• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN Fermentasi Kacang Koro Pedang

Fermentasi kacang koro pedang menggunakan bakteri asam laktat dan dianalisis secara kuantitatif dengan cara menumbuhkan bakteri pada media spesifik, yaitu PCA (Plate Count Agar) dan MRSA (de Mann Rogosa and Sharpe Agar). Fermentasi bertujuan untuk mengetahui kemampuan tumbuh bakteri asam laktat dan total bakteri mesofilik secara kuantitatif. Fermentasi adalah proses baik secara aerob maupun anaerob yang menghasilkan berbagai produk yang melibatkan aktivitas mikroba atau ekstraknya dengan aktivitas mikroba terkontrol (Campbell 2003). Fermentasi merupakan proses yang telah lama dikenal manusia. Fermentasi adalah proses mengubah suatu bahan menjadi produk yang bermanfaat bagi manusia (Tamime dan Robinson 2000).

Bakteri yang digunakan pada penelitian ada 2 yaitu Lactobacillus casei dan

Bifidobacterium. Namun yang digunakan untuk fermentasi hanya Lactobacillus casei, sedangkan Bifidobacterium hanya digunakan untuk membandingkan aktivitas prebiotik dengan Lacobacillus casei. Fermentasi ini menggunakan dua medium dikarenakan untuk melihat perbedaan anatara jumlah koloni bakteri asam laktat yang tumbuh dengan jumlah total bakteri mesofilik yang tumbuh. Pertumbuhan bakteri asam laktat dapat terlihat dari jumlah koloni BAL yang tumbuh pada media MRSA. Media MRSA merupakan media yang bersifat spesifik bagi BAL. Total bakteri mesofilik dapat dilihat dari pertumbuhan koloni pada media PCA (Plate Count Agar). Sampel yang digunakan pada penelitian yaitu kacang koro pedang yang berasal dari daerah Salatiga, Jawa Tengah. Media yang digunakan pada penelitian ada tiga yaitu, media PCA (Plate Count Agar), MRSA (de Mann Rogosa and Sharpe Agar) dan MRSB (de Mann Rogosa and Sharpe Broth). Media PCA merupakan media pertumbuhan untuk menganalisis total bakteri mesofilik. Media MRSA merupakan media pertumbuhan yang bersifat spesifik, yang digunakan untuk menganalisis aktivitas pertumbuhan bakteri asam laktat. Media MRSA menyediakan glukosa yang mampu difermentasikan oleh bakteri Lactobacillus

menjadi asam laktat dan produk lainnya. Glukosa pada media MRSA digunakan sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhan bakteri asam laktat (Lactobacillus) yang terlihat dengan meningkatnya populasi koloni bakteri asam laktat yang tumbuh. Media MRSB adalah media cair selektif yang berguna untuk mengaktivasi dan meremajakan kultur bakteri asam laktat (de Man, Rogosa & Sharpe 1960).

Pada tahap awal, media dibuat dengan pH 5.4 pada suhu ruang, selanjutya dilakukan proses autoklaf. Bakteri asam laktat mampu hidup pada pH 4.5-6.6 dan suhu 50C-400C, sehingga bakteri asam laktat dapat tumbuh pada media MRSA. Kacang koro pedang difermentasi menggunakan tiga perlakuan yaitu pada perlakuan fermentasi alami (tanpa L.casei), fermentasi L.Casei 106 dan fermentasi

L.casei 104. Masing-masing fermentasi dilakukan pada suhu 0 jam, 6 jam, 12 jam dan 24 jam, dilakukan 3 kali ulangan secara duplo (Hye Young Kim 2002).

Proses fermentasi kacang koro pedang diawali dengan perendaman kacang koro pedang, kemudian ditambahkan inokulum bakteri L.casei kedalamnya dan ditumbuhkan pada media MRSA dan PCA. Fermentasi yang dilakukan menggunakan bakteri L.casei, sehingga proses fermentasi yang terjadi secara

heterofermentatif. Metabolisme heterofermentatif dengan menggunakan heksosa melalui jalur heksosa monofosfat atau pentosa fosfat (Muchtadi 2010). Heterofermentatif merupakan fermentasi yang menghasilkan produk tidak hanya asam laktat, namun menghasilkan senyawa organik lainnya seperti asam asetat, etanol dan CO2. Bakteri L.casei memfermentasi substrat kacang koro pedang, yaitu

dengan memecah karbohidrat pada kacang koro pedang menjadi asam piruvat, kemudian asam piruvat diubah menjadi asam laktat. Proses fermentasi glukosa seperti yang terlihat pada Gambar 5 (Waites 2001).

Gambar 5 Fermentasi Glukosa (Waites 2001)

Fermentasi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan 3 perlakuan. Pertama perlakuan fermentasi spontan, yaitu fermentasi tanpa ditambahkan inokulum bakteri, kemudian perlakuan fermentasi dengan konsentrasi BAL 106 dan perlakuan fermentasi dengan konsentrasi BAL 104. Fermentasi spontan dilakukan pada dua media yang berbeda yaitu media PCA dan media MRSA. Fermentasi spontan hanya menghasilkan bakteri hasil fermentasi alami tanpa adanya campur tangan manusia. Jumlah koloni bakteri asam laktat yang mampu tumbu setelah difermentasi spontan lebih sedikit daripada bakteri yang dihasilkan pada fermentasi terkendali. Fermentsi terkendali mampu menumbuhkan koloni bakteri yang lebih banyak baik pada media PCA ataupun MRSA (Dwidjoseputro 2005). Fermentasi

Glukosa

Bakteri asam laktat

asetaldehid ragi piruvat laktat etanol Propionil bakteri oksaloasetat

Enterobakteri asam format

clostridium suksinat etanol H2 + CO2 asetat butilat asetat propionat butanadiol butanol isopropanol Asetil ko-A

spontan menghasilkan lebih sedikit bakteri dikarenakan faktor tumbuh bakteri hanya berasal dari faktor internal, tidak ada faktor eksternal atau faktor campur tangan manusia, sedangkan fermentasi terkendali 106 dan 104 dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal yaitu berupa penambahan inokulum bakteri

L.casei. Jumlah koloni bakteri asam laktat dan total bakteri mesofilik yang tumbuh paling banyak pada perlakuan fermentasi dengan penambahan inokulum bakteri 106 yaitu sekitar 2.57 108 (El Enhasy et al 2008).

Bakteri yang tumbuh pada media PCA lebih banyak dibandingkan pada MRSA baik pada fermentasi spontan maupun pada fermentasi terkendali. Bakteri pada PCA lebih banyak dibandingkan pada MRSA, dikarenakan kandungan nutrisi pada media PCA mampu dimanfaatkan oleh semua jenis bakteri, sehingga media ini cocok untuk mengetahui total bakteri mesofilik seperti bakteri gram positif (bakteri asam laktat) maupun bakteri gram negatif (seperti bakteri patogen). Dengan demikian bakteri yang mampu tumbuh pada media PCA lebih banyak. Media MRSA menumbuhkan bakteri yang lebih sedikit karena media MRSA bersifat lebih spesifik. Media ini hanya mampu menumbuhkan bakteri asam laktat, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri lainnya (Iqbal 2007).

Waktu fermentasi berpengaruh terhadap aktivitas bakteri, karena semakin lama fermentasi, maka bakteri semakin aktif artinya berkembang biak, semakin banyak jumlahnya, sehingga mempunyai kemampuan untuk memecah substrat semakin besar. Dengan demikian jumlah koloni bakteri yang tumbuh semakin banyak jika waktu fermentasinya lama (Waluyo 2004). Fermentasi dilakukan pada waktu fermentasi 0 jam, 6 jam, 12 jam dan 24 jam. Pada waktu fermentasi 0 jam rata-rata koloni bakteri yang tumbuh lebih sedikit dibandingkan pada waktu fermentasi 6 jam, 12 jam dan 24 jam. Hal tersebut dikarenakan bakteri semakin berkembangbiak dan menjadi aktif, sehingga mampu memecah substrat lebih banyak. Oleh karena itu jumlah bakteri yang tumbuh semakin banyak. Pertumbuhan bakteri yang terjadi semakin cepat pada waktu fermentasi yang lama, dengan demikian menunjukkan aktivitas bakteri semakin tinggi pada waktu fermentasi yang lebih lama. Pada waktu fermentasi 24 jam dihasilkan bakteri yang lebih banyak yaitu sekitar 2.63 108 CFU/mL (Rizzani 2008).

Pada waktu fermentasi 0 jam, pH yang dihasilkan lebih basa, yaitu rata-rata sekitar 5.92. Pada waktu fermentasi 6 jam dan 24 jam terjadi penurunan pH, rata- rata pH berkisar pada 5.5. pH terasam terjadi pada waktu fermentasi 24 jam yaitu sekitar 5.0-5.2. Terjadinya penurunan pH sehingga pada waktu fermentasi 24 jam mencapai pH terasam dikarenakan adanya akumulasi asam laktat. Semakin rendahnya pH maka mempunyai fungsi sebagai antibakteri yang lebih tinggi. Zat antibakteri diperoleh setelah terjadinya proses fermentasi. Zat antibakteri berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Salah satunya ialah E. coli merupakan bakteri patogen yang tidak dapat tumbuh pada pH 5, dikarenakan pH optimum E.coli sekitar 6-7 (Surono 2004).

Fermentasi terkendali dan kontrol berbeda dikarenakan jumlah koloni bakteri yang tumbuh dari fermentasi terkendali lebih banyak dibandingkan pada fermentasi kontrol. Hal tersebut dikarenakan adanya penambahan inokulum bakteri pada fermentasi terkendali [106] dan [104], sehingga jumlah bakteri yang tumbuh lebih banyak. Fermentasi kontrol dilakukan secara spontan, tanpa adanya penambahan inokulum bakteri. Bakteri yang tumbuh pada fermentasi kontrol merupakan bakteri

alami hasil dari proses fermentasi, sehingga hasilnya lebih sedikit karena tidak ada penambahan inokulum bakteri (Surono 2004).

Selain menganalisis hasil fermentasi dengan melihat pengaruh faktor-faktor fermentasi, penelitian ini juga dilakukan analisis data menggunakan SPSS versi 20.0 dengan uji statistik Analysis of Variance (Sugiyono 2003). Interaksi antara lama fermentasi dan jumlah koloni bakteri yang tumbuh berpengaruh nyata (p<0.05) pada taraf nyata 5 % terhadap aktivitas bakteri. Artinya lama fermentasi dan jumlah koloni bakteri secara bersama-sama mempengaruhi aktivitas bakteri. Interaksi antara perlakuan fermentasi dan jumlah koloni bakteri yang tumbuh berpengaruh nyata (p<0.05) pada taraf nyata 5 % terhadap aktivitas bakteri. Artinya perlakuan fermentasi dan jumlah koloni bakteri saling mempengaruhi aktivitas bakteri. Perbandingan antara pH dan jumlah koloni bakteri yang tumbuh juga berpengaruh nyata (p<0.05) pada taraf nyata 5 % terhadap aktivitas bakteri. Artinya pH fermentasi dan jumlah koloni bakteri mempengaruhi aktivitas bakteri (Sugiyono 2003).

Identifikasi Sifat Fisik Tepung dari Fermentasi Kacang Koro Pedang

Identifikasi sifat fisik penting dilakukan untuk mengetahui ikatan antara bakteri dengan substrat fermentasinya. Selain itu, digunakan untuk melihat struktur permukaan bakteri. Identifikasi fisik menggunakan mikroskop SEM (Scanning Electron Mikcroscope) dikarenakan resolusinya lebih tinggi dibanding cahaya, selain itu SEM dapat menghilangkan efek pergerakan elektron yang tidak beraturan, sehingga tidak menggangu visualisasi gambar. Mikroskop SEM merupakan salah satu jenis mikroskop elektron. Menurut Darwis (2008) mikroskop adalah alat yang dipergunakan untuk melihat secara detail objek yang terlalu kecil. Pengertian mikroskop elektron ialah mikroskop yang mampu melakukan perbesaran objek sampai 2 juta kali. SEM merupakan salah satu contoh mikroskop elektron yang memiliki cara kerja dengan memancarkan berkas elektron dan difokuskan tajam atau digerakkan sepanjang cuplikan (Ardisasmita 2000).

Sampel yang digunakan untuk analisis dengan SEM yaitu tepung kacang koro pedang hasil fermentasi. Sampel yang digunakan dalam SEM harus bersifat elektrik konduktif. Tepung kacang bersifat non-konduktif, sehingga tepung kacang koro pedang dilapisi dengan lapisan ultra tipis dari bahan elektrik, dalam penelitian ini tepung kacang koro pedang dilapisi emas yang diletakkan di atas sampel dengan vakum yang rendah. Proses peletakan sampel agar vakum disebut proses coating

dengan tujuan mencegah akumulasi statis muatan listrik pada spesimen sampel selama radiasi elektron. Bahan konduktif yang digunakan untuk melapisi sampel biasanya emas, paladium paduan, platinum, osmium, iridium, tungsten, kromium dan grafit (Ardisasmita 2000).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, telah teridentifikasi bahwa bakteri asam laktat mengelilingi tepung kacang koro pedang. Bakteri asam laktat L.casei

hidup berkoloni mengelilingi tepung kacang koro pedang. Berdasarkan hasil interpretasi mikroskop SEM terlihat bakteri asam laktat mengelilingi tepung kacang koro pedang, berarti telah terjadi proses fermentasi. Letak keduanya beriringan dan saling membuat interaksi (Rizzani 2008). Menandakan adanya ikatan antara substrat dengan bakteri asam laktat, tepung kacang koro pedang dengan perlakuan [106] terlihat jumlah bakteri yang mengelilingi tepung kacang koro pedang lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan [104] dan spontan. Hasil ini sesuai literatur

bahwa fermentasi terkendali [106] lebih banyak meibatkan bakteri karena berasal dari bakteri alami selama proses fermentasi dan berdasarkan perlakuan penambahan koloni bakteri sebanyak 106 (gambar 1, 2 dan 3).

Kadar Pati Resisten

Keberadaan pati resisten pada suatu bahan dapat diketahui dengan cara isolasi pati resisten kemudian dianalisis. Pati resisten merupakan bagian dari modifikasi pati. Pati merupakan bagian dari karbohidrat. Pati merupakan sumber utama penghasil energi dari pangan yang dikonsumsi oleh manusia. Sumber- sumber pati di dunia berasal dari tanaman sereal, legume, umbi-umbian, serta beberapa dari tanaman palm seperti sagu. 60-70% dari berat biji-bijian sereal mengandung pati dan menyediakan 70-80% kebutuhan kalori bagi penduduk dunia. Pati murni atau pati yang dimodifikasi banyak digunakan dalam industri pangan atau non pangan. Dalam penggunaan sebagai pangan pun dapat diklasifikasin sebagai penggunaan primer atau sekunder (Winarno 2008).

Sifat pati tergantung dari panjang rantai C-nya, serta rantai molekul (bercabang atau lurus). Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Amilosa merupakan fraksi terlarut dan mempunyai struktur lurus dengan

ikatan α-(1.4)-D-glukosa. Amilopektin adalah fraksi tidak larut dan mempunyai struktur bercabang dengan ikatan α-(1.6)-D-glukosa (Winarmo 2008). Pati merupakan suatu bentuk utama karbohidrat yang dikonsumsi. Pati adalah polisakarida yang terbentuk dari sejumlah molekul glukosa yang berikatan bersama dan membentuk karbohidrat kompleks. Umumnya, pati dapat diurai oleh enzim pencernaan dalam usus halus menjadi molekul glukosa. Glukosa kemudian diserap ke dalam darah dan digunakan untuk menghasilkan energi untuk tubuh. Pati dihidrolisa di dalam saluran pencernaan oleh amilase yang disekresikan ke dalam saluran pencernaan (Langkilde 2002). Cairan air liur dan pankreas mengandung α- amilase yang mampu menghidrolisa ikatan α-(1.4) amilopektin menghasilkan D- glukosa, sejumlah kecil maltosa dan suatu inti yang tahan hidrolisa (limit dekstrin). Limit dekstrin tidak dihidrolisa lebih jauh oleh α-amilase (tidak dapat memecahkan

ikatan α-1.6). Enzim yang berperan dalam pemecahan ikatan ini adalah α-(1.6)- glukosidase. Aktivitas gabungan α-amilase dan α-(1.6)- glukosidase dapat menguraikan amilopektin secara sempurna menjadi glukosa dan sejumlah kecil maltosa (Behall 2006).

Berdasarkan kemudahannya untuk dicerna dalam saluran pencernaan, pati dapat diklasifikasikan menjadi pati yang dapat dicerna secara cepat (rapidly digestible starch atau RDS), pati yang dicerna secara lambat (slowly digestible starch atau SDS), dan pati resisten (resistant starch atau RS) (Rosida 2001). Pati resisten dianggap sebagai jumlah keseluruhan pati dan produk degradasi pati yang tidak dapat diserap dalam saluran pencernaan (usus halus) dan langsung menuju usus besar (kolon). Oleh karena itu, pati resisten digolongkan sebagai sumber serat pangan. Pati resisten merupakan bagian pati yang tidak dapat dicerna dalam usus halus, namun dapat difermentasi dalam usus besar. RS sering dikaitkan dengan kesehatan terkait dengan perannya dalam mencegah resiko kanker kolon, efek hipoglikemik (menurunkan kadar gula darah setelah makan) dan berperan sebagai prebiotik (Haralampu 2000).

Pada penelitian ini pati resisten dibentuk dengan cara retrogradasi. Selanjutnya pati resisten tersebut diharapkan dapat berperan sebagai prebiotik dan

dibuktikan dalam analisis berikutnya. Pati resisten yang terbentuk dari retrogradasi termasuk kedalam golongan pati resisten tipe 3. Proses retrogradasi diawali berdasarkan proses pengolahannya yang dipengaruhi oleh suhu, waktu dan enzim. Pati resisten diretrogradasi melalui pemberian larutan kimia, pemberian enzim, pengaturan suhu yaitu dari suhu tinggi hingga rendah dalam waktu inkubasi tertentu. Selanjutnya pati yang telah diretrogradasi diisolasi menggunakan prinsip sentrifugasi, kemudian setelah didapatkan sejumlah pati resisten diukur dengan spektrofotometer, yaitu dengan diukur supernatannya. Pengukuran kadar pati resisten diawali dengan pembentukan kurva standar glukosa, lalu diikuti pembacaan absorbansi masing-masing sampel. Selanjutnya kadar pati resistennya dapat dihitung dengan metode regresi linier dan didapat nilai r (Goni 1996).

Berdasarkan hasil yang didapat, kadar pati resisten tertinggi pada perlakuan fermentasi dengan konsentrasi L.casei 106 pada waktu 0 jam yaitu 0.1027 ppm atau sekitar 10.27 %. Hal ini dikarenakan kemampuan tiap bahan dalam menghidrolisis pati berbeda-beda. Pada waktu fermentasi 0 jam menghasilkan kadar pati resisten yang lebih tinggi dikarenakan pada waktu 0 jam, bakteri L.casei yang dihasilkan lebih sedikit sehingga pati resisten yang dikonsumsi bakteri sebagai sumber nutrisi pun hanya sedikit. Oleh karena itu jumlah pati resisten yang terhitung lebih tinggi diakibatkan bakteri yang mampu memakan nutrisi atau pati resisten ini hanya sedikit. Selain itu pada perlakuan fermentasi spontan jumlah bakteri yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan pada perlakuan fermentasi terkendali 106 dan 104. Jumlah bakteri yang sedikit menyebabkan kemampuan bakteri untuk memfermentasikan substrat yang mengandung pati rati resisten lebih rendah, sehingga jumlah pati resisten yang dapat terhitung lebih tinggi. Dengan kata lain jumlah koloni bakteri berbanding terbalik dengan kadar pati resisten. Semakin banyak jumlah koloni bakteri, maka kemampuan bakteri memfermentasi substrat lebih tinggi, sehingga menyebabkan pati resisten yang dapat dihitung lebih rendah kadarnya, karena pati resistennya lebih banyak yang dikonsumsi bakteri. Pati resisten yang dihasilkan merupakan pati resisten tipe III yaitu pati resisten yang berasal dari hasil retrogradasi. Retrogradasi amilosa adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi (Winarno 2008). Amilosa yang terdispersi dalam air yang diberikan pada proses isolasi pati akan kembali membentuk struktur kompak yang dihasilkan dengan ikatan hidrogen yang mampu menggabungkan butir pati yang membengkak menjadi semacam jaring-jaring membentuk mikrokristal selama proses pendinginan. Amilosa pati tersebut akan membentuk pati resisten tipe III yang stabil terhadap panas dan tahan terhadap enzim pencernaan usus halus (Sajilata et al 2006). Hasil pati resisten sebesar 10.27 % sesuai dengan literatur bahwa bahan makanan yang mempunyai kadar pati resisten yang tinggi bila memiliki kadar pati resisten antara 5-20 %. Pati resisten yang didapat dalam penelitian ini berasal dari kacang-kacangan atau legume. Berdasarkan penelitian Harnani (2009) kadar pati resisten kacang-kacangan yang beliau dapat sebesar 10.32 %. Berarti nilai kadar pati resisten yang didapat dalam penelitian ini sudah sesuai dengan literatur (BeMiller 2009).

Pati resisten dalam usus halus menurunkan respon glikemik dan insulemik pada manusia penderita diabetes, penderita hiperinsulemik, dan penderita disiplidemia (Okoniewska dan Witwer 2007). Pati resisten dapat mencapai usus besar tanpa mengalami perubahan dan berkontribusi sebagai serat pangan. Pati resisten ini kemudian di fermentasi oleh bakteri yang terdapat dalam usus besar

yang kemudian menjadi karbondioksida, metana dan hidrogen. Proses fermentasi ini juga dapat meningkatkan massa kotoran yang berfungsi sebagai agen genostoksik dalam usus besar sehingga dapat mereduksi kerusakan DNA dalam sel usus besar. Jenis bakteri yang distimulasi perkenbangannya yaitu bakteri menguntungkan seperti seperti Bifidobacteria dan Lactobacillus. Selain menghasilkan gas, fermentasi pada usus besar juga menghasilkan asam lemak rantai pendek (butirat) dan menurunkan amoniak yang bersifat toksik. Asam lemak yang dihasilkan dapat menurunkan pH usus besar, dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen akibat mengkonsumsi protein yang teralu tinggi. Proses fermentasi tersebut juga dapat menurunkan jumlah asam empedu sekunder, dan dapat meningkatkan penyerapan mikronutrien (magnesium dan kalsium) dalam usus besar. Suplemen serat pangan pati resisten berpotensi memperbaiki sensitivitas hormon insulin (Robertson et al 2005).

Menurut Okoniewska dan Witwer (2007) pati resisten dapat meningkatkan rasa kenyang karena mampu meningkatkan ekspresi genetik penstimulasi rasa kenyang yang dihubungkan pada hormon GLP-1 dan PYY dalam usus besar. Pati resisten tidak memberikan pengaruh terhadap konsentrasi insulin postprandial, glukosa, triasilgliserol, dan asam lemak bebas dalam darah, dan tidak mengubah serum lipid, urea, H2, dan CH4 dalam serum (Campbell 2003). Pati resisten secara signifikan mencegah berat badan dalam jangka waktu yang lama. Konsumsi pati resisten tipe III mencegah pertumbuhan sel tumor, menurunkan sejumlah proliferasi sel, meningkatkan apoptosis, menginduksi protein kinase C-δ (PKC-δ), menginduksi ekspresi protein heat shock (HSP 25), tetapi menghambat glutation peroksidase gastrointestinal (GI-GPx), dan mencegah karsinogenesis kolon (Marinovic et al 2006).

Reduksi respon glikemik ditingkatkan oleh kombinasi pati resisten dan serat pangan yang larut. Konsumsi makanan yang mengandung serat pangan ini memperbaiki metabolisme glukosa. Korelasi respon akut apoptosis terhadap karsinogen genotoksik tidak bergantung pada kelompok serat pangan tetapi dipengaruhi oleh pati resisten. Perubahan jumlah asupan pati resisten mampu mengubah aktivitas fermentasi dalam kolon (Le leu et al 2003). Pati resisten memberikan efek yang signifikan terhadap kesehatan kolon pada manusia dan memudahkan defekasi. Pati resisten mampu mereduksi kehilangan cairan fekal dan memperpendek durasi diare pada anak remaja dan orang dewasa yang menderita kolera. Menurut pati resisten mampu mempercepat pemulihan diare, mereduksi pertumbuhan Vibrio cholerae penyebab kolera (Shelton 2000).

Prebiotik Tepung Hasil Fermentasi Kacang Koro Pedang

BAL yang digunakan dalam pengujian ini, yaitu Lactobacillus casei dan Bifidobacterium. Selanjutnya BAL ditumbuhkan di dalam media MRSA. Banyaknya jumlah koloni yang tumbuh dapat membuktikan bahwa pati resisten yang berasal dari fermentasi kacang koro pedang mampu menjadi sumber prebiotik bagi bakteri asam laktat, sehingga dapat bermanfaat dalam sistem pencernaan. Analisis prebiotik penting dilakukan karena analisis ini dapat membuktikan bahwa bakteri asam laktat dapat tumbuh pada media yang mengandung pati resisten. Hasilnya terbukti pada gambar 4 bahwa bakteri asam laktat mampu mendegradasi pati resisten untuk sumber nutrisinya, sehingga pati resisten dari tepung hasil fermentasi kacang koro pedang ini dapat dijadikan sebagai prebiotik (Hassan 2012).

Prebiotik didefenisikan sebagai ingridien makanan yang tidak dapat diserap dalam usus halus dan bermanfaat bagi inang melalui stimulasi secara selektif pertumbuhan dan aktivitas sejumlah bakteri dalam kolon yang dapat memperbaiki kesehatan inang. Prebiotik adalah komponen ingridien makanan yang tidak dapat diserap dalam usus halus, tetapi dapat difermentasi oleh mikroflora dalam usus besar menjadi asam lemak berantai pendek (SCFA) yang bersifat volatil (Ouwehand 2003) .

Menurut ISAPP - International Scientific Association for Probiotics and Prebiotics, suatu ”prebiotik” dinyatakan bukan prebiotik jika dapat didegradasi oleh asam lambung hewan atau manusia, tidak bersifat selektif (hanya menumbuhkan sejumlah bakteri yang menguntungkan bagi kesehatan bukan sejumlah besar bakteri yang merugikan bagi kesehatan), hanya diuji dalam laboratorium dan hewan belum pada manusia, mungkin mengandung senyawa yang mempengaruhi sifat prebiotiknya, dan belum diatur penggunaannya dalam jumlah yang rendah untuk memberikan manfaat bagi kesehatan. Beberapa komponen serat yang memiliki potensi sebagai prebiotik, tetapi sumber prebiotik yang paling banyak dikembangkan berasal dari oligosakarida yang tidak dapat dihidrolisis dalam saluran pencernaan seperti fruktooligosakarida (FOS), ransgalaktooligosakarida (TOS), isomaltooligosakarida (IMO), xylooligosakarida (XOS), soyoligosakarida (SOS), glukooligosakarida (GOS), dan laktosukrosa (Okoniewska 2007).

Serat pangan dan prebiotik merupakan karbohidrat yang tidak dapat dicerna, dan keduanya dapat difermentasi oleh mikroflora usus. Walaupun demikian, prebiotik berbeda dengan serat pangan. Prebiotik bersifat selektif, hanya membantu pertumbuhan bakteri yang bersifat menguntungkan bagi kesehatan. Prebiotik lebih dihubungkan dengan konsep probiotik dibandingkan serat pangan. Saluran gastrointestinal manusia terdiri dari komunitas mikroorganisme. Konsentrasi bakteri dan aktivitas metabolik tertinggi ditemukan dalam usus besar. Kelompok bakteri predominan dalam usus besar manusia dewasa adalah bakteri fakultatif dan obligat anaerob terutama genera Bacteroides, Eubacterium, Clostridium, Ruminococcus, Bifidobacterium dan Fusobacterium. Efek prebiotik melalui fermentasi dalam usus besar dapat menghasilkan asam lemak berantai pendek dan

Dokumen terkait