BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.4. Pembahasan
Berdasarkan karakteristik jenis kelamin pada tabel 5.1 dapat dilihat bahwa penderita tonsilitis kronis paling banyak pada penelitian ini adalah perempuan yaitu 57 penderita (66,3%). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada siswa kelas II SD di Semarang didapati penderita tonsilitis kronis terbanyak adalah perempuan sebanyak 156 penderita (51,8%) sedangkan laki-laki sebanyak 145 penderita (48,2%) (Farokah, 2005). Hal yang sama juga terdapat pada penelitian Kurien pada 40 pasien penderita tonsilitis kronis dimana pasien terbanyak adalah perempuan sebanyak 22 orang (55%) dibanding laki-laki sebanyak 18 orang (45%) (Kurien, 2000). Penelitian mengenai kejadian tonsilitis berulang di Norwegia menunjukan secara signifikan lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki, namun dari hasil penelitian tersebut didapatkan tidak ada hubungan genetik terhadap jenis kelamin tertentu pada kasus tonsilitis kronis (Kvestad, 2005). Pada beberapa penelitian lain juga dikatakan jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian tonsilitis kronis sehingga baik perempuan maupun laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan infeksi tonsilitis.
Berdasarkan karakteristik umur pada tabel 5.2 dapat dilihat bahwa penderita tonsilitis kronis paling banyak pada penelitian ini adalah kelompok umur 1 – 10 tahun yaitu 25 penderita (29,1%). Menurut penelitian di Amerika Serikat mengenai prevalensi penyakit-penyakit kronis, tonsilitis kronis berada pada urutan kedelapan dan didapatkan hasil bahwa penderita tonsilitis kronis terbanyak pada usia dibawah 18 tahun dengan prevalensi 24,9 per 1000 penderita, dimana hal ini lebih besar dua kali lipat dibandingkan kelompok umur lainnya (National Center for Health Statistics, 1997). Hal ini sejalan dengan penelitian Raju dimana penderita tonsilitis kronis terbanyak pada kelompok umur 1 – 10 tahun sebanyak 55 penderita (36%) (Raju, 2012). Penelitian yang dilakukan pada anak-anak di Inggris menunjukkan kelompok umur paling banyak pada usia 1 – 5 tahun sebanyak 54 orang (52,9%) dan usia 6 – 16 tahun sebanyak 48 orang (47,1%) (Pereira, 2008). Penelitian Kurien juga menunjukan paling banyak terjadi pada kelompok usia dibawah 10 tahun dengan jumlah 15 orang dari 40 sampel yang diteliti (Kurien,2000). Tonsilitis kronis dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun menurut beberapa kepustakaan menyatakan tonsilitis kronis paling sering terjadi pada anak-anak, hal itu dikarenakan anak-anak paling sering mengalami infeksi saluran pernapasan. Infeksi saluran pernapasan tersebut terjadi karena kurangnya kesadaran perilaku bersih pada anak, baik kebersihan tangan maupun makananan/jajanan sehingga bakteri dan virus mudah masuk. Infeksi saluran pernapasan dapat menyerang tonsil yang merupakan sistem pertahanan tubuh yang terdekat dengan saluran pernapasan. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya mikroorganisme penyebab infeksi saluran pernapasan pada hasil kultur tonsil pada beberapa kasus tonsilitis kronis, yang mana infeksi tersebut merupakan etiologi infeksinya.
prevalensi penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorokan di Skotlandia menunjukkan bahwa pelajar berada pada urutan kelima dengan jumlah 1660 orang (10,9%) dan berada pada urutan ketiga dengan prevalensi 29,1% untuk penyakit tonsilitis (Hannaford, 2005). Banyak penelitian mengenai penderita tonsilitis kronis yang dilakukan pada pelajar seperti pada penelitian Farokah (2007), Akcay (2002) dan Lam (2006). Hal ini mungkin karena pelajar rentan akan terkena infeksi akibat perilaku jajan yang tidak benar, kurangnya kesadararan akan higienitas mulut, tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat, dan keadaan fisik yang lemah, dimana hal-hal tersebut merupakan faktor-faktor predisposisi pada penderita tonsilitis kronis.
Berdasarkan karakteristik keluhan utama pada tabel 5.4 dapat dilihat bahwa penderita tonsilitis kronis paling banyak pada penelitian ini adalah sakit tenggorokan/sakit menelan yaitu 42 penderita (48,8%). Hal ini sejalan dengan penelitian di salah satu rumah sakit di Afrika yang menyatakan bahwa penderita tonsilitis kronis yang datang mengeluhkan sakit tenggorokan sebanyak 41,3% sebagai keluhan utamanya (Timbo, 2008). Hal serupa pada penelitian Hannaford menunjukkan penderita mengeluhkan sakit tenggorokan yang berat sebagai keluhan utama tonsilitis kronis sebanyak 31% (Hannaford, 2005). Penelitian yang dilakukan Nurjannah menyatakan hal yang sama dengan prevalensi penderita tonsilitis kronis yang mengalami sakit menelan sebanyak 19 orang (54,3%) (Nurjannah, 2011). Sakit tenggorokan/sakit menelan paling banyak ditemukan sebagai keluhan utama, mungkin dikarenakan pasien merasa sangat terganggu, tidak nyaman, dan merasa bahwa jika ada rasa sakit berarti terdapat suatu kelainan dibandingkan dengan keluhan utama lainnya.
Berdasarkan karakteristik ukuran tonsil pada tabel 5.5 dapat dilihat bahwa penderita tonsilitis kronis paling banyak pada penelitian ini adalah T2 / T2 yaitu 34 penderita (39,5%). Hal ini sejalan dengan penelitian Lam yang dilakukan pada anak-anak usia 4 – 9 tahun yang dibagi dalam
kelompok obesitas dan kelompok tidak obesitas, didapati ukuran tonsil terbesar pada kedua kelompok tersebut adalah T2 dimana diperoleh hasil pada kelompok obesitas sebanyak 46 orang (41,4%) dan kelompok tidak obesitas sebanyak 176 orang (47,4%) (Lam, 2006). Hal yang serupa pada penelitian Amalia dimana prevalensi tonsil yang terbanyak pada penderita tonsilitis kronis adalah T2 / T2 sebanyak 27 orang (33,8%) diikuti ukuran tonsil T3 / T3 sebanyak 23 orang (28,6%) (Amalia, 2011). Pada penelitian Farokah pada siswa kelas II SD di Semarang diperoleh ukuran tonsil terbanyak adalah T1 dan T2 yaitu sebanyak 83 siswa (79,4%) (Farokah, 2005). Penelitian Akcay terhadap anak-anak sekolah usia 4 – 17 tahun diperoleh ukuran tonsil T2 berada pada urutan kedua terbanyak dengan jumlah penderita 507 orang (28,4%) setelah ukuran tonsil T1 yang menempati urutan pertama dengan jumlah penderita 1119 orang (62,7%) (Akcay, 2002). Penelitian yang dilakukan di Brazil juga menunjukkan ukuran tonsil T2 berada pada urutan kedua yaitu sebanyak 45 penderita (18%) dengan ukuran tonsil T3 berada pada urutan pertama yaitu sebanyak 160 penderita (64%) (Aringa, 2005). Hal ini mungkin karena ukuran tonsil T2 merupakan ukuran tonsil terbanyak yang dijumpai pada kebanyakan orang.
Berdasarkan karakteristik penatalaksanaan pada tabel 5.6 dapat dilihat bahwa penderita tonsilitis kronis paling banyak pada penelitian ini adalah medikamentosa yaitu 63 penderita (73,3%). Hal serupa juga didapati pada penelitian Amalia yang memperoleh hasil penatalaksaan dengan medikamentosa sebanyak 67 penderita (83,8%) sedangkan tindakan operatif sebanyak 13 penderita (16,2%) (Amalia, 2011). Hal ini mungkin karena kebanyakan kasus tonsilitis kronis disebabkan oleh bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A, sehingga lini pertama penatalaksanaan tonsilitis kronis dengan menggunakan medikamentosa, dalam hal ini pasien diberikan antibiotik yang sesuai. Namun pada 85%
menggunakan medikamentosa (Raju, 2012). Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa tonsilektomi adalah baku standar penatalaksaan tonsilitis kronis karena dapat memberantas bakteri patogen secara menyeluruh dan mengurangi kejadian tonsilitis berulang dibandingkan hanya dengan menggunakan medikamentosa, walaupun demikian tindakan operatif atau tonsilektomi dapat dilakukan jika memenuhi kriteria menurut
The American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery Clinical Indicator.