• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biologi

N. eichhorniae di Lapangan Perkembangan Populasi N. eichhorniae di Lapangan

Data pengamatan yang dilakukan mulai 8 Juni sampai 23 Agustus 2005 menunjukkan bahwa di lapangan terjadi fluktuasi populasi pada setiap stadia

N. eichorniae (Gambar 3). Telur kumbang N. eichorniae pada pengamatan tanggal 14 Juni mengalami peningkatan yaitu dari rata-rata 4,08 menjadi 5,50 butir/tanaman dan mencapai puncaknya pada tanggal 28 Juni menjadi 9,48 butir telur/tanaman, kemudian menurun pada pengamatan-pengamatan berikutnya. Hal yang sama juga terlihat pada larva dan pupa. Pola fluktuasi imago menunjukkan bahwa jumlah imago di lokasi contoh sangat rendah. Kepadatan populasi imago tertinggi hanya mencapai rata-rata 1,58 individu/tanaman dan terendah rata-rata 0,48 individu/tanaman sejak pengamatan 8 Juni sampai pengamatan berikutnya.

Gambar 3 juga menunjukkan bahwa puncak populasi telur N. eichhorniae di lapangan terjadi pada pengamatan tanggal 28 Juni, sementara stadium lainnya terjadi pada tanggal 6 Juli kemudian populasinya menurun dan mulai meningkat lagi pada pengamatan berikutnya.

Gambar 3 Fluktuasi populasi N. eichhorniae di lapangan dari bulan Juni sampai dengan bulan Agustus 2005.

0 2 4 6 8 10 8-Jun 14-Jun 21-Jun 28-Jun 6-Jul 13-Jul 20-Jul 26-Jul 2-A gus 9-A gus 16-A gus 23-A gus

Waktu pengamatan (Tanggal-Bulan)

P opul a si /t a na m a n

Data hasil pengamatan N. eichhorniae di lapangan yang terdiri atas telur, larva, pupa, dan imago (jantan dan betina) dapat menggambarkan keseluruhan populasi N. eichhorniae pada lokasi tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa telur adalah stadia yang paling banyak dijumpai di lapangan kemudian disusul oleh larva, pupa, dan imago. Hal ini diduga karena kumbang ini cenderung meletakkan telur selama betina hidup. Betina dapat bertelur 200 sampai 400 butir (Julien et al. 1999, Center 1994, Julien 2001). Selain itu, tingginya jumlah telur yang diletakkan diduga untuk menghadapi tingginya kematian pada masa perkembangan telur, karena tidak semua telur yang diletakkan betina fertile.

Rata-rata populasi larva di lapangan adalah 2,03 ± 0,47 individu/tanaman. Kepadatan populasi larva lebih rendah dibandingkan dengan telur. Hal ini menunjukkan bahwa telur banyak mengalami kematian. Telur yang diletakkan tidak seluruhnya dibuahi sehingga ada telur yang tidak menetas menjadi larva. Selain itu, faktor lingkungan, seperti jaringan tanaman yang lebih cepat membusuk akibat serangan jamur parasit Beauveria sp. di lapangan. Jamur ini juga dapat menyebabkan telur mati (Mangoendihardjo 1978). Hasil penelitian yang dilakukan Subagyo et al. (1977) di laboratorium menunjukkan bahwa 10 individu kumbang betina selama 1 bulan dapat menghasilkan 37-50 butir telur dan hanya 75% telur yang menetas.

Kepadatan populasi pupa rata-rata 1,32 ± 0,39 individu/tanaman. Jumlah pupa tersebut lebih rendah dari pada larva. Hal ini diduga disebabkan oleh tingginya kematian pada stadia larva instar akhir saat keluar dari liang gerekan untuk berpupa, dan tingginya kematian pada stadia pupa akibat dimangsa oleh predator seperti naiad capung. Pada lokasi penelitian banyak ditemukan naiad capung (Odonata) pada akar eceng gondok. Di antara tanaman eceng gondok juga banyak terlihat laba-laba (Arachnida) dan kumbang pengembara (Coleoptera: Staphylinidae). Perkins (1973 dalam Mangoendihardjo 1978) melaporkan bahwa kumbang ini memiliki musuh alami yang berupa predator dari ordo Neuroptera, Arachnida, Odonata dan Coleoptera.

Rata-rata populasi imago di lapangan adalah 1,02 ± 0,37 individu/tanaman. Rendahnya jumlah populasi imago diduga karena tingginya jumlah kematian kumbang pada stadia pupa. Selain itu juga dapat disebabkan oleh faktor

lingkungan seperti predator, jamur parasit, dan aktifitas manusia. Jamur parasit

Beauveria sp. dapat menyerang imago, sehingga menyebabkan imago

N. eichhorniae mati (Mangoendihardjo 1978).

Pengamatan nisbah kelamin N. eichhorniae juga dilakukan bersamaan dengan pengamatan populasinya di lapangan. Proporsi jantan (279 individu) dan betina (210 individu) yang ditemukan di lapangan menunjukkan perbandingan populasi betina lebih rendah dari pada populasi jantan dengan rasio betina : jantan adalah 2:3. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Julien et al. (1999) yang mengatakan bahwa di Florida, rasio antara betina dan jantan adalah 1:1. Perbandingan kelamin yang lebih banyak jantan dibandingkan betina kurang menguntungkan bagi kelangsungan hidup N. eichhorniae.

Distribusi N. eichhorniae pada Bagian Tanaman Eceng Gondok

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada seluruh bagian tanaman ditemukan N. eichhorniae dari tingkat perkembangan yang berbeda-beda. Di bagian daun dan tangkai daun ditemukan telur, larva, dan imago. Di bagian batang hanya ditemukan larva, sedangkan di bagian akar ditemukan larva, pupa, dan imago (Tabel 1).

Jumlah telur yang ditemukan pada tanaman inang di lapangan baik pada tangkai daun maupun pada daun hampir sama. Telur N. eichhorniae diletakkan di bawah epidermis daun dan tangkai daun secara tunggal dan berkelompok. Hal Tabel 1 Rata-rata jumlah telur, larva, pupa, dan imago N. eichhorniae pada

bagian tanaman eceng gondok

Fase perkem-bangan Daun (x±SD) (individu) Daun menggulung (x±SD) (individu) Tangkai daun (x±SD) (individu) Di antara tangkai daun (x±SD) (individu) Batang (x±SD) (individu) Akar (x±SD) (individu) Telur 2,64 ± 3,76 0 2,65 ± 3,76 0 0 0 Larva 0,18 ± 0,76 0 0,84 ± 1,25 0 1,00 ± 1,48 0,02 ± 0,22 Pupa 0 0 0 0 0 1,32 ± 2,14 Imago 0,01 ± 0,09 0,66 ± 0,24 0 0,66 ± 1,24 0 0,02 ± 0,10

ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Kasno dan Mangoendihardjo (1978) bahwa kumbang betina meletakkan telurnya di dalam jaringan daun dan tangkai

daun. Telur yang diletakkan hanya satu dan kadang-kadang dijumpai dua atau lebih telur yang berdampingan.

Larva ada pada bagian daun, tangkai daun, batang dan akar. Larva yang muda pada umumnya ditemukan pada bagian daun dan tangkai daun dimana telur diletakkan oleh betina, sedangkan larva yang sudah dewasa ditemukan pada bagian batang dan akar. Larva paling banyak ditemukan pada batang dan paling rendah ditemukan pada akar (Tabel 1). Selama masa perkembangannya, larva berada dalam jaringan tanaman. Larva menyebabkan kerusakan yang sangat parah pada tanaman inang dibandingkan kerusakan oleh imago. Jaringan tanaman inang merupakan makanan sekaligus tempat perkembangan larva. Apabila jumlah larva pada tanaman inang tinggi, maka sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup tanaman inang.

Pupa hanya ditemukan pada bagian akar (Tabel 1). Pupa tidak dapat berkembang pada bagian tanaman lain karena pupa terbentuk dalam kokon yang terbuat dari rajutan akar tanaman inang. Keadaan ini sesuai dengan pernyataan Julien et al. (1999) bahwa larva membuat kokon berbentuk bundar kira-kira 2 mm dengan menggunakan rambut-rambut akar yang dilekatkan menjadi satu pada akar yang lebih besar.

Di lapangan pada umumnya imago menempati tempat-tempat yang tersembunyi dan gelap, yaitu gulungan daun, di antara tangkai daun, dan akar (Tabel 1). Hal ini terjadi karena pengamatan terhadap kumbang ini dilakukan pada waktu siang hari, sedangkan aktifitas kumbang ini terjadi pada malam hari. Julien et al. (1999) dan Julien (2001) mengatakan bahwa kumbang N. eichhorniae

termasuk serangga nokturnal yaitu serangga yang aktif pada malam hari. Kasno dan Mangoendihardjo (1978) juga melaporkan bahwa kumbang ini bersifat fototropi negatif. Kumbang ini aktif pada malam hari sedangkan pada siang hari biasanya berada pada tempat yang tersembunyi, misalnya di bagian perakaran, di antara seludang/tangkai daun, gulungan daun dan tempat-tempat gelap yang lain. Pada malam hari kumbang melakukan aktifitas makan, kawin dan peletakkan telur.

Dari hasil pengamatan ini diketahui bahwa distribusi telur, larva, pupa, dan imago N. eichhorniae di Bogor sama dengan di daerah asalnya, yakni larva

makan dan berkembang di dalam jaringan tanaman, pupa terbungkus kokon dari akar-akar tanaman inang, dan imago pada siang hari ditemukan bersembunyi pada tempat yang gelap seperti yang dikemukakan oleh Kasno dan Mangoendihardjo (1978) serta Center (1994). Dari hasil pengamatan ini juga diketahui bahwa di Bogor imago dapat meletakkan 2–9 butir telur pada tempat yang sama. Hal ini berbeda dengan yang dilaporkan di Florida dan Argentina yang menyebutkan bahwa imago hanya meletakkan satu butir telur pada tempat yang sama. Betina meletakkan telur dibawah epidermis daun, petiol dan ligule (Center 1994, Julien 2001).

Ciri-ciri Morfologi N. eichhorniae

Telur N. eichhorniae berwarna putih transparan, berbentuk oval (Gambar 4), dan berukuran panjang 0,85 ± 0,08 mm dan lebar 0,50 ± 0,06 mm (Tabel 2). Periode perkembangan telur di lapangan berlangsung 7-21 hari. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Julien et al. (1999) yang melaporkan bahwa telur N. eichhorniae berukuran 0,8 mm x 0,6 mm, dan lama stadia telur antara 7-17 hari.

Larva N. eichhorniae berwarna putih atau krem dan tidak memiliki tungkai (apoda), berbentuk panjang dan ramping. Abdomen mempunyai 11 segments dan rambut-rambut (setae). Kapsul kepalanya berwarna coklat serta berkembang Tabel 2 Rata-rata ukuran tubuh N. eichhorniae pada berbagai fase perkembangan

Fase

perkembangan n Panjang (mm) (x±SD) Lebar (mm) (x±SD) Telur 10 0,85 ± 0,08 0,50 ± 0,06 Larva 10 3,80 ± 1,92 1,55 ± 0,79 Pupa 10 3,51 ± 0,42 2,50 ± 0,04 Imago betina 10 4,38 ± 0,24 2,82 ± 0,34 Imago jantan 10 3,77 ± 0,10 2,53 ± 0,20

Telur

Gambar 4 Telur N. eichhorniae (pembesaran 4,5 x)

Larva

Gambar 5 Larva N. eichhorniae (pembesaran 2,5 x)

sempurna (Gambar 5). Larva N. eichhorniae berukuran panjang 3,80 ± 1,92 mm dan lebar 1,55 ± 0,79 mm (Tabel 2).

Pupa berwarna putih krem dan terbungkus kokon berbentuk bulat yang terbuat dari rajutan rambut-rambut akar tanaman inang (Gambar 6). Pupa bertipe

eksarat adektisus dimana mandibel tidak dapat digerakkan dan menempel pada kepala. Pada fase pupa tonjolan bakal tungkai, antena, dan moncong dapat dilihat dengan jelas. Pupa N. eichhorniae berukuran panjang 3,51 ± 0,42 mm dan lebar 2,50 ± 0,04 mm (Tabel 2).

Kokon Pupa

Gambar 6 Pupa N. eichhorniae (Pembesaran 2,5 x)

Imago N. eichhorniae yang baru keluar dari pupa berwarna coklat dan setelah beberapa hari berubah menjadi abu-abu. Jenis kelaminnya dapat dibedakan dari ukuran tubuh dan bentuk moncong (snout) (Gambar 7). Imago betinapada umumnya berukuran lebih besar dari pada yang jantan, serta memiliki moncong yang lebih panjang dan lebih mengkilat. Panjang tubuh betina 4,38 ± 0,24 mm, dan lebar 2,82 ± 0,34 mm, sedangkan panjang tubuh jantan 3,77 ± 0,10 mm (termasuk kepala) dan lebar 2,53 ± 0,20 mm (Tabel 2). Hasil penelitian Center (1994) juga mengatakan bahwa ukuran imago betina lebih besar dibanding jantan. Imago betina N. eichhorniae mempunyai panjang tubuh 3,7 mm sedangkan jantan 3,2 mm (tidak termasuk kepala).

a b

Pendugaan Instar Larva N. eichhorniae

Hasil pengukuran lebar kapsul kepala dari 1072 larva yang ditampilkan dalam bentuk kurva distribusi frekuensi ukuran lebar kapsul kepala dalam 73 selang kelas menghasilkan empat puncak terpisah (Gambar 8A). Kurva ini menunjukkan adanya empat instar pada perkembangan larva N. eichhorniae. Menurut McClellan dan Logan (1994 dalam Godin et al. 2002), diasumsikan hasil pengukuran terdistribusi normal dan membentuk puncak-puncak, setiap pucak mewakili satu instar. Bagian kepala dan abdomen larva instar 1, 2, 3, dan 4 dapat dibedakan dengan jelas.

Pendugaan instar juga dilakukan dengan mengukur panjang dan keliling kapsul kepala larva (Gambar 8B, 8C ). Dari pengukuran ini dihasilkan pola data yang sama yaitu empat instar. Bentuk kurva distribusi frekuensi ukuran panjang dan keliling kapsul kepala larva juga menghasilkan empat puncak terpisah. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran panjang dan keliling kapsul kepala larva dapat digunakan sebagai indikator pergantian instar pada larva N. eichhorniae. Ukuran lebar, panjang dan keliling kapsul kepala larva N. eichhorniae pada setiap instar di tampilkan pada Tabel 3.

De Loach (1972) melaporkan bahwa berdasarkan ukuran lebar bekas kulit kepala (eksuvia), larva N. eichhorniae hasil pembiakan di laboratorium memiliki tiga instar dalam perkembangannya. Center (1994) dan Julien (2001) juga melaporkan bahwa di Florida, pada suhu 27 oC dalam perkembangannya larva

N. eichhorniae melewati tiga instar, tetapi tidak ada informasi indikator yang digunakan untuk pendugaan instar.

Tabel 3 Rata-rata ukuran panjang, lebar, dan keliling kapsul kepala larva

N. eichhorniae pada setiap instar Fase Perkembangan n Lebar kapsul kepala (mm) (x±SD) Panjang kapsul kepala (mm) (x±SD) Keliling kapsul kepala (mm) (x±SD) Larva instar 1 160 0,36 ± 0,02 0,39 ± 0,02 1,24 ± 0,53 Larva instar 2 152 0,51 ± 0,06 0,54 ± 0,06 1,75 ± 0,19 Larva instar 3 270 0,71 ± 0,05 0,74 ± 0,06 2,40 ± 0,16 Larva instar 4 490 0,94 ± 0,07 0,96 ± 0,08 3,12 ± 0,23

Ga

m

bar 8 Distribusi frekue

nsi lebar kapsul kepala

(A), distribusi frekuensi

panjang kapsul kepala (B), distribus

i frekuensi keliling kapsul kepala

(C) larv a N. eichhorniae 0 10 20 30 40 50 60 1.08525-1.12189 1.15854-1.19517 1.23182-1.26845 1.30510-1.34173 1.37838-1.41501 1.45166-1.48829 1.52494-1.56157 1.59822-1.63485 1.67150-1.70813 1.74478-1.78141 1.81806-1.85469 1.89134-1.92797 1.96462-2.00125 2.03790-2.07453 2.11118-2.14781 2.18446-2.22109 2.25774-2.29437 2.33102-2.36765 2.40430-2.44093 2.47758-2.51421 2.55086-2.58749 2.62414-2.66077 2.69742-2.73405 2.77070-2.80733 2.84398-2.88061 2.91726-2.95389 2.99034-3.02697 3.06362-3.10025 3.13690-3.17353 3.21018-3.24681 3.28346-3.32009 3.35674-3.39337 3.43002-3.46665 3.50330-3.53993 3.57658-3.61321 3.64986-3.68649 K e lili n g ka ps u l ke pa la ( m m ) Frekuensi In st a r-1 In st a r-2 In st a r-3 In st a r-4 A 0 5 10 15 20 25 30 35 0.31200 - 0.32082 0.34733 - 0.35615 0.38266 - 0.39148 0.41798 - 0.42680 0.45331 - 0.46213 0.48863 - 0.49746 0.52396 - 0.53278 0.55929 - 0.56811 0.59461 - 0.60343 0.62994 - 0.63876 0.66527 - 0.67409 0.70059 - 0.70941 0.73592 - 0.74474 0.77124 - 0.78007 0.80657 - 0.81539 0.84190 - 0.85072 0.87722 - 0.88605 0.91255 - 0.92137 0.94788 - 0.95670 0.98320 - 0.99202 1.01853 - 1.02735 1.05386 - 1.06268 1.08918 - 1.09800 1.12451 - 1.13333 P a n jan g kaps u l kepal a ( m m ) Frekuensi In st a r 1 In st a r 2 In st a r 3 In st a r 4 0 10 20 30 40 50 60 0.30294-0.31389 0.33583-0.34678 0.36872-0.37967 0.40161-0.41257 0.43450-0.44546 0.46740-0.47835 0.50029-0.51124 0.53318-0.54414 0.56607-0.57703 0.59897-0.60992 0.63186-0.64281 0.66475-0.67571 0.69764-0.70860 0.73054-0.74149 0.76343-0.77438 0.79632-0.80727 0.82921-0.84017 0.86211-0.87306 0.89500-0.90595 0.92789-0.93884 0.96078-0.97174 0.99367-1.00463 1.02657-1.03752 1.05946-1.07041 1.09235-1.10331 L e b a r ka ps u l ke p a la ( m m ) Frekuensi In st a r 1 In st a r 4 In st a r 2 In st a r 3 B C

Dari ketiga pengukuran tersebut yaitu lebar, panjang, dan keliling kapsul kepala larva dihasilkan pola data yang sama yaitu empat instar dalam perkembangan larva N. eichhorniae. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran lebar, panjang, dan keliling kapsul kepala larva dapat digunakan sebagai indikator pergantian instar pada larva N. eichhorniae. Menggunakan struktur serangga yang tersklerotisasi sebagai indikator instar larva telah banyak dilakukan, seperti penelitian yang dilakukan Alencar et al. (2001) untuk mengetahui instar larva

Simuliumpervlafum (Diptera: Simuliidae) mengukur panjang kapsul kepala lateral dan lebar apodema kepala. Hal yang sama juga dilakukan oleh Godin et al. (2002) dalam pendugaan instar larva Acrobasis vaccinii (Lepidoptera: Pyralidae) dengan mengukur lebar kapsul kepala larva.

Berdasarkan perubahan bentuk morfologi instar 1, 2, 3, dan 4 sulit dibedakan, hanya perubahan ukuran kapsul kepala yang berbeda. Selain perubahan ukuran kapsul kepala perubahan instar 1, 2, 3, dan 4 juga dicirikan oleh adanya perubahan warna kapsul kepala (Gambar 9). Pada Instar 1, 2, dan 3, kapsul kepala berwarna coklat muda, sedangkan pada instar 4 berwarna coklat kemerahan. Perbedaan morfologi pada warna dan bentuk tubuh tidak bisa mencerminkan tingkat perkembangan dari instar larva.

Instar 2 Instar 1

Instar 3 Instar 4

Gambar 9 Perkembangan kapsul kepala larva N. eichhorniae instar 1, 2, 3, dan 4 (pembesaran 11x).

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa pengukuran panjang, lebar, dan keliling kapsul kepala merupakan cara yang paling tepat untuk menduga instar larva N. eichhorniae. Bentuk kapsul kepala tidak dapat dijadikan dasar penentuan instar karena bentuk struktur setiap instar sama.

Lama Hidup dan Keperidian Imago N. eichhorniae

Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa lama hidup imago N. eichhorniae betina antara 106-133 hari dengan rata-rata 122,40 ± 10,40. Masa praoviposisi 5–8 hari (6,00 ± 1,22) dan masa oviposisi 6-116 hari (112,80 ± 4,92) setelah betina muncul dari pupa (Tabel 4). Masa praoviposisi betina pada penelitian ini lebih singkat dibandingkan hasil penelitian Subagyo et al. (1977) yang dilakukan di laboratorium yang menyebutkan bahwa masa praoviposisi betina adalah 1-2 bulan.

Imago mulai meletakkan telur 6 hari setelah muncul dari pupa. Telur mulai meningkat rata-rata pada hari ke 9 dan tertinggi terjadi pada hari ke 46 pengamatan. Pada pengamatan hari berikutnya jumlah telur yang diletakkan mulai menurun sampai imago mati (Gambar 10). Hasil pengamatan terlihat bahwa satu individu betina kumbang N. eichhorniae dapat meletakkan telur rata-rata 0,63 ± 3,17 butir telur /betina/ hari (Tabel 4). Jumlah telur yang dihasilkan satu imago betina selama hidupnya adalah 61–90 butir telur/betina (72,60 ± 12,03). Nilai keperidian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Subagyo et al. (1977) yang mengatakan bahwa nilai keperidian imago betina N. eichhorniae selama satu bulan adalah 37-50 butir telur/betina.

Tabel 4 Parameter kehidupan imago betina N. eichhorniae

Parameter kehidupan imago betina n Hari Lama hidup 5 122,40 ± 10,40 Masa praoviposisi 5 6,00 ± 1,22 Masa oviposisi 5 112,80 ± 4,92 Masa pasca oviposisi 5 18,80 ± 4,02

Gambar 10 Rata-rata jumlah telur harian betina N. eichhorniae 0 1 2 3 4 5 6 7 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 Pengamatan (hari) R ata -r ata ju m la h te lu r/in d iv id

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa selama masa oviposisi, betina tidak meletakkan telur setiap hari. Hal ini mungkin karena imago hidup dalam waktu yang lama. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Julien et al. (1999) yang mengatakan bahwa pada suhu 25 oC betina kumbang ini dapat meletakkan 5-7 butir telur/hari, sehingga total per betina kira-kira 300 telur. Hasil pembedahan ovari kumbang betina yang mati tidak ditemukan telur yang belum diletakkan. Hal ini menunjukkan bahwa betina mati sesudah meletakkan semua telurnya. Dari penelitian ini diduga bahwa keadaan lingkungan sangat mempengaruhi keberhasilan hidup dan reproduksi kumbang tersebut.

Kemampuan Merusak Imago N. eichhorniae pada Daun Eceng Gondok

Hasil pengamatan kemampuan merusak N. eichhorniae di lapangan menunjukkan bahwa satu imago per minggu menghasilkan rata-rata 133,83 ± 162,90 ketaman. Ukuran bekas ketaman akibat aktifitas makan rata-rata

berdiameter 2,8 ± 0,82 mm (n = 65). Rata-rata luas daun tanaman adalah 48,2 ± 14,7 mm2 (n = 12). Persentase kerusakan tanaman eceng gondok yang disebabkan oleh satu imago per minggu adalah 43% dari luas permukaan daun. Hasil kerusakan tanaman yang disebabkan oleh aktifitas makan satu individu imago per minggu sangat rendah, sehingga apabila jumlah populasi imago

Gambar 11 Gejala ketaman imagoN. eichhorniae pada daun eceng gondok di lapangan rendah kemungkinan tidak dapat mengendalikan populasi tanaman inang secara menyeluruh.

Hasil pengamatan kemampuan merusak imago juga menunjukkan bahwa kerusakan tidak berarti dalam menekan populasi eceng gondok. Selama pengamatan dilakukan, tidak terlihat bagian tanaman mati akibat aktifitas makan imago. Imago mengetam bagian atas atau bawah epidermis daun, sehingga daun masih dapat berfungsi walaupun sebagian jaringan daun sudah rusak (Gambar 11). Gejala ketaman kumbang ini sangat mudah dikenal, karena gejala yang khas yaitu hanya mengetam bagian epidermis tanaman inang.

Kisaran Ekspansi dan Uji Kisaran Inang N. eichhorniae di Lapangan Kisaran Ekspansi N. eichhorniae Berdasarkan Jarak dari Tanaman Inang di Lapangan

Pengamatan kisaran ekspansi kumbang N. eichhorniae di lapangan pada 4 arah yaitu Utara, Timur, Selatan, dan Barat menemukan 38 jenis tumbuhan dari 21 famili. Pada pengamatan ini tidak ditemukan gejala serangan dan imago kumbang N. eichhorniae pada semua jenis tumbuhan yang diamati di lapangan (Lampiran 2). Hal yang sama juga terlihat dari hasil pengamatan pada tumbuhan

C. edulis dan S. molesta di Danau Lido yang tidak menemukan imago dan gejala serangan kumbang N. eichhorniae. Hasil penelitian sebelumnya di laboratorium

N. eichhorniae dapat hidup dalam periode tertentu (Widayanti et al. 1998, Maryana 2005, Kasno & Mangoendihardjo 1978). Hal ini menunjukkan bahwa kumbang tersebut tidak melakukan ekspansi inang di sekitar Danau Lido.

Mengingat di Danau Lido tidak dilakukan pelepasan kumbang

N. eichhorniae, maka keberadaan kumbang tersebut diduga terjadi karena terbawa oleh aktifitas manusia. Tanaman eceng gondok digunakan sebagai penutup keramba ikan atau sebagai tanaman hias. Selain itu, pemencaran kumbang kemungkinan juga melalui aliran air yang membawa hanyut tumbuhan eceng gondok. Menurut Tjitrosemito (komunikasi pribadi), hasil pemantauan oleh peneliti Biotrop dan Australia beberapa tahun setelah pelepasan kumbang

N. eichhorniae di Danau Cibinong, menemukan bahwa kumbang tersebut telah terdapat hampir di seluruh perairan di Jawa Barat khususnya di Bogor.

Tjitrosemito (komunikasi pribadi) juga mengatakan bahwa penyebaran kumbang

N. eichhorniae tersebut diduga bersifat carrier, yaitu terbawa bersama tanaman inang baik oleh manusia atau melalui aliran air.

Kisaran Inang N. eichhorniae di Lapangan

Uji kekhususan inang kumbang N. eichhorniae di lapangan dilakukan dengan metode uji tanpa pilihan ( nonchoice test). Jenis-jenis tumbuhan uji yang digunakan adalah yang menunjukkan hasil positif selama uji kekhususan makan oleh peneliti sebelumnya di laboratorium. Sebagaimana telah dilaporkan bahwa kumbang N. eichhorniae mampu menimbulkan kerusakan yang berupa bekas ketaman pada C. edulis dan S. molesta (Widayanti et al. 1998, Maryana 2005, Kasno & Mangoendihardjo 1978).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kumbang N. eichhorniae mampu menimbulkan kerusakan yang berupa bekas ketaman pada lapisan epidermis daun

C. edulis, dan S. molesta seperti pada eceng gondok (E. crassipes) (Gambar 12). Pada tanaman eceng gondok, kumbang mengetam hampir di seluruh bagian daun tanaman uji dan kadang-kadang juga ditemukan gejala ketaman pada tangkai daun. Pada tumbuhan C. edulis, kumbang hanya mengetam bagian atas dan

A B

C

Gejala ketaman

Gejala ketaman Gejala ketaman

Gambar 12 Gejala ketaman kumbang N. eichhorniae pada eceng gondok (A), C. edulis (B) dan S. molesta (C)

bawah daun yang muda. Pada tumbuhan S. molesta, kumbang mengetam bagian atas epidermis daun muda dan tua, tetapi tidak pada batang.

Analisis ragam menunjukkan bahwa preferensi makan kumbang

N. eichhorniae pada tanaman eceng gondok (E. crassipes) berbeda nyata dengan preferensi makan pada tanaman C. edulis, dan S. molesta di lapangan (P=0,0000) (Tabel 5, lampiran 1).

Tabel 5 Persentase kerusakan luas permukaan daun tanaman E. crassipes, C. edulis, dan S. molesta akibat aktifitas makan N. eichhorniae

Famili Spesies Waktu Pengamatan

(minggu)

Persentase kerusakan (x ± SD)

Pontederiaceae E. crassipes 2 19,28 ± 17,95a Canaceae C. edulis 2 0,94 ± 1,21b Salviniaceae S. molesta 2 2,19 ± 2,92b

Persentase kerusakan tanaman akibat aktifitas makan kumbang pada C. edulis dan

S. molesta lebih rendah (masing-masing 0,94% dan 2,19%) dibandingkan pada tanaman eceng gondok (19,28%).

Tingginya gejala serangan pada tanaman eceng gondok karena tumbuhan tersebut adalah tanaman inang kumbang N. eichhorniae. Pada tanaman C. edulis

dan S. molesta, kumbang ini mau makan sedikit bagian daun, dan kerusakan yang ditimbulkan tidak berarti. Nayar dan Thorsteinson (1963) menyebutkan bahwa suatu serangga dalam memilih inang ditentukan oleh senyawa kimia tertentu dalam makanan sebagai faktor pengenal (recognition factor) dan zat perangsang (stimulator) yang menarik serangga untuk memakan. Dikatakan juga bahwa ada jenis-jenis serangga yang hanya memakan jenis tumbuhan dari famili tertentu karena zat-zat kimia yang diperlukan. Serangga Plutella maculipennis misalnya, hanya memakan tumbuhan dari famili Cruciferae karena tumbuhan tersebut mengandung glucosida yang dapat merangsang makan serangga tersebut.

Telur kumbang N. eichhorniae hanya dapat ditemukan pada tanaman eceng gondok. Pada C. edulis dan S. molesta tidak ditemukan telur selama pemeliharaan. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Maryana (2005) di laboratorium yang mengatakan bahwa betina N. eichhorniae dapat meletakkan telur pada tumbuhan S. molesta, namun telur yang diletakkan tidak dapat menetas karena diletakkan di luar jaringan tanaman.

Tumbuhan C. edulis yang mempunyai bentuk morfologi daun yang tipis, tangkai daun yang keras dan berbeda dari eceng gondok menyebabkan betina tidak dapat meletakkan telurnya untuk berkembang dan menyelesaikan siklus hidupnya pada tumbuhan tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada tumbuhan

S. molesta. Meskipun S. molesta merupakan gulma yang tumbuh di air, dan merupakan inang kumbang Cyrtobagous salviniae (Tjitrosoedirdjo et al. 1997) yang masih satu famili dengan kumbang N. eichhorniae, bentuk stuktur morfologi

S. molesta juga sangat menentukan betina kumbang N. eichhorniae dalam peletakan telur. Tomezyk dan Kropezynska (1985) mengatakan bahwa kesesuaian serangga untuk berkembang dan meletakkan telur pada tumbuhan dapat disebabkan oleh tekstur dan ciri morfologi lain tumbuhan.

Hasil pengamatan lama hidup imago terlihat bahwa kumbang N. eichhorniae

dapat hidup beberapa lama pada tanaman lain selain tanaman inangnya (Gambar 13). Kumbang N. eichhorniae hidup pada eceng gondok sebagai tanaman inang

Dokumen terkait