• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam pengelolaan PGK melalui berbagai cara edukasi dan menyiapkan masyarakat dalam menghadapi PGK akan membantu upaya untuk menghambat progresivitas penyakitnya (Prodjosudjadi, 2008).

Sampel penelitian ini adalah penderita penyakit ginjal kronik yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011 yang diperoleh dari data sekunder catatan rekam medik. Besar sampel penelitian sebanyak 100 penderita yang ditentukan dengan cara Quota sampling, jumlah sampel ini cukup representatif berdasarkan pertimbangan bahwa PGK merupakan penyakit kronis yang berasal dari beberapa faktor risiko yang bersifat kronis seperti hipertensi dan DM, sehingga pemilihan sampel dalam satu waktu tertentu cukup efektif untuk menggambarkan keadaan klinis kasus ini.

Dalam sampel penelitian ini masih terdapat ketidaklengkapan data variabel yang diharapkan, seperti variable faktor risiko hanya terdapat 81 data dan variabel komplikasi hanya terdapat 33 data dari 100 data rekam medis penderita PGK.

Proporsi penderita PGK berdasarkan kelompok umur yang tertinggi adalah kelompok umur 54-61 tahun 28%, dengan laki-laki 16% dan perempuan 12%, sementara yang terendah adalah kelompok umur 78-85 dan diatas 85 tahun, yaitu masing-masing 2%.

Proporsi penderita PGK berdasarkan kelompok umur 46-53 tahun 22%, 54-61 tahun 28%, dan 62-69 tahun 20% lebih besar daripada kelompok umur 14- 21 tahun 3%. Penderita PGK yang paling muda berusia 14 tahun, sedangkan paling tua berumur 90 tahun. Pertambahan umur akan mengubah bentuk anatomi tubuh manusia dan juga disertai penurunan fungsi anggota tubuh, ginjal mengalami perubahan anatomis dan fisiologis yang khas untuk proses penuaan. Proses ini dimulai pada usia 30 tahun, setelah seseorang berusia 30 tahun mulai terjadi penurunan faal ginjal, dan penurunan faal ginjal tersebut bisa sampai 50% ketika usia mencapai 60 tahun. Hal ini disebabkan oleh proses penuaan yang mengakibatkan berkurangnya jumlah nefron dan berkurangnya kemampuan untuk menggantikan sel-sel yang telah mengalami kerusakan. Proses ini tidak sama pada setiap orang, ada yang mempertahankan LFG dengan baik tetapi faal ini dapat menurun dengan cepat misalnya karena Hipertensi atau gangguan fungsi jantung (Markum, 2003).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Romauli (2009) dengan desain case series di RSUD Dr. H. Kumpulan Pane Tebing Tinggi, dimana umur PGK terbesar pada kelompok umur 53-61 tahun 30.4%.

Proporsi penderita PGK berdasarkan jenis kelamin yang tertinggi laki-laki 61% dan perempuan 39%, dengan sex ratio laki-laki terhadap perempuan adalah 61 : 39 = 1.56 : 1. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Umri (2011) di RSU Dr. Pirngadi Medan, dimana proporsi jenis kelamin tertinggi laki-laki 54.7%.

Proporsi penderita PGK berdasarkan faktor risiko diketahui dari 81 orang penderita penyakit ginjal kronik, proporsi penderita PGK dengan faktor risiko hipertensi 75.3%, diikuti Diabetes Mellitus 8.6%, sementara faktor risiko hipertensi disertai diabetes mellitus 16%.

Hipertensi merupakan penyakit sistemik yang menjadi penyebab tersering PGK. Penderita Hipertensi memiliki resiko tinggi untuk mengalami kehilangan fungsi ginjal lebih lanjut, karena hipertensi akan mempercepat laju filtrasi glomerulus yang progresif. Karena itu penderita Hipertensi harus dievaluasi secara teliti untuk mendeteksi adanya PGK, terutama bagi mereka yang sudah mengalami penurunan laju filtrasi glomerulus(Yugiantoro,2003).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sinabariba (2002), dimana proporsi riwayat penyakit terdahulu yang tertinggi adalah hipertensi 23.4% di RSUP. H. Adam Malik Medan. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Umri (2011) di RSU. Dr. Pirngadi Medan riwayat penyakit terdahulu yang tertinggi hipertensi 34%.

Proporsi penderita PGK berdasarkan keluhan utama yang terbanyak adalah sulit Buang Air Kecil (BAK) 32%, hal ini berhubungan dengan terjadinya deplesi natrium dan air yang menyebabkan penurunan volume cairan ekstra selular (VCES), diikuti penurunan aliran darah ginjal. Iskemia ginjal akan menyebabkan penurunan filtrasi glomerulus (LFG) dan akhirnya terjadi oliguria (Sukandar, 2006). Keluhan lain yang banyak dialami penderita PGK adalah sesak nafas 26%, karena sesak nafas juga merupakan tanda dan gejala uremia. Penderita PGK mengalami keluhan lain lebih dari 1 keluhan utama yaitu sulit BAK disertai sesak

nafas 12%, penurunan kesadaran 8%, sementara sesak nafas disertai penurunan kesadaran 6%.

Sementara berdasarkan hasil penelitian Romauli (2009), keluhan utama penderita PGK tertinggi adalah mual dan muntah 29.3%, diikuti sesak nafas 23.2% , sedangkan sulit BAK 12.8%.

Proporsi keluhan tambahan penderita PGK yang terbanyak adalah mual dan muntah 25%, hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sinabariba (2002), keluhan PGK yang tertinggi mual muntah 27.8%. Keluhan ini berhubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk ammonia (NH3). Amonia yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus (Sukandar, 2006). Penderita PGK juga mengalami keluhan tambahan lain yang lebih dari satu keluhan seperti mual muntah disertai oliguria 24%, oliguria 15%, oliguria disertai hematuria sebanyak 10% sementara keluhan tambahan mual muntah disertai oliguria dan hematuria 6%, yang terendah hematuria 3%, dan hematuria disertai mual muntah 1%.

Proporsi hasil pemeriksaan fisik penderita PGK yang tertinggi adalah hipertensi disertai anemia 26.59%, diikuti hipertensi disertai anemia dan oedem 21.27%, hipertensi saja 20.21%, hipertensi disertai oedem 9.57%, anemia 9.57%, anemia disertai oedem 7.44%, sementara yang terendah oedem 5.31%.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Aisyah (2011) di RS Haji Medan, dimana proporsi penderita PGK disertai dengan hipertensi 59.43%.

Retensi natrium dan sekresi rennin menyebabkan kenaikan volume plasma (VP), dan volume cairan ekstra selular (VCES). Ekspansi VP akan mempertinggi tekanan pengisian jantung (cardiac filling pressure) dan cardiac output (COP). Kenaikan COP akan mempertinggi tonus arteriol (capacitance) dan pengecilan diameter arteriol sehingga tahanan perifer (resistensi) meningkat. Kenaikan tonus vascular arteriol akan menimbulkan aktivasi mekanisme umpan balik (feedback mechanism) sehingga akhirnya terjadi penurunan COP sampai mendekati batas normal tetapi kenaikan tekanan darah dipertahankan. Pada keadaan normal sinus karotikus bertindak sebagai regulator setiap perubahan volume maupun tonus vaskuler dan tekanan darah dipertahankan dalam batas normal. Pada keadaan

azotemia, fungsi sinus karotikus gagal sebagai regulator dari setiap rangsangan atau perubahan volume dan tonus vaskuler sehingga terjadi hipertensi (Sukandar, 2006).

Anemia normokrom normositter paling sering dijumpai pada gagal ginjal kronis terutama disebabkan ketidakmampuan sumsum tulang bereaksi terhadap proses hemolisis atau perdaarahan Depresi sumsum tulang ini disebabkan defisiensi hormone eritropoeitin, dimana ginjal merupakan sumber pembentukan erytropoeitic stimulating factors (ESF) (Sukandar, 2006).

Proporsi penatalaksanaan penderita penyakit ginjal kronik yang terbanyak adalah konservatif dengan simptomatik 64%, penatalaksanaan konservatif disertai simptomatik dan hemodialisis 36%. Hal ini menunjukkan terapi konservatif masih memegang peranan penting untuk memberi perbaikan kepada penderita PGK, terapi konservatif dapat mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal serta memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit. Sehingga terapi konservatif masih dapat diupayakan untuk mencegah atau mengurangi progresivitas penurunan fungsi ginjal melalui diet kalori, diet protein dan memenuhi kebutuhan cairan, elektolit dan mineral (Sukandar, 2006).

Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Sinabariba (2002) di RSUP. H. Adam Malik Medan, dimana proporsi pengobatan PGK yang terbesar adalah diet dan obat-obatan 72.3%. Hal ini juga sesuai dengan Romauli (2009) pengobatan obat dan diet 66.2%.

Proporsi komplikasi penderita PGK yang terbanyak Hipertensi dan Asidosis metabolik masing-masing 21.12% dari 33 orang penderita PGK, diikuti Anemia, stroke, oedem paru masing- masing 15.15% dan terendah adalah Uresemic encephalopathy 12.12%.

Proporsi penderita PGK berdasarkan lama perawatan diketahui bahwa lama perawatan rata- rata penderita penyakit ginjal kronik yang di rawat di RSUP. H. Adam Malik Medan adalah 7 hari, Standar deviasi 11 hari dengan lama rawatan minimum 1 hari dan lama rawatan maksimum selama 60 hari. Terdapat

26 penderita PGK yang hanya menjalani satu hari perawatan, 10 penderita diantaranya meninggal, 10 penderita Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS), dan 6 penderita Pulang Berobat Jalan (PBJ).

Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan Umri (2011), lama perawatan rata-rata penderita PGK 9 hari, Standar Deviasi 8 hari dengan lama rawatan minimum 1 hari dan lama rawatan maksimum 44 hari.

Berdasarkan hasil uji Anova, diperoleh nilai p < 0.05, artinya ada perbedaan bermakna antara kelompok rata-rata lama perawatan dengan kelompok keadaan pasien sewaktu pulang.

Proporsi penderita PGK berdasarkan keadaan sewaktu pulang penderita penyakit ginjal kronik yang terbanyak adalah PAPS 35% dengan lama rawatan rata-rata 4 hari. Sementara yang terendah adalah baik yaitu 12% dengan lama rawatan rata-rata 14 hari.

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Sinabariba (2002) di RSUP. H. Adam Malik Medan, dimana proporsi keadaan sewaktu pulang penderita PGK tertinggi adalah Pasien Berobat Jalan (PBJ) 45.9%.

Pada umumnya penderita yang PAPS memiliki keterbatasan biaya untuk menjalani rawat inap di Rumah Sakit atau secara pribadi penderita PGK sudah merasa cukup baik. Selain itu, perlu diobservasi lapangan terhadap sistem pelayanan kesehatan apakah sudah cukup memadai dan memuaskan penderita PGK melihat tingginya proporsi penderita PGK yang PAPS 35%.

Sementara Proporsi penderita PGK yang Pasien Berobat Jalan (PBJ) 29% dengan lama rawatan rata-rata 10 hari, hal ini dapat terjadi karena pengobatan PGK memerlukan pengobatan yang terus-menerus dan berkelanjutan, sehingga pengobatan masih dilakukan dengan berobat jalan.

Penderita PGK yang meninggal ada 24 orang (24%) dengan lama rawatan rata-rata 6 hari, dimana 17 orang (70.8%) diantaranya merupakan penderita laki- laki, dan 7 orang (29.2%) perempuan. Proporsi meninggal penderita PGK yang tertinggi adalah pada kelompok umur 46-53 tahun yaitu 29,2%, umur 62-69 tahun 25%, diikuti kelompok umur 54-61 tahun dan 70-77 tahun masing-masing 16.7%.

Hasil penelitian ini sesuai dengan Umri (2011), proporsi penderita PGK yang meninggal 29%, dimana penderita laki-laki 56.5% dan perempuan 43.5%. Sementara hasil penelitian Romauli (2009), proporsi penderita PGK meninggal yang tertinggi pada kelompok umur 62-70 tahun 6.9%, diikuti 53-61 tahun 6.7%.

Dokumen terkait