradiol dan trenbolone acetate), Ralgro, Synovex dengan trenbolone acetate, Synovex C-Calf GP, Synovex H-Heifer G dan FI, Synovex S-Steer G dan FI, Progro S (estradiol dan progesterone). Kombinasi terapi progesteron dan estradiol tersebut secara rutin digunakan untuk mengobati anestrus pada sapi di Australia dan di Selandia Baru (Macmillan et al. 2003). Terapi kombinasi estradiol dan progesteron juga dapat diberikan pada sapi pejantan yang berusia

27

6 minggu (Read dan Tudor 2004). Namun kombinasi terapi tersebut memiliki kekurangan yaitu dapat mengakibatkan atresia dini folikel ovarium (Macmillan et al. 2003).

Kandungan residu MGA dalam sampel yang diperoleh pada pengujian ELISA lebih rendah bila dibandingkan dengan BMR MGA yang ditetapkan oleh BSN sebagaimana tercantum dalam SNI No. 01-6366-2000 untuk daging yaitu sebesar 25 ppb. Kandungan residu MGA tersebut juga lebih rendah bila dibandingkan dengan batas maksimum residu MGA yang ditetapkan CAC untuk daging yaitu sebesar 5 ppb.

Residu Melengestrol Asetat dalam Daging yang Berasal dari Selandia Baru

Dua dari 59 sampel daging (3.39%) yang berasal dari Selandia Baru menunjukkan hasil positif mengandung MGA. Nilai rata-rata kandungan residu MGA dalam daging sebesar 0.315±0.006 ppb. Hasil pengujian sampel daging yang diimpor dari Selandia Baru disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil pengujian MGA dalam daging yang diimpor dari Selandia Baru

Negara Asal N n positif positif % sampel Kode Konsentrasi (ppb) Selandia Baru 59 2 3.39 S58 0.321

S59 0.309

Selandia Baru merupakan salah satu negara yang memperbolehkan penggunaan hormon MGA di peternakan sapi. Nilai kandungan residu MGA yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan batas maksimum residu MGA yang ditetapkan dalam SNI No. 01-6366-2000 untuk daging yaitu sebesar 25 ppb. Kandungan residu MGA tersebut juga lebih rendah bila dibandingkan dengan batas maksimum residu MGA yang ditetapkan CAC untuk daging sebesar 5 ppb.

Kandungan residu MGA dalam sampel yang positif juga lebih rendah bila dibandingkan dengan Maximum Permissible Level (MPL) MGA dalam daging sapi dan offal yang ditetapkan pemerintah Selandia Baru yaitu sebesar 1 ppb.

28

Beberapa hormon pemacu pertumbuhan (hormonal growth promotants/HGPs) lain yang umum digunakan di Selandia Baru yaitu 17α-19-nortestosteron, boldenon, trenbolon, β-agonist (ractopamin), altrogenest (progesteron), delmadione, dienoestrol (estrogen), flugestone dan megestrol (NZFSA 2008; DAFF 2009).

Perbandingan Residu Melengestrol Asetat dalam Daging Sapi yang Berasal dari Australia dan Selandia Baru

Sampel daging yang berasal dari Australia menunjukkan hasil positif mengandung MGA sebesar 6 dari 59 sampel (10.17%) sedangkan sampel yang berasal dari Selandia Baru menunjukkan hasil 2 dari 59 sampel (3.39%) positif mengandung MGA. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah sampel yang positif mengandung MGA lebih banyak ditemukan dalam daging yang berasal dari Australia dibandingkan dengan daging yang berasal dari Selandia Baru. Rataan (mean) residu MGA pada sampel dari Selandia Baru memiliki nilai yang lebih tinggi daripada sampel dari Australia. Rataan residu MGA untuk daging yang berasal dari Australia sebesar 0.256±0.018 ppb, sedangkan daging dari Selandia Baru sebesar 0.315±0.006 ppb. Hasil perbandingan nilai rata-rata, tingkat minimum dan maksimum pada sampel daging yang positif mengandung residu MGA disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Perbandingan keberadaan residu MGA dalam daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru

Negara Asal N Sampel positif Konsentrasi MGA (ppb) n (%) Min Max Mean Australia 59 6 10.17 0.222 0.342 0.256±0.018 Selandia Baru 59 2 3.39 0.309 0.321 0.315±0.006

Pengujian kandungan MGA dalam daging yang berasal dari Australia dan Selandia Baru, menunjukkan angka yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Nilai kandungan residu MGA tersebut dapat dinyatakan lebih rendah bila dibandingkan dengan batas maksimum residu MGA yang ditetapkan SNI No. 01-6366-2000

29

untuk daging yaitu sebesar 25 ppb. Kandungan residu MGA tersebut juga lebih rendah bila dibandingkan dengan batas maksimum residu MGA yang ditetapkan CAC untuk daging sebesar 5 ppb.

Keberadaan residu hormon dalam daging pada penelitian ini mengindikasikan bahwa terdapat kemungkinan bahwa daging yang positif mengandung MGA pada penelitian ini berasal dari sapi-sapi telah diberikan imbuhan pakan yang mengandung MGA atau diberikan terapi dengan menggunakan hormon progesteron maupun hormon sintetik progesteron lainnya. Imbuhan pakan yang mengandung MGA dapat diberikan dalam jangka pendek sebelum pengiriman ataupun sebelum sapi dipotong. Hasil pengujian residu hormon MGA lebih rendah dari batas maksimal residu MGA mengindikasikan penggunaan MGA di negara asal telah mengikuti protokol withdrawal time yang telah ditetapkan yaitu 48 jam sebelum pemotongan (Mahgoub et al. 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Peng et al. (2008a) menunjukkan bahwa pada pakan hewan yang mengandung progestogen ataupun progesteron < 10 ppb tidak mengakibatkan akumulasi residu hormon dalam jaringan hewan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar progestogen maupun progesteron akan dimetabolisme secara cepat dan menyeluruh di hati (Whisnant 2006; Peng et al. 2008a). Pengaruh MGA pada masing-masing hewan coba menunjukkan hasil yang bervariasi tergantung pada tingkat eliminasi dan absorpsi saluran pencernaan masing-masing hewan coba, sehingga sulit untuk memperkirakan efek dan kerja MGA jika MGA diberikan secara oral (Alvarez et al. 2007).

Penelitian Fritsche dan Steinhart (1998) mendapatkan hasil konsentrasi progesteron sebesar 0.06 ppb pada daging sapi yang berasal dari sapi pejantan yang dikastrasi. Progesteron dalam serum dapat berbentuk komponen yang bebas ataupun berikatan dengan protein (Doyle 2000). Konsentrasi progesteron pada sapi betina tergantung umur, status kebuntingan status fisiologis, serta status hormonal sapi betina sebelum pemotongan (Toews dan McEwen 1994). Daging yang berasal dari sapi pejantan dan sapi betina dapat dibedakan dengan membandingkan hormon progestron dengan prekursor pregnenolone dalam jaringan menggunakan metode GC-MS yang dapat membedakan struktur hormon

30 C H3 O O CH3 CH3

dan komponen metabolit dalam bahan pangan (Fritsche dan Steinhart 1998; Doyle 2000).

Melengestrol asetat memiliki aktifitas progestasional dan glukokortikoid. Aktivitas progestasional MGA secara in vivo pada sapi telah terbukti sekitar 125 kali lebih besar bila dibandingkan dengan progesteron (WHO 2009). Sapi jantan yang diterapi dengan MGA pada fase awal penggemukan menunjukkan peningkatan berat tubuh secara signifikan (Roberts 2000).

Senyawa MGA memiliki kemiripan bentuk rantai dengan progesteron, akan tetapi berbeda pada proses metabolisme dalam tubuh. MGA secara cepat dimetabolisme di hati sedangkan progesteron pada dosis rendah tidak hanya dimetabolisme dihati tetapi juga dimetabolisme dalam mukosa gastrointestinal (Golub et al. 2006; Simon 1995). Struktur kimia progesteron dan MGA tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4 Struktur kimia progesteron dan melengestrol asetat.

Bahaya Residu Hormon dalam Daging Sapi Impor Terhadap Kesehatan Masyarakat

Progesteron secara alamiah diproduksi dalam tubuh manusia, namun konsentrasinya berbeda-beda tergantung dari jenis kelamin, umur, gizi makanan, aktivitas (exercise), serta pada wanita berhubungan erat dengan kehamilan dan siklus menstruasi. Asupan kalori juga mempengaruhi kadar progesteron dalam serum darah wanita premenopause (Doyle 2000). Pada beberapa studi menunjukkan bukti adanya kemungkinan pengaruh konsumsi progesteron yang

(a) Progesteron (b) Melengestrol asetat

CH3 C H3 O O CH3 CH3 CH3 H H O CH3 O CH3

31

dapat meningkatkan kejadian asma pada pasien yang diberikan terapi progesteron dan kanker prostat pada pria (Doyle 2000; WHO 2009; Stephany 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Lange et al. (2002) menunjukkan efek kesehatan yang muncul pada manusia terhadap hormon sintetik berupa gangguan fungsi endokrin dan mempengaruhi reproduksi. Risiko terbesar akibat konsumsi hormon sintetik yang terkandung dalam produk makanan (daging) adalah dapat mengakibatkan efek teratogenik. Hal ini dikarenakan hormon sintetik dapat menembus plasenta dan dapat dideteksi pada jaringan fetal kelinci (WHO 2009).

Progesteron berperan dalam peningkatan jumlah dan tingkat pembelahan sel. Selain itu, progesteron (hormon steroid) memiliki sifat karsinogenik, dikarenakan steroid mampu mendorong terjadinya mutasi gen dalam sel tubuh yang dapat mengakibatkan terjadinya perkembangan sel abnormal dan pembentukan sel kanker. Konsentrasi dalam plasma darah manusia setelah mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung MGA sebanyak 0.03 ppb adalah sebesar 0.5-1 pg/ml atau setara dengan 4000 kali dosis yang diperlukan untuk merangsang proliferasi sel MCF-7 sebagai penanda adanya aktifitas estrogenik (EFSA 2007; WHO 2009).

Penggunaan hormon pada ternak telah dilarang di Indonesia sejak tahun 1983, serta penggunaan hormon diizinkan hanya untuk penanganan gangguan reproduksi dan tujuan terapi dengan pengawasan dokter hewan termasuk pengontrolan masa henti obat (withdrawal time). Hormon termasuk dalam golongan obat keras. Obat keras adalah obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter. Obat keras ini berkhasiat keras dan jika pemakaiannya tidak berdasarkan resep dokter akan mengakibatkan efek berbahaya, meracuni tubuh atau menyebabkan kematian (RI 2009).

Masalah keamanan pangan di Indonesia diatur dalam Udang-undang RI nomor 7 tahun 1996 (RI 1996) tentang pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan (RI 2004). Lukman et al. (2007) mendefinisikan keamanan pangan sebagai jaminan agar bahan pangan tidak membahayakan konsumen pada saat disiapkan dan atau dimakan menurut kebutuhannya, sedangkan menurut Undang-undang nomor 7 Tahun 1996 keamanan pangan adalah kondisi daya upaya yang

32

diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan adanya residu dan cemaran biologis, kimia dan fisik atau benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pada UU Nomor 7 Tahun 1996 mengatur pelarangan penggunaan bahan tambahan pangan yang telah dinyatakan terlarang, dan bagi bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya serta dapat digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan setelah memperoleh persetujuan pemerintah (RI 1996).

Badan Karantina Pertanian sebagai institusi terdepan dalam pengawasan pemasukan komoditi impor perlu menyempurnakan kebijakan pengujian terhadap bahan pangan yang masuk ke Indonesia demi mencegah masuknya bahan pangan yang dapat membahayakan kesehatan konsumen. Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian nomor 513.a/Kpts/OT.210/L/12/2008 tentang manual pengujian residu hormon pada pangan segar asal hewan, keputusan tersebut hanya berupa acuan bagi petugas karantina hewan dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan keamanan pangan dan memberikan pedoman dalam melakukan pengujian pangan asal hewan terhadap kemungkinan adanya residu hormon dan belum ditetapkan menjadi persyaratan wajib dilakukan pengujian hormon (Barantan 2008). Adanya hasil sampel daging yang positif mengandung MGA pada penelitian ini dapat menjadi informasi penting tentang perlunya pengawasan yang ketat terhadap daging maupun produk pangan yang diimpor, serta pengujian residu hormon perlu ditetapkan sebagai suatu kewajiban atau persyaratan mutlak untuk dilakukan secara rutin di tiap-tiap UPT karantina yang menjadi tempat pemasukan daging impor.

33

Dokumen terkait