Pengujian antibakteri ekstrak etanol pegagan terhadap E. faecalis diawali dengan pembuatan ekstrak pegagan. Pegagan yang diperlukan sebanyak 3 kg dan diperoleh simplisia 390 gram yang disesuaikan dengan kapasitas perkolator untuk sekitar 300-400 gram simplisia dan dilarutkan dengan etanol 96%. Pemilihan etanol 96% sebagai pelarut dikarenakan pelarut ini bersifat universal yang dapat menarik sebagian besar senyawa polar dan non polar yang terkandung dalam tanaman pegagan.15
Pengukuran aktifitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode tes konvensional, yang terdiri dari disk diffusion dan broth dilution (dilusi). Metode disk diffusion dilakukan dengan meletakkan suatu disk antibiotik (bahan uji) di permukaan media agar yang telah ditanam bakteri, kemudian bahan uji akan berdifusi dan zona hambat diukur di sekitar disk (dalam milimeter).33 Metode disk diffusion tergantung pada daya difusi bahan uji dan juga tidak memberikan data yang lebih tepat mengenai tingkat resisten ataupun kerentanan mikroba. Pada metode dilusi dilakukan serangkaian pengenceran sehingga didapat konsentrasi bahan coba yang besarnya setengah dari konsentrasi awal.33,34
Penelitian ini menggunakan metode dilusi dikombinasi dengan metode Drop Plate Miles Mesra. Pada metode dilusi, konsentrasi dimulai dari 100%, 50%, 25%, 12,5%, 6,25%, dan 3,125%. Pada setiap konsentrasi dilakukan replikasi sebanyak 4 kali untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dan mengetahui jumlah rata-rata
bakteri yang tumbuh dalam beberapa konsentrasi karena jumlah bakteri yang tumbuh tidak sama walaupun pada konsentrasi yang sama. Penelitian ini menggunakan metode dilusi untuk menentukan nilai KHM. KHM dapat dilihat dari konsentrasi minimal ekstrak yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri yang tampak secara visual. Akan tetapi, nilai KHM tidak dapat diketahui karena pada bahan coba tidak terlihat larutan yang tampak jernih dari semua konsentrasi yang diuji. Hal ini bisa disebabkan oleh pertumbuhan kuman yang cepat atau tumpukan sel bakteri yang mati, sehingga tidak bisa dipastikan kejernihan atau kekeruhan sebagai kontrol keberhasilan kerja bahan uji antibakteri tersebut.
Selain itu, tidak terjadinya perubahan kekeruhan diduga karena efek dari bahan uji. Senyawa yang bersifat non polar pada tanaman pegagan kemungkinan mengalami pemisahan dari larutan MHB yang bersifat polar.35 Hal ini berdasarkan pada prinsip kelarutan yaitu pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, pelarut semi polar dengan senyawa semi polar, dan pelarut non polar dengan senyawa non polar15, maka terpisahnya senyawa non polar disebabkan oleh tidak larutnya senyawa tersebut dalam MHB. Dengan begitu, larutan pada MHB tetap berwarna keruh untuk semua konsentrasi.
Nilai KBM dapat diketahui dari konsentrasi minimal bahan uji yang dapat membunuh 99,9% kuman setelah dilakukan uji dilusi dan tidak terlihat pertumbuhan bakteri pada media perbenihan. Untuk menentukan nilai KBM, metode uji yang digunakan adalah Drop Plate Miles Mesra. Setelah ditanam dalam MHA dan diinkubasi selama 24 jam, terlihat bahwa pada konsentrasi 100% bakteri mati seluruhnya (steril), begitu juga pada konsentrasi 50% dan 25%. Sementara, terlihat
adanya pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 12,5%, 6,25% dan 3,125% tetapi jumlah bakteri tidak bisa untuk dihitung (TBUD). Hal ini disebabkan oleh koloni yang tumbuh terlalu banyak ( > 300 koloni). Jika jumlah koloni bakteri yang tumbuh > 300 koloni, maka tidak dilanjutkan perhitungan koloni pada MHA karena akan memberikan hasil yang bias. Oleh sebab itu, hasil pada konsentrasi 12,5%, 6,25% dan 3,125% termasuk ke dalam kategori TBUD.
Pengujian dilanjutkan dengan memperkecil rentang konsentrasi yaitu di antara 12,5% - 25% dengan tujuan untuk mendapatkan nilai KBM yang lebih kecil yang mampu membunuh seluruh bakteri. Setelah dilakukan uji dengan konsentrasi 15%, 17,5%, 20%, dan 22,5%, didapat hasil bahwa pada semua konsentrasi tidak dijumpai adanya pertumbuhan bakteri atau seluruh bakteri mati, sehingga diperoleh nilai KBM adalah 15%. Dengan demikian, hipotesis penelitian ini diterima yaitu ada efek antibakteri ekstrak etanol pegagan terhadap E. faecalis dengan KBM 15%, meskipun tidak dapat diuji secara statistik disebabkan hasil yang diperoleh adalah 0 dan TBUD.
Pengujian antibakteri ekstrak etanol pegagan terhadap E. faecalis dengan KBM 15% kemungkinan akan memberikan hasil yang tidak sama apabila bahan ini digunakan secara klinis pada saluran akar. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini bakteri berkontak langsung dengan bahan uji sehingga efektif dalam membunuh seluruh bakteri E. faecalis pada konsentrasi 15%, sedangkan penggunaan bahan ini di saluran akar tidak selalu dapat berkontak dengan bakteri karena adanya invasi bakteri ke dalam tubulus dentin.
Efek antibakteri yang dimiliki oleh pegagan disebabkan karena tanaman ini memiliki banyak senyawa aktif, seperti triterpenoid saponin, flavonoid, tanin dan alkaloid. Senyawa saponin dapat melakukan mekanisme penghambatan dengan cara membentuk senyawa kompleks dengan membran sel melalui ikatan hidrogen, sehingga dapat menghancurkan sifat permeabilitas dinding sel dan akhirnya dapat menimbulkan kematian sel.31 Pada tumbuhan, flavonoid disintesa sebagai respon terhadap infeksi mikroba. Sebagai antimikroba, flavonoid dapat membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler dan dinding sel bakteri. Selain itu flavonoid yang bersifat lipofilik dapat merusak membran mikroba.32
Aktifitas tanin sebagai antibakteri melalui 3 mekanisme yaitu pertama, tanin bersifat astringen (zat yang menciutkan); tanin dapat membentuk kompleks dengan enzim mikroba ataupun substrat. Kedua, tanin masuk melalui membran mikroba, untuk mencapai membran tanin harus melewati dinding sel mikroba. Dinding sel terbuat dari polisakarida dan protein yang berbeda yang memungkinkan bagian dari tanin masuk. Ketiga, tanin membentuk kompleks dengan ion metal. Kebanyakan tanin memiliki lebih dari dua grup o-difenol pada molekulnya, yang dapat mengkelat ion-ion metal seperti Cu dan Fe. Tanin mereduksi ketersediaan ion metal esensial untuk mikroorganisme. Sementara alkaloid diduga dapat mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut.32
Berdasarkan komponen penyusun dinding sel serta reaksi terhadap pewarnaan gram, maka bakteri dibagi dalam golongan gram positif dan negatif. E. faecalis merupakan bakteri gram positif yang komponen dinding selnya relatif sederhana.
Struktur selubung sel hanya terdiri dari 2-3 lapis yaitu membran sitoplasma, lapisan peptidoglikan, kapsul/lapis S dan dinding sel tersusun atas teichoic, teichuronic acid dan polisakarida (Gambar 18).36 Pada bakteri gram positif, terdapat 40 lembar peptidoglikan dan merupakan 50% dari seluruh komposisi dinding sel.36 Lapisan peptidoglikan ini berfungsi untuk menahan pecahnya sel yang disebabkan oleh tekanan osmotik sitoplasmik yang tinggi24, sehingga diduga hal ini yang menyebabkan ekstrak etanol pegagan memerlukan konsentrasi yang besar untuk menghambat serta membunuh E. faecalis.
Gambar 18. Struktur dinding sel bakteri gram positif37
Bakteri bisa mengalami suatu keadaan yang tidak sesuai untuk pertumbuhan dan pembelahan sel. Pada kondisi tersebut, bakteri tidak mampu membentuk koloni tetapi masih tetap hidup dan dibantu oleh aktifitas metabolik. Kondisi ini disebut dengan fase Viable But Nonculturable Cell (VBNC). Awalnya VBNC ditemukan pada bakteri gram negatif, tetapi baru-baru ini diketahui bahwa bakteri gram positif seperti E. faecalis memiliki kemampuan ini. E. faecalis dapat sedikit memanjang dan
memiliki kemampuan untuk lebih tahan terhadap gangguan mekanis disebabkan oleh jumlah LTA yang bertambah menjadi 2 kali lipat sehingga dinding sel lebih kuat38.
Penelitian yang dilakukan oleh Jagtap (2009) menunjukkan bahwa ekstrak etanol pegagan mempunyai efek antibakteri terhadap beberapa mikroba, yaitu B. subtilis dengan nilai KHM 62,5 µg/ml, A. flavus (62,5 µg/ml), P.vulgaris (125 µg/ml), S.aureus (125 µg/ml), E. coli (125 µg/ml), A. niger (125 µg/ml), dan C. albicans (125 µg/ml).16 Sementara, pengujian efek antibakteri ekstrak etanol pegagan terhadap E. faecalis diperoleh nilai KBM sebesar 15%. Perbedaan hasil dari dua penelitian tersebut disebabkan oleh metode penelitian yang berbeda. Jagtap menggunakan metode disk diffusion untuk mencari nilai KHM, sementara dalam penelitian ini digunakan metode dilusi dikombinasi dengan metode Drop Plate Miles Mesra untuk mengetahui nilai KHM dan KBM.
Asal tanaman pegagan yang berbeda kemungkinan akan memberikan hasil uji yang berbeda pula. Hal ini disebabkan oleh keadaan geografis tanaman dari masing- masing daerah sehingga kadar senyawa aktif yang terkandung dalam kedua tanaman tidak sama antara satu dengan yang lain. Pegagan yang digunakan peneliti berasal dari Desa Durian, Kec. Pantai Labu Deli Serdang, sedangkan tanaman pegagan pada penelitian Jagtap berasal dari Amravati, India.
Tanaman pegagan tidak hanya mempunyai daya antibakteri, tetapi juga efek antinosiseptif dan antiinflamasi. Penelitian yang dilakukan Somchit et al. (2004) menunjukkan ekstrak pegagan mempunyai efek antinosiseptif dengan melihat persentase hambat terhadap konstriksi abdominal pada tikus percobaan, dimana penghambatan maksimal pada dosis 300 mg/kg dengan persentase hambat 85,4%.
mempunyai efek yang serupa dengan obat kontrol aspirin (100 mg/kg). Pengaruh ekstrak pegagan pada pelepasan mediator inflamasi PGE2 memperlihatkan efek antiinflamasi terhadap tikus percobaan pada dosis 4 mg/kg sama dengan asam mefenamat (10 mg/kg). Sedangkan, pada dosis 10 mg/kg ekstrak pegagan memberikan efek lebih besar dibandingkan dengan asam mefenamat.39 Berdasarkan uraian tersebut, kemungkinan tanaman pegagan bisa dikembangkan sebagai alternatif medikamen saluran akar. Salah satu bentuk sediaan pegagan yang mungkin dibuat sebagai alternatif medikamen saluran akar ialah berbentuk pasta. Namun, perlu penelitian lebih lanjut mengenai keefektifan bahan ini dalam bentuk pasta untuk digunakan sebagai alternatif medikamen saluran akar.