• Tidak ada hasil yang ditemukan

Parameter Fisik Kimiawi

Kisaran suhu selama penelitian tidak menunjukkan perbedaan yang besar antar zona lokasi penelitian. Suhu yang ditemukan pada penelitian ini masih berada dalam kisaran suhu yang baik, khususnya pada daerah tropis. Kisaran suhu untuk daerah tropis yang ideal adalah 25-30 0C (Boyd 1990). Nilai kekeruhan selama penelitian diperoleh pada zona hilir lebih tinggi dibandingkan dengan zona tengah dan hulu. Tingginya nilai kekeruhan pada zona hilir diduga karena adanya aktivitas sistem buka tutup bendungan. Selanjutnya kekeruhan pada zona tengah disebabkan oleh sedimentasi yang diakibatkan oleh masukan dari sungai ke daerah waduk.

Ikan brek merupakan salah satu ikan yang menyukai arus dan oksigen, sehingga dapat dilihat bahwa pada zona hulu dengan kecepatan arus yang tinggi diperoleh hasil tangkapan yang lebih besar dibandingkan zona hilir dan tengah (Tabel 4). Zona waduk memiliki kecepatan arus yang relatif lebih tenang karena mengalami pembendungan untuk saranan irigasi dan pembangkit listrik. Kandungan oksigen terlarut selama penelitian memiliki rentang 4-7 mg/l pada ke tiga zona. Hal ini bermakna bahwa perairan Sungai Serayu baik untuk ikan brek.

Distribusi Hasil Tangkapan Ikan Brek

Panjang maksimum ikan brek jantan yang tertangkap selama penelitian lebih kecil dengan yang ditemukan oleh Luvi (2000), sedangkan panjang ikan betina yang ditemukan selama penelitian lebih besar. Besarnya ukuran panjang ikan brek betina di Sungai Serayu mencerminkan bahwa perairan ini menyediakan kondisi lingkungan yang lebih baik untuk pertumbuhan ikan seperti ketersediaan sumber daya makanan alami dan tingginya heterogenitas habitat (Winemiller & Jeppsen 1998; Copp 1989; de Graaf 2003; Li & Gelwick 2005). Selanjutnya Nikolsky (1963) menyatakan bahwa pada umumnya ukuran ikan betina lebih besar beberapa satuan dibandingkan ikan jantan, hal ini terjadi karena untuk menjamin fekunditas yang besar dalam stok. Hasil tangkapan berdasarkan zona terbanyak pada zona hulu, jika dikaitkan dengan parameter lingkungan (Tabel 2), terlihat jelas bahwa zona hulu dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan zona hilir dan tengah.

Hubungan Panjang Bobot dan Faktor Kondisi

Hasil analisis statistik hubungan panjang dan bobot tubuh ikan brek untuk masing-masing jenis kelamin memiliki koefisien korelasi (r) yang mendekati nilai satu yaitu 0,90 untuk ikan jantan dan 0,91 untuk ikan betina. Besarnya nilai koefisien ini menunjukkan bahwa pertambahan panjang ikan diikuti dengan pertambahan bobot tubuhnya. Nilai b pada hubungan panjang bobot menunjukkan bahwa ikan brek jantan dan betina memiliki pola pertumbuhan allometrik positif. Pada penelitian terdahulu, dilaporkan bahwa ikan brek di waduk Ir. H. Djuanda memiliki pola pertumbuhan isometrik (Sutardja 1980). Pola yang sama isometrik

24

dilaporkan oleh Prasad & Ali (2007) pada ikan Puntius filamentosus di Sungai Chalakudy Kerala India, selanjutnya pola pertumbuhan ikan brek pada Sungai Cimanuk, Sumedang terdapat perbedaan, yaitu pada ikan jantan bersifat allometrik negatif dan pada ikan betina isometrik (Rahardjo & Sjafei 2004). Variasi nilai eksponensial (b) terkait erat dengan lokasi, faktor lingkungan, musim, ketersediaan makanan, jenis kelamin, siklus hidup dan faktor fisiologi lainnya (Offem et al. 2007; LeCren 1951; Froese 2006).

Nilai rata-rata faktor kondisi ikan brek pada seluruh bulan pengamatan berada dalam kondisi yang baik. Faktor kondisi bernilai mendekati satu atau lebih. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi ikan brek stabil. Olurin & Aderibigbe (2006) melaporkan bahwa faktor kondisi bernilai satu atau lebih mengindikasikan bahwa ikan dalam kondisi yang baik.

Berdasarkan tingkat kematangan gonad terlihat bahwa terjadi penurunan rata-rata faktor kondisi. Hal ini disebabkan bagian terbesar dari makanan yang dikonsumsi digunakan untuk perkembangan sel-sel reproduksi. Proses pembentukan sel reproduksi mencapai puncaknya pada TKG IV, hal ini menjadi alasan mendasar bahwa nilai faktor kondisi yang tinggi ditemukan pada TKG IV dan akan menurun setelah ikan selesai memijah atau pada tahap TKG V. Fakta ini ditemukan pula pada ikan Siganus rivulatus (Yeldan & Avsar 2000), Synodontis schall dan Synodontis nigrita (Laleye 2006), dan Johnius belangerii (Rahardjo & Simanjuntak 2008). Beberapa faktor penentu yang diduga penyebab terjadinya fluktuasi dan variasi nilai faktor kondisi ikan adalah perbedaan ukuran (Treer et al. 2009), kematangan gonad (Lizama et al. 2002), dan ketersediaan makanan (Pinilla et al. 2006).

Nisbah Kelamin

Pada penelitian ini, ditemukan jumlah ikan betina yang tertangkap lebih banyak daripada ikan jantan.Hal serupa juga terlihat pada tiap lokasi penelitian, zona hilir, tengah dan hulu. Hal ini diduga berkaitan dengan sifat ikan brek yang cenderung bergerombol pada saat berada dalam musim pemijahan.Ikan brek dalam melakukan pemijahan jumlah ikan betina lebih banyak daripada ikan jantan atau satu ekor ikan brek jantan yang matang gonad harus dapat membuahi telur yang dikeluarkan ke perairan dari ikan betina yang lebih dari satu ekor. Kondisi ini ditemukan pula pada ikan Cyprinidae (Azadi & Mamun 2004); motan, Thynnichthyes polylepis (Bakhris et al. 2007); Amblypharyngodon mola, sepatung, Pristolepis grootii (Ernawati et al. 2009); dan nilem, Osteochilus vittatus (Omar 2010).

Penyimpangan nisbah kelamin dari pola 1:1 dapat timbul dari berbagai faktor. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa jika ketersediaan makanan berlimpah maka ikan betina akan lebih dominan dan sebaliknya ikan jantan dominan saat ketersediaan makanan berkurang. Penyataan ini didukung oleh Vicentini & Araujo (2003) yang menyatakan bahwa perbedaan nisbah kelamin pada ikan Micropogonias furnieri disebabkan ketersediaan makanan dan perbedaan laju pertumbuhan. Selanjutnya Turkmen et al. (2002) menyatakan bahwa perbedaan distribusi ikan, aktifitas dan gerakan ikan serta faktor pergantian dan variasi seksual jantan dan betina dalam masa bertumbuhan, mortalitas dan lama hidup

(Sadovy 1996); dan pengasuhan anak (Liang et al. 2005) dapat berpengaruh terhadap penyimpangan nisbah kelamin.

Reproduksi

Reproduksi ikan brek di Sungai Serayu terjadi saat ikan telah mencapai tingkat kematangan tertinggi pada ukuran pertama kali matang gonad pada ikan jantan 152 mm dan ikan betina 169 mm. Jika ukuran panjang diasumsikan sebagai cerminan umur, maka ikan jantan lebih cepat mencapai kedewasaan dibandingkan ikan betina. Kondisi serupa juga ditemukan pada ikan Chana striata (Makmur et al. 2003); Labeo victorianus (Rutaisire & Booth 2005); Synodontis schall dan Synodontis nigrita (Laleye et al. 2006); dan nilem, Osteochilus vittatus (Omar 2010). Kondisi ini diduga berkaitan dengan perbedaan laju pertumbuhan, sifat genetik populasi, dan kualitas perairan (Paugy 2002; Leleye et al. 2006). Akibat adanya perbedaan laju kecepatan tumbuh maka ikan-ikan yang berasal dari telur yang menetas pada waktu bersamaan bisa mencapai tingkat kematangan gonad pada umur yang berlainan.

Ukuran pertama kali matang gonad ikan brek jika diplotkan dengan ukuran rata-rata tinggi tubuh, maka diperoleh ukuran ikan brek yang matang gonad pada ikan jantan dan betina berkisar 40 dan 43 mm, sehingga ikan brek banyak tertangkap dengan alat tangkap jaring insang yang berukuran mata jaring 1,5 inci. Untuk menjaga kelestarian ikan brek, maka ukuran mata jaring yang dioperasikan sebaiknya berukuran 2 inci.

Hasil tangkapan selama penelitian menunjukkan ikan brek jantan dan betina yang telah matang gonad (TKG IV) terdapat pada bulan Oktober, November, Desember, Januari dan Maret, sedangkan ikan brek betina terdapat pada bulan Oktober, November, Desember, dan Maret (Gambar 3). Kondisi ini mengindikasikan bahwa ikan brek jantan memiliki potensi untuk memijah setiap saat pada bulan Oktober, November, Desember, dan Maret. Lebih lanjut berdasarkan zona penelitian terlihat ikan brek jantan dan betina yang matang gonad (TKG IV) lebih dominan berada di zona hulu. Nilai IKG tertinggi ikan jantan ditemukan pada zona tengah sedangkan ikan betina ditemukan pada zona hilir. Berdasarkan bulan pengamatan nilai IKG tertinggi ikan jantan ditemukan pada bulan Maret, sedangkan ikan betina ditemukan pada bulan Oktober, berdasarkan fakta ini dapat dikatakan bahwa ikan brek berada dalam masa pemijahan atau sedang berlangsung puncak musim pemijahan pada zona hulu.

Nilai IKG ikan betina lebih besar dibandingkan ikan jantan, hal ini dikarenakan bobot gonad ikan betina lebih besar dibandingkan ikan jantan. Seiring dengan meningkatnya nilai TKG, maka meningkat pula nilai IKG (Gambar 10). Nilai IKG akan menurun pada TKG V. Hal ini dikarenakan telah terjadi pemijahan. Kondisi serupa ditemukan pada ikan gabus, Channa striata (Makmur et al. 2003); lele, Mystus montanus(Arockiaraj et al. 2005); dan nilem, Osteochilus vittatus (Omar 2010).

Potensi Biotik dan Tipe Pemijahan

Potensi biotik ikan brek diduga berdasarkan fekunditas yang diperoleh selama penelitian. Potensi biotik akan menggambarkan seberapa besar suatu induk

26

ikan brek akan menghasilkan keturunan dan mempertahankan kelestarian spesiesnya. Nilai fekunditas total ikan brek berkisar antara 2.760-25.290 butir dengan rata-rata 14.005 (± 5.408) butir dari 35 ekor ikan betina (TKG IV) yang berukuran panjang total 158-238 mm dan bobot 42-162 g. Lebih lanjut digambarkan pada setiap lokasi penelitian, nilai fekunditas bervariasi pada ketiga zona. Pada zona hilir berkisar antara 5.434-22.826 butir dengan rata-rata 13.782 (±5.455); zona tengah berkisar antara 2.760-20.0057 butir telur dengan rata-rata 12.159 (±6.499) dan zona hulu berkisar antara 4.859-25.290 butir telur dengan rata-rata 14.353 (±6.851). Fekunditas tertinggi ditemukan pada zona hulu, hal ini berkaitan dengan kondisi perairan dan ukuran ikan yang tertangkap. Kondisi perairan di zona hulu lebih baik dan kisaran ukuran panjang total ikan yang tertangkap yaitu 170-212 mm sedangkan kisaran ukuran panjang total pada zona hilir adalah 158-212 mm. Nilai fekunditas relatif kecil jika dibandingkan dengan nilai fekunditas ikan brek di Waduk Lahor Jawa Timur berkisar antara 12.224- 207.261 butir (Lumbanbatu 1979); di Sungai Cimanuk berkisar antara 218.000- 260.000 butir (Rahardjo & Sjafei 2004). Kondisi ini dikarenakan jumlah telur matang yang dihasilkan oleh induk betina pada saat musim pemijahan bervariasi. Beberapa faktor penentu hal ini antara lain: umur, ukuran ikan, serta kondisi lingkungan diantaranya ketersediaan makanan, suhu, musim dan lain-lain (Rahardjo et al. 2011). Selain itu, fekunditas ditentukan oleh spesies ikan walaupun pada kerabat dekatnya sebagaimana dilaporkan oleh Suryaningsih et al. (2012) yang melaporkan fekunditas ikan Puntius orphoides dari Sungai Klawing dengan kisaran 7.379-39.794 butir.

Fekunditas jika dihubungkan dengan panjang tubuh dan fekunditas dengan bobot tubuh (Gambar 10) diperoleh nilai korelasi yang kecil, maka fekunditas ikan brek relatif lebih lebih tepat apabila diduga menggunakan bobot daripada panjang tubuh. Hal yang sama ditemukan juga pada ikan Thynnichthys thynnoides (Tampubolon et al. 2008), dan Amphilophus citrinellus (Tampubolon 2013). Nilai korelasi yang kecil juga pernah dilaporkan oleh Sulistiono et al. (2011); Simanjuntak (2007); danMarraro et al. (2005).

Pergeseran grafik sebaran frekuensi telur ikan brek ke arah kanan menunjukkan bahwa semakin besar TKG maka diameter telur akan semakin besar (Gambar 12). Sebaran diameter telur tersebut hanya memiliki satu modus yang bergerak ke kanan. Gambaran ini mengindikasikan bahwa ikan brek mengeluarkan telur-telurnya serentak saat musim pemijahan. Berdasarkan pola sebaran diameter telur, tipe pemijahan ikan brek termasuk kategori kelompok ikan pemijah serempak (Rahardjo et al. 2011). Telur yang masih tersisa di dalam ovarium akan diserap kembali (atresia) dan sebagian akan berkembang untuk musim pemijahan berikutnya. Fakta ini merupakan ciri kelompok ikan iteroparous, yakni kelompok ikan yang memijah beberapa kali selama hidupnya (Rahardjo et al. 2011). Pola serupa juga ditemukan pada ikan tetet, Johnius belangerii (Rahardjo & Simanjuntak 2007), motan, Thynnichthys thynnoides (Tampubolon et al. 2008) dan selais, Ompak hypophthalmus (Sjafei et al. 2008).

Kualitas Telur

Rendahnya sintasan larva yang baru menetas sangat berkaitan dengan kualitas telur yang dihasilkan induk (Duray 1994). Ukuran diameter telur

merupakan salah satu indikator penting kualitas telur. Telur dengan ukuran diameter lebih besar berarti mempunyai volume yang lebih besar pula, dan karena itu memiliki sejumlah komponen penyusunnya (seperti protein, lemak dan karbohidrat) yang lebih besar pula. Kuning telur (yolk) merupakan bagian terbesar dari telur dan berperan sebagai sumber energi serta materi pada pembentukan embrio (Kamler 1992); dan karena itu jumlah serta kualitas telur dari kuning telur menentukan keberhasilan perkembangan embrio dan post-embrio (Nikolskij 1974 dalam Kamler 1992).

Hasil penelitian memperlihatkan persentase rata-rata protein lebih tinggi dibandingkan dengan lemak dan karbohidrat. Protein merupakan bagian yang paling dominan dalam kuning telur. Vitollogenin yang diproduksi di dalam liver induk ikan betina pada hakekatnya adalah protein (dalam bentuk lipophosprotein), dan merupakan cikal bakal dari pembentukan protein kuning telur (Lawrence 1989; Sargent et al. 1989). Sebagian besar dari protein kuning telur dirubah ke dalam jaringan embrio, dan sebagian kecil lainnya dikonsumsi untuk penyediaan energi. Lebih lanjut Kamler (1992) menjelaskan bahwa persentase total protein dalam berat kering ovarium adalah 55-75%.

Hasil analisis asam amino terlihat bahwa persentase total asam amino sebesar 20,14% dan asam amino jenis asam glutamat yang memiliki persentase terbesar yaitu 3,14% (Lampiran 2). Kamler (1992) melaporkan bahwa leusin, alanin, lisin dan asam glutamat adalah jenis asam amino yang paling banyak dalam telur ikan dari spesies ikan Abramis brama (Kim dan Zhukinskij 1978 dalam Kamler 1992), Rutilus rutilus heckeli (Kim 1981 dalam Kamler 1992), dan Coregonus albuba (Kamler dan Zuromska 1979 dalam Kamler 1992).

Cadangan lemak pada telur ikan disimpan pada lipoprotein dari kuning telur yang sebagian besar terdiri atas polar lipid, khususnya fosfatidil kolin dan fosfatidil etanolamin. Fosfatidil kolin ini yang selanjutnya akan dirombak dan dimanfaatkan pada stadia larva. Sebagian besar dari cadangan lemak kuning telur dipakai habis untuk energi dan sisanya disimpan di dalam embrio (Kamler 1992). Lebih lanjut Sargent et al. (1989) menyatakan bahwa lipid berperan selama proses pematangan gonad, dan kekurangan lipid dalam jangka waktu yang lama akan mengurangi fekunditas. Dijelaskan pula bahwa kelompok lipid yang terdapat dan yang paling banyak dibutuhkan pada perkembangan gonad adalah kelompok asam lemak tak jenuh atau poly unsaturated fatty acid (PUFA).

Karbohidrat memiliki persentase paling kecil jika dibandingkan dengan protein dan lemak, yaitu 4,01% pada TKG II. Kamler (1992) menyatakan bahwa persentase karbohidrat pada telur ikan berkisar 0,6-8,7%. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ovarium hanya mengandung sebagian kecil karbohidrat.

Upaya Pelestarian Ikan Brek

Ikan brek merupakan salah satu ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi di Kabupaten Banjarnegara. Ikan ini dijual dengan harga Rp. 25.000-Rp. 30.000 per kg. Berdasarkan diskusi dengan beberapa nelayan, pada umummnya ukuran kecil lebih diminati daripada ukuran besar. Lebih lanjut, mereka menjelaskan bahwa rata-rata hasil tangkapan perhari 15kg-20 kg. Dengan harga yang relatif tinggi, maka masyarakan memanfaatkan kesempatan ini untuk berburu ikan brek.

28

Alat tangkap yang digunakan untuk menangkapan ikan brek di Sungai Serayu bervariasi, ada yang menggunakan jaring insang, jala lempar, pancing, rumpon dan lebih berbahaya lagi menggunakan setrum. Berdasarkan pantauan di lapangan terlihat bahwa setrum paling banyak digunakan di zona hilir, sedangkan pada zona tengah dan hulu hampir tidak ditemukan nelayan yang menggunakan setrum karena penggunaan setrum dilarang oleh pemerintah. Akan tetapi, walaupun ada larangan tetap saja ada beberapa nelayan yang masih menangkap dengan setrum.

Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan intensitas penangkapan yang tidak diatur dengan baik merupakan salah satu faktor penyebab penurunan opulasi ikan.

Konsep pengelolaan sumberdaya perikanan ikan brek di Sungai Serayu antara lain penentuan ukuran ikan yang dapat ditangkap, pengaturan ukuran mata jaring yang dapat dioperasikan, pengaturan musim dan lokasi penangkapan; sedangkan upaya pengembangannya dilakukan dengan cara pengembangan domestikasi sebagai dasar budidaya ikan brek.

Penentuan ukuran ikan yang boleh ditangkap berdasarkan pada pertimbangan ikan telah mampu melakukan reproduksi. Ukuran ikan jantan yang tertangkap adalah 152 mm dan ikan betina 169 mm, sedangkan ukuran ikan tertangkap terbanyak pada selang kelas panjang total 90-105 mm. Berdasarkan selang ukuran tersebut maka ukuran ikan yang terbanyak tertangkap jauh lebih kecil dari ukuran ikan pertama kali matang gonad. Kondisi ini dapat menggangu rekrutmen ikan brek di Sungai Serayu karena ikan-ikan ini belum diberi kesempatan untuk bereproduksi. Berdasarkan hal tersebut, maka ukuran ikan brek yang ditangkap sebaiknya berukuran lebih dari 169 mm.

Penentuan ukuran ikan brek yang dapat ditangkap membawa akibat pada ukuran mata jaring yang digunakan. Ikan brek yang berukuran 152 umummya memiliki tinggi tubuh 40 mm dan ukuran 169 mm umumnya memiliki tinggi tubuh 43 mm. Hal ini mengakibatkan ikan brek banyak tertangkap dengan alat tangkap jaring insang yang berukuran mata jaring 1,5 inci, sehingga untuk menjaga kelestarian ikan brek, maka ukuran mata jaring yang dioperasikan sebaiknya berukuran 2 inci.

Pengaturan musim dan daerah penangkapan didasarkan pada musim pemijahan dan tempat pemijahanikan brekdi Sungai Serayu. Berdasarkan hasil penelitian ini, musim pemijahan terjadi pada bulan Oktober, sehingga wilayah yang dianggap sebagai daerah pemijahan yaitu pada zona hulu tidak diperbolehkan untuk melakukan kegiatan penangkapan, sedangkan pada zona hilir dan tengah perlu dilakukan upaya perbaikan habitat, karena zona ini merupakan tempat mencari makan dan pembesaran.

Dokumen terkait