• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

Stres merupakan suatu respon fisiologis, psikologis manusia yang mencoba untuk mengadaptasi dan mengatur baik tekanan internal dan eksternal (Pinel, 2009). Menurut Hawari (2001) mengatakan bahwa stres menurut Hans Selye merupakan respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Stresor psikososial adalah setiap keadaan/peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga seseorang itu terpaksa mengadakan adaptasi/penyesuaian diri untuk menanggulanginya. Namun, tidak semua orang mampu melakukan adaptasi dan mengatasi stresortersebut, sehingga timbulah keluhan-keluhan antara lain stres (Sunaryo, 2004). Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 139 responden didapatkan kondisi tidak stres atau normal sebanyak 29 (20,9% ) responden dan selebihnya dengan kondisi stres sebanyak 110 (79,1%) dapat dilihat pada tabel 5.13. Hal ini dikarenakan adanya stressor yang begitu tinggi pada semester akhir sehingga mempengaruhi kondisi psikologi mahasiswi FK USU angkatan 2007.

Dua respon psikoneuroendokrin telah menjelaskan secara spesifik pola coping stres. Pada kondisi subjek harus “ fight or flight” atau harus berusaha untuk mengontrol situasi, mekanisme adrenergik pada sistem saraf pusat dan aktivasi simpatetik pada sisitem saraf tepi. Sistem-sistem ini merespon sumber bahaya untuk homeostasis tubuh selama beberapa detik dengan melepaskan neurotransmitter (katekolamin) pada sistem adrenergik. Respon stres simpatetik menyebabkan peningkatan pada denyut jantung, tekanan darah dan kadar glukosa

darah pada otot dan organ vital yang bertujuan memenuhi energi yang cukup untuk “fight or flight ”. Respon sistem stres yang lain, sistem hypothalamus pituitary-adrenocortical (HPA), memerlukan waktu beberapa menit. Neuropeptida pada otak merangsang nukleus paraventrikular pada hipotalamus melepaskan faktor kortikotrophin (CRF) dan neuromodulator dari hipotalamus. CRF merangsang kelenjar pituitari anterior melepaskan hormone adrenocorticotropin (ACTH) untuk merangsang kelenjar adrenal melepaskan hormon kortisol. Kortisol memiliki pola penting dalam menurunkan aktivasi simpatetik dan menekan HPA aksis melalui mekanisme negative feedback pada pitutari, hipokampus, hipotalamus dan amigdala. Mekanisme negative feedback membantu mengembalikan kadar basal hormon. Keadaan ini akan mengembalikan keseimbangan tubuh (Ollf dkk, 2004). Strategi coping stres antara lain dengan mempersiapkan diri menghadapi stresor dengan cara melakukan perbaikan diri secara psikis/mental, fisik dan sosial. Coping stres merupakan usaha untuk mengurangi atau meniadakan dampak negatif stresor (Sunaryo,2004).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah disajikan diperoleh 110(79,1%) responden yang mengalami stres, didapatkan 77 (70%) responden mengalami siklus menstruasi yang normal (tabel 5.20.). Hal ini menunjukkan bahwa coping stres melalui negative feedback dapat mengembalikan kondisi keseimbangan tubuh (Kovacs, 2007; Ollf dkk, 2004; Hardie, 2005).

Pengaruh stres terhadap siklus menstruasi yang tidak teratur melibatkan sistem neuroendokrinologi sebagai sistem yang besar peranannya dalam reproduksi wanita. Gangguan pada pola menstruasi ini melibatkan mekanisme regulasi integratif yang mempengaruhi proses biokimia dan seluler seluruh tubuh termasuk otak dan psikologis. Pengaruh otak dalam reaksi hormonal terjadi melalui jalur hipotalamus-hipofisis-ovarium yang meliputi multiefek dan mekanisme kontrol umpan balik (Breen dan Karsch, 2004; Nakamura dkk, 2008).

Pada keadaan stres terjadi aktivasi pada amigdala pada sistem limbik. Sistem ini akan menstimulasi pelepasan hormon dari hipotalamus yaitu corticotropic releasing hormone (CRH). Hormon ini secara langsung akan menghambat sekresi GnRH hipotalamus dari tempat produksinya di nukleus

arkuata. Peningkatan CRH akan menstimulasi pelepasan endorfin dan adrenocorticotropic hormone (ACTH) ke dalam darah. Peningkatan kadar ACTH akan menyebabkan peningkatan pada kadar kortisol darah. Pada wanita dengan gejala amenore hipotalamik menunjukkan keadaan hiperkortisolisme yang disebabkan adanya peningkatan CRH dan ACTH. Hormon-hormon tersebut secara langsung dan tidak langsung menyebabkan penurunan kadar GnRH, dimana melalui jalan ini maka stres menyebabkan gangguan siklus menstruasi. Dari yang tadinya siklus menstruasinya normal menjadi oligomenorea atau polimenorea. Gejala klinis yang timbul ini tergantung pada derajat penekanan pada GnRH. (Chrous, 1998; Hoon Jeong , 1999; Breen dan Karsch, 2004; Nakamura dkk, 2008).

Dari penelitian yang dilakukan pada 139 responden, didapatkan 33 (23,7%) responden yang kondisi psikologisnya stres mengalami siklus menstruasi yang tidak teratur (tabel 5.20.), dengan oligomenorea didapati 8 (5,8%) responden dan polimenorea 12 (8,6%) responden (tabel 5.18), hipomenorea 2 (1,4%) responden dab metroragia 14 (10,1%) responden (tabel 5.19). Hal tersebut menunjukkan bahwa pada kondisi stres dapat mengganggu ketidakseimbangan hormon, termasuk produksi hormon LH yang mengakibatkan terjadinya siklus menstruai yang tidak teratur. Berdasarkan percobaan yang dilakukan pada tikus betina, didapatkan suatu hipotesis bahwa kortisol berperan dalam menghambat sekresi LH oleh pusat aktivitas di otak (Hoon Jeong, 1999). Kortisol menekan pulsatil LH dengan cara menghambat respon hipofisis anterior terhadap GnRH (Breen dan Karsch, 2004).

5.2.1. Hubungan Stres dengan Siklus Menstruasi Yang Tidak Teratur

Dari hasil analisis data penelitian didapatkan bahwa ada hubungan stres dengan siklus menstruasi yang tidak teratur. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Yamamoto dkk (2009) yang meneliti tentang hubungan masalah menstruasi dengan stres pada mahasiswi di Jepang, dari 221 responden dengan kondisi stres didapatkan 63% mengalami siklus menstruasi yang tidak teratur. Penelitian ini juga didukung dengan penelitian sebelumnya

oleh mahasiswa Universitas Diponegoro yang bernama Atik Mahbubah dalam studi kasusnya di kelurahan Sidoharjo, Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan yang menemukan adanya hubungan antara stres dengan siklus menstruasi. Penelitian tersebut dianalisis menggunakan uji Chi Square didapatkan hasil 69,2 % siklus menstruasinya oligomenorea, 64,9% siklus menstruasi normal, 23,1% polimenorea dan 7,7% amenorea. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Desty Nur Isnaeni yang merupakan mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UMS) Surakarta dalam penelitiannya dengan sampel yang digunakan yaitu mahasiswi D IV Kebidanan Jalur Reguler UMS sejumlah 73 responden dan menggunakan uji Sparmen Rank Corelation yang menemukan adanya hubungan stres dengan siklus menstruasi yaitu polimenorea sejumlah 2,74% dan oligomenorea 4,11%.

Dari beberapa studi juga menyatakan bahwa stres mempengaruhi fungsi normal menstruasi, (Ferin, 1999; Fenster dkk, 1999; Sanders dan Bruce, 1999; Atemus dkk, 2001; Breen dan Karsch, 2004; Meczekaski dkk, 2007; Yamamoto dkk, 2009). Pada keadaan stres terjadi pengaktifan HPA aksis, mengakibatkan hipotalamus menyekresikan CRH. CRH mempunyai pengaruh negatif terhadap pengaturan sekresi GnRH, ketidaksimbangan CRH memiliki pengaruh terhadap penekanan fungsi reproduksi manusia sewaktu stres (Chrous, 1998; Hoon Jeong , 1999; Breen dan Karsch, 2004; Nakamura dkk, 2008).

Dokumen terkait