• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Pembahasan

Derajat kelangsungan hidup ikan adalah nilai persentase jumlah yang hidup selama masa pemeliharaan tertentu. Derajat kelangsungan hidup ikan gurame selama penelitian berkisar antara 72,84% hingga 79,63%. Terjadinya penurunan derajat kelangsungan hidup seiring meningkatnya padat penebaran (Lampiran 6). Derajat kelangsungan hidup yang didapatkan dalam penelitian masih baik jika dibandingkan dengan derajat kelangsungan hidup yang dipelihara pada sistem tradisional di daerah Ciseeng Parung. Hal tersebut dikarenakan pada penelitian digunakannya sistem resirkulasi yang memungkinkan pengelolaan kualitas air menjadi lebih baik dan terkontrol.

Benih gurame ukuran silet yang ditebar sebanyak 10.000 sampai 20.000 ekor per 200 m2 pada sistem tradisional, menghasilkan benih saat panen sebanyak 7.000-8000 ekor dengan derajat kelangsungan hidup yang didapatkan berkisar 40- 70%. Adanya teknologi padat penebaran 3, 6 dan 9 ekor/liter yang diterapkan dalam pendederan gurame dapat meningkatkan produktivitas sebesar 50, 100 dan 150 kali lipat pada pendederan gurame secara tradisional.

Derajat kelangsungan hidup berpengaruh terhadap hasil yang didapatkan (volume produksi). Volume produksi tertinggi selama penelitian dicapai pada

22

perlakuan 9 ekor/liter, meskipun nilai derajat kelangsungan hidup yang didapatkan lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 4). Jumlah ikan yang mati pada perlakuan 9 ekor/liter tidak memberikan kerugian ekonomi. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya keuntungan yang didapatkan, selain itu keuntungan pada perlakuan 9 ekor/liter lebih tinggi dibandingkan perlakuan padat tebar lainnya.

Selama penelitian kematian ikan diduga disebabkan semakin meningkatnya padat penebaran yang mengakibatkan gesekan, luka dan stres. Semakin tinggi padat tebar, maka ruang gerak menjadi sempit sehingga gesekan antar tubuh semakin sering dan ikan mudah mengalami luka. Kemudian kondisi luka pada ikan gurame menyebabkan ikan menjadi lebih cepat stres yang akhirnya dapat menyebabkan kematian. Kondisi lain yang ditemukan dari beberapa ikan yang mati, menunjukkan adanya luka di sekitar tubuh akibat serangan antar sesama ikan. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan ikan gurame termasuk salah satu ikan teritorial yaitu ikan yang melindungi wilayahnya (Sendjaja, 2002). Ketika diserang ikan lainnya, menyebabkan timbulnya luka dan stres yang jika tidak diobati akan menyebabkan kematian. Kondisi stres pada ikan gurame ketika penelitian ditandai dengan munculnya warna tubuh yang lebih gelap. Kondisi stres yang muncul dapat menurunkan tingkat efisiensi pakan (Bardach et al., 1972) yang selanjutnya apabila tidak dapat memanfaatkan makanan, maka tidak akan ada energi untuk bertahan hidup serta tumbuh sehingga peluang menuju kematian semakin besar.

Perbedaan padat tebar selama penelitian memberikan pengaruh terhadap laju pertumbuhan bobot harian dan pertumbuhan panjang mutlak ikan gurame. Seiring dengan meningkatnya padat tebar, maka laju pertumbuhan bobot harian dan panjang mutlak semakin menurun. Hal ini sesuai dengan Wedemeyer (1996), bahwa menurunnya bobot ikan diduga disebabkan oleh terganggunya proses fisiologis dan tingkah laku ikan akibat kepadatan yang melewati batas tertentu. Selain itu, peningkatan padat tebar menyebabkan ruang gerak bagi ikan menjadi sempit yang pada akhirnya menimbulkan stres (Hepher dan Pruginin, 1981). Penurunan laju pertumbuhan bobot harian dan panjang mutlak tersebut diakibatkan adanya pengalihan energi. Secara umum energi dari pakan yang

23

dikonsumsi akan digunakan untuk energi pemeliharaan (maintenance) dan sisanya digunakan untuk energi pertumbuhan. Stres yang muncul akibat dari padat penebaran yang semakin tinggi akan meningkatkan energi pemeliharaan. Dengan demikian hal tersebut akan mengurangi energi yang seharusnya untuk pertumbuhan.

Peningkatan padat tebar akan menciptakan keragaman ukuran di dalam suatu populasi akibat adanya interaksi sosial (Brandao, 2004). Koefisien keragaman panjang yang didapatkan selama penelitian masih di bawah 10%, sehingga masih dianggap seragam. Padat penebaran ikan gurame berpengaruh terhadap koefisien keragaman panjang (P>0,05) (Gambar 6 dan Lampiran 9), yaitu peningkatan padat tebar akan diikuti peningkatan koefisien keragaman panjang. Ikan ukuran silet (4-6 cm) yang dipelihara dengan pendederan tradisional pada umumnya menghasilkan tiga ukuran panen dengan persentase 25% silet, 50% korek dan 25% ukuran super dari populasi panen (Tabel 3). Adanya keragaman ukuran dalam suatu kegiatan pembenihan dapat menentukan jumlah dan harga benih yang berdampak terhadap keuntungan yang didapatkan.

Peningkatan padat tebar akan menyebabkan jumlah populasi dalam suatu wadah menjadi meningkat, ruang gerak menjadi berkurang dan interaksi semakin besar, akibatnya akan terjadi suatu kompetisi yang menyebabkan munculnya keragaman. Keragaman ukuran di dalam suatu populasi ikan yang dipelihara, menyebabkan kompetisi yang semakin besar untuk memperoleh makanan. Ikan yang berukuran kecil akan kalah bersaing dengan ikan yang ukurannya lebih besar akibatnya ikan menjadi stres yang berdampak pada menurunnya derajat kelangsungan hidup, pertumbuhan, nafsu makan, dan memperbesar peluang terserangnya penyakit (Stickney, 1979). Hasil ukuran panen yang didapatkan selama penelitian secara keseluruhan masih berada dalam satu ukuran yaitu korek (6-8 cm) dan dengan keragaman koefisien yang lebih baik dibandingkan sitem tradisional. Padat penebaran 9 ekor/liter menghasilkan benih ukuran korek (6-8 cm) lebih banyak dan koefisien keragaman panjang yang masih rendah (di bawah 10%). Dengan demikian, berdasarkan hal tersebut akan memberikan penerimaan yang lebih besar dibandingkan padat tebar 3 dan 6 ekor/liter.

24

Peningkatan padat tebar memberikan pengaruh yang berbeda terhadap efisiensi pakan yaitu tertinggi pada perlakuan 3 ekor/liter sebesar 28,50% (Gambar 7 dan Lampiran 10). Hasil yang didapatkan dalam penelitian menunjukkan semakin meningkatnya padat tebar maka nilai efisiensi pakan menjadi menurun. Efisiensi pakan bergantung pada spesies (kebiasaan makan, ukuran/stadia), kualitas air (terutama oksigen, pH, suhu dan amoniak), serta pakan (kualitas dan kuantitas) (Effendi, 2004). Menurunnya efisiensi pakan tersebut akibat semakin tingginya padat penebaran yang menyebabkan ruang gerak semakin sempit. Ikan yang dipelihara dalam kepadatan yang rendah memiliki tingkat keagresifan yang lebih tinggi dalam memperoleh pakan jika dibandingkan dengan kepadatan yang tinggi (Bardach et al.,1972). Dalam kondisi stres, nafsu makan ikan menjadi menurun dan gangguan fungsi fisiologis semakin meningkat yang selanjutnya akan menurunkan efisiensi pakan. Secara bersama-sama, kedua hal tersebut akan menyebabkan penurunan pertumbuhan sehingga mempengaruhi ukuran panen.

Selama penelitian terjadi penurunan kualitas air terutama kandungan oksigen, pH, dan amoniak. Penurunan kualitas air tersebut dikarenakan semakin meningkatnya bahan buangan hasil metabolisme akibat padat tebar yang semakin meningkat. Kandungan oksigen terlarut dalam akuarium ikan gurame selama pemeliharaan berkisar antara 4,68-5,84 mg/liter (Tabel 5). Kandungan oksigen membantu di dalam proses oksidasi bahan buangan serta pembakaran makanan untuk menghasilkan energi bagi kehidupan dan pertumbuhan benih gurame. Penurunan oksigen terlarut dalam media pemeliharaan, seiring dengan banyaknya buangan metabolisme. Namun, kandungan oksigen terlarut yang didapatkan sampai akhir pemeliharan masih berada pada kisaran nilai yang baik untuk kehidupan dan pertumbuhan benih gurame dengan derajat kelangsungan hidup yang masih diatas 70% (Boyd, 1979).

Suhu media pemeliharaan selama penelitian berkisar antara 28,1-28.4 ºC (Tabel 5) sehingga masih dapat ditoleransi oleh ikan gurame (BSN, 2000 dan Saparinto, 2008). Semakin tinggi suhu, maka laju metabolisme semakin tinggi. Fluktuasi suhu yang didapatkan masih dibawah 1 ºC sehingga tidak mengganggu proses metabolisme yang berdampak pada pertumbuhan dan derajat kelangsungan

25

hidup ikan gurame. Menurut Effendie (2003), perubahan suhu melebihi 3-4 0C akan menyebabkan perubahan metabolisme yang mengakibatkan kejutan suhu, meningkatkan toksinitas kontaminan yang terlarut, menurunkan DO dan meningkatkan kematian pada ikan. Kisaran suhu yang diperoleh selama penelitian optimal untuk kehidupan dan pertumbuhan benih gurame.

Nilai pH selama pemeliharaan berkisar antara 6,93-7,57 (Tabel 5). Selama masa pemeliharaan tersebut terdapat kecenderunagan turunnya nilai pH setiap minggu. Menurunnya nilai pH tersebut dikarenakan semakin meningkatnya buangan metabolisme (cenderung asam) seiring meningkatnya padat penebaran. Selain itu, penurunan pH disebabkan oleh peningkatan CO2 akibat respirasi. Nilai

pH tersebut masih dalam kisaran toleransi ikan gurame (Boyd, 1979 dan BSN, 2000).

Konsentrasi amoniak selama pemeliharaan berkisar antara 0.0011-0.0429 mg/liter dan kandungan amoniak di akhir pemeliharaan sebesar 0,0015-0,0024 mg/liter (Tabel 5). Meningkatnya amoniak selama pemeliharaan dikarenakan semakin meningkatnya bahan buangan metabolisme seiring meningkatnya padat penebaran dan pertumbuhan. Bahan buangan tersebut cenderung asam sehingga mempengaruhi kandungan amoniak yang semakin meningkat. Namun, nilai amoniak yang didapatkan masih dapat ditoleransi benih gurame sehingga pertumbuhan dan derajat kelangsungan hidup benih gurame masih baik (Effendi, 2003).

Nilai alkalinitas selama pemeliharaan berkisar antara 6.40-30.40 mg/l CaCO3 dan terjadi peningkatan nilai alkalinitas dari 6,40-7,20 menjadi 27,20-

30,40 mg/l CaCO3 (Tabel 5). Hal ini terjadi akibat lepasnya ion-ion pada pasir dan

zeolit akibat pembersihan filter, sehingga kondisi media air menjadi stabil. Nilai alkalinitas yang didapatkan selama pemeliharaan menunjukkan kondisi media pemeliharaan yang masih stabil. Nilai alkalinitas yang didapatkan pada minggu ke-2 ≥20 ppm yang menunjukkan bahwa perairan tersebut relatif stabil terhadap perubahan asam dan basa sehingga kapasitas buffer atau basa lebih stabil (Effendi, 2003). Alkalinitas yang baik pada media sangat membantu di dalam pemeliharaan, sehingga pertumbuhan dan derajat kelangsungan hidup benih gurame tetap dalam kondisi yang baik.

26

Kualitas air yang dihasilkan selama penelitian masih layak untuk kegiatan pendederan ikan gurame, dikarenakan sistem pengelolaan air yang digunakan adalah sistem resirkulasi. Menurut Timmons dan Losordo (1994) sistem resirkulasi adalah suatu wadah pemeliharaan ikan yang menggunakan sistem perputaran air, yang mengalirkan air dari wadah pemeliharaan ikan ke wadah filter (treatment), lalu dialirkan kembali ke wadah pemeliharaan sehingga kualitas air tetap terkontrol. Sistem resirkulasi memberikan perbaikan kualitas air karena memungkinkan terjadinya dua proses ekologi yaitu konsumsi dan dekomposisi. Proses dekomposisi meliputi: sedimentasi, filtrasi dan aerasi. Nilai amoniak yang masih berada dalam kisaran optimal disebabkan proses dekomposisi.

Amoniak yang berkurang dalam penelitian ini disebabkan kinerja dari filtrasi biologi dan filtrasi kimia. Biofilter memiliki peran yang sangat penting dalam sistem resirkulasi. Stickney (1993) menyatakan, bahwa biofilter menyediakan area permukaan untuk tumbuhnya koloni bakteri yang mendetoksifikasi hasil metabolisme ikan melalui fungsi utama biofilter adalah mengubah amoniak menjadi nitrit (NO2-) yang kemudian diubah menjadi nitrat

(NO3-) yang relatif tidak berbahaya. Bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter

membantu dalam merubah nitrit menjadi nitrat, kemudian dengan adanya filter kimia akan membantu dalam perbaikan kualitas air khususnya amoniak. Filter kimia yang digunakan dalam penelitian adalah zeolit. Menurut Spotte (1997) fungsi filter kimia adalah membersihkan molekul-molekul bahan anorganik terlarut melalui proses oksidatif atau penyerapan langsung. Kualitas air yang terjaga selama pemeliharaan sangat membantu dalam kehidupan dan pertumbuhan benih gurame.

Pembuatan sistem resirkulasi untuk pendederan ikan gurame membutuhkan biaya yang relatif mahal jika dibandingkan dengan sistem tradisional. Biaya penyusutan sistem resirkulasi per periode adalah Rp 114.091,7 (Lampiran 11), sedangkan pada sistem tradisional sewa wadah pemeliharaan berkisar Rp 35.000-50.000/periode dengan luas kolam 200 m2. Biaya yang relatif mahal pada sistem resirkulasi tersebut dapat ditutupi dengan menggunakan padat penebaran yang optimal sehingga keuntungan yang didapatkan semakin besar jika dibandingkan dengan sistem tradisional, selain itu kualitas air pada sistem

27

resirkulasi dapat lebih dikontrol (Saptoprabowo, 2000) sehingga tetap layak bagi kegiatan pendederan ikan gurame.

Perhitungan efisiensi ekonomi menunjukkan bahwa keuntungan tertinggi didapatkan pada perlakuan 9 ekor/liter sebesar Rp 18.545.603, perlakuan 6 ekor/liter sebesar Rp 12.605.743 dan keuntungan terendah pada perlakuan 3 ekor/liter sebesar Rp 4.609.403 (Tabel 6). Meskipun derajat kelangsungan hidup yang dicapai pada perlakuan 9 ekor/liter paling rendah, namun volume produksi yang dihasilkan lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan produksi pada padat tebar 9 ekor/liter lebih tinggi daripada laju penurunan kematian ikan, sehingga keuntungan yang didapatkan menjadi lebih tinggi. Hepher dan Pruginin (1981) mengemukakan, bahwa hasil panen persatuan luas (yield) merupakan fungsi dari laju pertumbuhan ikan dan tingkat padat penebaran ikan serta produksi akan mencapai nilai maksimal jika ikan dapat dipelihara dalam padat penebaran tinggi yang diikuti dengan pertumbuhan yang tinggi. Peningkatan padat tebar dapat mengakibatkan penurunan pertumbuhan ikan, tetapi selama penurunannya tidak terlalu besar dibandingkan peningkatan padat tebar maka produksi akan tetap meningkat.

Ukuran panen yang didapatkan pada masing-masing perlakuan menunjukkan masih berada dalam satu ukuran jual, sehingga dengan volume produksi yang lebih tinggi dan berada pada ukuran jual, maka perlakuan 9 ekor/liter memberikan keuntungan tertinggi diantara perlakuan lainnya.

Analisis R/C merupakan parameter ekonomi yang digunakan untuk melihat seberapa jauh setiap nilai rupiah biaya yang digunakan dalam kegiatan usaha dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan. Nilai R/C (variabel cost) tertinggi didapatkan pada perlakuan 9 ekor/liter yaitu sebesar 1,34 (Tabel 6). Nilai R/C sebesar 1,34 menunjukkan setiap biaya Rp 1 yang dikeluarkan, akan menghasilkan penerimaan Rp 1,34. Nilai R/C (variabel cost) masing-masing perlakuan menunjukkan R/C lebih dari 1, sehingga usaha pendederan benih gurame layak dan menguntungkan secara ekonomi.

Rahardi et al., (1998) menyatakan break even point (BEP) merupakan suatu nilai dimana hasil penjualan produksi sama dengan biaya produksi sehingga pengeluaran sama dengan pendapatan atau impas. Nilai BEP semakin meningkat

28

seiring dengan meningkatnya padat tebar. BEP (Rp) maupun BEP (unit) pada Tabel efisiensi ekonomi (Tabel 6) memperlihatkan nilai terendah diperoleh pada perlakuan 3 ekor/liter dan tertinggi pada perlakuan 9 ekor/liter. Tingginya BEP akibat dari jumlah produk yang dihasilkan semakin banyak yang berbanding lurus dengan semakin tinggi keuntungan yang didapatkan.

Analisis Payback Periode (PP) digunakan untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk menutup biaya investasi (Lukito, 2008). Nilai PP tertinggi diperoleh pada perlakuan 3 ekor/liter dan PP tertinggi diperoleh pada perlakuan 9 ekor/liter dengan nilai 0,20 tahun (Tabel 6). Nilai PP 0,20 tahun artinya nilai investasi yang ditanamkan dapat diperoleh kembali setelah 0,20 tahun. Semakin rendah nilai PP maka semakin cepat investasi dikembalikan yang berdampak semakin tinggi keuntungan yang didapatkan. Nilai PP yang rendah pada perlakuan 9 ekor/liter merupakan konsekuensi dari tingginya keuntungan yang didapatkan dan relatif rendahnya biaya investasi yang dikeluarkan. Nilai PP yang didapatkan pada perlakuan 9 ekor/liter juga menunjukkan penggunaan investasi lebih optimal dibandingkan perlakuan 3 dan 6 ekor/liter.

Harga pokok produksi (HPP) merupakan perbandingan total biaya tidak tetap (variabel cost) terhadap jumlah produk yang dihasilkan pada periode tertentu. Nilai HPP terendah diperoleh pada perlakuan 3 ekor/liter sebesar Rp 1.127 (Tabel 6). Nilai HPP yang rendah tersebut dikarenakan biaya tidak tetap yang digunakan lebih rendah dibandingkan perlakuan 6 dan 9 ekor/liter. Biaya tidak tetap tersebut merupakan biaya yang terkait langsung dengan suatu kegiatan produksi. Rendahnya biaya tidak tetap tersebut berdampak pada rendahnya keuntungan yang didapatkan. Berbeda dengan perlakuan 3 ekor/liter, meskipun pada perlakuan 9 ekor/liter memberikan nilai HPP tertinggi, tetapi keuntungan yang didapatkan lebih tinggi dikarenakan produk yang diproduksi dan terjual lebih banyak sehingga penerimaan dan keuntungan menjadi lebih tinggi.

Biaya produksi per unit merupakan perbandingan total biaya produksi (biaya tetap dan biaya tidak tetap) terhadap jumlah produk yang dihasilkan. Nilai biaya produksi tertinggi diperoleh pada perlakuan 3 ekor/liter dan terendah pada perlakuan 9 ekor/liter (Tabel 6). Tingginya biaya produksi per unit yang didapat pada perlakuan padat tebar 3 ekor/liter sebesar Rp 1.446 disebabkan oleh

29

pengaruh dari biaya tetap (fixed cost) dan penggunaan investasi yang masih belum optimal. Perlakuan 9 ekor/liter menghasilkan biaya produksi per unit terendah diantara perlakuan lainnya. Rendahnya biaya produksi per unit tersebut dikarenakan jumlah produk yang dihasilkan lebih banyak akibat padat tebar yang digunakan lebih tinggi dan juga dikarenakan adanya optimalisasi wadah terhadap investasi yang digunakan. Dengan demikian, efisiensi ekonomi yang didukung oleh adanya data bioteknis menunjukkan perlakuan 9 ekor/liter memberikan kinerja produksi terbaik diantara perlakuan lainnya. Parameter efisiensi ekonomi yang digunakan dalam analisis ekonomi adalah keuntungan, R/C, BEP, PP, HPP dan biaya produksi per unit, sedangkan parameter bioteknis meliputi derajat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman panjang dan efisiensi pakan.

Dokumen terkait