• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODOLOGI

4.2 Pembahasan

Gambar 9. Hubungan bobot tubuh - telur ovulasi ikan sumatra Puntius tetrazona

Gambar 9 menunjukkan hubungan antara bobot tubuh ikan sumatra dengan fekunditas. Persamaan y = 131,14x + 184,07 dengan R2 = 0,2407 menunjukan bahwa semakin besar bobot tubuh ikan sumatra maka telur yang diovulasikan akan semakin besar pula.

4.2 Pembahasan

Penyuntikan AI (100 ppm) pada perlakuan AI dengan dosis 0,5 ml/kg mampu mempercepat pematangan gonad dan proses ovulasi pada ikan sumatra

Puntius tetrazona pada selang waktu 12 – 14 jam setelah penyuntikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Afonso et al. (1999), pemberian AI sebesar 10 mg/kg pada induk coho salmon siap pijah menghasilkan waktu ovulasi pada hari ke-10 yaitu sebesar 67% dengan fertilitas 85%. Aromatase inhibitor adalah bahan kimia yang mampu menghambat atau menghentikan kerja enzim aromatase sehingga menghambat produksi hormon esterogen yang ada di otak maupun gonad (Sumantri, 2006). Hal yang sama terjadi pada ovaprim yaitu 100 % ikan mengalami ovulasi sestelah penyuntikan. Namun, penyuntikan anti dopamin (10 mg/ml) secara tunggal tidak mampu mempercepat pematangan gonad dan proses ovulasi pada ikan sumatra Puntius tetrazona dalam 24 jam, hal ini diduga penyuntikan anti dopamin secara tunggal tidak bisa memaksa otak untuk mengeluarkan LHRH pada disebabkan masih berjalan proses vitelogenesis.

y = 131,14x + 184,07 R² = 0,2407 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 1 2 3 4 5 6 Bobot Tubuh (g) T el u r O vu las i ( b u ti r)

Anti-dopamin yang terkandung dalam ovaprim berfungsi untuk memblok dopamin sehingga menstimulasi sekresi gonadotropin. Menurut Harker (1992) dalam Prasetya (2002), anti-dopamin adalah bahan kimia yang dapat menghentikan kerja dopamin sedangkan dopamin adalah bahan kimia yang menghambat pelepasan hormon dari pituitari dan juga menghambat pituitari dalam merespon penyuntikan LHRHa.

Kombinasi aromatase inhibitor (AI), anti dopamian (AD) dan ovaprim dengan proporsi yang berbeda pada pemijahan ikan sumatra mampu mempercepat pematangan gonad dan ovulasi telur pada induk betina. Hal ini terjadi karena AI dan AD memiliki fungsi dalam proses fisiologi reproduksi ikan yaitu pada tahap pematangan telur (final maturation) dan ovulasi pada induk ikan betina.

Dari Tabel 1 dan Gambar 3 dapat dilihat bahwa pengurangan proporsi ovaprim mulai dari 50 – 25 % volume suntik dengan penambahan larutan AI 100 ppm dan AD 100 ppt mampu merangsang proses pematangan telur dan ovulasi pada induk sumatra betina. Hal ini dapat dilihat dari persentase jumlah ikan yang mengalami ovulasi setelah disuntik ovaprim sesuai dengan perlakuan dimana seluruh induk betina pada perlakuan B.I, B.II, B.III, ovaprim, AI, dan AD mengalami ovulasi kecuali pada perlakuan AD. Pada Spawnprime B.I, B.II, B.III, dan ovaprim, induk betina sumatra yang berhasil ovulasi disebabkan karena adanya stimulasi hormon dari ovaprim yang mengandung LHRH dan anti dopamin yang merangsang kelenjar hipofisa untuk mensekresikan GtH II dan menghambat sekresi dopamin yang dapat menghambat pelepasan hormon oleh kelenjar hipofisa. GtH II akan sampai ke gonad melalui peredaran darah kemudian merangsang lapisan teka untuk mensekrsikan hormon 17 -hidroksi progesteron yang kemudian akan diubah menjadi maturating inducing steroid (MIS) oleh enzim 20 -dihidroksi steroid dehidrogenase yang akan merangsang proses peleburan inti telur dan pecahnya lapisan folikel sehingga telur keluar menuju rongga ovari. Pada perlakuan AI, induk sumatra betina yang ovulasi disebabkan adanya stimulasi dari aromatase inhibitor sehingga kerja enzim aromatase yang ada di otak maupun gonad menjadi terhambat. Terhambatnya kerja enzim aromatase dalam mengubah testosteron menjadi estradiol-17β pada lapisan sel granulosa menyebabkan konsentrasi hormon estradiol-17β dalam darah menurun

sehingga menghambat hati untuk mensintesis vitelogenin yang mengakibatkan terhentinya proses viteligenesis. Hal ini merupakan sinyal balik bagi hipofisa untuk memproduksi GTH II yang berperan dalam proses pematangan akhir (final maturation) dan ovulasi. Namun pada perlakuan AD tidak satupun induk betina sumatra yang mengalami ovulasi, hal ini diduga karena tidak adanya sinkronisasi kerja anti dopamin dengan sistem hormon pada tubuh induk betina dimana kondisi induk masih pada tahap vitelogenesis. Keberadaan anti dopamin dalam menghambat kerja dopamin pada otak tidak mampu memaksa otak untuk meranmengeluarkan LHRH dalam jumlah yang cukup untuk merangsang kelenjar pituitari untuk mengeluarkan LH segingga tidak terjadi pematangan gonad.

Dari Gambar 4 terlihat adanya perbedaan lama waktu ovulasi pada tiap-tiap perlakuan. Hal ini disebabkan oleh penurunan konsentrasi LHRH yang disuntikan akibat dari pengurangan proporsi ovaprim yang digunakan sesuai dengan rancangan perlakuan. Waktu ovulasi tercepat yaitu pada ovaprim selama 8 jam kemudian semakin lama seiring dengan penurunan proporsi ovaprim yaitu pada Spawnprime B.I, B.III, B.II, dan perlakuan AI yaitu berturut-turut selama 12 jam, 13 jam, 14 jam, dan 14 jam. Spawnprime B.I memiliki rata-rata waktu ovulasi lebih cepat bila dibandingkan dengan waktu ovulasi Spawnprime B.III dan B.II ,hal ini disebabkan konsentrasi ovaprim pada Spawnprime B.I dua kali lebih besar dari Spawnprime B.III dan B.II. Hal ini mengakibatkan konsentrasi LHRH dan anti dopamin yang disuntikkan ke dalam tubuh ikan menjadi lebih besar dan menstimulasi kelenjar hipofiasa untuk lebih banyak mensekresikan GtH II. Jumlah GtH II yang semakin banyak menyebabkan keberadaannya dalam plasma darah semakin lama sehingga dapat memaksimalkan proses pematangan gonad dan mempercepat proses ovulasi. Spawnprime B.III memiliki rata-rata waktu ovulasi lebih cepat dibandingkan dengan Spawnprime B.II walaupun jumlah proporsi ovarpim sama besar, hal ini diduga disebabkan konsentrasi anti dopamin pada Spawnprime B.III lebih besar sehingga pelepasan GtH II oleh kelenjar hipofisa dapat berjalan dengan baik. Hal ini juga dikemukakan oleh Kestemont (1988) dalamNovianto (2004) yang menyatakan bahwa kombinasi antara LHRH-a dLHRH-an pimodize dLHRH-apLHRH-at menyebLHRH-abkLHRH-an tingginyLHRH-a GtH yLHRH-ang disekresikLHRH-an dLHRH-an keberadaannya dalam plasma darah lebih lama.

Menurut Mittelmark (2008) hormon memegang peran yang sangat kritis dalam proses reproduksi. Semakin menurunnya konsentrasi LHRH dalam darah mengakibatkan proses pematangan gonad dan ovulasi menjadi lebih lambat.

Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa telur yang diovulasikan pada

Spawnprime B yaitu berkisar antara 570 -791 butir, lebih besar dari ovapim yaitu 510 butir.

Gambar 6 menunjukkan tingkat ovulasi dari tiap-tiap perlakuan telihat adanya perbedaan tingkat ovulasi baik antar perlakuan B.I, B.II, B.III maupun ovaprim, AI, dan AD. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh dari tiga jenis bahan dengan fungsi dan mekanisme kerja yang berbeda pada sistem reproduksi ikan terhadap proses pematangan telur dan ovulasi. Tingkat ovulasi tertinggi terdapat pada Spawnprime B.II yaitu sebesar 26,82 %. Spawnprime B.I, perlakuan AI,

Spawnprime B.III, dan ovaprim berturut-turut yaitu 24,84 %, 22,10 %, 19,32 % dan 17,28 %. Pada Spawnprime B.I, perlakuan AI, dan Spawnprime B.III memiliki tingkat ovulasi lebih besar dibandingkan ovaprim, hal ini menunjukkan bahwa pengurangan proporsi ovaprim dengan substitusi AI dan AD mampu merangsang pematangan telur dan ovulasi. Penambahan AI dan AD dapat menggantikan fungsi LHRH-a akibat pengurangan proporsi ovapim pada penyuntikan induk sumatra betina. Dengan penambahan AI maka kerja enzim aromatase dalam mengubah testosteron menjadi estradiol-17β pada lapisan sel granulosa menjadi terhambat. Hal ini menyebabkan konsentrasi hormon estradiol-17β dalam darah menurun sehingga menghambat hati untuk mensintesis vitelogenin akibatnya proses viteligenesis terhenti. Hal ini merupakan sinyal balik bagi hipofisa untuk memproduksi GTH II yang berperan dalam proses pematangan akhir (final maturation). Oleh karena itu kekurangan hormon LHRH-a dLHRH-apLHRH-at diimbLHRH-angi dengLHRH-an proses pemLHRH-atLHRH-angLHRH-an telur yLHRH-ang lebih LHRH-awLHRH-al LHRH-akibLHRH-at dLHRH-ari kerja AI dalam sistem hormon reproduksi ikan dan diduga ikan juga menghasilkan LHRH secara endogenous karena proses vitelogenesis terhenti akibat dari kerja AI. Demikian pula pada perlakuan AI, tingginya tingkat ovulasi disebabkan besarnya jumlah AI yang masuk ke dalam tubuh sehingga proses vitelogenesis terhenti dengan sempurna diikuti pelepasan GtH II oleh kelenjar hipofisa akibar dari feedback negatif.

Ukuran diameter telur dapat menggambarkan tingkat kematangan gonad pada ikan. Menurut Effendi (1979) kematangan seksual pada ikan dicirikan oleh perkembangan rata-rata diameter telur dan distribusi penyebaran ukuran telur.

Berdasarkan Gambar 7 terlihat bahwa diameter telur ikan sumatra yang diberi perlakuan memiliki perbedaan pada tiap-tiap perlakuan. Spawnprime B.I dan perlakuan AI memiliki diameter telur terbesar yaitu sebesar 1,10 mm. Diameter telur ovaprim, Spawnprime B.III, dan Spawnprime B.II berturut-turut yaitu 1,08 mm, 1,07 mm, dan 1,05 mm. Besarnya ukuran diameter telur pada

Spawnprime B.I dan perlakuan AI diduga disebabkan adanya LHRH endogenous dari tubuh ikan yang jumlahnya semakin meningkat dengan semakin besarnya proporsi AI yang diberikan.

Gambar 8 dan Tabel 2 menunjukan bahwa perkembangan embrio (embriogenesis) dan perkembangan larva pada spawnprim B tidak memiliki perbedaan yang signifikan bila dibandingkan dengan ovaprim. Hal ini dapat dilihat dari lama waktu menetas yang relatif sama serta tingkat kelangsungan hidup larva yaitu berkisar antara 97,75 – 100 %.

Dari persamaan y = 131,14x + 184,07 dengan R2 = 0,2407 (Gambar 9) menunjukan bahwa semakin besar bobot tubuh ikan sumatra maka jumlah telur yang diovulasikan akan semakin besar pula.

Luteinizing Hormone Releasing Hormon (LHRH) dan aromatase inhibitor (AI) berperan dalam mempercepat pematangan gonad. Penurunan LHRH dengan penambahan AI dan AD mampu mempercepat pematangan gonad dan ovulasi telur pada induk betina dalam pemijahan buatan (induced bredding). Dilihat dari segi ekonomi, AI memiliki harga yang sangat murah yaitu Rp. 10,00/mg.

Spawnprime B.I dengan harga sebesar Rp. 135.020,00 lebih murah 63,6 % dari harga ovaprim yaitu sebesar Rp. 220.000,00 namun tetap memberikan hasil terbaik dengan tingkat ovulasi pada Spawnprime B.I sebesar 27,44 % sedangkan ovaprim sebesar 19,65 %. Jika dibandingkan antara premiks Spawnprime B dan ovaprim maka premiks Spawnprime B.II dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif premiks hormon untuk pemijahan buatan (induced spawning).

Spawnprime B dapat dijadikan sebagai salah satu premiks domestik selain ovaprim untuk pemijahan buatan.

Dokumen terkait