• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Produksi Pabrik Gula Nasional

Pabrik gula nasional yang diteliti pada penelitian ini berjumlah 26 pabrik gula yang tersebar di Jawa dan Sumatera. Berdasarkan status kepemilikan, pabrik gula swasta yang termasuk ke dalam penelitian ini berjumlah tiga pabrik gula, yaitu: pabrik gula bernomor 1, 2, dan 26. Pabrik gula yang dimiliki oleh negara berada di bawah Perseroan Terbatas Perusahaan Negara (PTPN) yang bernomor selain dari pabrik gula swasta.

Karakteristik produksi pabrik gula nasional pada Tabel 7 mendeskripsikan tentang variabel produksi dan faktor penentu efisiensi berdasarkan minimum, maksimum, rata-rata (mean), dan standar deviasi. Karakteristik produksi yang pertama terkait variabel produksi terdiri dari input yang digunakan dan output yang dihasilkan oleh pabrik gula nasional. Adapun variabel produksi sebagai berikut:

a) Minimum dan maksimum gula yang dihasilkan pabrik gula nasional masing- masing sebesar 138,850.50 dan 197,686.67 ton per tahun. Mean gula sebesar 46,932.98 ton per tahun. Variasi nilai minimum dan maksimum menyebabkan penyimpangan nilai mean (standar deviasi) untuk gula sebesar 40,450.63 ton per tahun.

b) Minimum dan maksimum gula tetes yang dihasilkan pabrik gula nasional masing-masing sebesar 9,346.67 dan 98,654.00 ton per tahun. Mean gula tetes sebesar 31,141.87 ton per tahun. Variasi nilai minimum dan maksimum menyebabkan penyimpangan nilai mean (standar deviasi) untuk gula tetes sebesar 23,133.27 ton per tahun.

c) Minimum dan maksimum tenaga kerja masing-masing sebesar 582.33 dan 1,781.00 orang per tahun. Mean dan standar deviasi tenaga kerja masing- masing sebesar 1,009.90 dan 266.98 orang per tahun.

d) Minimum dan maksimum kapasitas produksi masing-masing sebesar 1,292.33 dan 10,489.17 ton tebu hari per tahun. Mean dan standar deviasi tenaga kerja masing-masing sebesar 3,688.28 dan 2,353.38 ton tebu hari.

e) Minimum dan maksimum tebu masing-masing sebesar 189,084.50 dan 2,229.025.17 ton per tahun. Mean dan standar deviasi tebu masing-masing sebesar 631,994.84 dan 489,742.33 ton per tahun.

f) Minimum dan maksimum bahan bakar masing-masing sebesar 61,064.38 dan 623,176.80 ton ampas per tahun. Mean dan standar deviasi tebu masing-masing sebesar 186,859.68 dan 133,989.95 ton per tahun.

Karakteristik produksi kedua terkait faktor penentu efisiensi yang terdiri dari:

a) Minimum dan maksimum usia mesin masing-masing sebesar 11 dan 118 tahun.

Mean dan standar deviasi usia mesin masing-masing sebesar 62.141 dan 29.357 tahun.

b) Minimum dan maksimum kapasitas produksi masing-masing sebesar 1,292.33 dan 10,489.17 ton tebu hari per tahun. Mean dan standar deviasi tenaga kerja masing-masing sebesar 3,688.28 dan 2,353.38 ton tebu hari.

c) Minimum dan maksimum rasio rendemen tebu rakyat dan sendiri masing- masing sebesar 70.06 dan 98.28 persen. Mean dan standar deviasi rasio

rendemen tebu rakyat dan sendiri masing-masing sebesar 85.38 dan 3.67 persen.

Tabel 7 Karakteristik produksi pabrik gula nasional

Variabel Minimum Maksimum Mean Standar deviasi

Produksi

Gula (ton per tahun) 13,880.50 197,686.67 46,932.98 40,450.63 Gula tetes (ton per tahun) 9,346.67 98,654.00 31,141.87 23,133.27 Tenaga kerja (orang per

tahun) 582.33 1,781.00 1,009.90 266.98 Kapasitas produksi (ton tebu

hari per tahun) 1,292.33 10,489.17 3,688.28 2,353.38 Tebu (ton per tahun) 189,084.50 2,229,025.17 631,994.84 489,742.33 Bahan bakar (ton ampas per

tahun) 61,064.38 623,176.80 186,859.68 133,989.95

Faktor penentu efisiensi

Usia mesin (tahun) 11 118 62.14 29.37

Kapasitas produksi (ton tebu

hari per tahun) 1,292.33 10,489.17 3,688.28 2,353.38 Rendemen tebu rakyat/tebu

sendiri (persen) 70.06 98.28 85.38 3.67 Direkap dari Lampiran 1 dan 7

Efisiensi dan Skala Produksi Pabrik Gula Nasional

Efisiensi yang disajikan pada penelitian ini berdasarkan orientasi input pada model DEA. Efisiensi orientasi input bermanfaat untuk melihat input yang digunakan oleh pabrik gula (input aktual) sesuai atau tidak dengan target input pada model DEA. Nilai efisiensi yang terdapat pada model DEA ada tiga, yaitu, nilai OTE, PTE, dan SE. Nilai efisiensi teknis keseluruhan (OTE) berdasarkan model DEA asumsi CRS. Nilai efisiensi teknis murni (PTE) berdasarkan model DEA asumsi VRS. Nilai skala efisiensi (SE) berdasarkan rasio nilai OTE dan PTE.

Tabel 8 menunjukkan nilai minimum OTE terendah terjadi pada tahun 2007 dan tertinggi terjadi pada tahun 2009 dengan rata-rata nilai minimum OTE sebesar 0.809. Rata-rata (mean) OTE terendah terjadi pada tahun 2007 dan tertinggi terjadi pada tahun 2008 dengan rata-rata nilai mean sebesar 0.937. Rata- rata nilai mean tersebut berarti pabrik gula nasional disarankan menurunkan penggunaan input sebesar 6.30 persen pada output yang ada supaya efisien. Variasi nilai minimum dan maksimum menyebabkan penyimpangan nilai mean (standar deviasi) OTE sebesar 0.055.

Nilai minimum PTE terendah terjadi pada tahun 2006 dan tertinggi terjadi pada tahun 2008 dengan rata-rata nilai minimum sebesar 0.873. Rata-rata (mean) PTE terendah terjadi pada tahun 2007 dan tertinggi terjadi pada tahun 2008 dengan rata-rata nilai mean sebesar 0.977. Rata-rata nilai mean tersebut berarti pabrik gula nasional disarankan menurunkan penggunaan input sebesar 3.300 persen pada output yang ada supaya efisien. Variasi nilai minimum dan maksimum menyebabkan penyimpangan nilai mean (standar deviasi) OTE sebesar 0.034.

Tabel 8 Nilai OTE, PTE, dan SE orientasi input pabrik gula nasional tahun 2006-2011 Jenis Efisiensi Keterangan Statistik Tahun rata- rata 2006 2007 2008 2009 2010 2011 OTE Minimum 0.785 0.781 0.793 0.865 0.806 0.822 0.809 Maksimum 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 Mean 0.955 0.898 0.958 0.945 0.946 0.921 0.937 SD 0.050 0.066 0.052 0.040 0.054 0.065 0.055 PTE Minimum 0.846 0.865 0.891 0.898 0.873 0.864 0.873 Maksimum 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 Mean 0.982 0.967 0.989 0.974 0.979 0.972 0.977 SD 0.034 0.039 0.025 0.031 0.032 0.045 0.034 SE Minimum 0.919 0.805 0.848 0.865 0.857 0.849 0.857 Maksimum 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 Mean 0.972 0.929 0.968 0.970 0.966 0.947 0.959 SD 0.027 0.057 0.048 0.034 0.037 0.049 0.042 Sumber: Diolah dari Lampiran 2

Nilai minimum SE terendah terjadi pada tahun 2007 dan tertinggi terjadi pada tahun 2006 dengan rata-rata nilai minimum sebesar 0.857. Rata-rata (mean) SE terendah terjadi pada tahun 2007 dan tertinggi terjadi pada tahun 2008 dengan rata-rata nilai mean sebesar 0.959. Rata-rata nilai mean tersebut berarti pabrik gula nasional disarankan menurunkan penggunaan input sebesar 4.10 persen pada output yang ada supaya efisien. Variasi nilai minimum dan maksimum menyebabkan penyimpangan nilai mean (standar deviasi) OTE sebesar 0.042.

Nilai OTE lebih rendah daripada nilai efisiensi lainnya. Rata-rata nilai minimum OTE sebesar 0.809 dimana nilai tersebut lebih rendah daripada nilai minimum PTE dan SE masing-masing sebesar 7.35 dan 5.66 persen. Rata-rata nilai mean OTE sebesar 0.937 dimana nilai tersebut lebih rendah daripada nilai mean PTE dan SE masing-masing sebesar 4.09 dan 2.24 persen. Variasi nilai minimum dan maksimum menyebabkan penyimpangan nilai mean (standar deviasi) OTE sebesar 0.055 dimana nilai tersebut lebih tinggi daripada nilai SD PTE dan SE masing-masing sebesar 58.74 dan 29.76 persen.

Penyebab nilai OTE lebih rendah daripada nilai efisiensi PTE karena perbedaan penilaian efisiensi pada model DEA. Coelli et al. (1998) menjelaskan model DEA asumsi CRS bekerja pada skala optimum tanpa memperhatikan keterbatasan teknologi input yang dimiliki oleh setiap pabrik gula. Kelemahan model DEA asumsi CRS yaitu sumber inefisiensi tidak dapat diketahui. Oleh karena itu, model DEA asumsi VRS memperhatikan keterbatasan tersebut dengan menambahkan „teknologi murni‟ ( ). Penambahan tersebut menyebabkan perbedaan batas (frontier) produktivitas input atau output pada kedua nilai tersebut. Proses tersebut jika dilihat pada penelitian ini maka minimal produktivitas tenaga kerja sebesar 88.028 ton gula per orang yang layak dinyatakan pabrik gula efisien versi OTE sedangkan kehadiran keterbatasan teknologi input akan membuat minimal produktivias tenaga kerja sebesar 23.008 ton gula per orang dinyatakan pabrik gula efisien versi PTE. Oleh karena itu, nilai OTE pasti lebih rendah daripada nilai PTE. Peneliti memilih OTE sebagai tolak

ukur penilaian efisiensi karena akan ketahuan banyak pabrik gula yang tidak efisien.

Penilaian efisiensi versi OTE lebih akurat daripada efisiensi versi SE. Pertama, nilai sudah dipastikan pabrik gula tersebut efisien sedangkan nilai belum tentu pabrik gula tersebut efisien. Hal tersebut terjadi karena SE merupakan rasio antara OTE dan PTE dimana nilai

diperoleh dari nilai dan atau dan

. Fenomena dan ternyata terjadi pada

penelitian ini (lampiran 2) di pabrik gula Tjoekir pada tahun 2008, Pesantren Baru pada tahun 2009, dan Ngadirejo pada tahun 2011. Fenomena tersebut juga terjadi pada penelitian Johnes (2006) pada sebuah universitas di Amerika-Serikat. Kedua, SE tidak memberikan solusi untuk membuat pabrik gula yang tidak efisien menjadi efisien karena tidak ada anjuran penurunan input sedangkan OTE memberikan solusi seperti yang terlihat pada lampiran 6.

Permasalahan pertama di atas ternyata dapat dicari jalan keluarnya. Coelli

et al. (1998) menjelaskan nilai yang diperoleh dari dan dinyatakan tidak efisien. Hal tersebut terjadi karena adanya penyesuaian dengan aturan skala produktivitas terbaik (most productive scale size) seperti yang terlihat pada tabel 8. Rekomendasi tersebut membuat peneliti menghilangkan pernyataan efisien pada ketiga pabrik gula di atas sehingga gambaran umum efisiensi pabrik gula nasional pada SE sama dengan OTE. Rekomendasi tersebut juga yang membuat Johnes (2006) menyatakan universitas tersebut tidak efisien.

Pabrik gula yang tidak efisien jika dilihat dari nilai minimum OTE pada Tabel 8 dan Lampiran 2 terdapat pada pabrik gula bernomor 5, 10, 16, 4, dan 14. Pabrik gula benomor 5 paling tidak efisien terjadi pada tahun 2006 dan 2007. Pabrik gula bernomor 10 paling tidak efisien terjadi pada tahun 2007 dan 2008. Pabrik gula bernomor 16 paling tidak efisien terjadi pada tahun 2009. Pabrik gula bernomor 4 paling tidak efisien terjadi pada tahun 2010. Pabrik gula bernomor 14 paling tidak efisien terjadi pada tahun 2011.

Jika dilihat dari skala produksi, pabrik gula yang efisien berada pada CRS (constant return to scale) yang dilihat dari vektor pabrik gula (

yang berarti penggunaan input sama dengan produksi yang dihasilkan. Rata-rata pabrik gula yang berada pada CRS sebesar 22.435 persen dan pabrik gula tersebut merupakan rujukan penggunaan input untuk pabrik gula yang tidak efisien. Pabrik gula yang konsisten berada pada CRS berjumlah dua pabrik (bernomor 8 dan 26).

Penetapan skala produksi terjadi kesalahan pada Lampiran 3. Kesalahan terjadi karena penetapan skala produksi berdasarkan nilai skala efisiensi (SE) padahal skala efisiensi yang diperoleh dari rasio OTE dan PTE sudah salah melakukan penilaian efisiensi sehingga diperbaiki melalui aturan MPSS (Coelli et al. 1998). Selain itu, penetapan skala produksi seharusnya dilihat dari koefisien pengurangan input pada asumsi CRS bukan dari nilai efisiensi. Oleh karena itu, peneliti memperbaiki dengan menyatakan pabrik gula bernomor 19 pada tahun 2007 dinyatakan pada kondisi IRS, pabrik gula bernomor 22 pada tahun 2008 dinyatakan pada kondisi IRS, dan pabrik gula bernomor 23 pada tahun 2011 dinyatakan pada kondisi DRS.

Pabrik gula nasional yang dominan tidak efisien jika dilihat dari skala produksi pada Lampiran 3 berada pada kondisi IRS (increasing return to scale). Banker et al (2004) menjelaskan pabrik gula yang berada pada kondisi IRS jika koefisien pengurangan input pada asumsi CRS kurang dari satu

. Rata-rata pabrik gula yang berada pada IRS sebesar 74.358 persen. Sisa pabrik gula yang tidak efisien berada pada skala produksi DRS (decreasing return to scale) yang dilihat dari koefisien pengurangan input atau penambahan output pada asumsi CRS lebih dari satu . Rata-rata pabrik gula yang berada pada DRS sebesar 6.410 persen.

Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan pabrik gula berada pada kondisi IRS. Siagian (2003) menyatakan skala produksi salah satu pabrik gula nasional berada pada kondisi IRS dan Kumar et al. (2012) menyatakan skala produksi pabrik gula nasional di India pada kondisi IRS. Hal tersebut menunjukkan rasio tambahan output dengan input (marginal product) lebih besar dari rasio output terhadap input (average product). Hasil penelitian berbeda dengan penelitian Singh et al. (2007) yang menyatakan pabrik gula nasional di India pada kondisi DRS. Hal tersebut menunjukkan rasio tambahan output dengan input (marginal product) lebih kecil dari rasio output terhadap input (average product).

Efisiensi Pabrik Gula berdasarkan Kapasitas Produksi

Analisis ini bermanfaat untuk menentukan pabrik gula yang mana lebih efisien berdasarkan kapasitas produksi. Klasifikasi pabrik gula dibagi atas tiga, yaitu: kapasitas produksi di bawah 3000 ton tebu hari (kapasitas kecil), kapasitas produksi di atas 3000 tetapi di bawah 5000 ton tebu hari (kapasitas sedang), dan kapasitas produksi di atas 5000 ton tebu hari (kapasitas besar). Klasifikasi tersebut dilihat dari nilai OTE yang diperoleh oleh setiap pabrik gula sehingga dapat diketahui pabrik gula yang efisien atau tidak.

Tabel 9 Nilai efisiensi (OTE) pabrik gula berdasarkan kapasitas produksi tahun 2006-2011

Kapasitas Produksi 2006 2007 2008 2009 2010 2011 rata-rata Nilai efisiensi (OTE)

Kapasitas kecil 0.947 0.884 0.950 0.932 0.921 0.905 0.923 Jumlah pabrik gula 14 13 13 14 13 13

Kapasitas sedang 0.948 0.875 0.936 0.953 0.952 0.911 0.929 Jumlah pabrik gula 8 8 7 6 7 7

Kapasitas besar 1.000 0.974 0.999 0.966 0.994 0.969 0.984

Jumlah 4 5 6 6 6 6

Total pabrik gula 26 26 26 26 26 26 Sumber: Diolah dari Lampiran 1 dan 2

Hasil yang diperoleh pada Tabel 9 menunjukkan bahwa pabrik gula yang memiliki kapasitas produksi relatif tinggi lebih efisien daripada pabrik gula yang memiliki kapasitas relatif rendah. Pabrik gula yang memiliki kapasitas produksi kecil terlihat tidak efisien daripada pabrik gula lainnya jika dilihat dari rata-rata nilai OTE. Nilai OTE untuk pabrik gula kapasitas kecil berfluktuatif dengan rata- rata sebesar 0.923 dimana nilai tersebut lebih rendah daripada pabrik gula

kapasitas sedang dan pabrik gula kapasitas besar masing-masing sebesar 0.65 dan 6.20 persen. Rata-rata nilai pabrik gula kapasitas sedang sebesar 0.929 dimana nilai tersebut lebih rendah daripada pabrik gula kapasitas besar sebesar 5.59 persen.

Nilai yang diperoleh pada Tabel 9 berdasarkan perhitungan rasio input dan output dari pabrik gula. Oleh karena itu, Tabel 10 disajikan kinerja produksi pabrik gula berdasarkan kapasitas produksi. Rasio pertama yang disajikan adalah rasio tebu dan gula yang dilihat dari rendemen tebu. Rendemen tebu di pabrik gula kapasitas kecil terendah terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 6.99 persen dan tertinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 7.75 persen . Rata-rata rendemen tebu di pabrik gula tersebut sebesar 7.11 persen dimana rata-rata di pabrik gula tersebut lebih tinggi daripada pabrik gula kapasitas sedang sebesar 1.42 persen dan lebih rendah daripada pabrik gula kapasitas besar sebesar 6.05 persen. Hasil tersebut menunjukkan penggunaan tebu pabrik gula kapasitas kecil lebih efisien daripada pabrik gula kapasitas sedang karena rendemen tebu yang relatif tinggi tetapi tidak efisien jika dibandingkan dengan pabrik gula kapasitas besar karena rendemen tebu yang relatif rendah.

Tabel 10 Kinerja produksi pabrik gula berdasarkan kapasitas produksi tahun 2006-2011

Keterangan produksi 2006 2007 2008 2009 2010 2011 rata-rata

Kapasitas kecil

Rendemen tebu (persen) 7.40 6.99 7.75 7.24 6.19 7.33 7.11 Rendemen tebu tetes (persen) 4.91 5.15 4.96 4.56 4.84 5.14 4.92 Tenaga kerja (orang)/gula

(100 ton) 3.99 4.05 3.91 4.29 4.46 4.78 4.24 Kapasitas produksi (ton tebu

hari)/ gula (100 ton) 8.49 8.16 8.27 10.23 8.80 10.73 9.11 Bahan bakar (ton)/ gula (ton) 4.31 4.55 4.09 4.41 5.20 4.32 4.48

Kapasitas sedang

Rendemen tebu (persen) 7.41 6.97 7.73 7.27 6.09 6.85 7.01 Rendemen tebu tetes (persen) 4.77 4.83 4.60 4.65 4.94 5.37 4.85 Tenaga kerja (orang)/gula

(100 ton) 2.15 2.16 2.08 2.43 2.16 2.40 2.23 Kapasitas produksi (ton tebu

hari)/ gula (100 ton) 8.27 9.07 8.62 10.01 9.56 10.98 9.42 Bahan bakar (ton)/gula (ton) 3.94 4.27 3.83 3.80 5.00 4.42 4.21

Kapasitas besar

Rendemen tebu (persen) 7.64 7.44 8.33 7.88 6.51 7.89 7.57 Rendemen tebu tetes (persen) 5.04 5.10 4.97 4.43 4.87 4.62 4.83 Tenaga kerja (orang)/gula

(100 ton) 1.50 1.38 1.35 1.55 1.57 1.40 1.46 Kapasitas produksi (ton tebu

hari)/gula (100 ton) 7.03 6.72 6.38 7.69 7.80 7.89 7.25 Bahan bakar (ton)/gula (ton) 3.75 3.86 3.41 3.62 4.37 3.66 3.78 Sumber: Diolah dari Lampiran 1

Rasio kedua yang disajikan adalah rasio tebu dan gula tetes yang dilihat dari rendemen tebu tetes. Rata-rata rendemen tebu tetes dari ketiga pabrik gula terlihat bahwa pabrik gula kapasitas kecil memiliki rata-rata rendemen tebu tetes yang relatif tinggi daripada pabrik gula lainnya. Rata-rata rendemen tebu tetes di pabrik gula kapasitas kecil sebesar 4.92 persen dimana rata-rata di pabrik gula

tersebut lebih tinggi daripada rata-rata di pabrik gula kapasitas sedang dan kapasitas besar masing-masing sebesar 1.48 dan 1.92 persen. Rendemen tersebut menunjukkan bahwa pabrik gula kapasitas kecil lebih efisien dalam penggunaan tebu untuk menghasilkan gula tetes.

Rasio ketiga yang disajikan adalah tenaga kerja dan gula. Kebutuhan tenaga kerja pabrik gula kapasitas besar lebih efisien daripada pabrik gula lainnya. Hal tersebut terlihat dari rata-rata kebutuhan tenaga kerja sebesar 1.46 orang per 100 ton gula dimana rata-rata dari pabrik gula tersebut lebih rendah daripada pabrik gula kapasitas sedang dan pabrik gula kapasitas kecil masing-masing sebesar 34.77 dan 65.77 persen. Hasil tersebut menunjukkan kapasitas produksi yang relatif tinggi sudah fokus untuk proses mekanisasi pada produksi gula sehingga kebutuhan tenaga kerja relatif rendah.

Rasio keempat yang disajikan adalah kapasitas produksi dan gula. Pabrik gula kapasitas besar lebih efisien daripada pabrik gula lainnya dalam hal rasio kapasitas produksi dan gula. Rata-rata kapasitas produksi dan gula di pabrik gula tersebut sebesar 7.25 ton tebu hari per 100 ton gula dimana rata-rata tersebut lebih rendah daripada pabrik gula kapasitas sedang dan pabrik gula kapasitas kecil masing-masing sebesar 23.01 dan 20.44 persen. Kapasitas produksi yang rendah di pabrik gula kapasitas besar sesuai dengan rasio tebu dan gula yang rendah. Hal tersebut menunjukkan mesin di pabrik gula kapasitas besar lebih efisien dalam mengolah tebu.

Rasio kelima yang disajikan adalah bahan bakar dan gula. Kebutuhan bahan bakar pabrik gula kapasitas besar lebih efisien daripada pabrik gula lainnya. Hal tersebut terlihat dari rata-rata rasio bahan bakar dan gula sebesar 3.78 ton ampas per ton gula dimana rata-rata tersebut lebih rendah daripada pabrik gula kapasitas sedang dan pabrik gula kapasitas kecil masing-masing sebesar 10.26 dan 15.93 persen. Hasil tersebut menunjukkan mesin yang digunakan pada kapasitas besar lebih hemat bahan bakar daripada kapasitas produksi lainnya sehingga kebutuhan bahan bakar dapat berkurang.

Uraian di atas menjelaskan bahwa pabrik gula yang memiliki kapasitas produksi besar lebih efisien dalam penggunaan input yang terlihat dari rendemen tebu, penggunaan tenaga kerja, kapasitas produksi, dan bahan bakar. Akan tetapi, pabrik gula kapasitas besar tidak efisien dalam hal penggunaan tebu untuk menghasilkan gula tetes yang dilihat dari rendemen tebu tetes yang rendah. Rendemen tebu tetes yang rendah di pabrik gula kapasitas produksi besar tidak terlalu bermasalah karena gula tetes merupakan produk sampingan dari pabrik gula dan harga gula tetes lebih kurang sepertiga dari harga gula. Penggunaan input yang rendah jika pabrik gula memiliki kapasitas produksi besar menyebabkan pabrik gula kapasitas kecil melakukan ekspansi ke kapasitas sedang pada dua tahun terakhir (2010 dan 2011) dan pabrik gula kapasitas sedang melakukan ekspansi pada empat tahun terakhir (2008-2011) pada Tabel 9.

Efisiensi Pabrik Gula Berdasarkan Usia Mesin

Analisis ini dilakukan untuk menjawab mengenai apakah pabrik gula yang memiliki usia mesin relatif muda lebih efisien daripada pabrik gula yang memiliki usia mesin relatif tua. Hal tersebut didasari atas penelitian Indraningsih et al

(2004) dan P3GI (2008) yang menyatakan penyebab pabrik gula tidak efisien karena usia mesin relatif tua. Usia mesin yang relatif tua pada penelitian P3GI

(2001) cenderung mengalami kerusakan sehingga efisiensi normal sebesar 85.00 persen tidak dapat dicapai.

Informasi mengenai batasan usia mesin yang produktif tidak diketahui secara detail, akan tetapi pendekatan melalui pengembangan mesin pembangkit listrik yang peduli lingkungan sudah dimulai dari 30 tahun yang lalu. ISO (2005) menjelaskan bahwa negara produsen gula sudah melakukan perbaikan mesin dari mesin bertekanan rendah menuju mesin bertekanan tinggi dalam rangka mengurangi konsumsi bahan bakar sehingga pabrik gula dapat mengurangi biaya produksi dan mengekspor bahan bakar ke industri lainnya. Negara produsen tebu (seperti: Brasil, India, Australia, Mauritius, dan lain-lain) mengganti mesin dengan mesin yang berteknologi lebih modern sekitar tahun 1990-an. Pergantian mesin yang serentak di negara tersebut berarti mengisyaratkan bahwa usia mesin yang ramah lingkungan sudah ditemukan sebelum dekade tersebut (1990-an) sehingga usia mesin yang produktif di asumsikan sekitar 30 tahun.

Asumsi mengenai usia mesin sekitar 30 tahun tersebut digunakan sebagai tolak ukur untuk usia mesin produktif pada penelitian yang terlepas dari apakah benar pabrik gula tersebut sudah menggunakan mesin yang ramah lingkungan atau tidak. Pabrik gula yang berusia sekitar 30 tahun ada enam pabrik gula yang terdapat pada penelitian ini, yaitu: pabrik gula bernomor 1, 2, 8, 18, 22, dan 26.

Kinerja pabrik gula berdasarkan usia mesin terlihat pada Tabel 11. Pabrik gula yang usia mesin di bawah usia 30 tahun lebih efisien daripada pabrik gula yang usia mesin di atas 30 tahun. Nilai efisiensi pabrik gula yang usia mesin di bawah 30 tahun lebih tinggi daripada pabrik gula lainnya untuk semua tahun dengan tingkat rata-rata nilai efisiensi sebesar 0.982. Rata-rata nilai efisiensi dari pabrik gula tersebut lebih tinggi daripada pabrik gula yang usia mesin di atas 30 tahun sebesar 6.28 persen dan perbedaan nilai tersebut nyata secara statistik pada

= 0.01.

Pabrik gula yang usia mesin di bawah 30 tahun lebih efisien daripada pabrik gula lainnya diperoleh dari hasil rasio input dan output di pabrik gula tersebut. Rasio pertama dijelaskan adalah rasio tebu dan gula yang dilihat dari rendemen tebu. Rendemen tebu pada kedua pabrik gula tersebut hanya terjadi perbedaan secara statistik pada tahun 2011. Rendemen tebu di pabrik yang usia mesin di bawah 30 tahun sebesar 7.74 persen dimana rendemen tersebut lebih tinggi daripada rendemen tebu di pabrik gula lainnya sebesar 6.46 persen. Tinjauan untuk seluruh tahun (2006-2011) maka rendemen tebu di pabrik yang usia mesin di bawah 30 tahun sebesar 7.47 persen dimana rata-rata rendemen tersebut lebih tinggi daripada rendemen tebu di pabrik gula lainnya sebesar 3.46 persen dan perbedaan tersebut nyata secara statistik pada = 0.2.

Perbedaan rendemen tebu yang tidak nyata setiap tahun pada fakta di atas menunjukkan bahwa rendemen tebu tidak hanya dipengaruhi oleh usia mesin, tetapi faktor lainnya (antara lain: lokasi dan kapasitas produksi) turut serta mempengaruhi rendemen tebu. Walaupun tidak nyata setiap tahunnya tetapi jika dilihat dari seluruh tahun (2006-2011) maka pabrik gula usia mesin di atas 30 tahun tidak efisien daripada pabrik gula usia mesin di bawah 30 tahun. Hal tersebut menunjukkan usia mesin di bawah 30 tahun lebih produktif menggiling tebu sehingga menggunakan tebu yang relatif rendah dan hasil rendemen tebu relatif tinggi.

Tabel 11 Kinerja produksi pabrik gula berdasarkan usia mesin tahun 2006-2011

Dokumen terkait