• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

1 8 1 0 2 4 7 5 11 9 5 30 Sig (2-tailed), p = 0,034 Spearman Correlation, r = 0,389

Dari hasil uji Spearman, didapatkan nilai significancy sebesar 0,034. Karena p<0,05 dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara level CAT dengan derajat berat PPOK. Nilai korelasi Spearman sebesar 0,389 menunjukkan kekuatan korelasi lemah. Hasil positif menunjukkan arah korelasi yang searah, artinya semakin tinggi derajat berat PPOK, semakin tinggi pula level CAT.

5.2. Pembahasan

Merokok merupakan faktor risiko utama untuk PPOK karena merokok menaikkan risiko sebanyak 12-13 kali untuk terjangkit penyakit ini(Stephens dan Yew, 2008). Menurut Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yaitu didapatkan 26 dari 30 responden merupakan perokok sebelumnya. Faktor lain yang dapat menyebabkan PPOK adanya paparan asap dan polutan secara terus menerus yang didapat dari lingkungan sekitarnya. Sebesar 76.7% sampel memiliki kencenderungan terkena paparan asap. Hal ini dapat diakibatkan oleh lingkungan tempat tinggal yang dekat pabrik atau polusi, keluarga serumah yang perokok aktif dan juga tempat kerja yang memproduksi asap atau polutan. Hal ini sejalan dengan jurnal yang ditulis Mark B Stephens dan Kenneth S. Yew pada tahun 2008 yang menyebutkan bahwa risiko perokok aktif terkena PPOK sebesar 25% dan risiko lain yang berpengaruh besar terhadap angka kejadian PPOK adalah paparan asap dan polutan.

Jenis kelamin juga memiliki pengaruh terhadap angka kejadian PPOK. Dari total 30 responden, 25 responden adalah laki-laki sehingga dapat dikatakan laki-laki merupakan individu yang potensial terkena PPOK. Hal ini dapat dijelaskan dengan banyaknya kaum lelaki yang merupakan perokok aktif dan pekerja di lapangan daripada perempuan sehingga lebih berisiko terkena paparan asap dan polutan secara terus menerus(WHO, 2013).

PPOK adalah penyakit saluran pernapasan yang bersifat kronis, sehingga manifestasi klinisnya dapat baru terlihat pada usia lanjut (Mannino dan Buist, 2012). Hal ini dapat dilihat pada hasil penelitian, banyaknya penderita PPOK yang berusia > 50 tahun. Dari total 30 responden, 13 orang berada pada kelompok usia 50-59 tahun dan 13 orang pada kelompok 60-90 tahun. Hal ini menunjukkan besar angka kejadian PPOK meningkat seiring pertambahan usia. Dan hasil ini juga sesuai dengan data statistik di COPD International pada tahun 2012.

Hipertensi dan penyakit jantung merupakan penyakit komorbid terbanyak pada penelitian ini berturut-turut sebesar 26.67% dan 23.33%. Hal ini sesuai dengan penelitian Luis Gracia,dkk yang menyatakan bahwa hipertensi merupakan penyakit komorbid yang paling sering pada PPOK sebesar 52% (Luis et. al, 2013), sedangkan menurut GOLD 2012 menyatakan bahwa penyakit kardiovaskular merupakan penyakit komorbid terbanyak pada PPOK. Hipertensi masuk kedalam 4 penyakit kardiovaskular utama selain penyakit jantung iskemik, gagal jantung, dan fibrilasi atrium.

Pada PPOK terdapat hambatan aliran udara pada saluran pernapasa ( Viegi et. al, 2012). Hambatan aliran ini dilihat dari rasio FEV1/FVC dengan pemeriksaan spirometri. Pada penyakit ini terjadi penurunan rasio FEV1 dibawah 80%. Semakin rendahnya nilai FEV1 menunjukkan semakin beratnya derajat PPOK yang diderita. Klasifikasi kelas pada PPOK dilihat dari seberapa jauh rasio FEV1 mengalami penurunan (GOLD, 2015). Adanya hambatan aliran udara ini dapat mempengaruhi kondisi fisik pada pasien PPOK. Karena rasio FEV1/FVC tidak dapat digunakan untuk mengukur dampak PPOK terhadap status kesehatan fisik pasien, maka juga digunakanlah COPD Assessment Test (CAT) untuk mengukur kondisi tersebut. Total skor pada CAT dikelompokkan pada beberapa

kelas yang menunjukkan level besarnya PPOK mempengaruhi status kesehatan pasien (CAT Development Steering Group, 2012). Seharusnya semakin rendah rasio FEV1/FVC, maka semakin tinggi skor CAT yang ada.

Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna secara signifikan antara skor CAT dengan rasio FEV1/FVC. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Abbas Fadaii pada tahun 2011 yang mengatakan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara skor CAT dengan rasio FEV1/FVC. Pada penelitian tersebut dikatakan hasil yang tidak siginifikan tersebut dikarenakan penentuan derajat berat PPOK ialah FEV1 bukan rasio FEV1/FVC. Penelitian tersebut juga mengkorelasikan antara skor CAT dengan FEV1 dan didapatkan hasil yang signifikan (Fadaii, et. al, 2012). Namun pada penelitian ini, terdapat hubungan yang bermakna antara level CAT dengan derajat berat PPOK. Hasil ini sesuai dengan penelitan pada tahun 2012 oleh Hassan Ghobadi yang menunjukkan ada korelasi yang siginifikan antara keduanya (Ghobadi et. al, 2012).

Hal yang tidak signifikan ini dapat disebabkan oleh jumlah sampel yang sedikit walau memenuhi sampel minimal dan terbatasnya waktu penelitian sehingga tidak dapat menambah sampel. Kusienor CAT yang seharusnya diisi sendiri oleh pasien tanpa bantuan, dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan pasien sehingga tidak memungkin kuesioner diisi secara mandiri. Oleh karena itu, peneliti berusaha mengisi dengan bertanya lebih intensif akan kondisi pasien. Akan tetapi karena sulitnya menafsirkan bahasa pasien, pemberian skala yang ada tidak terlalu akurat. Hasil yang tidak bermakna ini juga dapat karena kesalahan dalam pemeriksaan spirometri. Seperti responden yang tidak melakukan instruksi meniup spirometri dengan baik dan benar dan spirometer yang belum dikaleberasi sesuai standar. Keduanya dapat mempengaruhi hasil pembacaan interpretasi dari pemeriksaan spirometri. Sampel yang merupakan pasien yang diagnosa PPOK secara klinis, tetapi berdasarkan hasil spirometri didapatkan hasil restriktif atau mixed bukan obstruktif. Hal ini juga dapat mempengaruhi hasil uji korelasi yang tidak bermakna.

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan data yang didapat dan dianalisis dari 30 pasien PPOK di Instalasi Diagnostik Terpadu RSUP Haji Adam Malik Medan selama bulan Juni-Juli 2015, diambil simpulan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara skor COPD Assessment Test (CAT) dengan rasio FEV1/FVC pada pasien PPOK.

6.2 Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan peneliti adalah sebagai berikut. 1. Pengukuran skor CAT dan rasio FEV1/FVC masih perlu diteliti lebih

lanjut dengan sampel yang lebih banyak.

2. CAT sebisa mungkin diisi sendiri oleh pasien dengan sebelumnya dijelaskan metode pengisian sehingga hasil lebih akurat. Spirometer juga harus dikaliberasi sesuai standar sehingga jika ingin dilakukan penelitian lebih lanjut tidak mempengaruhi hasil penelitian.

3. Pemeriksaan spirometri pada pasien PPOK klinis sebaiknya tetap dilakukan untuk dapat mengetahui apakah benar terjadi obstruksi dan derajat berat obstruksi sehingga pasien dapat dikelola dengan sesuai.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang bisa dicegah dan diobati. PPOK ditandai dengan adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2015). Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu. PPOK sering mengenai individu pada usia pertengahan yang memiliki riwayat merokok jangka panjang. Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi (PDPI, 2011).

2.2. Epidemiologi PPOK

Data prevalens PPOK pada populasi dewasa saat ini bervariasi pada setiap negara di seluruh dunia. Tahun 2000, prevalens PPOK di Amerika dan Eropa berkisar 5-9% pada individu usia > 45 tahun (Wiyono, 2009). Data penelitian lainnya menunjukkan prevalens PPOK bervariasi dari 7,8%-32,1% di beberapa kota Amerika Latin. Prevalens PPOK di Asia Pasifik rata-rata 6,3%, yang terendah 3,5 % di Hongkong dan Singapura dan tertinggi 6,7% di Vietnam (GOLD, 2015). Untuk Indonesia, penelitian PPOK working group tahun 2002 di 12 negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi prevalens PPOK Indonesia sebesar 5,6 (Regional COPD Working Group, 2003).

Prevalens PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia. Menurut prediksi WHO, PPOK yang saat ini merupakan penyebab kematian ke-4 di seluruh dunia diperkirakan pada tahun 2030 akan menjadi penyebab kematian ke-3 di seluruh dunia (WHO, 2012).

2.3. Patofisiologi PPOK

Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (FEV1/FVC) (Sherwood, 2011).

Pada PPOK, hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran napas bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya penebalan pada saluran napas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran napas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan napas. Lumen saluran napas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit.

Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor kemotaktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrien B4, tumuor necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS).

Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofag dan neutrofil akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion superoksida dengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akan diubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl).

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Parenkim paru kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps , sehingga dapat terjadi sesak nafas (GOLD, 2015).

Konsep patogenesis PPOK

Gambar 2.1

Sumber: PDPI. Klasifikasi. Dalam : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan. Edisi Juli 2011

Gambar 2.2

(Dikutip dari: Spurzem JR, Rennard SI, Pathogenesis of COPD, 2005,26(2):142-53)

2.4. Diagnosis PPOK

Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.

2.4.1. Anamnesis a. Faktor Risiko

Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi tempat kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok. Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat ( >600) (GOLD, 2015)

b. Gejala

PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan tanda dan gejala. Diagnosis lain seperti asma, TB paru, bronkiektasis, keganasan dan penyakit paru kronik lainnya dapat dipisahkan. Anamnesis lebih lanjut dapat menegakkan diagnosis ( Jindal dan Gupta, 2004)

Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai berikut (COPD Health Center, 2010) :

a. Batuk kronik

Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari.

b. Berdahak kronik

Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur.

c. Sesak napas

Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak

Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas 0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat

1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat

2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak

3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit

4 Sesak bila mandi atau berpakaian

Tabel 2.1 Skala Sesak British Medical Research Council (MRC) d. Mengi

Mengi atau wheezing adalah suara memanjang yang disebabkan oleh penyempitan saluran pernapasan dengan aposisi dinding saluran pernapasan. Suara tersebut dihasilkan oleh vibrasi dinding saluran pernapasan dengan jaringan sekitarnya. Karena secara umum saluran pernapasan lebih sempit pada saat ekspirasi, maka mengi dapat terdengar lebih jelas pada saat fase ekspirasi. Pada pasien PPOK juga terdapat mengi pada fase ekspirasi. Mengi polifonik merupakan jenis mengi yang paling banyak terdapat pada pasien PPOK. Terdapat suara jamak simultan dengan berbagai nada yang terjadi pada fase ekspirasi dan menunjukan penyakit saluran pernafasan yang difus (Sylvia dan Lorraine, 2006)

e. Ronkhi

Ronkhi merupakan bunyi diskontinu singkat yang meletup-letup yang terdengar pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Ronkhi mencerminkan adanya letupan mendadak jalan nafas kecil yang sebelumnya tertutup. Ronkhi juga dapat disebabkan oleh penutupan jalan nafas regional dikarenakan penimbunan mucus pada saluran nafas. Pada pasien PPOK dapat pula terjadi ronhki meskipun bukan gejala khas dari PPOK (Sylvia dan Lorraine, 2006)

f. Penurunan Aktivitas

Penderita PPOK akan mengalami penurunan kapasitas fungsional dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemampuan fisik yang terbatas pada penderita PPOK lebih dipengaruhi oleh fungsi otot skeletal atau perifer. Pada penderita PPOK ditemukan kelemahan otot perifer disebabkan oleh hipoksia, hiperkapnia, inflamasi dan malnutrisi kronis (Sylvia dan Lorraine, 2006)

Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua (Sciurba, 2004)

2.4.2. Pemeriksaan Fisik

Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan fungsi paru yang signifikan (Badgett et al, 2003). Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajad berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut:

1. Inspeksi

a. Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong )

b. Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup ) c. Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas d. Pelebaran sela iga

e. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan edema tungkai

f. Penampilan pink puffer atau blue bloater 2. Palpasi

a. Fremitus melemah b. Sela iga melebar 3. Perkusi

a. Hipersonor 4. Auskultasi

a. Fremitus melemah,

b. Suara nafas vesikuler melemah atau normal c. Ekspirasi memanjang

d. Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi) e. Ronki

Pink puffer

Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed – lips breathing.

Blue bloater

Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.

Pursed - lips breathing

Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO yang terjadi pada gagal napas kronik (GOLD, 2015)

2.4.3. Pemeriksaan Penunjang 2.4.3.1. Pemeriksaan Spirometri

Spirometri adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur secara

obyektif kapasitas/fungsi paru (ventilasi) pada pasien dengan indikasi medis. Alat yang digunakan disebut spirometer (Miller et. al, 2005).

Prinsip spirometri adalah mengukur kecepatan perubahan volume udara di paru-paru selama pernafasan yang dipaksakan atau disebut forced volume capacity (FVC). Prosedur yang paling umum digunakan adalah subyek menarik nafas secara maksimal dan menghembuskannya secepat dan selengkap mungkin. Nilai FVC dibandingkan terhadap nilai normal dan nilai prediksi berdasarkan usia, tinggi badan dan jenis kelamin.

Langkah pemeriksaan Spirometri, Siapkan alat spirometer, dan kalibrasi harus dilakukan sebelum pemeriksaan. Pasien harus dalam keadaan sehat, tidak ada flu atau infeksi saluran napas bagian atas dan hati-hati pada penderita asma karena dapat memicu serangan asma. Pasien harus menghindari memakai pakaian yang ketat dan makan makanan berat dalam waktu 2 jam. Pasien juga tidak harus merokok dalam waktu 1 jam dan menkonsumsi alkohol dalam waktu 4 jam. Masukkan data yang diperlukan , yaitu umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, dan ras untuk megetahui nilai prediksi. Beri pentunjuk dan demonstrasikan manuver pada pasien, yaitu pernafasan melalui mulut, tanpa ada udara lewat hidung dan celah bibir yang mengatup mouth piece. Pasien dalam posisi duduk atau berdiri, lakukan pernapasan biaa tiga kali berturut-turut, dan langsung menghisap sekuat dan sebanyak mungkin udara ke dalam paru-paru, dan kemudian dengan cepat dan sekuat-kuatnya dihembuskan udara melalui mouth piece. Manuver dilakukan 3 kali untuk mendapatkan hasil terbaik.

Namun sebelum dilakukan spirometri, terhadap pasien dilakukan anamnesa, pengukuran tinggi badan dan berat badan. Pada spirometer terdapat nilai prediksi untuk orang Asia berdasarkan umur dan tinggi badan. Bila nilai prediksi tidak sesuai dengan standar Indonesia, maka dilakukan penyesuaian nilai prediksi menggunakan standar Indonesia. Volume udara yang dihasilkan akan dibuat presentase pencapaian terhadap angka prediksi. Spirometri dapat dilakukan

dalam bentuk social vital capacity (SVC) atau forced vital capacity (FVC). Pada SCV, pasien diminta bernafas secara normal 3 kali (mouthpiece sudah terpasang di mulut) sebelum menarik nafas dalam-dalam dan dihembuskan secara maksimal. Pada FVC, pasien diminta menarik nafas dalam-dalam sebelum mouth piece dimasukkan ke mulut dan dihembuskan secara maksimal (Miller et. al, 2005).

Pengukuran fungsi paru yang dilaporkan:

a. Forced Vital Capacity (FVC) adalah jumlah udara yang dapat di keluarkan secara paksa setelah inspirasi maksimal, dan di ukur dalam liter

b. Forced expiratoy volume in one second (FEV1) adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan dalam satu detik, di ukur dalam liter. Bersama dengan FCV merupakan indikator utama fungsi paru

c. FEV1/FVC merupakan rasio FEV1/SCV. Pada orang sehat nilai normalnya sekitar 75 – 80%

d. Peak expiratory flow (PEF) merupakan kecepatan pergerakan udara keluar dari paru pada awal ekspirasi, di ukur dalam liter/detik.

e. Forced expiratory flow (FEF) merupakan kecepatan rata-rata aliran udara keluar dari paru selama pertengahan pernafasan. Sering juga di sebut sebagai MMEF (Maximal Mid-Expiratory Flow).

Klasifikasi gangguan ventilasi (% nilai prediksi) :

a. Gangguan restriksi : Vital Capacity (VC) < 80% nilai prediksi; FVC < 80% nilai prediksi

b. Gangguan obstruksi : FEV1 < 80% nilai prediksi; FEV1/FVC < 75% nilai prediksi

c. Gangguan restriksi dan obstruksi : FVC < 80% nilai prediksi; FEV1/FVC < 75% nilai prediksi.

Bentuk spirogram adalah hasil dari spirometri. Beberapa hal yang menyebabkan spirogram tidak memenuhi syarat :

a. Terburu-buru atau penarikan nafas yang salah b. Batuk

c. Terminasi lebih awal d. Tertutupnya glotis

e. Ekspirasi yang bervariasi f. Kebocoran

Setiap pengukuran sebaiknya dilakukan minimal 3 kali. Kriteria hasil spirogram yang reprodusibel (setelah 3 kali ekspirasi) adalah dua nilai FVC dan FEV1 dari 3 ekspirasi yang dilakukan menunjukkan variasi/perbedaan yang minimal (perbedaan kurang dari 5% atau 100 mL) (Miller et. al, 2005).

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2015, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut:

Tabel 2.2 Klasifikasi PPOK berdasarkan GOLD 2015

2.4.3.2. Pemeriksaan Penunjang lain

Spirometri adalah tes utama untuk mendiagnosis PPOK, namun beberapa tes tambahan berguna untuk menyingkirkan penyakit bersamaan. Radiografi dada harus dilakukan untuk mencari bukti nodul paru, massa, atau perubahan fibrosis. Radiografi berulang atau tahunan dan computed tomography untuk memonitor

Dokumen terkait