• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

Dari hasil penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan partograf pada asuhan persalinan normal oleh bidan praktik mandiri di kecamatan Tanjung Pura kabupaten Langkat tahun 2013, pembahasannya adalah:

1. Analisis Univariat

a. Penggunaan Partograf pada Asuhan Persalinan Normal oleh Bidan Praktik Mandiri di Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2013

Partograf adalah alat bantu yang digunakan untuk memantau persalinan dan membantu petugas kesehatan dalam mengambil keputusan (Syaifuddin, 2002). Penggunaan partograf merupakan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh penolong persalinan (Depkes RI, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa mayoritas bidan praktik mandiri di kecamatan Tanjung Pura kabupaten Langkat mengisi ≥85% partograf yaitu 24 responden (77.4%).

Sesuai dengan hasil penelitian Rangkuti (2010) tentang penilaian penggunaan partograf APN oleh Bidan di Puskesmas PONED kota Medan bahwa dari 36 responden diperoleh 28 responden (77%) menggunakan partograf pada setiap asuhan persalinan, 8 responden (23%) tidak melakukan pencatatan secara konsisten dan benar pada formulir partograf atau tidak menerapkan partograf.

Hasil penelitian Widiarti (2007) tentang penggunaan partograf oleh Bidan Delima di kabupaten Purworejo provinsi Jawa Tengah bahwa dari 33 responden diperoleh 11 responden (33,33%) belum menggunakan partograf pada setiap asuhan persalinan, 7 responden (21,21%) tidak melakukan pencatatan secara konsisten dan benar pada formulir partograf.

Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan partograf masih belum sesuai dengan standar yang telah ditetapkan sehingga diperlukan supervisi dari organisasi profesi (IBI) dan pemerintah agar penggunaan partograf dapat diterapkan oleh semua Bidan/ tenaga kesehatan yang melakukan pertolongan persalinan sesuai dengan standar sehingga partograf dapat berfungsi optimal dalam memantau kemajuan persalinan dan membantu dalam pengambilan keputusan klinik.

Oleh sebab itu, untuk mendukung dilaksanakannya kebijakan tentang pelayanan asuhan persalinan, maka pemerintah merekomendasikan tentang kebijakan teknis asuhan persalinan dan kelahiran yang salah satunya yaitu partograf harus digunakan untuk memantau persalinan yang berfungsi sebagai suatu catatan/ rekam medik untuk persalinan (Depkes RI, 2008).

Partograf sebaiknya digunakan untuk setiap persalinan tanpa menghiraukan apakah persalinan tersebut normal atau dengan komplikasi. Partograf digunakan sebagai sistem peringatan awal untuk menentukan kapan ibu harus dirujuk dan penggunaan partograf telah terbukti efektif dalam mencegah persalinan lama, menurunkan tindakan operasi seccio caesaria yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan ibu dan janin (Hidayat dan Sujiyatini, 2010).

Penggunaan partograf didukung dengan adanya program JAMPERSAL yang mengharuskan seluruh Bidan yang terlibat dalam program tersebut untuk menggunakan partograf dalam memantau kemajuan persalinan. Walaupun pada kenyataannya penggunaan partograf pada program jampersal sebagian besar bukanlah digunakan sebagai alat untuk memantau kemajuan persalinan, melainkan sebagai alat pengkleman dana.

Hal ini didukung dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan Bidan bahwa sebagian besar Bidan melakukan pengisian partograf tidak pada saat fase aktif persalinan sebagaimana seharusnya melainkan setelah selesai proses persalinan bahkan pada saat akan dilakukan pengkleman dana. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengisian partograf yang dilakukan oleh sebagian besar Bidan tidak memiliki manfaat yang signifikan dikarenakan pengisian yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

b. Alasan Bidan Praktik Mandiri Tidak Menggunakan Partograf pada Asuhan Persalinan Normal di Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2013

Dokumentasi merupakan bagian terpenting dari suatu pelayanan kebidanan. Dalam asuhan persalinan normal, sistem pencatatan yang digunakan adalah partograf. Hasil pemeriksaan yang tidak dicatat pada partograf dapat diartikan bahwa pemeriksaan tersebut tidak dilakukan (Depkes RI, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa mayoritas bidan praktik mandiri tidak menggunakan/ mengisi partograf dengan alasan tidak sempat yaitu 5 responden (16.1%).

Berdasarkan hasil penelitian Widiarti (2007) tentang penggunaan partograf oleh Bidan Delima di kabupaten Purworejo provinsi Jawa Tengah bahwa kondisi pasien, lokasi persalinan bukan alasan yang tepat untuk tidak menggunakan partograf. Persepsi negatif terhadap penggunaan partograf, kurangnya kemauan terhadap penggunaan partograf dan kurang optimalnya sistim pembinaan dan pengawasan menyebabkan tidak optimalnya penggunaan partograf.

Menurut Depkes RI (2008) partograf harus digunakan untuk semua ibu dalam fase aktif kala satu persalinan, selama persalinan dan kelahiran di semua tempat (rumah, puskesmas, klinik bidan swasta, rumah sakit, dan lain sebagainya) dan secara rutin oleh semua penolong persalinan yang memberikan asuhan persalinan kepada ibu dan proses kelahiran bayi (spesialis obstetri, bidan, dokter umum dan mahasiswa kedokteran).

Jadi, penggunaan partograf merupakan suatu kewajiban bagi semua tenaga kesehatan yang melakukan pertolongan persalinan. Selain partograf berfungsi sebagai alat untuk memantau kemajuan persalinan dan pengambilan keputusan klinik, penggunaan partograf merupakan suatu bentuk dokumentasi (rekam medis) bagi bidan/ tenaga kesehatan yang melakukan pertolongan persalinan sehingga seharusnya tidak ada alasan yang menyebabkan tenaga kesehatan yang melakukan pertolongan persalinan (bidan) tidak menggunakan partograf.

Hal ini telah diatur dalam Permenkes No.269/MENKES/Per/III/2008 tentang tata cara penyelenggaraan rekam medis. Pada pasal 7 dinyatakan bahwa sarana pelayanan kesehatan wajib menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan rekam medis (Hendrik, 2012).

2. Analisis Bivariat Tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Partograf pada Asuhan Persalinan Normal oleh Bidan Praktik Mandiri di Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2013

a. Hubungan Pendidikan dan Penggunaan Partograf

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami (Mubarak, dkk, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa dari 29 bidan praktik mandiri yang berpendidikan D3 dan D4 mayoritas mengisi ≥85% partograf yaitu 23

responden (74.2%) dan dari 2 bidan praktik mandiri yang berpendidikan D1 diperoleh perbandingan yang sama antara bidan praktik mandiri yang mengisi ≥85% partograf dan yang tidak mengisi partograf yaitu 1 responden (50%). Hasil uji statistik fisher’s exact test menunjukkan nilai p=0.406 (p > α berarti Ha ditolak) artinya tidak ada perbedaan proporsi antara pendidikan bidan praktik mandiri dan penggunaan partograf. Nilai OR=3.883 artinya bidan praktik mandiri yang berpendidikan D3 dan D4 memiliki peluang 3.883 kali menggunakan partograf dibandingkan dengan bidan praktik mandiri yang berpendidikan D1.

Sesuai dengan hasil penelitian Rangkuti (2010) tentang penilaian penggunaan partograf APN oleh Bidan di Puskesmas PONED kota Medan bahwa tidak ada perbedaan antara pendidikan D1 Kebidanan maupun D3 Kebidanan terhadap penerapan penggunaan partograf secara optimal sewaktu menolong persalinan.

Hasil penelitian Widiarti (2007) tentang penggunaan partograf oleh Bidan Delima di kabupaten Purworejo provinsi Jawa Tengah bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kepatuhan dalam penggunaan partograf.

Hasil penelitian ini didukung dengan pendapat Gammon dan Gould (2005) bahwa untuk memenuhi kebutuhan dalam pelaksanaan praktik, peningkatan pengetahuan dan pendidikan saja tidaklah cukup tetapi harus disertai adanya perubahan kepercayaan, sikap, dan konsep berpikir dari personal (Notoadmodjo, 2007).

Jadi, walaupun pendidikan tidak memilliki hubungan yang signifikan dengan perilaku penggunaan partograf oleh bidan praktik mandiri, namun

pendidikan yang lebih tinggi dapat memberikan peluang bidan praktik mandiri untuk untuk menerapkan penggunaan partograf .

Hal ini sesuai dengan pendapat Notoadmodjo (2003) bahwa tingkat pendidikan seseorang akan menentukan pola pikir dan wawasan. Orang yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih banyak mendapat informasi dibandingkan orang yang memiliki pendidikan yang rendah.

Pendidikan merupakan indikator yang mencerminkan kemampuan seseorang untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan. Latar belakang pendidikan merupakan masalah mendasar yang dapat menentukan keberhasilan pelaksanaan suatu program (Depkes RI, 2004 dalam Notoadmodjo, 2007). b. Hubungan Lama Bekerja dan Penggunaan Partograf

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa dari 20 bidan praktik mandiri yang bekerja selama >5 tahun mayoritas mengisi ≥85% partograf yaitu 17 responden (54.8%) dan dari 11 bidan praktik mandiri yang bekerja selama ≤5 tahun mayoritas mengisi ≥85% partograf yaitu 7 responden (22.6%). Hasil uji statistik fisher’s exact test diperoleh nilai p=0.210 (p > α berarti Ha ditolak) artinya tidak ada perbedaan proporsi antara lama bekerja bidan praktik mandiri dan penggunaan partograf. Nilai OR=3.238 artinya bidan praktik mandiri yang bekerja selama >5 tahun memiliki peluang 3.238 kali menggunakan partograf dibandingkan dengan bidan praktik mandiri yang bekerja selama ≤5 tahun.

Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitian Rangkuti (2010) tentang penilaian penggunaan partograf APN oleh Bidan di Puskesmas PONED kota Medan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja responden dengan penerapan partograf.

Hasil penelitian Widiarti (2007) tentang penggunaan partograf oleh Bidan Delima di kabupaten Purworejo provinsi Jawa Tengah bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dan kepatuhan penggunaan partograf.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pendapat Muchlas (2005) yang menyatakan bahwa lama bekerja atau masa kerja merupakan indikator yang dapat mempengaruhi peningkatan kemampuan dan keterampilan seseorang. Semakin lama masa kerja seseorang, biasanya tingkat keterampilan mengenai bidang pekerjaannya akan semakin meningkat.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa cepat atau lamanya seseorang bekerja tidak menjamin orang tersebut akan melakukan pekerjaan sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditetapkan.

Selain itu, lama bekerja bukan merupakan satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi perilaku, akan tetapi perilaku dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain salah satunya yaitu kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah tentang program jampersal yang mewajibkan semua bidan/ tenaga kesehatan yang tergabung dalam program tersebut secara otomatis akan menggunakan partograf. Hal tersebut dikarenakan penggunaan partograf merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam program jampersal sebagai bukti dokumentasi dan alat pengkleman dana.

c. Hubungan Motivasi dan Penggunaan Partograf

Motivasi adalah semua kondisi yang memberi dorongan dari dalam diri seseorang yang digambarkan sebagai keinginan, kemauan, dorongan, atau keadaan dalam diri seseorang yang mengaktifkan atau menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu (Notoadmodjo, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa dari 30 bidan praktik mandiri yang memiliki keinginan mayoritas mengisi partograf ≥85% yaitu 24 responden (77.4%) dan dari 1 bidan praktik mandiri yang memiliki keinginan mayoritas tidak mengisi partograf yaitu 1 responden (3.2%). Hasil uji statistik fisher’s exact test diperoleh nilai p=0.226 (p > α berarti Ha ditolak) artinya tidak ada perbedaan proporsi antara motivasi bidan praktik mandiri dan penggunaan partograf.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Sayekti (2011) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan partograf oleh Bidan dalam pertolongan persalinan di kabupaten Klaten bahwa berdasarkan hasil uji regresi menunjukkan adanya pengaruh motivasi dengan penggunaan partograf.

Menurut (Simamora, 1987 dalam Ratifah, 2006) mengatakan bahwa motivasi merupakan hasil interaksi antara individu dan situasi sehingga setiap manusia mempunyai motivasi yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.

Menurut (Azwar, 1996 dalam Ratifah, 2006) mengatakan bahwa motivasi hanya akan berhasil sempurna jika tujuan yang dimiliki oleh organisasi dapat diselaraskan dengan tujuan yang dimiliki oleh setiap individu dan atau sekelompok masyarakat yang tergabung dalam organisasi tersebut.

Jadi, motivasi bukanlah jaminan atas suatu tindakan yang akan dilakukan oleh seseorang. Tidak selamanya motivasi itu dapat mempengaruhi suatu tindakan seseorang. Karena seorang yang memiliki motivasi yang baik dan tinggi belum tentu ia akan melakukan suatu tindakan sesuai dengan standar demikian pula sebaliknya.

d. Hubungan Pelatihan dan Penggunaan Partograf

Pelatihan merupakan bagian dari pengembangan sumber daya manusia. Penekanan pelatihan adalah untuk meningkatkan kemampuan melaksanakan tugas saat ini (Siagian, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa dari 23 bidan praktik mandiri yang pernah mengikuti pelatihan mayoritas mengisi ≥85% partograf yaitu 22 responden (71.0%) dan dari 8 bidan praktik mandiri yang tidak pernah mengikuti pelatihan mayoritas tidak mengisi partograf yaitu 6 responden (19.4%). Hasil uji statistik fisher’s exact test diperoleh nilai p=0.000 (p < α berarti Ha diterima) artinya ada perbedaan proporsi antara pelatihan bidan praktik mandiri dan penggunaan partograf. Nilai OR=66 artinya bidan praktik mandiri yang pernah mengikuti pelatihan memiliki peluang 66 kali menggunakan partograf dibandingkan dengan bidan praktik mandiri yang tidak pernah mengikuti pelatihan.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan Widiarti (2008) tentang partograf yang diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan antara pelatihan APN, penyediaan formulir partograf dan kompetensi Bidan Delima dengan kepatuhan penggunaan partograf dengan p<0,05.

Hal ini sesuai dengan teori menurut Siagian (2002) bahwa pelatihan juga merupakan salah satu instrumen yang paling efektif untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas kerja pegawai dalam suatu organisasi yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas organisasi secara keseluruhan.

Menurut Departemen Kesehatan R.I (2004) bahwa pelatihan merupakan salah satu aspek penting untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan jaminan

mutu. Pelatihan dilaksanakan untuk memberikan keterampilan dan pengetahuan baru maupun untuk pelatihan penyegaran.

Menurut Marquis dan Huston (2010) bahwa belajar melalui pelatihan dapat melibatkan kesadaran, perubahan sikap dan perilaku pegawai (bidan). Pelatihan dapat merubah perilaku seseorang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Pelatihan juga didefinisikan sebagai metode terorganisasi`yang memastikan bahwa seseorang mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk tujuan khusus bahwa mereka mendapatkan pengetahuan yang dibutuhkan untuk melakukan tugas kerja.

Dokumen terkait