• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan guru sekolah dasar mengenai epilepsi, dan sikap mereka terhadap anak-anak menderita penyakit ini. Penelitian difokuskan pada guru sekolah dasar karena mereka sangat mempengaruhi perkembangan anak pada periode sensitif dari usia sekolah sampai pubertas. Guru juga bagian penting dari masyarakat yang berhubungan erat dengan anak-anak, yang mungkin beberapa di antaranya menderita epilepsi.

5.2.1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan informasi dan keterampilan yang diperoleh dari pengalaman atau pendidikan. Pengetahuan merupakan jumlah dari segala hal yang diketahui. Dalam penelitian ini telah dilakukan pembagian kuesioner untuk mengukur pengetahuan responden mengenai epilepsi pada tingkat pengetahuan yang pertama, yaitu tahu.

Pada hasil penelitian ini didapatkan beberapa temuan yang tidak menyenangkan. Dari 70 responden, sebanyak 90% menyatakan belum mendapatkan informasi yang baik mengenai epilepsi. Hal serupa ditunjukkan pada penelitian di Osogbo, Nigeria dimana 70% guru menyatakan memiliki pengetahuan mengenai epilepsi yang di bawah rata-rata. Hal ini mungkin dikarenakan mereka jarang kontak dengan anak-anak epilepsi, sehingga mereka hanya memiliki informasi yang terbatas mengenai epilepsi. Telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa guru hanya memiliki pengetahuan yang cukup tentang epilepsi, pelatihan yang tidak memadai, dan ide-ide yang keliru dan berpotensi berbahaya mengenai penanganan pertama kejang (Mustapha, Odu, Akande, 2012).

Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 77,1% menyatakan bahwa epilepsi merupakan suatu gangguan pada kesehatan fisik dan mental. Berbeda dengan penelitian Ayapillai (2012) pada masyarakat di Departemen Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan, dimana sebanyak 78,8% responden menganggap epilepsi bukan merupakan penyakit kejiwaan. Sedangkan pada penelitian di Nigeria, sebanyak 50,2% responden menyatakan epilepsi adalah suatu penyakit kejiwaan (Mustapha, Odu, Akande, 2012). Hal ini menyatakan bahwa masih tingginya kekeliruan responden mengenai penyakit epilepsi. Bahkan pada penelitian ini didapatkan sebanyak 37,1% menyatakan bahwa psikoterapi merupakan pilihan pengobatan yang terbaik untuk pasien epilepsi karena mereka beranggapan bahwa epilepsi merupakan suatu masalah pada kejiwaan seseorang. Padahal pilihan utama pengobatan untuk semua jenis epilepsi dapat dilakukan dengan memberikan obat antiepilepsi (OAE) dan pembedahan fokus epilepsi

(Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010).

Pada penelitian ini didapatkan mayoritas responden (92,9%) menyatakan epilepsi disebabkan oleh adanya gangguan pada otak. Dari penelitian yang dilakukan di Zimbabwe oleh Haydar dan Islam (2011) di kalangan guru sekolah dasar dan perguruan tinggi menyatakan sebanyak 58,5% responden menyebutkan berbagai penyebab epilepsi, termasuk malformasi otak, cedera kepala, faktor keturunan,

serangan roh jahat, dan infeksi. Menurut Purba (2008), dasar serangan epilepsi adalah adanya gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps.

Beberapa responden menganggap epilepsi merupakan penyakit menular. Penelitian lain juga melaporkan hal serupa di kalangan guru (Haydar dan Islam, 2011). Sedangkan pada penelitian serupa di Zimbabwe, mayoritas responden (73%) mengatakan bahwa epilepsi tidak menular dan menggambarkannya sebagai kondisi kronis. Walaupun hanya sebagian kecil responden yang mengatakan epilepsi tidak menular, tetap didapati adanya keyakinan yang menganggap epilepsi dapat ditularkan (Goronga dkk, 2013). Konsep yang menyatakan bahwa epilepsi sebagai penyakit menular merupakan ide-ide yang ketinggalan zaman dan membuat kehidupan orang dengan epilepsi cukup menyedihkan. Orang-orang dengan epilepsi dipandang dengan ketakutan, kecurigaan dan kesalahpahaman dan menjadi sasaran stigma sosial yang sangat besar. Mereka diperlakukan sebagai orang buangan dan dihukum.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Rambe dan Sjahrir (2002), dengan judul “Kesadaran, Sikap dan Pemahaman Guru terhadap Epilepsi di Medan, Indonesia”. Dimana hasil penelitiannya menunjukkan adanya kesalahpahaman yang cukup berarti terhadap epilepsi. Begitu juga pada hasil penelitian ini, dimana sebanyak 74,2% responden memiliki pengetahuan dalam kategori sedang, sehingga tetap memungkinkan adanya kesalahpahaman terhadap penyakit epilepsi. Hal ini mungkin dikarenakan kurangnya edukasi dan penyebaran informasi mengenai penyakit epilepsi di kalangan guru dan masyarakat. Berbeda hasil penelitian Ayapillai (2012) dengan judul “Pengetahuan dan Sikap Masyarakat tentang Penyakit Epilepsi di Departemen Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan”. Dimana hasil penelitiannya didapatkan pengetahuan responden sangat baik (97%).

Guru seharusnya memiliki pengetahuan yang baik mengenai penyakit epilepsi. Hal ini dikarenakan epilepsi lebih umum terjadi di kalangan anak-anak sekolah dan guru memiliki banyak pengaruh pada anak-anak, yang menghabiskan bagian terpenting dari kehidupan sosial dan pendidikan di sekolah. Kesalahpahaman dari guru-guru ini akan memiliki dampak negatif terhadap

prestasi anak-anak dengan epilepsi, saat sekarang maupun di masa depan. Hal ini dikarenakan anak-anak dengan epilepsi berisiko tinggi untuk mendapatkan prestasi yang buruk, masalah kesehatan mental, isolasi sosial, dan menjadi tidak percaya diri.

5.2.2. Sikap

Untuk pengukuran sikap, penelitian juga dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang berisikan pertanyaan yang berhubungan dengan sikap responden terhadap penyakit epilepsi.

Pada penelitian ini didapatkan sikap positif yang signifikan. Sebanyak 57,1% responden berpikir bahwa epilepsi bukan merupakan suatu halangan untuk hidup bahagia, 50% responden mengizinkan anaknya berada satu sekolah dengan anak epilepsi, dan 45,7% responden setuju anak mereka bermain dengan anak epilepsi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ayapillai (2012), sebanyak 97% responden memperbolehkan pergaulan dengan penderita epilepsi. Penderita epilepsi sendiri merasakan isolasi sosial dan adaptasi sosial yang buruk yang disebabkan oleh stigma di masyarakat. Atau juga karena adanya ketergantungan yang berlebihan yang disebabkan oleh orangtua yang terlalu protektif terhadap anak epilepsi. Hal ini menyebabkan dengan epilepsi takut malu dengan kejang, sehingga mereka enggan untuk terlibat dalam interaksi sosial (Hills, 2007).

Hasil penelitian ini menunjukkan 44,3% responden setuju jika orang dengan epilepsi dapat menjalani kehidupan pernikahan dan sebanyak 75,7% responden setuju bahwa orang dengan epilepsi dapat memiliki anak. Hal ini serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ayapillai (2012) di kalangan masyarakat Medan, dimana sebanyak 87,9% responden menyatakan orang dengan epilepsi dapat menikah, hamil, dan memiliki anak.

Sebanyak 37,1% responden mengizinkan anak mereka menikah dengan orang dengan epilepsi. Menurut penelitian Amira (2008), sebanyak 13,2% responden mengizinkan anak atau salah satu kerabat dekat mereka menikah dengan orang dengan epilepsi dan menurut penelitian Jiamjit (2009) sebanyak

28,4% tidak keberatan jika anak mereka menikahi seseorang yang kadang-kadang memiliki serangan kejang.

Sebanyak 32,9% responden keberatan jika anak mereka satu sekolah dengan anak epilepsi. Hal ini berbeda dengan temuan positif pada penelitian di Nigeria, sebagian besar guru (lebih dari 70%) tidak merasa bahwa epilepsi adalah penyakit menular dan anak dengan epilepsi dapat ditempatkan di kelas regular (Mustapha, Odu, Akande, 2012).

Meskipun kebanyakan responden menunjukkan sikap positif, ada beberapa yang menunjukkan sikap negatif. Didapati sebanyak 58,6% responden berpikir bahwa orang dengan epilepsi tidak bisa bekerja seperti orang lain, 64,3% responden berpikir orang dengan epilepsi seharusnya dilarang mengemudi.

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 45,7% responden menganggap epilepsi mempengaruhi pendidikan seseorang. Hasil penelitian serupa di kalangan masyarakat Medan menunjukkan sebanyak 60,0% responden menyatakan bahwa orang dengan epilepsi memiliki tingkat kecerdasan yang rendah (Daniel, 2012). Menurut Slowik (2013), epilepsi bukan merupakan indikator kecerdasan. Beberapa orang dengan keterbelakangan mental mungkin menderita epilepsi, tetapi kebanyakan orang dengan epilepsi tidak mengalami keterbelakangan mental.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Rambe dan Sjahrir (2002), dengan judul “Kesadaran, Sikap dan Pemahaman Guru terhadap Epilepsi di Medan, Indonesia”. Dimana hasil penelitiannya menunjukkan adanya sikap yang negatif terhadap orang dengan epilepsi. Sedangkan penelitian Ayapillai (2012) dengan judul “Pengetahuan dan Sikap Masyarakat tentang Penyakit Epilepsi di Departemen Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan”, menunjukkan sikap responden yang sangat baik. Pada penelitian ini diperoleh mayoritas sikap guru berada pada kategori sedang, yaitu 84,3%. Hal ini dikarenakan adanya stigma yang berlaku di masyarakat, sehingga mempengaruhi pandangan sikap seseorang terhadap pasien epilepsi.

Kesalahpahaman dan sikap yang buruk terhadap orang dengan epilepsi akan berkontribusi pada stigma atau diskriminasi yang dirasakan oleh orang

dengan epilepsi. Kebanyakan penderita epilepsi merasakan berbagai pelanggaran dan pembatasan dari hak sipil dan hak asasi manusia mereka, seperti dalam mendapatkan akses terhadap jaminan kesehatan, surat izin mengemudi, pendidikan, pekerjaan, perjanjian hukum, dan bahkan pernikahan.

Dokumen terkait