• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

E. Pembahasan Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 57 karyawan BUMN yang akan pensiun menunjukkan adanya hubungan negatif antara keharmonisan pernikahan dan kecemasan menghadapi masa pensiun. Hasil penelitian ditunjukkan melalui koefisien korelasi yang signifikan sebesar -0.739. Hal ini berarti jika tingkat keharmonisan pernikahan tinggi maka tingkat kecemasan menghadapi masa pensiun rendah, dan sebaliknya jika keharmonisan pernikahan rendah maka kecemasan menghadapi masa pensiun tinggi.

Alasan pertama yang dapat menjelaskan adanya hubungan negatif antara dua variabel diatas karena transisi menuju pensiun bukanlah hal yang mudah, banyak perubahan yang terjadi pada masa ini. Pensiun bukan pula yang melibatkan satu individu saja, melainkan juga dengan keluarganya. Untuk menghadapi masa ini, keluarga memiliki andil besar untuk menyiapkan individu menghadapi masa pensiun (Papalia dkk, 2009). Keluarga adalah orang-orang terdekat yang ada saat individu membutuhkan dukungan untuk melewati masa-masa krisis termasuk masa transisi menuju pensiun.

Dukungan dari keluarga terutama pasangan berdampak besar dalam menciptakan kesiapan psikologis saat menghadapi masa pensiun, sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kim dan Moen (2002). Penelitian yang dilakukan oleh Osborne (2012) juga menyatakan hal senada bahwa hubungan yang baik dengan pasangan dan keluarga akan membuat calon pensiunan mampu menghadapi masa pensiun dengan baik jika dibandingkan dengan individu yang hubungannya tidak begitu baik dengan pasangan. Pernikahan yang harmonis dicirikan dengan keadaan rumah tangga penuh kasih sayang, adanya hubungan interpersonal yang baik dan orang-orang di dalamnya merasa terlindungi dan dapat menjalani kehidupannya dengan tenang dan tentram tanpa rasa takut (Kustini, 2011). Dengan demikian, keadaan keluarga yang harmonis mampu menghindarkan seseorang dari perasaan cemas dan takut mengenai hal-hal tertentu, tidak terkecuali masa pensiun yang merupakan salah satu peristiwa besar dalam fase kehidupan seseorang.

Di sisi lain, hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas subjek penelitian memiliki tingkat kecemasan rendah sebanyak 37 orang (65%) dan sedang sebanyak 13 orang (22.8%) dan tinggi sebanyak 7 orang (12.2%). Jika dikaitkan dengan keharmonisan pernikahan, tentu saja kecemasan yang muncul juga akan berada dalam taraf rendah sampai sedang, karena tingkat keharmonisan pernikahan subjek penelitian mayoritas berada pada level sangat tinggi sebanyak 21 pasangan (36.84%), dan selanjutnya kategori tinggi sebanyak 20 pasangan (35.08%), kategori

sedang sebanyak 13 pasangan (23%), dan kategori rendah sebanyak 3 pasangan saja (5.26%).

Pada masa dewasa tengah (40-65 tahun), tingkat keharmonisan pernikahan berada pada kondisi baik. Kurva pernikahan berbentuk U, mencapai bawah pada awal usia paruh baya dan mencapai puncak tertingginya pada saat anak-anak dewasa atau saat memasuki usia pensiun (Orbruch dalam Papalia dkk, 2009). Senada pula dengan yang dikemukakan Santrock (2009) bahwa kasih sayang dan perasaan cinta akan meningkat kembali pada masa ini. Hal ini dikarenakan pada masa paruh baya, pasangan tidak lagi begitu khawatir mengenai keuangan, lebih sedikit pekerjaan, serta lebih banyak waktu yang bisa dihabiskan bersama pasangan. Alasan ini masuk akal jika dikaitkan dengan pensiun, bahwa pernikahan sudah dalam kondisi yang stabil sehingga keluarga terutama pasangan dapat memberikan dukungan bagi individu yang akan pensiun.

Kondisi pernikahan yang harmonis dipengaruhi oleh kondisi mental masing-masing pasangan (Papalia dkk, 2009). Kecemasan dan depresi bisa menyebabkan kondisi pernikahan menjadi tidak harmonis. Jika dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya, keluarga bisa dianggap sebagai salah satu variabel penyebab munculnya kecemasan. Di sisi lain keluarga bisa pula menjadi variabel yang dikenai dampak dari munculnya kecemasan. Pengalaman-pengalaman psikologis yang dialami oleh calon pensiunan bisa mempengaruhi anggota keluarga yang lain (Nuttman-Shwartz dalam Osborne, 2012). Jika calon pensiunan merasa dan

memikirkan hal-hal negatif berkaitan dengan pensiun, hal ini akan membawa suasana yang kurang baik dan akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain sehingga menyebabkan kondisi rumah tangga menjadi tidak harmonis. Interaksi kedua variabel ini memungkinkan adanya hubungan timbal-balik antara kecemasan dan keharmonisan pernikahan.

Alasan kedua yang mendukung rendahnya tingkat kecemasan pada subjek penelitian adalah karena mayoritas subjek sudah mampu menerima keadaan bahwa ia akan berhenti bekerja dalam waktu yang tidak lama lagi, subjek dapat memahami bahwa pensiun merupakan salah satu fase hidup yang harus dilalui. Hal ini sejalan dengan penelitian Fretz (dalam Foster, 2008) yang menyatakan bahwa sikap mengenai pensiun merupakan prediksi yang kuat terhadap munculnya kecemasan menghadapi masa pensiun. Mayoritas sikap subjek penelitian tentang masa pensiun adalah positif, mereka tidak menganggap pensiun sebagai momok masa tua melainkan cenderung merasa bahagia karena bisa menyelesaikan amanah pekerjaan hingga masa pensiun. Sikap positif ini sehingga mampu menghindarkan subjek penelitian dari rasa cemas menjelang pensiun dan tersisa segelintir orang saja yang berada dalam tingkat kecemasan yang sedang dan tinggi.

Alasan ketiga adalah subjek penelitian tidak mengalami kecemasan yang tinggi adalah karena mereka dalam keadaan yang sehat, memiliki pendapatan yang memadai selama bekerja, memiliki perencanaan matang setelah pensiun, memiliki jaringan pertemanan yang luas dan hubungan

kekeluargaan yang baik, serta merasa puas dengan kehidupannya saat itu (Santrock, 2009). Berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan saat pengambilan data, dapat dikatakan para subjek penelitian memenuhi syarat-syarat diatas. Dalam bekerja, hampir keseluruhan subjek terlihat bekerja tanpa tekanan, adanya hubungan yang baik dengan rekan kerja karena sudah bekerja dalam waktu yang cukup lama serta jika ditanyai, rata-rata subjek penelitian sudah memiliki rencana saat masa pensiunnya tiba. Nilai kecemasan yang rendah pada subjek penelitian disebabkan oleh pemilihan subjek penelitian yang masih kurang sesuai dengan criteria maksimal dua tahun sebelum pensiunnya terhitung sejak pengambilan data dilakukan. Alasan lain pula pada penggunaan alat ukur kecemasan yang belum sesuai (bersifat simtomatik).

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai jawaban dari masalah penelitian dan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian. Kemudian pada akhir bab ini akan dikemukakan berbagai saran praktis dan metodologis untuk penelitian berikutnya yang mungkin akan menggunakan tema serupa.

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data penelitian, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Ada hubungan antara keharmonisan pernikahan dan kecemasan. Hubungan yang berlaku adalah negates yangberarti semakin tinggi keharmonisan pernikahan maka semakin rendah kecemasan menghadapi masa pensiun. Sebaliknya, semakin rendah keharmonisan pernikahan maka semakin tinggi kecemasan menghadapi masa pensiun.

2. Korelasi aspek-aspek keharmonisan perikahan terhadap kecemasan menghadapi masa pensiun cukup tinggi. Korelasi tertinggi pada aspek relasi seksual, kemudian aspek komunikasi, resolusi konflik, hubungan yang baik dengan keluarga dan teman, pembagian peran yang seimbang, pemanfaatan waktu luang, pengasuhan anak, kecocokan

3. kepribadian, pengelolaan keuangan, dan nilai-nilai keagamaan dan kepercayaan.

B. SARAN

Pada bagian ini, peneliti ingin memberikan sejumlah saran sehubungan dengan hasil penelitian yang pembahasan yang telah dilakukan.

A. 1. Saran Metodologis

a. Untuk penelitian sejenis, alat ukur kecemasan sebaiknya tidak bersifat simtomatik melainkan menilai kecenderungan sikap subjek penelitian terhadap masa pensiun.

b. Untuk penelitian selanjutnya dengan sampel penelitian yang sama, pada saat pengisian skala diusahakan agar peneliti melakukan pendampingan saat subjek mengisi skala penelitian. Hal ini mempertimbangkan faktor usia subjek yang berada pada masa dewasa tengah dan ada saja kemungkinan subjek membutuhkan asistensi langsung dari peneliti. Pada saat ini juga memungkinkan peneliti untuk mendapatkan informasi tambahan melalui perbincangan dengan subjek, tentu saja setelah skala penelitian sudah diselesaikan.

c. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan meneliti seberapa besar pengaruh keharmonisan pernikahan dan kecemasan menghadapi masa pensiun dan mempertimbangkan adanya kemungkinan hubungan timbal balik antara dua variabel penelitian ini.

d. Pemelihan sampel pada peneitian sejenis selanjutnya sebaiknya berada di jarak waktu maksimal 6 bulan menuju masa pensiun.

B. 2. Saran Praktis

a. Kepada pihak perusahaan diharapkan dapat mempertahankan penyelenggaraan program-progam pra pensiun bagi karyawan yang akan pensiun dalam waktu dekat, jika memungkinkan sebaiknya ditingkatkan pula intensitasnya.

b. Kepada pasangan suami-istri untuk tetap menjaga keharmonisan pernkahan terutama pada masa-masa krisis/transisi agar nantinya mencapai kondisi yang sejahtera di masa tua.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS A. Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun

A. 1. Definisi kecemasan

Kecemasan adalah hal yang sering dihadapi individu berupa perasaan tidak menentu, perasaan panik, takut, dan ketidakmampuan untuk memahami sumber ketakutan (Darajat, 1990). Kecemasan

(anxiety)merupakan reaksi ketika seseorang menerima ancaman,

semakin berpengaruh dan semakin dekat ancaman tersebut maka akan semakin tinggi kecemasannya (Salkovis dan Walwick dalan Furer, 2007).

Wright (2000) berpendapat bahwa kecemasan merupakan ketidaknyamanan pikiran, perasaan yang menakutkan dan menyerang sebagian peristiwa yang akan datang. Menurut Passer dan Smith (2007), kecemasan adalah keadaan tegang dan takut sebagai reaksi normal terhadap munculnya suatu ancaman, yanglebih banyak dipicu oleh peristiwa eksternal spesifik daripada konflik internal. Kecemasan mempengaruhi respon tubuh seperti berkeringat, otot menegang, detak jantung serta nafas yang menjadi lebih cepat. Kecemasan juga merupakan gangguan psikologis dengan ciri-ciri seperti ketegangan motorik, pusing, jantung berdebar, adanya pikiran serta harapan yang mencemaskan (Santrock, 2009).

Darajat (1990) mengemukakan ada dua gejala kecemasan, yaitu; a) Gejala fisik berupa ujung-ujung jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, detak jantung cepat, keringat bercucuran, tidur tidak nyenyak, nafsu makan hilang, dan gemetar; dan b) Gejala mental berupa perasaan sangat takut akan tertimpa bahaya, tidak dapat memusatkan perhatian, rendah diri, tidak tentram dan ingin lari dari kenyataan hidup, gelisah, dan perasaan tegang serta bingung. Menurut Aaron T. Beck (2004), kecemasan berada pada garis kontinum yang sama dengan pengalaman emosional lainnya, dan setiap semua pengalaman emosional berkaitan dengan kognisi. Setiap emosi berhubungan dengan tema kognitif

tertentu, dan kecemasan dikaitkan dengan tema „ancaman‟, „bahaya‟ dan „mudah

diserang‟. Kecemasan merupakan hasil dari penafsiran yang berlebihan tentang

suatu bahaya atau kepercayaan yang terlalu rendah pada coping atau kemampuannya.

Kemudian menurut Sue (2010), kecemasan merupakan emosi dasar manusia yang menghasilkan reaksi tubuh mempersiapiapkan diri untuk “lawan” atau “lari” terhadap situasi atau kejadian yang belum terjadi. Sue (2014) juga

menambahkan bahwa kecemasan merupakan kondisi psikologis dan fisiologis yang dicirikan dengan adanya komponen somatik, emosi, kognitif, dan perilaku sebagai reaksi normal dari stres. Kecemasan bisa menghasilkan perasaan takut, khawatir, gelisah.

Kecemasan menurut Max Hamilton (McDowell, 2006) meliputi aspek

physic anxiety (agitasi mental, tekanan psikologis) dan somatic anxiety (gangguan

Hamilton meliputi 14 komponen yaitu: perasaan gelisah, ketegangan, takut, sulit tidur, gangguan intelektual (daya ingat menurun), perasaan depresi, gejala somatik, gejala sensorik, gejala kadiovaskuler, gejala pernapasan, gejala pencernaan, gejala urogenital, gejala otonom, gejala yang dapat diamati langsung.

Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan keadaan adanya ransangan internal dan eksternal yang mengancam yang menimbulkan pengalaman emosional yang tidak jelas yang menyebabkan ketidaknyamanan pikiran, dan perasaan takut akan tertimpa bahaya, sulit memusatkan perhatian, rendah diri, tidak tentram, gelisah, bingung sehingga mempengaruhi respon respon fisiologis seperti berkeringat, pusing, otot menegang, jantung berdebar, dan nafas yang menjadi lebih cepat.

A. 2. Aspek-aspek Kecemasan

Empat komponen kecemasan menurut David Sue (2010) adalah: a. Kognitif (pikiran)

Komponen kognitif dapat bervariasi, berupa khawatir yang ringan hingga tinggi (panik). Seseorang terus mengkhawatirkan segala masalah yang bisa terjadi, menjadi sulit untuk berkonsentrasi maupun mengambil keputusan, mudah bingung, dan lupa.

b. Motorik (pergerakan tubuh)

Individu menunjukkan gerakan yang tidak beraturan, seperti gemetar hingga guncangan tubuh yang berat.Perilaku yang dimunculkan berupa gelisah, menggigit bibir, menggigit kuku atau jari. Individu sering gugup, mengalami kesulitan dalam berbicara,

meremas jari-jari, tangan gemetar, tidak dapat duduk diam atau berdiri di tempat.

c. Somatik (reaksi fisik dan biologis)

Gangguan pada anggota tubuh, berupa; sesak napas, tangan dan kaki menjadi dingin, mulut kering, diare, sering buang air kecil, jantung berdebar, berkeringat, tekanan darah tinggi, gangguan pencernaan, dan kelelahan fisik seperti pingsan.

d. Afektif (perasaan)

Individu mengalami ketegangan yang kronis. Individu terus-menerus mengalami perasaan gelisah tentang suatu bahaya, mudah tersinggung, dan tidak tenang.

A. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Dibawah ini adalah faktor-faktor yang menyababkan kecemasan, yaitu:

a. Frustasi (tekanan perasaan)

Menurut Darajat (1990) frustasi merupakan proses yang menyebabkan orang merasa adanya hambatan terhadap terpenuhinya kebutuhan-kebutuhannya, atau menyangka akan terjadi suatu yang hal mengalangi keinginannya.

b. Konflik

Adanya dua kebutuhan atau lebih yang berlawanan yang harus dipenuhi disaat yang sama. Konflik adalah terdapatnya dua macam

dorongan atau lebih yang berlawanan dan tidak mungkin dipenuhi disaat yang sama (Darajat, 1990).

c. Ancaman

Adanya bahaya yang harus diperhatikan. Zain (1994) mengatakan bahwa ancaman merupakan peringatan yang harus diperhatikan dan dicegah agar tidak terjadi.

d. Harga diri

Harga diri merupakan suatu penilaian yang dibuat oleh individu tentang dirinya sendiri dan dipengaruhi oleh interaksinya dengan lingkungan. Merupakan faktor yang dibentuk berdasarkan pengalaman. Koeswara (1991) mengatakan bahwa terhambatnya pemuasan kebutuhan harga diri mengakibatkan perasaan rendah diri, tidak mampu, tidak pantas, tidak berguna, dan lemah.

e. Lingkungan sosial

Lingkungan di sekitar individu dapat mempengaruhi cara berpikir individu tentang diri sendiri dan orang lain. Pengalaman yang tidak menyenangkan dengan sahabat, ataupun rekan kerja bisa memunculkan rasa tidak aman dan kecemasan (Ramaiah dalam Dewi, 2003). Sebaliknya, dukungan sosial dari lingkungan mampu mengurangi dan mencegah kecemasan individu (Effendi, 1999). f. Lingkungan keluarga

Menurut Musfir Az-Zahrani (dalam Dewi, 2003), keadaan rumah dengan kondisi penuh dengan pertengkaran atau kesalahpahaman,

serta adanya ketidakpedulian satu sama lain dapat menyebabkan ketidaknyamanan serta kecemasan pada anggota keluarga saat berada di rumah.

g. Emosi yang ditekan

Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan jalan keluar atas perasaannya sendiri, terutama jika ia merasa marah atau frustasi dalam jangka waktu yang lama (Ramaiah dalam Dewi, 2003). h. Sebab-sebab fisik

Masih menurut Ramaiah (dalam Dewi, 2003), pikiran dan tubuh saling berinteraksi dan dapat menyebabkan kecemasan. Selama individu mengalami kondisi-kondisi baru, akan terjadi perubahan yang menyebabkan timbulnya kecemasan.

B. Masa Pensiun

B. 1 Definisi Masa Pensiun

Pensiun merupakan masa seseorang tidak lagi bekerja secara formal pada suatu perusahaan badan komersial yang terorganisasi atau dalam pemerintahan karena telah mencapai usia maksimum sebagai pekerja (Kimmel, 1991). Pensiun merupakan masa transisi ke pola hidup yang baru sehingga berkaitan erat dengan perubahan peran, perubahan keinginan dan nilai, serta perubahan pola hidup (Schwartz dalam Hurlock, 1991).

Menurut Cavanaugh dan Fields (2006), pensiun adalah proses yang kompleks saat seseorang menarik diri dari partisipasi penuh dari pekerjaan. Dengan demikian, pensiun adalah proses seseorang berhenti bekerja pada perusahaan/organisasi/pemerintahan karena telah mencapai usia maksimum serta menimbulkan perubahan peran, nilai, dan pola hidup.

Soegino (dikutip oleh Respatiningsih, 2008), menyebutkan aspek kehidupan masa pensiun yang perlu untuk ditelusuri dan diberi perhatian untuk menjalankan masa pensiun yang memuaskan adalah: a. Kegiatan. orang dewasa membutuhkan kegiatan agar tidak merasa

gelisah dan sebagai pengisi waktu di masa pensiunnya. Kegiatan yang dapat dipertimbangkan adalah berjalan-jalan, bermasyarakat, berpartisipasi dalam bidang pendidikan, bekerja kembali, dan berekreasi.

b. Kesehatan. Kesehatan yang baik sangat diharapkan di masa ini. Di sisi lain, individu pun tidak perlu mengeluarkan biaya yang banyak untuk pengobatan hari tua.

c. Keuangan. Merencanakan keuangan di masa pensiun sangat penting karena masa pensiun adalah masa yang sangat panjang, uang pesangon untuk masa pensiun tidak akan cukup untuk kehidupan keluarga.

d. Sikap positif. Sikap yang positif sangat berpengaruh pada kesehatan, pertahanan diri, motivasi bagi diri sendiri untuk

berbuat sesuatu yang positif. Mengeluarkan potensi diri, disiplin dalam menjaga kesehatan, dan membuat hidup lebih bermakna. e. Hubungan yang serasi terutama dengan pasangan hidup.

Hubungan yang baik dengan pasangan dan keluarga menjelang pensiun sangat dibutuhkan untuk menciptakan dan menjaga kesejahteraan masa tua.

B. 2 Jenis-Jenis Pensiun

Terdapat dua jenis pensiun menurut Hurlock (1991), yaitu: a. Voluntary Retirement (pensiun secara sukarela)

Individu memutuskan untuk mengakhiri masa kerjanya secara formal dan sukarela. Hal ini dilakukan dengan alasan kesehatan atau keinginan untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan melakukan sesuatu yang lebih berarti jika dibandingkan dengan pekerjaan selanjutnya.

b. Mandatory Retirement (pensiun berdasarkan peraturan dan

kewajiban)

Pensiun dilakukan berdasarkan adanya peraturan yang mengikat karyawan di tempatnya bekerja tentang batasan usia yang menandakan berakhirnya masa kerja secara formal.

B. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun

Menurut Brill dan Hayer (dalam Imama, 2011) disebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan menghadapi masa pensiun adalah:

a. Menurunnya pendapatan, termasuk gaji, tunjangan fasilitas yang dulunya bisa ia dapatkan semasa bekerja, serta adanya anak yang belum mandiri yang masih dalam tanggungan orang tuanya.

b. Hilangnya status atau jabatan seperti pangkat dan golongan maupun status sosialnya, termasuk didalamnya adalah hilangnya wewenang penghormatan orang lain atas dirinya.

c. Berkurangnya interaksi sosial dengan teman kerja. Kerja memberikan kesempatan untuk bertemu orang-orang baru dan mengembangkan persahabatan. Namun dengan tibanya masa pensiun, individu tidak memiliki kesempatan yang sama untuk berinteraksi dengan rekan kerjanya seperti saat ia masih bekerja. d. Datangnya masa tua, terutama menurunnya kekuatan fisik dan

daya ingat menurun karena proses penuaan yang tidak bisa dihindari, sehingga muncul perasaan tidak dibutuhkan lagi yang bisa membuatnya semakin cemas.

Rini (dalam Pradono dan Purnamasari, 2010) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan menghadapi masa pensiun, berupa:

a. Kepuasan kerja dan pekerjaan

Datangnya masa pensiun menyebabkan individu merasa kehilangan pekerjaan karena pekerjaan tersebut dapat memberikan kepuasan bagi individu.

b. Usia

Asumsi ketika seseorang memasuki masa tua maka ia akan semakin lemah, semakin banyak penyakit, cepat lupa, penampilan tidak menarik, dan semakin banyak hambatan lain yang membuat hidupnya semakin terbatas. Pensiun karena memasuki batasan usia produktif kerja membuat individu merasa ia sudah tidak berguna lagi.

c. Kesehatan

Kesehatan mental dan fisik merupakan kondisi yang mendukung keberhasilan individu untuk beradaptasi terhadap masa pensiun. Hal ini ditambah dengan persepsi individu tersebut terhadap kodisi fisiknya. Jika ia menganggap kondisi fisiknya sebagai hambatan besardan bersikap pesimistik terhadap hidup, maka ia akan mengalami masa pensiun dengan penuh kesukaran.

d. Persepsi individu tentang bagaimana ia akan menyesuaikan diri dengan masa pensiunnya. Persepsi negatif akan mendatangkan kecemasan pada individu.

Individu yang bekerja memiliki status sosial tertentu, jika tiba masa pensiunnya maka ia akan melepas semua atribut dan fasilitas yang menempel padanya. Hal ini dapat menimbulkan kecemasan bagi sebagian orang.

C. Keharmonisan Pernikahan

C. 1. Definisi Keharmonisan Pernikahan

Keharmonisan pernikahan menurut Walgito (1991) adalah berkumpulnya unsur fisik dan psikis yang berbeda antara pria dan wanita sebagai pasangan suami istri yang dilandasi oleh berbagai unsur persamaan; saling dapat memberi dan menerima cinta kasih yang tulus dan memiliki nilai-nilai yang serupa. Keharmonisan ditandai dengan suasana rumah yang teratur, tidak cenderung pada konflik, dan peka terhadap kebutuhan rumah tangga (Suardiman, 1990).

Pernikahan yang harmonis merupakan keadaan ketika suami dan istri merasakan kebutuhan emosional mereka terpenuhi, mereka saling memahami dan menghargai nilai-nilai yang dianut serta latar belakang budaya pasangannya (Matlin, 2008). Sedangkan menurut Lestari (2012), pernikahan harmonis merupakan evaluasi afektif yang berupa perasaan positif yang dimiliki oleh suami istri, yang maknanya lebih luas daripada kenikmatan, kesenangan, dan kesukaan.

Pernikahan yang harmonis merupakan keadaan ketika suami dan istri merasakan kebutuhan emosional mereka terpenuhi, mereka saling

memahami dan menghargai nilai-nilai yang dianut serta latar belakang budaya pasangannya (Matlin, 2008). Sedangkan menurut Lestari (2012), pernikahan harmonis merupakan evaluasi afektif yang berupa perasaan positif yang dimiliki oleh suami istri, yang maknanya lebih luas daripada kenikmatan, kesenangan, dan kesukaan.

Pernikahan harmonis menurut Olson (1993), melakukan interaksi pernikahan yang sangat baik, melakukan tugas sebagai orang tua dengan baik, memiliki hubungan yang baik dengan keluarga besar dan teman, suami dan istri saling berusaha untuk menjaga dan meningkatkan kualitas hubungan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keharmonisan pernikahan adalah keadaan yang menggambarkan adanya ketenangan lahir batin pada suami dan istri karena puas dengan yang telah mereka capai dan miliki, tidak cenderung pada konflik, peka terhadap kebutuhan rumah tangga, terpenuhinya kebutuhan seksual, dan pergaulan yang baik antara anggota keluarga dan masyarakat.

C. 2. Aspek-aspek Keharmonisan Pernikahan

Menurut David D. Olson dan Amy K. Olson (dalam Lestari, 2012), terdapat sepuluh aspek keluarga harmonis:

a. Resolusi konflik

Aspek ini berkaitan dengan persepsi individu tentang keberadaan dan upaya untuk menyelesaikan konflik dalam hubungan mereka. Mencakup keterbukaan pasangan untuk mengenali dan

menyelesaikan masalah, strategi dan proses yang dilakukan untuk mengakhiri konflik.

b. Komunikasi

Berfokus pada perasaan dan sikap berkaitan dengan komunikasi dengan pasangan. Aspek ini memperhatikan tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh pasangan saat membagikan dan menerima informasi emosional dan kognitif.

c. Pembagian peran yang seimbang

Aspek ini berfokus pada perasaan dan sikap individu mengenai peran dalam pernikahan dan keluarga. Berkaitan dengan hal-hal pekerjaan, tugas rumah tangga, seksualitas, dan peran sebagai orang tua. Akan semakin baik jika pembagian peran sama-sama disetujui oleh pasangan.

d. Kecocokan kepribadian

Aspek ini berfokus pada persepsi individu mengenai perilaku

Dokumen terkait