• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.2 Pembahasan

5.2.1 Prevelensi Skabies Di Pesantren Modern Ta’dib Al-Syakirin

Hasil penelitian dari 130 siswa di Pesantren Modern Ta’dib Al-Syakirin yang ditemukan menderita penyakit skabies sebanyak 34 orang (26,2%). Siswa yang tidak menderita penyakit skabies di pesantren ini lebih banyak dibandingkan dengan siswa yang menderita skabies, hal ini mungkin disebabkan karena siswa di Pesantren Modern Ta’dib Al-Syakirin lebih peduli tentang kebersihan dan kesehatan diri. Prevalensi ini lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi penyakit skabies di Pesantren Modern Diniyyah Pasia, Kec. Ampek Angkek, Kab. Agam, Sumatera Barat Tahun 2014 oleh lathifa dimana dari 73 siswa didapatkan 56 siswa suspect skabies.27

5.2.2 Karakteristik penderita skabies

Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang, semakin bertambah usia semakin banyak pengalaman yang didapatkan dan akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya. Hasil penelitian didapatkan usia yang lebih muda lebih banyak menderita penyakit skabies, siswa dengan usia 12 tahun sebanyak 14 orang (41,2%), sedangkan usia 17 tahun hanya 1 orang (2,9%). Frekuensi skabies berdasarkan umur ini tidak bisa menggambarkan secara keseluruhan frekuensi skabies karena jumlah sampel dalam setiap golongan umur tidak sama. Golongan umur sebagian besar subjek penelitian adalah 12 tahun (58,0%) menderita skabies7, skabies lebih cenderung terjadi pada usia anak-anak sampai dewasa.2

Dari penelitian ini didapatkan laki-laki lebih banyak mengalami penyakit skabies 24 orang (70,6%) daripada wanita 10 orang (29,4%). Prevalensi skabies berhubungan dengan jenis kelamin, yaitu prevalensinya lebih tinggi pada laki-laki dan laki-laki lebih berisiko terinfestasi skabies dibandingkan perempuan. Hal tersebut mungkin disebabkan karena santri perempuan lebih memperhatikan kebersihan dan kesehatan kulit dibandingkan laki-laki.6

Berbeda dengan hasil yang didapat, Hasil dari sebuah penelitian oleh Setyaningrum (2015) menunjukkan bahwa wanita cenderung memiliki prevalensi skabies yang lebih tinggi sebesar (56%) dibandingkan laki-laki. Menurut peneliti wanita memiliki tingkat prevalensi skabies yang lebih tinggi diduga disebabkan beberapa faktor seperti sikap dan perilaku wanita yang lebih senang berada dalam ruangan dengan kontak satu sama lain yang lebih dekat sehingga lebih rentan terinfeksi skabies.25

Pada penelitian ini didapatkan siswa SMP lebih banyak mengalami penyakit skabies 25 orang (73,5%) daripada SMA 9 orang (26,5%). Hal ini mungkin dikarenakan siswa SMA lebih peduli dan mengerti tentang kebersihan dan kesehatan daripada siswa SMP. Secara umum, tingkat pendidikan mempengaruhi prevalensi penyakit, pada komunitas dengan tingkat pendidikan tinggi, prevalensi

penyakit menular umumnya lebih rendah dibandingkan dengan komunitas yang mempunyai pendidikan rendah.

Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi perilaku seseorang, tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih peduli menjaga kebersihan dan kesehatan tubuhnya dibandingkan dengan orang yang tingkat pendidikannya rendah. Berdasarkan hasil sebuah penelitian oleh Setyowati (2014) didapatkan bahwa sebagian besar responden tergolong berpendidikan SMP yaitu sebanyak 164 santriawati (78,8%) dan sebagian kecil adalah responden yang tergolong berpendidikan SMA yaitu sebanyak 44 santriawati (21,2%).28

5.2. Gambaran tingkat pengetahuan dan perilaku personal hygiene

penderita skabies

Pengetahuan dapat dipengaruhi dari informasi yang diterima baik dari pendidikan formal maupun informal seperti internet, media, atau dari interaksi sosial sesama siswa. Penilaian pengetahuan dalam penelitian ini meliputi parasit skabies, perkembangbiakan dan penularan skabies, hubungan kebersihan lingkungan dengan penyakit skabies, dan pengobatan skabies.

Sebagian besar santri yang menderita penyakit skabies dengan pengetahuan baik 3 orang (8,8%), santri yang menderita penyakit skabies dengan pengetahuan cukup 24 orang (70,6%), santri yang menderita penyakit skabies dengan pengetahuan kurang 7 orang (20,6%). Hal ini dikarenakan santri lebih mudah untuk mendapatkan informasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Tingkat pendidikan mempengaruhi pengetahuan, semakin bertambah usia seseorang maka pengetahuan yang dia miliki semakin banyak dari pada orang yang berusia lebih muda. Tingkat pengetahuan tentang kesehatan lingkungan yang kurang baik mempunyai risiko terhadap penyakit skabies sebesar 2,338 kali, dibandingkan dengan pengetahuan tentang kesehatan lingkungan yang baik.8 Dari hasil sebuah penelitian yang dilakukuan oleh Setyowati (2014) diketahui bahwa sebagian besar santriawati mempunyai pengetahuan tentang penyakit

skabies tergolong baik yaitu sebanyak 155 santriawati (80,3%) dan santriawati yang mempunyai pengetahuan tentang penyakit skabies tergolong kurang baik yaitu sebanyak 53 santriawati (19,7%). Hal ini dipengaruhi oleh usia dan pendidikan yang ditempuh, usia remaja masih sangat aktif untuk menambah ilmu pengetahuan dengan mencari berbagai macam informasi yang tersebar luas.28 Sebuah penelitian oleh Azizah (2012) tentang hubungan antara pengetahuan santri tentang PHBS dan penyakit skabies didapatkan sebagian besar responden yaitu sebanyak 40 responden (45,5%) mempunyai pengetahuan yang tinggi tentang PHBS dan penyakit skabies, dibandingkan sebanyak 48 responden (54,5%) mempunyai pengetahuan yang sedang tentang PHBS dan penyakit skabies. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar 0,001 yang berarti ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan penyakit skabies pada santri. Hal ini dikarenakan sebagian responden masih duduk dibangku menengah pertama sehingga ilmu atau pendidikan yang responden dapat belum seberapa jika dibandingkan dengan responden yang sudah duduk dibangku SMA.29

Penilaian hygiene dalam penelitian ini meliputi frekuensi mandi, memakai sabun sendiri atau tidak, mencuci pakaian, menjemur handuk, pakaian dan handuk dipakai bergantian, dan kebersihan alas tidur. Sebagian besar santri yang menderita penyakit skabies dengan hygiene baik 27 orang (79,4%). Sedangkan santri yang menderita penyakit skabies dengan hygiene buruk 7 orang (20,6%). Hal tersebut dapat terjadi mungkin karena seseorang yang sudah memiliki hygiene baik tetapi tidak ditunjang dengan perilaku menghindari risiko penularan skabies, seperti sering kontak dengan penderita skabies dengan cara langsung seperti bersalaman dan tidur bersama. Berdasarkan hasil dari sebuah penelitian (2012) yang menyatakan bahwa perilaku kebersihan diri pada 52 orang kasus dan 174 orang kontrol menunjukkan perilaku yang baik.7

Pada penelitian yang dilakukan oleh Lathifa (2014) didapatkan sebagian besar responden yang mengalami suspect skabies memiliki personal hygiene yang tidak hygiene sebesar (81,8%) didapatkan bahwa ada hubungan antara personal hygiene

dengan suspect skabies. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar 0,006 (p<0,05).27 Dari hasil sebuah penelitian oleh Yasin (2009) didapatkan penderita skabies dengan tingkat hygiene buruk sebanyak 24 responden (51,1%), sedangkan penderita skabies dengan tingkat hygiene baik sebanyak 23 (48,9%). Pada kelompok responden yang hygiene buruk (68,57%) lebih banyak terkena skabies dibandingkan dengan yang bukan skabies (31,43%).30

Hasil analisis hubungan antara personal hygiene dengan kejadian skabies dari penelitian yang dilakukan oleh Akmal (2013) didapatkan sebanyak 30 orang menderita skabies dengan personal hygiene yang tidak baik. Sedangkan 4 orang menderita skabies dengan personal hygiene yang baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p<0,05 yaitu 0,000. Dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna dari kejadian skabies yang memiliki kriteria personal hygiene baik dan tidak baik. Hygiene perorangan merupakan faktor risiko terjadinya penyakit skabies, dan merupakan salah satu usaha yang dapat mencegah kejadian skabies dengan mengubah hygiene agar lebih baik.31

Dokumen terkait