• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

5.2.1. Karakterisrik Sampel

Hasil penelitian terhadap karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin sesuai tabel 5.1 terlihat bahwa kelompok sampel terbanyak adalah yang berjenis kelamin laki-

Kejadian HVK Total Positif Negatif Riwayat Hipertensi Ada 43 21 64 Tidak Ada 0 21 21 Total 43 42 85

laki, yaitu sebanyak 50 (58,8%) orang sedangkan yang berjenis kelamin perempuan hanya 35 (41,2%) orang. Dalam beberapa penelitian insiden gagal jantung per 1000 populasi per tahunnya, yaitu penelitian yang dilakukan Cowie et al. (1995 – 1996) di London, Framingham (1950 – 1999) di USA, dan Rochester (1979 – 2000) di USA dalam Cowie (2008), gagal jantung selalu dijumpai lebih banyak pada laki- laki dibanding perempuan disetiap tingkat usia. Hal ini juga didukung oleh data EURO-

HF Survey tahun 2000 – 2001, bahwa 53% dari pasien gagal jantung yang di rumah

sakit adalah laki- laki (Cowie, 2008).

Hasil penelitian terhadap karakteristik sampel berdasarkan kelompok umur sesuai dengan tabel 5.2, ternyata sampel terbanyak berada pada kelompok umur 45 – 59 tahun, yaitu 48 orang yang terdiri dari 3 kelompok yaitu usia 45 – 49 tahun, 50 – 54 tahun, dan 55 – 59 tahun dengan masing-masing berjumlah 16 (18,8%) orang dan sisanya 37 orang berusia diatas 60 tahun atau lansia karena berdasarkan Undang- Undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Dari tabel juga dapat kita lihat bahwa jumlah sampel semakin sedikit seiring pertambahan usia lansia yaitu: 12 (14,1%) orang berusia 60 – 64 tahun; 10 (11,8%) orang berusia 65 – 69 tahun; 7 (8,2%) orang pada usia 70 – 74 tahun; 6 (7,1%) orang pada usia 75 – 79 tahun; dan hanya 2 (2,4%) orang yang berusia 80 tahun keatas. Hasil penelitian ini berbeda dengan teori bahwa prevalensi gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya usia: 0,7 % pada usia 45 – 54 tahun;1,3 % pada usia 55 – 64 tahun; 1,5 % pada usia 65 – 74 tahun; dan 8,4% pada usia 75 tahun ke atas (Cowie, 2008). Hal ini berkaitan dengan usia harapan hidup yang berbeda antara negara maju dengan negara berkembang dalam hal ini Indonesia sementara data epidemiologi dan prevalensi terutama berasal dari negara maju. Menurut Laksono (2009), insiden penyakit gagal jantung makin meningkat sejalan dengan meningkatnya usia harapan hidup penduduk. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2008), Angka Harapan Hidup (AHH) adalah perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama

hidup (secara rata-rata). Dari pertengahan tahun 1997 sampai tahun 1999, AHH Indonesia mengalami peningkatan sebesar 1,8 tahun menjadi 66,2 tahun. Namun pada tahun 2002 AHH tidak menunjukkan peningkatan dan baru tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 2005 mulai meningkat menjadi 68,1 tahun. Selanjutnya selama dua tahun berturut-turut AHH Indonesia naik menjadi 68,5 pada tahun 2006 dan 68,7 pada tahun 2007 dengan angka 68,4 tahun di provinsi Sumatera Utara (BPS, 2008). Dan berdasarkan data dari ASEAN (2007) dalam Badan Pusat Statistik (2008), AHH Indonesia masih tertinggal dari negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand apalagi jika dibanding dengan negara-negara maju.

Usia harapan hidup di negara maju seperti Eropa dan Amerika jauh lebih tinggi daripada Indonesia, tercatat pada tahun 2000 saja usia harapan hidup di negara- negara Eropa berkisar 72 tahun dan di US sekitar 70 tahun, bahkan di Jepang yang menduduki peringkat teratas, berada pada usia 74,5 tahun (WHO, 2000) yang tentunya sekarang sudah jauh meningkat. Usia harapan hidup yang tinggi di negara- negara maju ini menyebabkan populasi lansianya juga tinggi sehingga lebih banyak dijumpai penderita gagal jantung hidup pada usia lanjut di negara maju dibanding negara berkembang seperti Indonesia.

5.2.2. Etiologi Gagal Jantung Kongestif

Dari hasil penelitian berdasarkan tabel 5.3, gagal jantung kongestif dijumpai paling banyak pada pasien yang menderita HHD & CAD yaitu 32 (37%) orang, kemudian sebanyak 25 (29,4%) orang penderita HHD tanpa CAD, dan 22 (25,9%) orang penderita CAD tanpa HHD serta hanya 6 (7,1%) orang yang bukan penderita CAD dan HHD. Keenam orang ini, 4 diantaranya penderita penyakit katup jantung, 1 orang kardiomiopati dilatasi, dan 1 orang CPC (Cardio Pulmonary Chronic). Di Eropa dan Amerika, gagal jantung karena disfungsi miokard lebih sering terjadi akibat penyakit jantung koroner, disusul hipertensi dan diabetes. Sedang di Indonesia belum ada data yang pasti, sementara data rumah sakit di Palembang

menunjukkan hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakit jantung koroner dan katup (Ghanie, 2007).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa gagal jantung disebabkan paling banyak oleh HHD, disusul CAD meski dengan perbedaan yang kecil, dan dengan angka sedikit penyakit katup jantung (4 orang). Hal mencolok yang terlihat adalah sebanyak 32 (37%) orang pasien gagal jantung mengalami HHD dan CAD. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan antara HHD dengan CAD. Penyakit jantung akibat insufisiensi aliran darah koroner dapat dibagi menjadi 3 jenis yang hampir serupa: penyakit jantung arteriosklerotik, angina pektoris, dan infark miokardium yang ketiganya ini dapat dipicu oleh hipertensi. Peningkatan tekanan darah sistemik pada hipertensi akan menimbulkan peningkatan resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sehingga beban kerja jantung bertambah, akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel kiri untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertrofi kompensasi dapat terlampaui sehingga kebutuhan oksigen yang melebihi kapasitas suplai pembuluh koroner ini menyebabkan iskemia miokardium dan dimulailah CAD. Dan tekanan darah yang tinggi secara kronis juga dapat menimbulkan gaya regang atau potong yang merobek lapisan endotel arteri dan arteriol. Gaya regang terutama timbul di tempat-tempat arteri bercabang atau membelok: khas untuk arteri koroner, aorta, dan arteri-arteri serebrum. Dengan robeknya lapisan endotel, timbul kerusakan berulang sehingga terjadi siklus peradangan, penimbunan sel darah putih dan trombosit, serta pembentukan bekuan berupa plak atreosklerosis. Setiap trombus yang terbentuk dapat terlepas dari arteri sehingga menjadi embolus di bagian hilir yang bermanifestasi sebagai infark miokardium (Santoso, 2005). HHD sendiri bisa langsung menyebabkan gagal jantung tanpa memicu CAD karena penurunan kekuatan kontraksi akibat miokardium yang terlalu teregang, seperti yang djumpai pada penelitian, 25 (29,4%) orang adalah penderita HHD tanpa CAD. Sedangkan

gagal jantung yang murni disebabkan CAD tanpa HHD dijumpai pada 22 (25,9%) orang.

Jadi, dari hasil penelitian ini dapat dilihat meski CAD memegang peranan penting dalam etiologi gagal jantung, keberadaan hipertensi terutama di negara berkembang seperti Indonesia tetap berhubungan erat dengan kejadian gagal jantung sesuai dengan pendapat Cowie (2008), bahwa hipertensi berhubungan dengan peningkatan risiko gagal jantung meskipun risiko relatifnya lebih rendah dibanding infark miokardium (CAD) namun karena prevalensi hipertensi lebih tinggi daripada infark miokardium, proporsi kejadian gagal jantung pada masyarakat yang dihubungkan dengan hipertensi lebih tinggi. Dan juga perlu disadari bahwa hipertensi sebagai penyebab gagal jantung seringkali tidak dikenali, sebagian karena ketika gagal jantung berkembang, disfungsi ventrikel kiri yang terjadi tidak bisa menunjukkan adanya tekanan darah tinggi, sehingga etiologi gagal jantung menjadi tidak jelas (Riaz, 2010).

5.2.3. Jenis Pemeriksaan Hipertrofi Ventrikel Kiri

Dapat dilihat pada tabel 5.3 bahwa sebanyak 31 (36,5%) orang pasien gagal jantung positif mengalami hipertrofi ventrikel kiri yang didiagnosa dengan EKG, ekokardiografi, dan foto toraks. Sedangkan melalui EKG dan foto toraks, didapati positif hipertrofi ventrikel kiri sebanyak 29 (34,1%) orang dan sebanyak 14 (16,5%) orang hanya melalui pemeriksaan EKG saja. Sementara dengan menggunakan ekokardiografi & EKG sebanyak 7 (8,2%) orang dan dengan ekokardiografi & foto toraks hanya 4 (4,7%) orang. Di sini terlihat bahwa di RSUP H. Adam Malik, diagnosa hipertrofi ventrikel kiri banyak ditegakkan dengan pemeriksaan EKG. Padahal meskipun pemeriksaan dengan EKG lebih sensitif daripada foto toraks, dalam menentukan diagnosa hipertrofi ventrikel kiri, ekokardiografi merupakan pemeriksaan baku emas (Efendi, 2003). Hal ini terbukti dalam data Framingham

mendapatkan 15 – 20% hipertrofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi, sedangkan sensitifitas dengan pemeriksaa ekokardiografi antara 86 – 93% dan dapat mendeteksi adanya hipertrofi ventrikel kiri sampai 50 – 60% (Efendi, 2003).

Dalam hal ini peneliti melihat bahwa hal tersebut terjadi lantaran pemeriksaan EKG merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan pada pasien gagal jantung di RSUP H. Adam Malik untuk penegakkan diagnosa gagal jantung. Terbukti dari hasil penelitian, hampir semua sampel (81 orang) didapati pemeriksaan EKG pada rekam medisnya dan hanya 4 orang yang tidak ada pemeriksaan EKG-nya. Menurut Manurung (2007), diagnosa gagal jantung ditegakkan selain berdasarkan gejala dan penilaian klinis juga didukung olen pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto toraks, biomarker, dan ekokardiografi Doppler. Oleh karena itu, ketika sampel melakukan pemeriksaan dengan EKG dan dijumpai adanya hipertrofi ventrikel kiri, maka dignosa HVK telah bisa ditegakkan yang kemudian tidak perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan ekokardiografi kecuali pada kasus-kasus tertentu yang memang mengindikasikan pemeriksaan ekokardiografi. EKG mendeteksi HVK dengan mengukur perubahan elektrikal dan kecepatan repolarisasi di dalam jantung yang disebabkan oleh peningkatan massa jantung (Soerianata, 2005). Kriteria EKG yang digunakan dalam penilaian HVK di RSUP H. Adam Malik, menggunakan kriteria Sokolow-Lyon. Hal ini sesuai dengan pendapat Pikir (1997) dan Soerianata (2005) serta Efendi (2003), bahwa kriteria Sokolow-Lyon merupakan salah satu kriteria yang biasanya/ umum digunakan, yang memiliki spesifisitas yang tinggi (95%) dan sensitifitas yang dapat diterima. HVK dinilai berdasarkan salah satu dari kriteria Sokolow-Lyon: a) gelombang R di sandapan I > 25 mm, b) gelombang R di aVL > 11 mm, c) gelombang R di aVF > 20 mm, d) gelombang S di V1 + gelombang R di V5 atau V6 > 35 mm, e) gelombang R tertinggi + gelombang S tertinggi > 45 mm, dan f) gelombang R di V5 atau V6 > 26 mm (Efendi, 2003).

Dari hasil penelitian ini juga terlihat bahwa penegakkan diagnosa hipertrofi ventrikel kiri di RSUP H. Adam Malik tidak pernah dengan foto toraks saja, akan tetapi digabung dengan EKG dan/ atau Ekokardigrafi. Hal ini memberi kesan bahwa kesimpulan diagnosa yang diambil akurat.

5.2.4. Riwayat Hipertensi

Gagal jantung merupakan komplikasi umum dari peningkatan tekanan darah yang kronis (Riaz, 2010). Seperti yang terlihat pada tabel 5.5, dari 85 orang pasien gagal jantung, 64 (75,3%) orang diantaranya mempunyai riwayat hipertensi. Menurut Riaz (2010), pada populasi tua, 68% gagal jantung disebabkan karena hipertensi dan beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa hipertensi merupakan penyebab berkembangnya gagal jantung pada 50 – 60% pasien. Dengan hipertensi, risiko gagal jantung meningkat dua kali pada pria dan tiga kali pada wanita. Namun, dengan angka yang lebih besar lagi didapat dari Framingham study, hipertensi dijumpai sebagai perkembangan awal gagal jantung pada 91% kasus gagal jantung (Cowie, 20008). Hal ini menunjukkan bahwa hipertensi memberikan kontribusi yang besar pada kejadian gagal jantung di kemudian hari.

5.2.5. Kejadian Hipertrofi Ventrikel Kiri

Hipertrofi ventrikel kiri bisa dijumpai pada hipertensi, stenosis aorta, regurgitasi aorta, dan kardiomiopati hipertrofi. Bahkan menurut Soerianata (2005), HVK lebih dipertimbangkan sebagai salah satu manifestasi awal kerusakan organ sasaran akibat hipertensi. Apabila hipertensi menjadi progresif, HVK adaptif tidak dapat menahan lagi beban tekanan yang terus meningkat maka akhirnya terjadi gagal jantung kongestif dengan segala konsekuensinya (Pikir, 1997). Sesuai dengan tabel 5.6, HVK ini dijumpai pada 43 (50,6%) orang dari 85 orang pasien gagal jantung. Hal ini mengindikasikan bahwa setengah pasien gagal jantung, positif mengalami HVK dan seperti yang dijelaskan di atas, 75 % dari pasien gagal jantung tersebut mempunyai riwayat hipertensi. Hal ini sesuai dengan pendapat Efendi (2003), bahwa

HVK ditemukan pada lebih dari 50% hipertensi yang dideteksi dengan ekokardiografi.

5.2.6. Hubungan kejadian Hipertrofi Ventrikel Kiri dengan Riwayat Hipertensi Analisis hubungan variabel kejadian hipertrofi ventrikel kiri dengan riwayat hipertensi menggunakan uji chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara kejadian hipertrofi ventrikel kiri dengan riwayat hipertensi pada pasien gagal jantung (p = 0,0001 < p = 0,1) dengan CI (Confidence

Interval) 90%. Pada tabel 5.7 dapat dilihat bahwa dari 43 (50,6%) orang pasien

gagal jantung yang positif HVK, semuanya memiliki riwayat hipertensi. Hal ini didukung oleh pendapat Schmieder (2000) dalam Kaplan (2006), bahwa hipertrofi ventrikel kiri ditemukan dengan ekokardiografi pada lebih dari 90% orang dengan hipertensi berat dan dari penelitian yang pernah dilakukan di Medan oleh Efendi (2003) pada 36 penderita hipertensi (belum menderita gagal jantung), terdapat lebih dari 50% sudah mempunyai komplikasi HVK dari pemeriksaan ekokardiografi. Jadi, dari hasil penelitian ini dapat dibuktikan pendapat Kass (2005) dalam Kaplan (2006), bahwa ada hubungan langsung antara respon ventrikel kiri terhadap peningkatan afterload yang meyebabkan hipertensi.

Adapun estimasi rentang nilai dijumpainya pasien gagal jantung kongestif yang menderita HVK dan memiliki riwayat hipertensi pada populasi dapat diperoleh dengan menghitung interval kepercayaan (90%) untuk proporsi tunggal dengan rumus:

IK = P ± Zα √ pq

n IK = interval kepercayaan

p = proporsi pasien gagal jantung kongestif yang menderita HVK dan mempunyai riwayat hipertensi = 50,6%

Zα = deviat baku untuk a ; karena a = 0,1 maka Zα = 1,64 IK 90% = 0,51 ± 1,64 √ 0,51 x 0,49

85

= dari (0,51-0,09) sampai (0,51+0,09) = dari 0,42 sampai 0,60

Berdasarkan perhitungan diatas dapat ditarik kesimpulan kalau kita percaya 90% bahwa proporsi pasien gagal jantung kongestif yang menderita HVK dan mempunyai riwayat hipertensi pada populasi terjangkau terletak antara 42% sampai 60%.

Dari penelitian, juga dijumpai 21 orang pasien yang mempunyai riwayat hipertensi tetapi dari hasil pemeriksaan tidak terbukti mengalami HVK. Dalam hal ini menurut asumsi peneliti, ada beberapa kemungkinan. Pertama, berkaitan dengan pemeriksaan yang digunakan sebagian besar dengan EKG yang memiliki sensitifitas hanya 25 – 40% (Efendi, 2003) maka bisa saja ada kemungkinan beberapa pasien dengan riwayat hipertensi yang sudah mengalami hipertrofi tidak terdeteksi karena tidak semua pasien yang melakukan pemeriksaan EKG juga melakukan pemeriksaan ekokardiografi (hanya 41 orang) yang merupakan baku emas diagnosis hipertrofi ventrikel kiri dengan sensitifitas 86 – 93% (Efendi, 2003). Kedua, ada kemungkinan proses hipertensi menuju gagal jantungnya bukan dengan menginduksi hipertrofi ventrikel kiri melainkan dengan menginduksi terjadinya aterosklerosis yang memicu CAD seperti yang dibahas pada pembahasan etiologi gagal jantung di atas dan berakhir dengan gagal jantung tanpa adanya HVK.

Jadi, ada hubungan yang sangat erat antara kejadian HVK pada pasien gagal jantung dengan riwayat hipertensi pasien. Hal ini sesuai dengan pendapat Kostis (2003) dalam Kaplan (2006), bahwa hipertensi berperan penting terhadap hipertrofi ventrikel kiri dan/ atau iskemik miokard dan/ atau infark (CAD) yang kesemua

proses ini, mempercepat disfungsi sistolik dan diastolik dan pada akhirnya berkembang menjadi gagal jantung kongestif.

Dokumen terkait