dengan SR = sensitivitas receiver (V/Pa), ΔV = perubahan tegangan listrik (V),
dan ΔP = perubahan tekanan akustik (Pa).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kekentalan Larutan Material Dasar Komposit Chitosan-PVA
Chitosan dalam bentuk fluida menghasilkan kekentalan yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh struktur kaku β-(1,4) yang dimiliki chitosan (Hwang dan Shin 2000).Selain itu jugaadanya gugus amina dan hidroksil bebas membentuk ikatan hidrogen dengan PVA (Kanatt et al. 2012). Kekentalan atau viskositas larutan dasar komposit chitosan dalam suhu 26°C berkisar antara 277,33 ± 9,24 cPs hingga 496,00 ± 13,86 cPs. Kekentalan larutan mengalami peningkatan seiring bobot massa terlarut dalam pelarut (Gambar 3).
Gambar 3 Kekentalan larutan material dasar komposit chitosan-PVA Viskositas larutan chitosan juga bergantung pada derajat deasetilasi, suhu, serta pelarut yang digunakan (Calero et al. 2010). Derajat deasetilasi (DD) menunjukkan jumlah gugus amino bebas dalam rantai molekul chitosan, yang juga menentukan sifat fungsional, kepolaran, serta kelarutan polimernya (Chattopadhyay dan Inamdar 2010). Parameter lain yang menentukan karakteristik chitosan yaitu bobot molekul. Chitosan dengan derajat deasetilasi 88% seperti yang digunakan dalam penelitian, memiliki bobot molekul sebesar 213 kDa (Huang et al. 2005). Jumlah molekul chitosan terlarut berkorelasi positif dengan bobot molekul, sehingga viskositas larutan semakin meningkat seiring meningkatnya konsentrasi chitosan yang ditambahkan.
Menurut Kumar et al. (2010), peningkatan konsentrasi chitosan
menimbulkan terjadinya tautan silang (cross-linking), akibat meningkatnya 285,33 ± 2,31 277,33 ± 9,24 496,00 ± 13,86 0,00 100,00 200,00 300,00 400,00 500,00 600,00
PVA 5% Komposit chitosan 1%-PVA 5% Komposit chitosan 2%-PVA 5% Vis k o sit a s (cP s) Larutan Dasar
9
jumlah ikatan hidrogen pada gugus hidroksil chitosan dan polivinil alkohol. Proses taut silang mempengaruhi tegangan permukaan, dan akan menghasilkan struktur solid dengan sifat mekanis yang semakin baik. Tegangan permukaan film akan meningkat seiring dengan penambahan zat terlarut dalam larutan (Ravichandran dan Ramanathan 2012). Tegangan (tension) diafragma komposit
chitosan, dalam aplikasinya pada sensor akustik serat optik, berfungsi untuk meningkatkan rentang respon sensor serta menjaga permukaan diafragma agar tetap datar (Bucaro et al. 2005).
Spektroskopi Gugus Fungsi Material Komposit Chitosan-PVA
Analisis FTIR digunakan dalam penentuan keberadaan gugus fungsi serta pembentukan jaringan taut silang pada diafragma komposit chitosan. Sinar inframerah menyebabkan vibrasi pada ikatan antarmolekul, baik berupa rentangan (stretching) maupun bengkokan (bending). Setiap molekul memiliki spektra inframerah yang spesifik atau sidik jari (fingerprint) tertentu. Spektra inframerah berupa kurva bilangan gelombang yang berkisar antara 4000-400 cm-1 terhadap persen transmitansi diperlihatkan pada Gambar 4.
Gambar 4 Spektra inframerah chitosan (a), PVA (b), komposit chitosan 1%-PVA 5% (c), komposit chitosan 2%-PVA 5% (d)
a
b
c
10
Spektra gugus yang terlihat pada diafragma tanpa penambahan chitosan (b) menunjukkan bilangan gelombang pada 3364 cm-1,yang merupakan gugus fungsi dari hidroksil (-OH). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan Bonilla et al.
(2014) yang menyatakan spektra dari gugus -OH film PVA murni berada pada bilangan gelombang 3455 cm-1. Secara spesifik, pita lebar pada daerah serapan 3550 dan 3200 cm-1 berkaitan dengan rentangan -OH dari ikatan hidrogen baik antarmolekul maupun intramolekul (Parida et al. 2011). Perubahan bilangan gelombang gugus -OH pada setiap konsentrasi disebabkan oleh terbentuknya ikatan hidrogen antara gugus hidrogen dari chitosan dan PVA. Intensitas pita gugus hidroksil pada diafragma komposit lebih kuat dibandingkan pada diafragma PVA murni (Lu et al. 2006).
Serapan tajam dan kuat pada bilangan gelombang 1100 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi regangan gugus C-O pada chitosan. Puncak antara daerah 1750-1735 cm-1 disebabkan oleh adanya regangan gugus C=O dari gugus asetat yang masih tersisa dalam molekul PVA, akibat reaksi saponifikasi awal dari bentuk polivinil asetat (Parida et al. 2011). Costa-Júnior et al. (2009) melaporkan, vibrasi simetris gugus amina (N-H) menyebabkan terjadinya pita lebar pada bilangan gelombang 3447 cm-1. Diafragma komposit chitosan sensor akustik serat optik dengan konsentrasi chitosan 1% dan 2% belum menunjukkan spektra dari gugus N-H. Hasil tersebut diduga pada diafragma komposit chitosan 1% dan 2%, konsentrasi chitosan masih rendah sehingga belum terlihat gugus N-H. Hal ini didukung oleh pernyataan El-Hefian et al. (2010) bahwa peningkatan konsentrasi PVA dapat menghilangkan spektra dari gugus N-H dan terjadi peningkatan intensitas gugus C-H, yang teramati pada bilangan gelombang 3000-2840 cm-1.
Ikatan hidrogen yang terjadi pada gugus-gugus seperti –OH dan N-H akan menghasilkan serapan pada bilangan gelombang yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak membentuk ikatan hidrogen (bebas). Perubahan serapan pada sekitar 3450 cm-1 dari chitosan murni menjadi komposit, terjadi akibat penambahan PVA yang menyebabkan meningkatnya jumlah ikatan hidrogen antarmolekul chitosan dan PVA (Zheng et al. 2001). Perbedaan intensitas serapan akibat peningkatan konsentrasi chitosan diduga disebabkan oleh adanya interaksi positif antara PVA dan chitosan pada tingkat atomik. Perubahan momen dipol atau perbedaan elektronegativitas pada atom-atom tertentu menunjukkan adanya interaksi antara kedua atom yang berikatan (El-Sayed et al. 2009).
Morfologi Material Komposit Chitosan-PVA
Analisis morfologis yang dilakukan mencakup kenampakan dan kondisi diafragma komposit chitosan setelah pengeringan. Tingkat transparansi membran menurun seiring peningkatan konsentrasi chitosan yang digunakan. Diafragma komposit yang terbentuk berupa lembaran plastik tipis transparan dengan warna sedikit kekuningan. Secara visual, terlihat diafragma tersusun atas campuran yang homogen antara chitosan dengan PVA. Kenampakan diafragma komposit
chitosan disajikan pada Gambar 5.
Diafragma PVA tanpa penambahan chitosan menunjukkan transparansi yang bening dibandingkan diafragma komposit dengan chitosan 1% dan chitosan
11
oleh konsentrasi chitosan yang digunakan. Menurut López-Mata et al. (2013), warna kekuningan pada film chitosan merupakan karakteristik alami dari gugus β -(1-4)-2 amino-2-deoksi-D-glukopiranosa yang terdapat pada rantai chitosan. Semakin tinggi konsentrasi chitosan yang digunakan menyebabkan warna larutan menjadi semakin kuning, sehingga menghasilkan warna diafragma komposit
chitosan sensor akustik serat optik menjadi kuning pekat. Warna diafragma merupakan salah satu faktor penting dalam fabrikasi mikrofon berupa sensor optik, karena dapat mempengaruhi proses refleksi cahaya pada diafragma. Teknik pengeringan udara dengan suhu 40°C digunakan untuk mempertahankan warna akhir film yang dihasilkan sehingga tidak terlalu gelap. Penggunaan suhu yang lebih tinggi dapat meningkatkan reaksi pencoklatan Maillard (Mayachiew dan Devahastin 2008), yang menyebabkan kenampakan film chitosan semakin kekuningan.
Gambar 5 Kenampakan diafragma PVA 5% (a), komposit chitosan 1%-PVA 5% (b), dan komposit chitosan 2%-PVA 5% (c)
Diafragma komposit chitosan yang dihasilkan secara umum tampak halus dan homogen serta terdapat butir-butir halus yang seragam pada permukaan (Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa chitosan dan PVA tercampur dengan baik atau kemungkinan terjadi interaksi antara chitosan dan PVA. Pengamatan diafragma tanpa chitosan pada perbesaran 1000× menunjukkan adanya bintik-bintik putih yang teratur dan tersebar cukup merata. Tripathi et al. (2009) melaporkan, film PVA murni memiliki karakteristik berpola berupa granula pati berwarna putih. Hal ini juga ditemukan pada diafragma dengan penambahan
chitosan 1% dan 2%, dengan distribusi yang semakin jarang. Diafragma komposit
chitosan 1% yang teramati memiliki granula berukuran lebih kecil dibandingkan diafragma komposit chitosan 2%, serta terdistribusi merata. Granula pada diafragma komposit chitosan 2% berukuran besar dengan distribusi yang jarang dan cenderung mengelompok. Distribusi granula chitosan pada perbesaran lebih tinggi cenderung tidak teratur, yang mungkin disebabkan oleh pemisahan fase yang terjadi akibat perbedaan energi proses taut silang pada PVA murni dan
chitosan (Costa-Júnior et al. 2009).
López-Mata et al. (2013) melaporkan chitosan akan menghasilkan membran dengan permukaan yang tidak berpori, walaupun ditemukan pula pori yang tersebar seragam pada permukaan film chitosan murni. Hal ini dapat disebabkan oleh sifat alami dari chitosan yang digunakan, seperti derajat deasetilasi dan bobot molekul (Pereda et al. 2011). Proses pengeringan lambat yang dilakukan menghasilkan diafragma dengan permukaan yang tidak terlalu berpori serta dapat
12
memantulkan cahaya dengan baik (Chen et al. 2010a). Meneghello et al. (2008) menyatakan, permukaan film yang berpori merupakan karakteristik dari penambahan polivinil alkohol dalam komposit. Masing-masing diafragma komposit pada Gambar 6 menunjukkan adanya sedikit pori dengan kerapatan yang tinggi, karena waktu penguapan larutan yang lebih lama. Lapisan berpori pada mikrofon dapat mengurangi tekanan internal diafragma serta meningkatkan stabilitas performanya (Kronast et al. 2001).
Gambar 6 Analisis SEM permukaan diafragma PVA 5% (a), komposit chitosan 1%-PVA 5% (b), dan komposit chitosan 2%-PVA 5% (c)
Diafragma komposit dengan penambahan chitosan 1% pada perbesaran 5000× menunjukkan beberapa mikrostruktur identik dengan keretakan (crack). Struktur tersebut diduga terjadi akibat partikel chitosan dalam film kurang dapat mengalami kristalinisasi (Bhuvaneshwari et al. 2011). Chitosan membentuk struktur solid semi-kristalin pada film komposit. Rotta et al. (2011)
a.1 a.2
b.1 b.2
13
menambahkan, kemampuan suatu polimer untuk berubah fase menjadi kristal bergantung pada keteraturan struktur. Kepolaran molekul serta adanya ikatan hidrogen pada rantai polimer merupakan faktor yang mempengaruhi kristalinitas. Struktur amorf pada chitosan dan PVA dapat mengalami kristalinisasi yang kurang sempurna saat pencampuran. Penurunan tingkat kristalinitas pada campuran chitosan dan PVA diduga terjadi akibat meningkatnya ikatan hidrogen antarmolekul keduanya (Lu et al. 2006). Proses yang terganggu tersebut menghasilkan polimer komposit yang kurang kompak (Lu et al. 2006), dan akan mengurangi kualitas sifat mekaniknya. Kerusakan mikrostruktur pada diafragma hanya terjadi pada beberapa bagian saja, sehingga dalam aplikasinya pada sensor akustik hanya digunakan penampang diafragma dalam kondisi yang baik.
Gambar 7 AnalisisSEM penampang melintang diafragma PVA 5% (a), komposit chitosan 1%-PVA 5% (b), dan komposit chitosan 2%-PVA 5% (c) Struktur mikro film komposit chitosan yang teramati secara melintang (cross-section) ditampilkan pada Gambar 7. Secara keseluruhan, film yang dihasilkan memiliki struktur permukaan yang halus, kompak, dan homogen. Terdapat sedikit rongga yang ditemukan pada diafragma dengan penambahan
chitosan 2%. Pengamatan dalam perbesaran yang sama (2000×) memperlihatkan bahwa diafragma PVA memiliki ketebalan yang paling rendah, dan terus meningkat seiring penambahan konsentrasi chitosan. Bonilla et al. (2014) menyatakan bahwa peningkatan ketebalan seiring konsentrasi chitosan
disebabkan oleh lapisan hidrasi yang semakin lebar pada rantai chitosan. Lapisan hidrasi atau hydration layers, menurut Wang dan Gunasekaran (2006), terbentuk di sekitar rantai polimer karena adanya gugus amin yang menjadi bermuatan positif dan berasosiasi dengan molekul air. Dengan kata lain, lapisan hidrasi merupakan kelompok molekul air yang terorientasi di sekitar ion. Setelah ditambahkan chitosan, kemampuan film komposit untuk mengikat air juga semakin meningkat dan berbanding lurus dengan ketebalan.
Karakteristik Mekanik Material Komposit Chitosan-PVA Ketebalan dan kelembapan relatif material komposit chitosan-PVA
Diafragma komposit chitosan-PVA yang telah mengalami proses pengeringan memiliki karakteristik fisik berupa ketebalan dan kelembapan relatif (Tabel 1). Peningkatan konsentrasi chitosan menghasilkan diafragma dengan ketebalan yang semakin tinggi pula. Jumlah molekul terlarut yang semakin banyak dalam larutan meningkatkan interaksi antarmolekul penyusunnya. Struktur
14
taut silang (crosslinking) yang terbentuk akibat ikatan molekul PVA dan chitosan
berkontribusi terhadap ketebalan diafragma (Kumar et al. 2010). Terlebih lagi, rasio chitosan dalam campuran yang semakin tinggi meningkatkan jumlah ikatan hidrogen antara gugus hidroksil dari chitosan dan PVA, berbanding lurus dengan pengaruh struktur tautan silang.
Tabel 1 Ketebalan dan kelembapan material komposit chitosan-PVA
Diafragma Ketebalan
(μm)
Kelembapan relatif (%)
PVA 5% 135,64 ± 28,79 70,3 Komposit chitosan 1%-PVA 5% 178,09 ± 45,58 68,5 Komposit chitosan 2%-PVA 5% 242,55 ± 36,43 67,9
Salah satu komponen penting dalam mikrofon optik berbasis intensitas yaitu diafragma. Ketebalan diafragma serta jenis material yang berbeda-beda menghasilkan respon sensitivitas yang spesifik. Proses bergetarnya diafragma setelah diberikan tekanan akustik dapat pula dipengaruhi oleh ketebalan yang digunakan. Qi et al. (2013) menggunakan diafragma polimer pada sensor akustik dengan ketebalan 100 μm dan 150 μm. Diafragma chitosan-PVA dalam penelitian memiliki ketebalan pascadehidrasi yang tidak jauh berbeda. Penurunan nilai ketebalan diafragma mikrofon dapat meningkatkan sensitivitas, tetapi mengurangi rentang deteksi yang dapat diterima (Teixeira et al. 2014).
Polivinil alkohol (PVA) merupakan polimer semikristalin larut air yang memiliki sifat fisik baik, karena memiliki gugus –OH serta kemampuannya dalam membentuk ikatan hidrogen (Abdelrazek et al. 2010). Karakteristik alami PVA yang sangat hidrofilik (Bonilla et al. 2014) menghasilkan membran berbasis PVA dengan kelembapan relatif cukup tinggi, seperti terlihat pada Tabel 1. Diafragma komposit chitosan 0% memiliki nilai kelembapan relatif (RH) yang tertinggi, yaitu 70,3%. Penambahan chitosan 1% dan 2% menyebabkan penurunan nilai kelembapan relatif diafragma, yaitu berturut-turut 68,5% dan 67,9%. Menurut Srinivasa (2004), diafragma akan semakin bertekstur lunak dan lentur seiring peningkatan jumlah air di dalamnya. Mayachiew dan Devahastin (2008) melaporkan, suhu pengeringan juga berpengaruh terhadap kelembapan film yang dihasilkan. Pengeringan menggunakan suhu tinggi akan menghasilkan film dengan kelembapan yang lebih rendah. Film yang dibuat menggunakan teknik pengeringan udara dengan oven bersuhu 40°C memiliki nilai RH yang cenderung tinggi. Respon berupa rentang sensitivitas tinggi diharapkan dapat ditunjukkan oleh mikrofon optik, sehingga membutuhkan diafragma dengan tegangan permukaan yang lebih besar atau tingkat RH yang semakin kecil untuk menjaga kestabilan kinerjanya.
Pola spektrum transmitansi diafragma komposit chitosan-PVA pada Gambar 8, memperlihatkan bahwa diafragma PVA murni meneruskan cahaya 77-88%, diafragma komposit chitosan 1%-PVA 5% meneruskan cahaya dalam rentang 64-84%, serta diafragma komposit chitosan 2%-PVA 5% meneruskan cahaya 29-76%. Diafragma komposit dengan konsentrasi chitosan yang semakin tinggi memiliki kecenderungan untuk lebih banyak menyerap cahaya, dilihat dari nilai transmitansinya yang semakin menurun. Transparansi lapisan polimer dapat
15
dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk ketebalan diafragma (Elsabee dan Abdou 2013). Ketebalan membran komposit (Tabel 1) yang berbanding lurus dengan bertambahnya konsentrasi chitosan berkaitan erat dengan persentase transmitansi masing-masing diafragma.
Gambar 8 Sifat optik transmitansi material komposit chitosan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. PVA 5%, komposit chitosan
1%-PVA 5%, komposit chitosan 2%-PVA 5%. Sifat optik diafragma berupa rentang transmitansi diukur pada panjang gelombang 250-700 nm. Rentang 273-280 nm merupakan spektra absorbansi ikatan rangkap C=O (Abdelrazek et al. 2010), yang nilainya meningkat seiring dengan penambahan chitosan. Hal tersebut menunjukkan adanya interaksi yang baik antara rantai chitosan dan PVA dalam polimer (Bonilla et al. 2014). Nilai absorbansi menyatakan banyaknya cahaya yang diserap oleh sampel, berbanding terbalik dengan banyaknya cahaya yang diteruskan atau dinyatakan dalam persen transmitansi. Intensitas absorban yang semakin meningkat, atau persen transmitan yang semakin berkurang pada rentang tersebut mengindikasikan bahwa chitosan
dapat digunakan sebagai sensor optik pada bidang optik, termasuk optoakustik. Penggunaan lapisan reflektor berupa cat perak pada mikrofon optik (modifikasi Bucaro dan Lagakos 2001) bersifat sinergis dengan kualitas optis diafragma, dalam mekanisme pemantulan cahaya melalui serat optik.
Kuat tarik, elongasi, dan modulus Young material komposit chitosan-PVA Pengujian sifat mekanis dari diafragma komposit dilakukan untuk mengetahui kekuatan tarik lapisan komposit chitosan-PVA serta pertambahan panjang ketika diberikan beban. Parameter-parameter tersebut berkaitan erat dengan interaksi antara molekul-molekul yang membentuk jaringan pada diafragma. Modulus elastisitas atau modulus Young merupakan parameter yang menggambarkan derajat kekakuan suatu material. Selain itu, modulus Young juga memberikan informasi mengenai tingkat kekerasan atau ketahanan material pada deformasi elastis (Rotta et al. 2011). Nilai kekuatan tarik, perpanjangan putus, serta modulus Young diafragma komposit chitosan-PVA disajikan pada Tabel 2.
0 20 40 60 80 100 120 200 400 600 800 T ra ns m it a ns i (%) Panjang gelombang (nm)
16
Tabel 2 Kekuatan tarik, perpanjangan, dan modulus Young material komposit
chitosan-PVA
Diafragma Kekuatan tarik (N) Perpanjangan (%) Modulus Young (104 N/m2) PVA 5% 34,56 ± 7,89 127,84 ± 8,13 2,41 ± 0,56 Chitosan 1%-PVA 5% 38,83 ± 8,23 98,85 ± 7,21 3,52 ± 0,92 Chitosan 2%-PVA 5% 44,03 ± 7,70 80,06 ± 3,68 4,89 ± 0,83
Kekuatan tarik (tensile strength) merupakan ketahanan diafragma ketika diberikan gaya tarik berlawanan. Pencampuran polimer dalam komposit menyebabkan terjadinya interaksi antarmolekuler, yang dapat meningkatkan kekuatan mekanik film. Interaksi gugus –OH dan –NH2 dalam polimer chitosan
dan PVA berkorelasi positif dengan karakteristik mekanik diafragma yang dihasilkan (Bahrami et al. 2003). Seperti terlihat pada Tabel 2, diafragma komposit dengan penambahan chitosan 2% memiliki nilai kuat tarik yang tertinggi, sedangkan diafragma PVA murni menunjukkan nilai yang paling rendah. Elongasi atau perpanjangan putus menunjukkan persentase pertambahan panjang maksimal diafragma hingga mengalami perubahan bentuk (deformasi) atau putus. Persentase elongasi diafragma PVA 5% sebesar 127,84 ± 8,13%, merupakan yang paling tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan El-Hefian et al.
(2011), bahwa film PVA tanpa penambahan chitosan memiliki nilai elongasi yang lebih tinggi. Ketika bobot molekul chitosan mengalami peningkatan, terbentuk jaringan yang semakin kompak sehingga kekuatan tarik meningkat, tetapi elongasinya menurun (Leceta et al. 2013). Semakin besar daya tahan membran terhadap gaya tarik yang diberikan, maka kemampuan untuk mengalami kemuluran juga akan semakin mengecil, sehingga nilai elongasinya juga menurun seiring meningkatnya kekuatan tarik.
Parameter utama dalam performa sebuah mikrofon yaitu sensitivitas. Nilai sensitivitas sensor akustik sangat dipengaruhi oleh modulus Young diafragma, karena nilai modulus elastisitas yang terlalu tinggi justru dapat membatasi rentang kepekaan sensor (Wang et al. 2013). Modulus Young chitosan jauh lebih rendah dibandingkan sensing film yang biasa digunakan (Chen et al. 2010a), sehingga diharapkan akan meningkatkan sensitivitas sensor akustik serat optik. Pemanfaatan chitosan murni sebagai material industri tidak banyak ditemukan (Nakano et al. 2007), karena sifat mekanik maksimumnya yang jauh lebih rendah dibandingkan material lain seperti nilon, polietilen tereptalat (PETE), maupun polipropilen (PP). Polivinil alkohol merupakan salah satu polimer sintetik yang memiliki ketahanan tarik baik dan kompositnya dengan chitosan menghasilkan karakteristik mekanik yang semakin baik (Castro et al. 2005). Penambahan polivinil alkohol dalam komposit dapat meningkatkan fleksibilitas membran, yang menunjang mekanisme getaran diafragma ketika diberikan tekanan akustik.
Kurva stress-strain pada Gambar 9 menunjukkan hubungan antara gaya tarikan dengan perubahan panjang, berupa rasio tegangan dan regangan yang konstan. Deformasi polimer yang diperlihatkan oleh diafragma PVA murni dalam kurva termasuk dalam kategori elastis-plastis, sedangkan diafragma komposit dengan chitosan 1% dan chitosan 2% memiliki pola elastis-rapuh. Garis yang menunjukkan diafragma tanpa mencapai titik tegangan maksimum secara linear
17
(daerah elastis), kemudian menurun pada daerah plastis. Di daerah plastis, diafragma akan semakin mengalami elongasi tetapi tidak dapat kembali ke bentuk semula setelah mencapai puncak kuat tarik (Amimori et al. 2003). Sementara itu, diafragma komposit chitosan 1% dan komposit chitosan 2% memiliki struktur elastis-rapuh (Aryaei et al. 2012), yang mengindikasikan bahwa lapisan tersebut dapat kembali posisi normal setelah diberikan gaya tarikan.
Gambar 9 Kurva tegangan-regangan material komposit chitosan. PVA 5%, komposit chitosan 1% - PVA 5%, komposit
chitosan 2% - PVA 5%.
Sifat mekanik membran seperti kekuatan tarik diukur untuk menghasilkan rentang tekanan akustik yang diinginkan (Bucaro dan Lagakos 2001). Sensor akustik serat optik dalam penelitian Qi et al. (2013) menggunakan diafragma silikon dengan nilai modulus Young sebesar 1,9×1017 N/m2. Diafragma komposit
chitosan 2% dan PVA 5% memiliki modulus Young paling tinggi, yaitu 4,89×104 N/m2 dan jauh lebih rendah dibandingkan diafragma silikon murni. Modulus lentur silikon yang terlalu tinggi justru dapat mengurangi rentang kepekaan mikrofon (Wang et al. 2013). Model diafragma chitosan 2%-PVA 5% dengan elastisitas terbaik diduga dapat menghasilkan respon sensitivitas yang lebih tinggi.
Respon Dinamik Sensor Akustik Serat Optik Berbasis Komposit
Chitosan-PVA
Sensor akustik merupakan salah satu jenis sensor yang menggunakan gelombang suara sebagai sumber rangsangan. Rentang gelombang suara yang dapat ditangkap oleh sensor akustik bervariasi, tergantung pada sensitivitas, ambang batas frekuensi, ukuran sensor, dan sebagainya (Fraden 2010). Gelombang akustik termasuk gelombang mekanik yang akan dibelokkan ketika mengenai sensor dan dikonversikan menjadi sinyal-sinyal elektrik. Sinyal tersebut yang akan diinterpretasi untuk didapatkan datanya.
0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120 140 K ek ua ta n ta rik ( N) Perpanjangan putus (%)
18
Analisis respon diafragma terhadap tekanan akustik dilakukan untuk mengetahui besarnya daya serap akustik oleh diafragma komposit chitosan. Pengukuran respon dinamik awal dilakukan menggunakan gelombang akustik pada frekuensi 1000 Hz, dalam empat variasi intensitas. Hal ini mengacu pada standar internasional pengukuran sensitivitas sensor akustik serat optik, yaitu dalam satuan milivolt per Pascal (mV/Pa) pada 1 kHz (Chen et al. 2010b). Pengujian respon sensor dalam satuan waktu rata-rata tertentu juga mengikuti standar internasional, yaitu berupa pengukuran lambat selama 1 detik. Pengukuran lambat memungkinkan tingkat tekanan suara yang diterima lebih stabil dan data lebih mudah terbaca dibandingkan melalui pengukuran cepat pada 125 milidetik (Vorländer 2013). Respon yang ditunjukkan berupa amplitudo tegangan (voltage), dan pada tingkat frekuensi akustik tertentu menunjukkan bentuk gelombang (Lampiran 3).
Sistem sensor akustik serat optik menggunakan diafragma yang sangat tipis dan fleksibel, yang bergetar karena adanya pergerakan udara dalam medan suara. Getaran diafragma akan dikonversi oleh interaksi gaya elektromagnetik menjadi sinyal elektrik (Vorländer 2013). Diafragma komposit dengan konsentrasi
chitosan 2% menghasilkan nilai respon paling tinggi pada setiap frekuensi cupliknya, yaitu dengan rataan rentang kenaikan sebesar 0,013 V. Diafragma PVA 5% dan komposit chitosan 1%-PVA 5% merespon tegangan dengan amplitudo yang sama, yaitu 0,006 V. Ketika diberikan tekanan akustik hingga maksimum, diafragma chitosan mengalami deformasi minimum. Karakteristik tersebut memungkinkan diafragma chitosan untuk kembali ke posisi setimbang saat bergetar, dan mengurangi pengaruh dari tekanan balik yang dapat mengubah tegangan permukaan diafragma (Chen et al. 2010b).
Gambar 10 Tegangan keluaran (Voutput) terhadap tekanan akustik pada frekuensi 1000 Hz. PVA 5%, ■ komposit chitosan 1%-PVA 5%, ▲ komposit chitosan 2%-PVA 5%.
Intensitas dalam satuan desibel (dB) diukur menggunakan sound level meter, yang menyatakan prediksi sensitivitas membran untuk dapat bergetar jika terpapar tekanan partikel udara (Kartika 2014). Pengujian respon mikrofon
0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 T eg a ng a n ( V) Tekanan (mPa)
19
dilakukan dalam empat intensitas bunyi berbeda, yaitu berturut-turut 92,6 dB, 99,2 dB, 103,7 dB, dan 105,8 dB. Nilai intensitas digunakan dalam penghitungan tekanan akustik (mPa) yang diarahkan pada mikrofon optik. Respon masing-masing diafragma pada frekuensi 1000 Hz ditampilkan dalam kurva tegangan keluaran (Voutput) terhadap tekanan akustik pada Gambar 10. Komposit chitosan
1%-PVA 5% dan komposit chitosan 2%-PVA 5% menunjukkan kecenderungan linear pada tegangan yang lebih tinggi dibandingkan diafragma PVA murni, dengan kemiringan (slope) chitosan 2% yang lebih curam. Hal tersebut berkaitan dengan besar sensitivitas yang disajikan pada Tabel 3.
Sensitivitas Sensor Akustik Serat Optik Berbasis Komposit Chitosan-PVA Sensitivitas merupakan salah satu indikator performa baik pada sebuah sensor akustik. Kepekaan atau sensitivitas yaitu kemampuan sensor untuk mengubah tegangan akustik yang diterima menjadi tegangan listrik yang dihasilkan. Nilai sensitivitas receiver ditentukan melalui penghitungan kemiringan kurva tegangan-tekanan, yang dinyatakan dalam perubahan tegangan listrik (ΔV) per perubahan tekanan akustik (ΔP).
Tabel 3 Sensitivitas sensor akustik serat optik dalam frekuensi 1000 Hz
Diafragma Sensitivitas
(mV/Pa)
PVA 5% 0
Komposit chitosan 1%-PVA 5% 1,31 Komposit chitosan 2%-PVA 5% 3,28
Diafragma PVA murni memiliki nilai sensitivitas 0 mV/Pa, yang berarti diafragma tidak merespon tekanan akustik yang diberikan. Hal ini terlihat pada