• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada santri di Pondok Pesantren Darularafah Raya, diperoleh dari data dengan cara menyebarkan kuesioner kepada 50 santri. Data tersebut dijadikan tolak ukur dalam melakukan pembahasan.

Pengetahuan santri terhadap penyakit Skabies di Pesantren Darul Arafah sebagian besar berpengetahuan sedang sebanyak 41 santri (82%). Pada penelitian ini,

sampel yang diambil adalah laki-laki dan perempuan. Tidak ada perbedaan jumlah kelamin antara laki-laki dengan perempuan. Hal ini dikarenakan jumlah sampel yang diteliti terbatas yaitu 50 santri, sehingga peneliti membagi 2 kelompok dengan jumlah yang sama yaitu 25 santri berjenis kelamin laki-laki dan 25 santri berjenis kelamin perempuan.

Dilihat dari tingkat pengetahuan berdasarkan jenis kelamin, tidak ada perbedaan pengetahuan antara santri laki-laki dan perempuan. Sebagian besar santri laki-laki maupun perempuan berpengetahuan sedang. Hal ini juga dapat dilihat berdasarkan umur responden, pada santri yang berumur 13 maupun 14 atau 15 sebagian besar berpengetahuan sedang.

Menurut dari hasil penelitian Andayani (2009), tingkat pengetahuan responden dalam usaha pencegahan penyakit skabies di Pondok Pesantren Ulumu Qur’an Stabat menunjukkan 7 responden (14%) berpengetahuan baik, 28 responden (56%) berpengetahuan sedang dan 15 responden (30%) yang berpengetahuan jelek.

Santri memperoleh informasi tentang penyakit Skabies dari berbagai sumber seperti media elektronik, guru ataupun teman. Disamping itu, santri sendiri pernah mengalaminya sehingga mereka tahu persis bagaimana penyakit Skabies itu.

Menurut Muzakir (2007), santri yang menderita skabies lebih banyak yang berpengetahuan kurang dibandingkan dengan santri yang tidak menderita skabies. Ini berarti pengetahuan seseorang dapat mendukung terhindar dari penyakit, terutama penyakit menular.

Hampir semua sampel pada penelitian ini pernah mengalami penyakit Skabies. Warner and Bower (1986) menyatakan bahwa penyakit bila seseorang pernah mengalami penyakit atau sedang menderita, bila ada informasi yang berkaitan dengan penyakit yang ia derita maka akan lebih tertarik untuk mendengarkannya. Seperti halnya santri yang memiliki pengalaman menderita skabies baik diri atau kawannya serta anggota keluarganya memiliki ketertarikan lebih tinggi dalam mengikuti pendidikan atau penyuluhan yang disampaikan (Muzakir, 2007).

Dalam hasil penelitian Muzakir (2007), hasil hitung terhadap peluang yang terjadinya kejadian skabies semakin baik pengetahuan maka peluang terhadap kejadian skabies semakin kecil begitu juga dengan kebersihan semakin bersihnya santri maka peluang untuk terjadinya skabies semakin kecil.

Dalam penelitian ini, semua santri pernah melihat penyakit Skabies. Walaupun beberapa santri tidak pernah mengalami penyakit tersebut, tetapi mereka pernah melihatnya. Setidaknya mereka tahu dari teman sekamarnya atau teman sekelasnya.

Akan tetapi, nama Skabies tidak terlalu familiar bagi santri di Darularafah Raya. Hanya sebagian dari sampel yang mengetahui dan pernah mendengar nama Skabies. Ketika peneliti mulai mewawancarai dan menyebutkan kata Skabies, beberapa santri tidak terlalu tahu atau familiar dengan kata itu. Setelah ditelusuri, peneliti mendapatkan informasi dari guru-guru dan bahkan dari santrinya sendiri, bahwa nama lain penyakit Skabies di pesantren Darularafah Raya adalah Hikkah, yang diambil dalam bahasa Arab.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Muzakir (2007), penyebutan “kudee buta” dalam bahasa Aceh dipahami santri sebagai kudis seperti yang dipahami oleh sebagian besar santri. Dalam masyarakat Aceh sendiri masih sangat awam dengan sebutan “kudee buta”, karena memang penyakit ini sudah jarang sekali ditemukan saat ini. Kutu Sarcoptes Scabeie juga banyak yang tidak diketahui oleh santri, hai ini disebabkan informasi yang pernah mereka dapatkan tidak terlalu mendalam.

Dalam penelitian ini, hampir semua santri tidak mengetahui apakah penyakit skabies itu disebabkan oleh bakteri, jamur, atau kutu. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya pengetahuan mereka tentang penyebab penyakit Skabies. Hal ini juga ditegaskan dalam penelitian Muzakir (2007), analisis distribusi frekuensi terhadap jenis pertanyaan yang diberikan menunjukkan bahwa penyebab, tanda dan gejala skabies umumnya tidak diketahui oleh santri. Pengetahuan ini sebagian besar mereka peroleh dari pengalaman mengalami baik langsung pada dirinya maupun tidak langsung pada anggota keluarganya atau tetangganya.

Kebanyakan santri mengetahui bahwa penyakit Skabies itu dapat menular melaui pakaian (baju, celana), celana dalam atau handuk. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Muzakir (2007), 76,6% santri menyatakan skabies ditularkan melalui pakaian.

Menurut Handoko (2008), terdapat 4 tanda kardinal yang salah satunya adalah Pruritus Nokturna yaitu rasa yang sangat gatal terutama pada malam hari merupakan gejala yang khas pada penyakit ini. Pada penelitian ini banyak dari santri (78%) mengetahui gejala khas tersebut. Santri yang pernah mengalami penyakit ini bisa merasakan rasa yang sangat gatal yaitu terjadi pada malam hari.

Bagi santri yang pernah mengalami penyakit Skabies, tentu saja mereka tahu bagaimana gejala-gejalanya. Tidak mengherankan bahwa mereka memiliki pengetahuan yang sedang mengenai gejala penyakit Skabies.

Tidak hanya santri yang pernah mengalami saja yang mengetahuinya, tetapi bagi santri yang tidak pernah mengalaminya pun juga mengetahui gejala dan pada bagian tubuh mana saja penyakit Skabies timbul. Mereka bisa saja tahu dari teman- temannya, atau bahkan dari gurunya. Apalagi di zaman modern seperti sekarang ini dengan teknologi yang canggih tersedia fasilitas internet, sehingga mereka lebih tahu bagaimana penyakit Skabies itu.

Dalam upaya pencegahan pun santri memiliki pengetahuan yang cukup baik. Hal ini berguna untuk mengantisipasi santri agar tidak terkena atau tertular penyakit Skabies. Upaya sekecil apapun dapat diterapkan pada santri demi mencegah timbulnya penyakit Skabies.

Hampir semua santri mengetahui bahwa panyakit Skabies dapat diobati. Menurut Handoko (2008), tersedia obat-obat anti Skabies yang tersedia dalam bentuk topikal. Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat pengobatan dapat menghilangkan faktor predisposisi, maka penyakit ini memberikan prognosis yang baik.

Dokumen terkait