• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.2 Pembahasan

Kegiatan pendederan lobster yang dilakukan secara intensif atau dengan kepadatan yang tinggi memerlukan pakan yang baik untuk pertumbuhannya. Pakan yang baik adalah pakan yang mempunyai nutrisi yang lengkap. Kebutuhan nutrisi lobster pada penelitian ini tercukupi melalui pemberian pelet, cacing, dan wortel.

Pemberian pakan terutama pakan pelet akan berpotensi menurunkan kualitas air media pemeliharaan. Pakan yang tidak tercerna oleh lobster dikeluarkan menjadi feses dan pakan yang tidak termetabolisir dikeluarkan dalam bentuk urine. Semakin tinggi kepadatan ikan, maka feses dan urine yang dikeluarkan akan semakin banyak. Sisa pakan dan buangan metabolit yang terdapat di dasar wadah merupakan komponen yang dapat memicu peningkatan ammonia (Boyd, 1990). Ammonia akan berbahaya bagi organisme yang dipelihara karena bersifat racun. Kegiatan penyifonan dan pergantian air secara berkala mampu mengurangi konsentrasi ammonia dalam perairan.

Metabolisme pada ikan merupakan proses yang terjadi di dalam tubuh. Karena proses metabolisme membutuhkan energi, sedangkan penyaringan energi dari makanan membutuhkan oksigen maka laju metabolisme dapat diduga dari laju konsumsi oksigen (Fujaya, 2004). Proses perombakan feses dan sisa pakan oleh mikroba juga memerlukan oksigen. Dengan demikian akan terjadi persaingan antara ikan dan mikroba dalam mendapatkan oksigen. Aerasi yang diberikan pada setiap bak pemeliharaan mampu menyuplai oksigen yang cukup untuk kelangsungan hidup lobster air tawar. Selain itu, proses fotosintesis yang berlangsung pada tanaman kapu-kapu memungkinkan adanya penambahan kandungan oksigen melalui difusi. Oksigen terlarut merupakan faktor yang menentukan dalam budidaya perikanan yang intensif, keberhasilan dan kegagalan pemeliharaan ikan sering tergantung kepada kemampuan petani untuk mengatasi masalah oksigen terlarut yang rendah (Boyd, 1990).

Nilai kelangsungan hidup pada penelitian ini berkisar antara 71,17 % hingga 78,13 %. Walaupun tingkat kelangsungan hidup yang cenderung menurun dengan semakin tingginya padat penebaran, ternyata setelah dilakukan analisis

17 ragam, peningkatan padat penebaran tidak berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup lobster. Hal ini berkaitan dengan kualitas air pada percobaan yang masih bisa ditoleransi oleh lobster. Kemampuan lobster untuk bertahan hidup dan tumbuh dipengaruhi oleh kualitas air media pemeliharaan.

Pada penelitian ini lobster yang ditebar berukuran panjang 3,14+0,20 cm dengan bobot 0,768+0,181 gram. Setelah 30 hari pemeliharaan lobster mengalami pertumbuhan menjadi panjang 4,75+0,17 cm dengan bobot 3,198+0,352 gram. Peningkatan padat penebaran tidak diikuti dengan perbedaan pertumbuhan harian dan panjang mutlak. Hal ini bisa terlihat dari nilai laju pertumbuhan harian yang berkisar antara 3,81% hingga 6,1 % dan panjang mutlak yang berkisar antara 1,29 cm hingga 1,96 yang tidak berpengaruh nyata setelah dilakukan analisis ragam. Hal ini terkait dengan kemampuan lobster dalam memanfaatkan pakan yang ditebar secara merata dan sampai kepadatan 175 ekor/m2 wadah pemeliharaan masih mendukung lobster untuk tumbuh. Menurut Hepher dan Pruginin (1981) pada ikan, peningkatan kepadatan akan diikuti dengan penurunan pertumbuhan jika jumlah pakan, oksigen terlarut, serta buangan metabolit tidak mampu disesuaikan sehingga menghambat pertumbuhan. Pada penelitian ini, penurunan pertumbuhan dapat diatasi dengan pemberian pakan dan oksigen terlarut yang cukup.

Pertumbuhan pada lobster air tawar tidak akan terjadi tanpa didahului oleh pergantian kulit (moulting). Oleh karena itu, pertumbuhan lobster air tawar bersifat diskontinu karena hanya terjadi setelah moulting, yaitu pada saat eksoskeleton (kerangka luar) belum mengeras sempurna (Iskandar, 2003). Frekuensi ganti kulit udang dipengaruhi oleh umur dan makanan yaitu jumlah dan mutu makanan yang diserap. Udang yang makanannya berkualitas baik dalam jumlah yang banyak akan lebih cepat mengalami pergantian kulit daripada makanannya sedikit ataupun yang kualitasnya kurang baik (Ling, 1976).

Kombinasi pakan yang terdiri dari pelet, Oligochaeta, dan wortel cukup efektif dalam meningkatkan pertumbuhan lobster. Pelet yang digunakan adalah pelet komersil yang kandungan proteinnya cukup tinggi yaitu 40 %. Menurut Sukmajaya (2003) standar kandungan protein dalam pakan yang diberikan pada lobster air tawar memiliki nilai optimum 35-40%. Oligochaetadiketahui memiliki

kandungan nutrisi penting seperti vitamin, karbohidrat, lemak dan protein sekitar 50 hingga 60%. Dengan kandungan nutrisi demikian, cacing sutera tergolong pakan alami yang baik sebagai sumber pakan lobster air tawar (Anonim, 2011). Menurut Marian dan Pandian (1984) Oligochaetamerupakan salah satu makanan yang paling baik dan murah untuk ikan, udang, dan katak. Oleh karena itu lobster yang diberi pakan cacing sutera tumbuh dengan cepat. Wortel memiliki kandungan karbohidrat yang cukup baik. Karbohidrat merupakan sumber energi yang murah dan dapat menggantikaan atau menghemat penggunaan protein (protein sparring effect) yang lebih mahal sebagai sumber energi (Millamena et. al., dalamSEAFDEC, 2002)

Pengaruh padat penebaran yang berbeda pada setiap perlakuan berpengaruh terhadap keragaman ukuran yang dihasilkan. Lobster yang ditebar dengan ukuran yang sama, setelah dipelihara selama 30 hari menghasilkan 3 ukuran yang berbeda yaitu grade besar (A), grade sedang (B), dan grade kecil (C). Lobster yang dipelihara dengan kepadatan yang lebih rendah akan menghasilkan grade besar dengan presentase lebih tinggi dan grade sedang dengan presentase yang lebih rendah. Sedangkan lobster yang dipelihara dengan kepadatan yang lebih tinggi akan mengahasilkan gradebesar dengan presentase lebih rendah dan grade sedang dengan presentasi yang lebih tinggi. Adanya keragaman ukuran ini disebabkan oleh persaingan antara lobster dalam mendapatkan makanan dan wilayah teritorialnya.

Pada budidaya lobster dengan kepadatan yang cukup tinggi (intensif), peningkatan padat penebaran akan diikuti dengan meningkatnya kebutuhan pakan, oksigen, dan kotoran (metabolit dan sisa pakan). Menurut Hepher dan Pruginin (1981), selama oksigen dan pakan terpenuhi dan keberadaan metabolit dapat dikendalikan, ikan akan dapat tumbuh sesuai kapasitasnya (maksimal). Akibat dari persaingan akan terasa apabila persediaan makanan tidak mencukupi, apabila ketersediaan makanan terpenuhi, penggunaan sumber makanan yang sama tidak akan terasa akibatnya.

Padat penebaran lobster yang tinggi akan mengakibatkan penurunan kualitas air, persaingan makanan, dan persaingan tempat perlindungan (shelter). Pengelolaan kulitas air yang dilakukan dengan melakukan penyifonan dan

19 pergantian air serta keberadaan aerasi untuk mempertahankan kandungan oksigen terlarut cukuf efektif untuk mempertahankan kualitas air dalam kisaran yang masih bisa ditoleransi oleh lobster untuk hidup dan tumbuh. Menurut Boyd (1982), pergantian air dapat mengurangi muatan unsur hara dan mengencerkan konsentrasi ammonia dan nitrit. Pergantian air merupakan satu diantara teknik pengelolaan air yang efektif untuk melindungi ikan dari daya racun ammonia dan nitrit.

Kualitas air selama pemeliharaan berada dalam kisaran yang masih bisa ditoleransi oleh lobster untuk tumbuh dan hidup. Kisaran suhu berada antara 260 hingga 30,70 C. Menurut Rouse (1977) Cherax jenis redclaw mengalami pertumbuhan terbaik pada suhu 240 hingga 290C. Walaupun dalam beberapa media pemeliharaan suhunya berada diatas kisaran optimum, akan tetapi kisaran tersebut masih layak untuk pemeliharaan lobster. Suhu mengalami fluktuasi harian yang cukup tinggi dengan kondisi penelitian yang dilakukan dalam bak terbuka (outdoor). Hal ini terkait dengan kondisi cuaca yang selalu berubah-ubah setiap harinya. Untuk mengatasi hal ini, pada setiap media pemeliharaan lobster, ditambahkan tanaman air kapu-kapu (Pistia stratiotes). Tanaman kapu-kapu berfungsi sebagai media untuk menahan sengatan cahaya matahari yang berlebihan (Anonim, 2011). Adanya kapu-kapu mampu menjaga suhu wadah pemeliharaan dalam kisaran yang bisa ditoleransi oleh lobster.

Kandungan oksigen terlarut (DO) merupakan faktor penting yang harus dijaga dalam pemeliharaan lobster selama penelitaian berlangsung. Pemberian aerasi cukup efektif mempertahankan kandungan oksigen terlarut setiap perlakuan dalam kisaran normal untuk mendukung kelangsungan hidup lobster air tawar yaitu berkisar antara 5,4 hingga 7,3 mg/l. Menurut Boyd (1982), kisaran nilai optimum oksigen terlarut bagi pertumbuhan crustacea adalah 5 mg/l. Meskipun demikian, kandungan oksigen telarut 4,21 hingga 5,43 mg/l masih dapat memberikan pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang baik.

Ammonia merupakan parameter kualitas air yang penting untuk diperhatikan terkait dengan pertumbuhan lobster. Boyd (1990) menyatakan bahwa keberadaan amonia mempengaruhi pertumbuhan karena mereduksi masuknya O2yang disebabkan rusaknya insang sehingga menambah energi untuk

keperluan detoksifikasi, mengganggu proses osmoregulasi dan mengakibatkan kerusakan fisik pada jaringan. Mosigh (1998) menyatakan bahwa lobster air tawar dapat mentoleransi ammonia pada kisaran 0,5 mg/l. Pada awal pemeliharaan, kandungan ammonia media pemeliharaan berada`dalam kisaran 0,0028 hingga 0,0097 mg/l. Seiring dengan berjalannya waktu, terjadi peningkatan kandungan ammonia yang disebabkan oleh buangan metabolit dan sisa pakan yang tidak termakan oleh lobster. Pengecekan kualitas air pada pertengahan pengamatan menunjukan kandungan berkisar antarra 0,0087 hingga 0,019 mg/l. Pengecekan kualitas air pada akhir pengamatan menunjukan kandungan ammonia yang berkisar antara 0,010 hingga 0,019 mg/l.

Walaupun terjadi peningkatan ammonia, pergantian air yang dilakukan cukup efektif mempertahankan nilai ammonia pada kisaran yang masih bisa ditoleransi oleh lobster. Selain itu, tanaman air kapu-kapu dapat menyerap zat racun yang dikeluarkan oleh kotoran dan urine ikan (Anonim, 2011). Dalam hal ini tanaman air sangat efektif untuk mengontrol pertumbuhan lumut sehingga serapan hara untuk ikan dapat maksimal. Walaupun pada beberapa bak pengamatan kandungan ammonia cenderung meningkat, efek toksisitas dapat dikurangi dengan kandungan oksigen yang tinggi melalui aerasi.

Kandungan alkalinitas selama masa pemeliharaan berkisar antara 16 hingga 40 mg/l mampu menyangga pH pada kisaran 7,1 hingga 7,9 sedangkan kandungan kesadahan selama masa pemeliharaan berkisar antara 103,42 mg/l hingga 147,74 mg/l. Alkalinitas dan kesadahan berkaitan dengan kandungan kalsium, mineral tersebut terutama dibutuhkan saat lobster mengalami moulting untuk mempercepat pembentukan dan pengerasan eksoskeleton. Sesuai dengan pendapat Holiday (1965) yang menyatakan bahwa dengan makin tingginya kandungan kalsium (Ca) pada media akan mendorong proses pembentukan serta pengerasan kulit udang. Mineral kalsium berfungsi dalam tubuh udang dalam membantu proses metabolisme, pengaturan tekanan osmosis serta pembentukan kulit tubuh. Kandungan alkalinitas dan kandungan pH dalam pemeliharaan lobster air tawar masih berada dalam kisaran normal. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Mosigh (1998), lobster air tawar dapat hidup pada kisaran pH 6 hingga 9 dan memiliki kisaran optimum pH 7 hingga 8,5. Menurut Rouse (1997),

21 lobster mengalami pertumbuhan terbaik pada kisaran alkalinitas dan kesadahan berkisar antara 20 hingga 300 mg/l.

Hasil percobaan pada penelitian ini menunjukkan kinerja produksi yang lebih baik dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Irawan (2007) dan Tanribali (2007) melakukan percobaan padat penebaran lobster dengan sistem resirkulasi. Hasil percobaan Irawan menunjukkan bahwa perlakuan padat penebaran 50 ekor/m2 mencapai kinerja produksi yang terbaik dengan tingkat kelangsungan hidup mencapai 92,59% dan laju pertumbuhan harian 0,707%. Sedangkan pada percobaan Tanribali (2007) kinerja produksi terbaik diperoleh sampai kepadatan 100 ekor/m2 dan rasio shelter 1 dengan tingkat kelangsungan hidup yang mencapai 83,33% dan laju pertumbuhan harian 4,19%.

Nilamsari (2007) dan Sumbaga (2009) melakukan percobaan padat penebaran lobster dengan pergantian air. Hasil percobaan Nilamsari (2007) menunjukkan kinerja produksi terbaik dicapai sampai kepadatan 70 ekor/m2 dengan tiingkat kelangsungan hidup mencapai 85,71% dan laju pertumbuhan harian 3,86%. Sedangkan pada percobaan Sumbaga (2009), sampai kepadatan 125 ekor/m2 kinerja produksi masih tinggi dengan tingkat kelangsungan hidup yang mencapai 73,81% dan laju pertumbuhan harian 3,97%.

Secara bioteknis, penelitian ini masih optimal sampai kepadatan 175 ekor/m2. Namun, perlu dilakukan analisis usaha untuk mengetahui perlakuan yang paling efisien secara ekonomi yang dapat diterapkan pada usaha pendederan lobster air tawar.

Total penerimaan terbesar diperoleh pada perlakuan 175 ekor/m2yaitu Rp 1.381.266.667,00 dan biaya total yang dikeluarkan adalah Rp 885.557.573,00. Sehingga keuntungan yang didapat pada perlakuan ini adalah Rp 495.709.094,00. Besarnya penerimaan yang didapatkan dari hasil penjualan lobster ditentukan oleh tingkat kelangsungan hidup, ukuran panjang benih, dan padat penebaran. Semakin tinggi tingkat kelangsungan hidup, maka penerimaan yang akan diterima pun akan semakin tinggi. Padat penebaran akan mempengaruhi ukuran lobster yang dihasilkan. Semakin tinggi padat penebaran, maka penerimaan meningkat karena jumlah ikan yang akan dihasilkan semakin banyak.

R/C rasio terbesar diperoleh pada padat penebaran 125 ekor/m2yaitu sebesar 1,69, berarti setiap 1 rupiah yang dikeluarkan akan memperoleh penerimaan sebesar 1,69. Hal ini disebabkan oleh biaya yang dikeluarkan pada perlakuan 125 ekor/m2 lebih efisien dibandingkan dengan perlakuan 175 ekor/m2. Harga pokok produksi (HPP) pada perlakuan dengan padat penebaran 125 ekor/m2 nilainya paling rendah yaitu Rp 1.183,59, artinya biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi 1 ekor lobster adalah Rp 1.183,59. Break Event Point (BEP) pada semua perlakuan berada dibawah nilai penerimaan, sehingga usaha pendederan Lobster Air Tawar pada semua perlakuan berada pada titik untung. BEP yang terbaik diperoleh pada perlakuan 125 ekor/m2 yaitu sebesar Rp 146.045.237,00 karena nilainya paling rendah. Metode Break Event Point merupakan suatu nilai dimana hasil penjualan produksi sama dengan biaya produksi, sehingga pengeluaran sama dengan pendapatan. BEP atau analisis ttitk impas adalah suatu alat analisis yang digunakan untuk mengetahui sampai batas mana kegiatan usaha yang dijalankan masih mendatangkan keuntungan (Rahardi et. al.,2005).

Hasil analisis usaha diatas menunjukkan padat penebaran 125 ekor/m2 merupakan perlakuan terbaik ditinjau dari efisiensi ekonomi. Walaupun keuntungan tertinggi diperoleh pada perlakuan 175 ekor/m2, akan tetapi R/C rasio, HPP, dan BEP terbaik diperoleh pada perlakuan dengan padat penebaran 125 ekor/m2.

Dokumen terkait