• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Pembahasan

2.1Hubungan antara Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dengan Kejadian Penyakit Skabies

Berdasarkan hasil uji statistik antara Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dengan kejadian penyakit skabies menggunakan uji spearman correlation memperlihatkan koefisien korelasi sebesar 0,628 dengan nilai p-value pada kolom sig(2-tailed) sebesar 0,000. Nilai p-value sebesar 0,000 lebih kecil dari level of significant (α) sebesar 0,05 yang berarti hipotesa alternatif diterima yaitu

terdapat hubungan yang bermakna antara dua variabel yang di uji yaitu antara Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dengan kejadian penyakit skabies. Angka korelasi yang dihasilkan yaitu 0,628, artinya korelasi antara Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dengan Kejadian Penyakit Skabies adalah terdapat hubungan yang kuat antara dua variabel dengan arah korelasinya positif.

Menurut data DinKes (2010) dalam Khumayra (2012) Perilaku Hidup Sehat dan Bersih adalah budaya hidup perorangan, keluarga dan masyarakat yang berorientasi sehat, serta bertujuan untuk meningkatkan, memelihara, dan melindungi kesehatan baik fisik, mental maupun sosial. Kondisi sehat dapat dicapai dengan mengubah perilaku yang tidak sehat menjadi perilaku sehat dan menciptakan lingkungan yang bersih. Secara konsep teori perilaku, dari pengetahuan akan berubah menjadi sikap dan sikap menjadi tindakan. Konsep teori perilaku, dari pengetahuan akan merubah menjadi sikap dan sikap menjadi tindakan (Notoatmodjo, 2003).

Menurut hasil penelitian, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat para santri dengan kategori baik 40% dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat yang kategori cukup 24%, sedangkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat para santri dengan kategori buruk 36%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ma’rufi (2005) menyatakan bahwa Perilaku Hidup Bersih dan Sehat para santri di pesantren buruk, hal ini berkaitan dengan perilaku kebersihan diri santri yang buruk, sosial ekonomi yang rendah dan kepadatan hunian dalam kamar.

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada santri sebagaian besar buruk, hal ini dipengaruhi oleh usia responden yang masih muda yaitu rata-rata berusia 12 tahun (SD=1,19), dan sebagian besar santri duduk di kelas satu sebanyak 41%. Hal ini berpengaruh karena kurangnya pengalaman dan pengetahuan responden tentang penyakit skabies. Kurangnya pengetahuan terhadap penyakit skabies menyebabkan cepatnya penularan skabies yang terjadi dalam lingkungan pesantren. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Muzakir (2008) dalam Werner dan Bower (1986), WHO (1992) menyatakan bahwa faktor yang bisa mempengaruhi terjadinya penyakit skabies antara lain karena motivasi, pengetahuan, kurangnya informasi, pengalaman, guru dan media massa.

Menurut Wawan, A (2010) dalam penelitian Khumayra (2012) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang diterima. Pengetahuan tersebut merupakan awal terbentuknya sikap yang akan membentuk perilaku atau tidakan. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan

mengenai perilaku hidup bersih dan sehat. Individu yang tingkat pendidikannya lebih tinggi akan lebih mampu mengaplikasikan perilaku hidup bersih dan sehat.

Sebagian besar responden dengan pekerjaan orang tua sebagai petani sebanyak 49% dan pemberian uang saku sebagian besar perminggu (Rp, 20.000-50.000) sebanyak 61%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ardhana. P (2011) yang menyatakan bahwa skabies disebabkan karena faktor sosial ekonomi dan hygiene yang buruk. Penyakit skabies banyak ditemukan di tempat seperti di asrama, panti asuhan dan tempat dengan hunian yang padat.

Dari penelitian ini sebagian besar responden menyatakan tidak mandi minimal 2x dalam sehari sebanyak 58 responden (40%). Hal ini sesuai dengan teori oleh Iskandar (2000) dalam penelitian Muslih (2011) bahwa mandi setiap hari minimal 2 kali sehari secara teratur dan menggunakan sabun merupakan salah satu cara untuk menjaga kebersihan diri terutama kebersihan kulit, karena kulit merupakan pintu masuknya kutu sarkoptes scabie sehingga menimbulkan terowongan dengan garis keabu-abuan. Bila kulit bersih dan terpelihara maka bisa menekan dalam penularan penyakit skabies.

Sedangkan pernyataan lain dari responden tentang kebersihan diri, tidak mengganti pakaian dalam dalam setiap hari sebanyak 36%. Menurut penelitian Afraniza (2011) santri yang tidak menjaga kebersihan pakaiannya dengan baik mempunyai resiko 2,9 kali untuk menderita skabies disbanding dengan santri yang menjaga kebersihan pakaiannya dengan baik. Menjaga kebersihan pakaian dengan baik, dapat menurunkan resiko santri untuk terkena penyakit skabies. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa pakaian berperan dalam

transmisi tungau skabies melalui kontak tak langsung sehingga mempengaruhi kejadian skabies.

Secara teori yang disebutkan oleh Wolf (2000) dalam penelitian Muslih (2011) di Pondok Pesantren Cipasung Kabupaten Tasikmalaya bahwa kebersihan diri merupakan faktor penting dalam usaha pemeliharaan kesehatan, agar kita selalu dapat hidup sehat dan terhindar dari penyakit skabies. Cara menjaga kebersihan diri dapat dilakukan dengan cara mengganti pakaian setelah mandi dengan pakaian yang habis dicuci bersih dengan sabun/detergen, dijemur dibawah sinar matahari dan disetrika.

Menurut hasil penelitian, mayoritas responden menyatakan tidak pernah membersihkan bak penampungan air secara teratur sebanyak 43%. Penelitian Ma’rufi (2005) menyatakan bahwa penyediaan air bersih merupakan kunci utama sanitasi yang berperan terhadap penularan penyakit skabies pada para santri Ponpes, karena penyakit skabies merupakan penyakit yang berbasis pada persyaratan air bersih (water washed disease) yang dipergunakan untuk membasuh badan dan angota tubuh lainnya.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden tidak pernah membersihkan kasur dan bantal setiap minggu sebanyak 35%. Berdasarkan penelitian Muslih (2011) adanya hubungan antara menjemur kasur dengan kejadian skabies. Diperoleh bahwa responden yang tidak menjemur kasur, proporsi menderita skabies (55 %) sedangkan pada responden yang menjemur kasur, proporsi menderita skabies (28%). Kasur merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penularan skabies secara tak langsung. Agar kasur tetap bersih dan

terhindar dari kuman penyakit maka menjemur kasur sangat perlu karena tanpa disadari kasur bisa juga menjadi lembab hal ini dikarenakan seringnya berbaring dan suhu kamar yang berubah-ubah. Sedangkan sebanyak 29% responden tidak pernah mencuci seprei dan sarung bantal setiap minggu, ini berpengaruh terhadap kejadian skabies. Hal ini ditegaskan oleh Wendel dan Rompalo (2002) dalam penelitian Wardhana (2006) bahwa seprei penderita skabies harus dicuci maksimal tiga kali sehari dan semua benda-benda bantal, guling dan selimut dimasukkan dalam kantung plastik selama tujuh hari, selanjutnya dicuci kering dan dijemur dibawah panas matahari sambil dibolak-balik minimal 20 menit sekali. Kebersihan adalah kunci untuk memutuskan mata rantai penularan skabies.

Berdasarkan penelitian Ma’rufi (2005) di Pondok Pesantren Kabupaten Lamongan, kepadatan hunian dalam kamar juga berpengaruh terhadap terjadinya penyakit skabies. Kepadatan hunian juga merupakan syarat mutlak untuk kesehatan kamar tidur karena dengan kepadatan hunian yang tinggi memudahkan penularan penyakit skabies secara kontak dari satu santri kepada santri lainnya. Kelembaban ruangan kamar santri. Nampak kurang memadai karena buruknya ventilasi, sanitasi karena berbagai barang dan baju, handuk, sarung tidak tertata rapi dan kepadatan hunian diruangan ikut berperan dalam penularan penyakit skabies.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden 31% tidak pernah membuka jendela kamar setiap pagi sehingga cahaya matahari tidak bisa masuk, ini sangat berpengaruh terhadap kejadian penyakit skabies. Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan bahwa suhu dalam ruangan kamar juga harus diperhatikan,

suhu sebaiknya tetap berkisar antara 18-20 0C. Suhu ruangan ini sangat di pengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan udara, kelembaban udara dan suhu benda-benda yang ada disekitarnya. Kamar juga harus cukup mendapatkan penerangan yang baik pada siang hari maupun malam hari. Idealnya penerangan didapat dengan bantuan listrik. Setiap kamar diupayakan mendapat sinar matahari terutama di pagi hari. Apabila kamar tidak memenuhi pencahayaan yang baik akan memudahkan terjadinya penularan penyakit diantara penghuninya khususnya penyakit kulit skabies. Pertukaran udara (ventilasi udara) juga sangat berpengaruh terhadap kesehatan kamar. Pertukaran udara yang cukup menyebabkan hawa ruangan tetap segar (cukup mengandung oksigen). Dengan demikaian setiap ruangan harus memiliki jendela yang memadai. Luas jendela secara keseluruhan kurang lebih 15% dari luas lantai. Susunan kamar juga harus dibuat sedemikian rupa sehingga udara dapat mengalir bebas jika jendela dan pintu dibuka (Chandra, 2006).

Berdasarkan hasil penelitian tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dapat disimpulkan bahwa sebagian besar perilaku kebersihan santri buruk sehingga berpengaruh pada kesehatan kulit santri. Sebagian besar santri mengeluh gejala-gejala penyakit skabies. Skabies disebabkan oleh tungau kecil berkaki delapan (sarcoptes scabiei), dan didapatkan melalui kontak fisik yang erat dengan orang lain yang menderita penyakit skabies. Penyakit ini bisa menyerang semua tingkat usia (Brown, 2005).

Menurut hasil penelitian 71% menyatakan pernah menderita gatal-gatal yang hebat pada malam hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Muttaqin (2011) yang

menunjukkn bahwa Skabies merupakan penyakit infeksi kulit menular dengan manifestasi keluhan gatal pada lesi terutama pada waktu malam hari yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei var. hominis. 79% responden menyatakan pernyataan penyakit gatal-gatal yang dialami responden sering terjadi di bagian sela jari, ketiak, pinggang, alat kelamin, siku, dan dipergelangan tangan, hal ini sesuai dengan pernyataan Masjoer (2000), bahwa tempat predileksi skabies biasanya terdapat di daerah dengan stratum kornium tipis, yaitu sela- sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae dan lipat glutea, umbilicus, bokong, genitalia eksterna dan perut bagian bawah.

Menurut hasil penelitian tersebut didapatkan 57% responden mengalami skabies dan 43% tidak mengalami skabies. Penyakit skabies ditularkan melalui kontak langsung maupun tak langsung. Penularan melalui kontak langsung (kulit dengan kulit) merupakan penularan skabies melalui kontak langsung seperti berjabat tangan dan tidur bersama Sedangkan penularan tak langsung (melalui benda), misalnya melalui perlengkapan tidur, pakaian atau handuk (Brown, 1999).Penyakit skabies erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan lingkungan apabila banyak orang yang tinggal secara bersama-sama disatu tempat yang relatif sempit (Benneth, 1997).

Penularan skabies terjadi ketika orang-orang tidur bersama di satu tempat tidur yang sama di lingkungan rumah tangga, sekolah-sekolah yang menyediakan fasilitas asrama dan pemondokan. Faktor lainnya adalah fasilitas umum yang dipakai secara bersama-sama di lingkungan padat penduduk (Meyer, 2000).

Menurut Wolf (2000) dalam Frenki (2001), kebersihan merupakan faktor penting dalam usaha pemeliharaan kesehatan agar selalu hidup sehat. Menjaga kebersihan diri berarti juga menjaga kesehatan umum. Cara menjaga kebersihan diri dapat dilakukan dengan cara mandi setiap hari minimal 2 kali sehari secara teratur dengan menggunakan sabun, bagian wajah dan telinga serta genitalia juga harus bersih. Sebelum menyiapkan makanan dan minuman, sebelum makan, sesudah buang air besar dan buang air kecil tangan harus dicuci, kuku digunting pendek dan bersih agar tidak melukai dan tidak menjadi sumber infeksi dan menggunakan pakaian yang bersih setelah mandi.

BAB 6

Dokumen terkait