• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

Berdasarkan karakteristik jenis kelamin dari sampel penelitian, didapatkan bahwa kejadian infeksi oleh ESBLs-producing E.coli yang terbanyak terjadi pada wanita. Hal serupa juga ditemukan oleh Soraas et al (2014). Dalam penelitiannya, dari 158 sampel ditemukan 148 sampel (93,7%) adalah wanita. Juga pada penelitian Pobiega et al (2013) yang menemukan dari 217 sampel, 140 sampel (64,5%) berjenis kelamin perempuan. Hal ini juga sama dengan hasil yang didapatkan dari penelitian Ponnusamy dan Nagappan (2013) yang mengatakan bahwa insidensi infeksi saluran kemih lebih banyak pada wanita dibandingkan pria karena faktor anatomikal atau adherensi mukosa urotelial ke lapisan mukopolisakarida bakteri penginfeksi saluran kemih. Lebih lanjut dikatakan Ponnusamy dan Nagappan (2013) pada penelitiannya bahwa pada anak sekolah (<17 tahun), insidensi dari bakteriuria yang terdeteksi juga lebih banyak pada anak perempuan (6,6%) dibanding anak laki-laki (1,8%) karena uretra anak perempuan lebih pendek. Pada penelitian ini juga terlihat bahwa kejadian bakteriuria lebih banyak pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Hal yang sama juga terlihat pada sampel kelompok umur 26-45 tahun. Namun pada kelompok umur di atas 45 tahun terdapat perbedaan hasil karena kejadian infeksi saluran kemih cenderung lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan karena pada laki-laki berumur lebih tua, kejadian pembesaran prostat dan batu ginjal sering terjadi dan jumlah penderita batu ginjal laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan perempuan sementara pembesaran prostat dan penyakit batu ginjal dapat memicu timbulnya infeksi saluran kemih terutama oleh

E.coli (Purnomo, 2011).

Berdasarkan karakteristik umur dari sampel penelitian, didapatkan angka kejadian infeksi saluran kemih terjadi pada usia dewasa yaitu 26-45 tahun. Hal ini juga disebabkan oleh penyakit konkomitan seperti batu ginjal karena pasien- pasien batu ginjal terbesar ada pada rentang umur 30-50 tahun (Purnomo, 2011). Pada penelitian McGregor et al (2013) didapatkan kejadian infeksi saluran kemih oleh E.coli paling banyak pada usia 18-64 tahun sebesar 68,5%. Ini menunjukkan

pada kelompok umur 26-45 tahun dan kelompok umur di atas 45 tahun juga terjadi peningkatan resiko.

Persentasi bakteri Extended Spectrum Beta Laktamases-producing Escherichia coli pada penelitian ini adalah sebesar 63,2% dari seluruh isolat E.coli

yang diidentifikasi dari spesimen urin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mayasari (2012) di RSUP H Adam Malik, pada periode Juli 2011-Juni 2012 ditemukan 58,24% isolat ESBLs-producing E.coli dari seluruh isolat E.coli yang berasal dari spesimen urin. Pada penelitian Soraas et al (2014), didapatkan dari 343 E.coli yang diidentifikasi, 81 isolat (23,6%) adalah bakteri ESBLs-producing E.coli. Sementara itu, pada penelitian Pobiega et al (2013), didapatkan 14 isolat (23,7%) ESBLs-producing E.coli dari 59 E.coli yang berhasil diidentifikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada periode Juli 2013-Juni 2014 telah terjadi peningkatan kejadian ESBLs-producing E.coli yang diisolasi dari spesimen urin di RSUP. H Adam Malik Medan. Hal ini berhubungan dengan infeksi nosokomial yang tinggi dan lamanya penggunaan antibiotik karena pemakaian antibiotik dalam hitungan bulan dapat meningkatkan risiko terjadinya ESBLs (Pobiega et al, 2013). Juga lebih lanjut dikatakan oleh Pobiega et al (2013) bahwa pasien-pasien dengan tirah baring, pemakaian kateter, dan adanya inkontinensi urin pada pasien- pasien di rumah sakit yang menggunakan diapers dapat berisiko terinfeksi ESBLs- producing E.coli.

Berdasarkan hasil uji kepekaan berbagai jenis antibiotik terhadap ESBLs- producing E.coli didapatkan bahwa untuk antibiotik Amoxicillin, Ampicillin, Cefazolin, Cefotaxime, Ceftazidime, Ceftriaxone, Cefepime, dan Aztreonam didapatkan 100% sampel sudah resisten terhadap antibiotik-antibiotik tersebut. Hal ini disebabkan karena bakteri ESBLs-producing E.coli telah menghasilkan enzim-enzim beta laktamase dan cefotaximase yang dapat menghidrolisis gugus beta laktam dari antibiotik-antibiotik tersebut (Kirchner et al, 2013). Hal ini juga terlihat pada antibiotik lain yang persentasi resistennya cukup tinggi seperti Ampicillin-sulbactam, Carbenicillin, Ciprofloxacin, Levofloxacin, Ofloxacillin, Tetracycline, Trimetoprim-sulfametoxazole, dan Norfloxacillin. Berdasarkan hasil pada penelitian Mayasari (2012) didapatkan bahwa persentasi resistensi isolat

ESBLs-producing Escherichia coli juga tinggi terhadap Gentamicin, Trimetoprim Sulfametoxazole, Amoxicillin-clavulanic acid, Ciprofloxacin, Levofloxacin, Cefotaxime, Ceftazidime, Cefepime. Dan didapati 100% isolat resisten terhadap Amoxicillin dan Ampicillin. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa dibandingkan periode Juni 2011-Juli 2012, antibiotik Cefotaxime, Ceftazidime, dan Cefepime dengan kepekaan berkisar 1,72% - 3,45% telah turun kepekaannya menjadi 0% yang berarti seluruh isolat telah resisten terhadap antibiotik-antibiotik tersebut. Penelitian Basu et al (2013) menemukan 83% sampel penelitiannya telah resisten terhadap Ciprofloxacin. Sementara pada penelitian Pobiega et al (2013), didapatkan resistensi terhadap Amoxicillin sebesar 100%, Cefotaxime 93%, Cefuroxime 93%, Aztreonam 85%, dan Ciprofloxacin 79%. Karena infeksi saluran kemih cenderung mengalami rekurensi, penggunaan obat antibiotik untuk menangani penyakit ini akan cenderung berulang. Paparan persisten strain bakteri

E.coli terhadap banyaknya antibiotik golongan beta laktam akan mengakibatkan produksi berlebihan dan mutasi dari beta laktamase dan hal inilah yang menyebabkan semakin banyaknya resistensi (Ponnusamy dan Nagappan, 2013).

Sementara untuk sensitifitasnya sendiri, bakteri ESBLs-producing E.coli

pada penelitian ini masih menunjukkan kepekaan yang sangat baik terhadap antibiotik Amikacin yaitu 100% isolat ESBLs-producing E.coli sensitif terhadap Amikacin. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian van der Donk et al

(2012) dimana pada 176 sampel, 100% masih sensitif terhadap Amikacin. Hal ini disebabkan karena obat Amikacin masih tergolong baru dalam penanganan infeksi saluran kemih sehingga bakteri tersebut masih belum mengalami mutasi untuk kebal terhadap obat tersebut (van der Donk et, 2012). Sedangkan pada penelitian Mayasari (2012), sensitivitas terhadap Amikacin sebesar 96,55%. Hasil penelitian ini menunjukkan terjadi peningkatan sensitifitas bakteri ESBLs-producing E.coli

terhadap Amikacin. Untuk antibiotik Ertapenem, Imipenem, Meropenem, dan Tigecycline, bakteri ini masih dapat dieradikasi cukup baik walaupun tidak mencapai 100%. Sedangkan pada penelitian Mayasari (2012) periode Juni 2011- Juli 2012 masih didapatkan eradikasi 100% bakteri ESBLs-producing E.coli

93,75% dan 97,96%. Pada penelitian Park et al (2012) didapatkan dari 291 sampel, 99,3% masih sensitif terhadap Meropenem dan 98,6% terhadap Ertapenem. Terjadinya penurunan sensitifitas ini disebabkan karena bakteri tersebut sudah mengalami mutasi gen pengkode carbapenemase sehingga mampu menghidrolisis obat tersebut (van der Donk et al, 2012). Pada penelitian ini terlihat bahwa sensitivitas terhadap Ertapenem, Amikacin, Ciprofloxacin, Cefotaxime, Ceftazidime, dan Cefepime turun dibandingkan hasil pada penelitian Mayasari. Hal yang memicu timbulnya ESBLs-producing E.coli adalah karena tingginya peresepan antibiotik-antibiotik tersebut untuk pengobatan infeksi E.coli, tingginya frekuensi penggunaan antibiotik, tingginya prevalensi komorbiditas penyakit infeksi saluran kemih dan penggunaan kateter, serta penggunaan antibiotik yang tidak sesuai aturan sehingga memicu timbulnya mutasi pada strain

E.coli untuk menghasilkan produk-produk untuk menghancurkan antibiotik- antibiotik tersebut (van der Donk et al, 2012).

Berdasarkan instalasi rawat inap pasien, kejadian ESBLs-producing E.coli

yang tertinggi terlihat pada instalasi penyakit dalam. Pada penelitian Irawan et al

(2011) juga didapatkan angka kejadian infeksi ESBLs-producing E.coli yang tinggi sebesar 23 pasien (47,92%) pada instalasi penyakit dalam. Hal ini berhubungan dengan penggunaan kateter pada pasien di instalasi penyakit dalam dan adanya infeksi nosokomial yang tinggi (Park et al, 2012).

Dokumen terkait